
Tiga bulan setelah kekacauan antara Dani dan Mala, kehidupan di sekolah mulai membaik—atau setidaknya terlihat seperti itu. Namun, di balik rutinitas klub dan proyek ambisius, pertanyaan-pertanyaan tak terjawab terus menghantui. Sementara Rio perlahan menggantikan kehadiran Tarkken di sisi sang kepala sekolah, ancaman preman luar masih mengintai, dan misteri seorang dalang tersembunyi semakin mendekat. Ketika loyalitas dan ambisi diuji, siapa yang benar-benar berdiri di sisimu?
Tiga bulan telah berlalu sejak masalah Dani dan Mala, namun masih ada beberapa hal yang membuatku terus bertanya-tanya. Bagaimana Dani bisa bertindak begitu cepat untuk membuat Mala bungkam, padahal anggota yang dia kumpulkan tidak banyak? Kenapa bukan ratusan? Saat aku menanyakan hal itu, Dani hanya menjawab bahwa dia ingin menyelesaikan semuanya secepat mungkin karena kesal dengan sikap Mala yang terlihat memberontak.
Aku lalu bertanya lagi, “Bukankah kau juga mengancam orang tuanya? Kalau begitu, kenapa dia masih berani melawan?” Dani menggeleng sambil mengatakan bahwa dia tidak punya cukup kekuatan untuk mengancam orang tua Mala. Aku tidak langsung percaya dan membantah, “Kau tinggal bilang saja ke orang tuamu, pasti dia mau membantumu.” Namun, jawaban Dani mengejutkanku—katanya, dia bahkan tidak terpikirkan untuk melakukan itu.
Mendengar jawaban itu, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Rasanya tidak mungkin Dani berbohong tentang hal sepenting ini. Kalaupun benar ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini, langkah terbaik kami sekarang adalah memperkuat diri hingga siapa pun yang mencoba menjadi mata-mata di antara kami akhirnya menyerah karena putus asa.
Selama tiga bulan ini, tidak ada maling yang mengambil barang kami. Namun, masih ada beberapa murid yang tertangkap mengambil barang sekolah. Hal ini sebenarnya biasa terjadi di setiap sekolah. Pembullyan juga masih ada, walau kami belum bisa sepenuhnya mengetahuinya. Beberapa murid melapor bahwa mereka dibully, dan kami segera menyelesaikannya. Tapi ada juga beberapa kasus yang ternyata bukan pembullyan—lebih karena mereka berbuat masalah lebih dulu. Ternyata, ada murid yang pandai playing victim.
Keadaan sekolah saat ini berkembang menjadi klub-klub, masing-masing dengan penanggung jawab dari pihak guru. Aku sendiri adalah penanggung jawab Klub Teknologi Modern, dengan fokus membuat robot dan mengembangkan keterampilan pemrograman. Aku pribadi tidak terlalu ahli dalam membuat robot, jadi kami memanfaatkan internet untuk belajar dan bekerja sama. Setelah masalah Dani selesai, kami bisa lebih bebas berkembang, bahkan memasang beberapa satelit untuk memperkuat jaringan internet di sekolah.
Aku lebih fokus pada pemrograman, dan saat ini aku sedang membuat AI yang bertugas melaporkan kegiatan dan kebutuhan setiap klub di sekolah. Informasi akan di-input oleh ketua klub dan guru penanggung jawab, tentunya dengan bantuan dari Klub Teknologi Modern.
Perkembangan sekolah cukup baik, meskipun masih ada beberapa masalah yang wajar terjadi. Namun, masalah di luar sekolah cukup rumit. Meskipun kami memiliki preman terkuat yang bekerja sebagai satpam, masih ada preman kecil-kecil di luar sana yang mengancam siswa dan orang tua. Salah satu di antara mereka adalah master mind yang mampu mengendalikan kelompok Ade.
Selama tiga bulan ini, kami juga sudah mengidentifikasi beberapa murid dengan potensi besar di bidang masing-masing.
Saat aku sedang merenung di ruanganku, Rio masuk membawa sarapanku. “Apakah kau butuh sarapan?” tanyanya dengan nada ringan, sambil membawa nampan berisi nasi uduk dan teh hangat. Senyumnya yang menenangkan membuat semangatku terisi kembali.
“Terima kasih,” balasku dengan senyum kecil, merasa dihargai dengan pelayanan tulusnya.
Rio tersenyum balik dan meletakkan piring serta gelas di mejaku. “Silakan, Tuan Putri. Apakah ada hal lain yang kau butuhkan?” tanyanya, lalu duduk di kursi di depanku.
“Terima kasih, aku sudah puas. Tapi... apakah aku tidak merepotkanmu?” balasku dengan kepala tertunduk, takut mendengar jawaban Rio.
“Kau bertanya ini berkali-kali, tapi aku pasti akan memberi jawaban yang sama. Aku tidak masalah, karena dengan begitu aku bisa melihat dan bersamamu lebih lama,” jawabnya sambil tersenyum, membuatku merasa sedikit lega.
“Maukah kau di sini lebih lama?” tanyaku pelan, tidak berani menatap matanya karena malu.
Dia hanya tersenyum lembut dan menatapku tanpa berkata apa-apa.
Aku meraih nasi uduk dan sendok, lalu mulai memakannya. Saat itu aku tersadar sesuatu. “Kamu udah makan?” tanyaku.
Rio tertawa kecil. “Tentu saja sudah. Apa perlu aku suapi juga?” godanya sambil tersenyum jahil.
Perkataannya membuatku panik dan salah tingkah. “Ti-tidak! Aku tidak butuh!” jawabku gugup.
Dia tertawa melihat reaksiku. Aku menolaknya bukan karena tidak mau, tapi karena sudah cukup menyusahkannya. Aku tidak ingin menjadi perempuan yang tidak tahu diuntung. Meski begitu, ditatap saat makan seperti ini membuatku sedikit malu, tapi juga terasa nyaman. Rasanya seperti ada seseorang yang siap melindungiku kapan saja. Aku, yang selama ini merasa hebat merayu laki-laki, justru sekarang dirayu balik olehnya. Alih-alih merasa kesal, aku malah merasa bahagia.
Saat ini, Rio lebih sering bersamaku dibanding Tarkken. Atau mungkin lebih tepatnya, Tarkken mulai menjauh. Dia sibuk dengan usahanya yang semakin berkembang. Dua hari setelah dihajar oleh anak buah Dani, Tarkken langsung keluar dari rumah sakit dan kembali ke sekolah, bahkan langsung mengurus dagangannya.
Aldi pernah memberitahuku kalau Tarkken sebenarnya masih sakit, tapi karena terbiasa menahan rasa sakit, dia sendiri mungkin tidak sadar bahwa tubuhnya belum pulih sepenuhnya. Aku sering mengajaknya untuk sparring, tapi dia selalu menolak dengan alasan sibuk. Untuk saat ini, aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Investasiku padanya sudah menghasilkan profit, dan aku lebih memilih profit daripada memaksanya menjadi pembantuku.
Karena Tarkken menolak sparring, Rio menawarkan diri untuk jadi lawan. Tapi setiap kali sparring dengannya, aku selalu kalah. Dia cepat dan kuat, tapi aku yakin suatu saat aku pasti bisa mengalahkannya!
TOK! TOK! TOK! Suara ketukan terdengar di pintu.
Rio berdiri dengan nampan di tangannya, menatap pintu yang masih tertutup. “Sepertinya sudah waktunya. Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Rio, terima kasih,” seruku sambil berdiri dari kursiku.
Dia tersenyum, mengangguk, dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membukanya, Citra yang berada di balik pintu tampak terkejut melihatnya. Rio menatap Citra sebentar, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.
Citra masuk dengan ekspresi sedikit gugup, tapi segera mengganti wajahnya dengan raut serius. Saat melihat itu, aku langsung teringat kenapa Rani pernah merasa cemburu saat aku menyuruh Aldi menyemangati murid-murid di sekolah termasuk murid-murid perempuan. Tapi aku bukan anak kecil yang mudah terbawa cemburu seperti itu.
Citra melangkah ke arahku dan duduk di kursi yang tadi ditempati Rio. Dia membuka kertas yang dibawanya, meletakkannya di hadapanku, dan mulai menjelaskan isinya.
“Uang kas sekolah sudah mencapai satu juta rupiah, dan itu bersih. Menurutku, ini cukup untuk mulai membangun usaha bagi murid-murid yang membutuhkan modal.”
Aku yang mendengar itu sedikit tersenyum, hingga Citra menatapku dengan heran.
“Kenapa setelah kau jelaskan, sekolah ini malah terkesan seperti ladang bisnis?” tanyaku menggodanya.

Citra yang merasa memahami maksudku kembali melihat dokumen dengan wajah muram. “Aku tidak bermaksud seperti itu...”
Melihat perubahan sikapnya, aku sedikit terpukau. Dia benar-benar tulus ingin murid-murid di sekolah ini menjadi orang hebat. “Gak masalah, Citra. Kalau mereka sekolah di sini, mereka harus siap dengan visi dan misi sekolah ini. Kalau gak suka, aku juga gak masalah kalau mereka mau pindah ke sekolah manapun. Menurutku, ini cara terbaik untuk mengajarkan mereka soal dunia nyata.”
Citra mengangkat kepala, tapi masih tak berani menatapku. Aku pun meraih tangannya perlahan, membuatnya sedikit tersentak karena tak menduga. “Bagaimana kalau kau jadi kepala sekolah? Kupikir itu cocok untukmu,” ujarku sambil menatapnya serius.
Citra tampak terkejut dan terdiam sejenak, merenung. Setelah cukup lama berpikir, dia akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Kupikir... aku belum pantas.”
Mendengar jawabannya, aku hanya tersenyum, merasa puas melihat kerendahan hatinya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
