
Lia, dibayangi masa lalu kelam dan dosa tak terampuni, kini menghadapi bayangan dendam dari Rani dan Tarkken—dua jiwa yang porak-poranda oleh rasa kehilangan. Di tengah kebencian yang membara, sebuah pertanyaan muncul: apakah dendam dapat menyembuhkan hati yang luka, atau hanya memperpanjang penderitaan? Dalam perjalanan ini, Lia menghadapi kenyataan pahit bahwa kebencian yang ia tanam adalah cerminan kebencian orang lain terhadap dirinya. Di persimpangan antara pengampunan dan balas dendam, siapakah yang akan bertahan?
Tarkken menatapku sangat dalam, seolah ingin memastikan sesuatu. Mungkin dia sedang mencoba meyakinkan dirinya bahwa aku tidak akan mengganggu balas dendam mereka. Aku sadar, Tarkken sedang memanfaatkan kebencian Rani untuk membunuh adikku agar aku merasakan penderitaan yang sama seperti mereka—kehilangan seseorang yang mereka cintai, yaitu Aldi.
Rani adalah seseorang yang sangat membenci laki-laki. Kebenciannya begitu dalam hingga mentalnya terganggu, akibat luka masa lalunya. Ayahnya, yang tidak sanggup membiayai hidupnya, melemparkan tanggung jawab Rani kepada abangnya. Namun, abangnya justru menggunakan Rani sebagai alat untuk memuaskan kebencian terhadap keluarganya sendiri.
Tarkken juga memiliki luka keluarga yang tak kalah kelam. Orang tuanya selalu menuntut hal-hal yang tidak sanggup dia penuhi. Ketika dia gagal memenuhi tuntutan itu, ayahnya akan memarahinya di mana saja dan kapan saja, membuat anak-anak lain enggan bermain dengannya. Ibunya, yang stres karena dimarahi suaminya, melampiaskan kekesalannya dengan menyiksa Tarkken secara fisik.
Bagi Rani dan Tarkken, Aldi adalah seseorang yang memberi mereka kehangatan keluarga, sesuatu yang nyaris mustahil mereka miliki. Aku juga pernah merasakan hal yang sama saat bersama keluarga angkatku. Namun, semuanya berubah setelah kerusuhan terjadi, merenggut nyawa keluarga angkatku.
Aku menyimpan kebencian yang mendalam terhadap orang-orang yang membunuh keluargaku, meskipun aku tahu mereka melakukannya karena ingin bertahan hidup atau karena pengaruh situasi yang diciptakan pemerintah. Ironisnya, aku sekarang berada dalam posisi yang sama. Ayahku dengan bantuanku telah membunuh keluarga tercinta mereka, menciptakan kebencian yang setara dengan kebencian yang aku rasakan.
Aku menyadari bahwa kebencianku terhadap pembunuh keluargaku sama dengan kebencian mereka terhadapku. Aku telah menghancurkan mental mereka, seperti mentalku dulu hancur. Jika kebencian mereka membuat mereka mengambil segalanya dariku, aku tidak keberatan—asal mental mereka bisa sembuh.
Aku adalah manusia bajingan. Aku merusak mental orang-orang yang telah disembuhkan oleh Aldi, dan sekarang aku mengulanginya lagi. Aku pantas menerima ini. Jika mereka memukulku hingga mati, aku tidak akan keberatan. Aku bajingan yang pantas mendapatkan itu.
“Tunggu, Pak July,” ucap Tarkken, tampak berusaha menghentikan July agar tidak menghalangi balas dendam Rani.
Namun, July menjawab dengan tegas dan suara lantang, sambil melepaskan genggaman Tarkken, “Kau gila, ya, Tarkken? Apa yang kau pikirkan dengan membiarkan Rani melakukan ini? Rani akan—”
Aku memotong perkataan July dengan teriakan penuh emosi, “BIARKAN MEREKA, JULY! KALAU HAL INI BISA MENYEMBUHKAN MENTAL MEREKA, BIARKAN SAJA! AKU TIDAK MASALAH DAN AKU TIDAK AKAN MENYALAHKAN MEREKA. INI SEMUA SALAHKU!” Air mataku mengalir deras, membasahi wajahku.
Suasana kembali hening. Namun, semua itu pecah oleh suara tawa yang ditahan oleh Tarkken.
“Pfttt... Aku tidak salah menilaimu, Lia. Kau berbeda dengan mereka yang selalu melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Justru kau mau bertanggung jawab dan menyesali kesalahan yang kau perbuat,” katanya dengan nada mengejek.
Aku mengangkat wajahku, kesal dengan tawa tidak jelas itu, lalu melihat senyum menyebalkan di wajahnya. Aku menatapnya dengan penuh amarah.
“Kalian berdua itu sebenarnya sama,” lanjutnya. “Walaupun kalian berusaha menyalahkan orang lain, dalam hati kalian menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang telah kalian lakukan. Itu berbeda dengan mereka yang terus menyalahkan orang lain atau bahkan merasa tidak bersalah sama sekali, supaya mereka tidak perlu bertanggung jawab.”
Dia masih tersenyum, tapi senyumnya perlahan berubah, menjadi lebih serius dan tidak terlalu mengesalkan.
Aku hanya diam, menatapnya dengan wajah yang perlahan berubah. Sebelumnya penuh rasa kesal, kini melentur, berganti dengan ekspresi penuh penyesalan.
Melihatku terdiam dengan wajah penuh sesal, Tarkken melanjutkan, “Bagaimana, apakah kau ingin ikut denganku ke tempat Ra—”
Aku memotong ucapannya karena muak dengan pernyataan mereka yang seakan tidak percaya pada keputusan berat yang sudah kuambil. “Berapa kali harus aku katakan, aku tidak masalah dengan hukuman yang kalian berikan kepadaku. Ambil semuanya yang aku punya!” ucapku dengan penuh keyakinan, berharap dapat menggoyahkan keraguan mereka.
Tarkken mendengar ucapanku tetap mempertahankan senyumnya. Wajahnya seolah ingin tertawa, tapi dia menahannya. “Aku sudah bilang, kalian berdua itu sama. Kalian akan menyalahkan diri sendiri lebih sering daripada menyalahkan orang lain. Mungkin kalian pernah menyalahkan orang lain, tapi itu tidak akan lama. Mungkin sekarang, dia sedang menangis di depan penjara adikmu karena tidak sanggup melakukan apa yang ingin dia lakukan.”
Perkataannya membuatku tersentak. Aku lupa bahwa Rani adalah orang yang baik. Bagaimana mungkin aku berpikir bahwa dia akan melakukan hal sekeji itu? Mendengar ucapan Tarkken membuatku sedikit lega, namun aku tetap harus bersiap menghadapi hukuman yang mungkin mereka berikan.
“Apa yang kau tunggu? Aku butuh seseorang yang bisa memeluknya di saat seperti ini,” ucap Tarkken dengan nada yang mulai merendah, nyaris seperti memohon.
Aku menatapnya ragu. “Bukankah dia membenciku? Apakah dia akan mau aku peluk?”
Raut wajah Tarkken yang tadinya penuh keyakinan mulai berubah, tampak ragu, bahkan sedikit berkeringat. “Yaaa... gak mungkin Pak July kan? Tapi... kita aturlah supaya Rani mau memelukmu. Tolonglah, gak ada lagi yang bisa kumintai tolong.”
Melihat wajahnya yang memelas, aku berdiri. Wajahnya langsung cerah, mungkin dia takut aku tidak akan menurutinya. “Baiklah, ayo,” ucapku akhirnya.
Tarkken mengangguk penuh semangat. Kami berjalan menuju pintu, dan sebelum keluar, dia berkata kepada July yang berdiri memperhatikan kami. “Kami serahkan ayah Lia ke Bapak, ya.”
July hanya tersenyum kecil, lalu mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh kami segera pergi dari ruangan ayahku.
Di tengah perjalanan, aku bertanya, “Kenapa kau yakin kalau Rani tidak akan sanggup membunuh adikku?”
Tarkken, yang sebelumnya berjalan di depanku, melambatkan langkahnya hingga sejajar denganku. “Aku pernah membaca salah satu komik milik Aldi yang sebelumnya dibaca oleh Rani. Ceritanya tentang seorang MC dengan sifat buruk dan seorang heroine yang membenci abangnya karena membunuh keluarganya sendiri. Di ending cerita, heroine berhasil membuat MC menjadi orang yang lebih kuat secara mental dan mampu memaafkan kesalahan abangnya. Walaupun... endingnya tragis, keduanya mati, menyisakan heroine itu sendiri.”
Aku terkejut mendengar ceritanya. “Lah, semuanya mati?” tanyaku heran.
Tarkken terlihat sedikit gugup, seperti lupa dengan detail ceritanya. “Aku lupa siapa saja yang mati. Yang jelas, gak semua temannya mati. MC-nya juga... aku masih ragu dia benar-benar mati atau enggak. Soalnya, di akhir cerita, dia datang ke heroine itu seperti tanpa jiwa.”
“Terus, apakah keadaan Rani sama dengan cerita itu?” tanyaku penasaran.
Tarkken mengangguk pelan. “Rani pasti sadar bahwa apa yang dia lakukan sama seperti abang heroine itu—mengambil keputusan berdasarkan kebencian, yang akhirnya justru menghancurkan dirinya sendiri. Atau mungkin, sama sepertiku, dia tidak ingat detail ceritanya. Tapi bagaimana pun juga, bawah sadarnya pasti terpengaruh oleh cerita itu,” jelasnya dengan nada yakin tapi juga ragu.
Kami terus berjalan, dan aku mencoba mempersiapkan mentalku untuk kemungkinan terburuk. Dalam pikiranku, aku sudah siap jika Rani ingin memukulku hingga puas, jika itu bisa membuatnya memaafkanku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
