Chapter 1 - Perkara Kambing Gembala Bang Gemas [Sweet As Morning!]

1
0
Deskripsi

"Kita kapan punya anak ya, Bang? Problemnya kesitu mulu akhir-akhir ini ..."

"Ya ... abang mana tahu, Te? Coba tanya rumput yang bergoyang. Kalau goyangnya ke kanan, artinya bulan depan, kalau ke kiri, bulan depan bisa ditanya lagi," Bang Gemas tertawa. Memberiku candaan yang sedikit banyak menenangkan hatiku.

"Kenapa abang susah tembus membuahiku sih? Ayo dong Bang, tembusin!"

"Tembus nggak tembus, masalahnya ada di takdir dan rejeki, sayang. Abang sudah suruh mereka ngejar matahari kamu, tapi pada...

post-image-66cb39c93f447.png

"... masako, atau royco enaknya?"

"Ajinomoto saja, Te. Soalnya dari Jepang."

"Masako satu perusahaan sama Ajinomoto, Bang."

"Tapi aku lebih suka Ajinomoto karena menambah kekuatan lahir batin bagi yang mempercayainya."

"Itu Ajian, bahlul! Jauh ke Ajinomoto. Kamu pasti baca di wikipedia kan tadi?"

"Tahu dari mana itu baca di wikipedia?"

"History emailmu sinkron sama handphoneku tahu, Bang! Tadi pas mau ngehapus muncul itu di atas!"

"Ya sudah, pakai Ajinomoto kalau gitu."

"Riweuh lo, ah!"

Aku misuh-misuh begitu Bang Gemas yang kini baca koran melewatiku di dapur. Apa yang baru saja menjadi keributan kami pagi ini nggak pernah jauh-jauh dari perkara kehidupan sehari-hari. Kalau nggak makan, ya ranjang. Kadang malah masalah belanja bulanan juga.

Sambil melewatiku tadi, kulirik apa yang ia baca dikoran. Alah, ternyata nggak jauh-jauh dari berita pemimpin negara ini. Malas menyebut, tapi kekhawatiran Bang Gemas beberapa hari lalu soal pekerjaannya berkaitan dengan hal itu.

Susah cari kerja, susah cari makan, mati dalam ketidaktenangan.

Kalau gentayangan bisa jadi opsi after life, kayaknya aku pengin mengganggu ketenangan hidup orang-orang yang nggak becus mengurus negara ini.

Sabar, sabar. Politik adalah poin yang menggelitik.

"Eh, Te, ini kok Mas Pur chat aku, sih? Kan sudah bilang nggak akan pindah kontrak?"

"Dasar Mas Pur! Masih ngotot suruh kita pindah perkara rumah ini mau ditempati sepupunya Bu Dedeh. Biarkan saja lah, Bang. Masih dua bulan lagi, kan? Balas dua bulan kedepan saja."

"Betul juga, sih, tapi aku takut digembok ini rumah pas kita pergi ke pasar malam nanti."

"Mana ada? Dobrak lah pakai motormu itu. Lempar ke pintu." aku berujar asal.

"Idih! Yang ada kita disuruh ganti, trus jadi alasan pasti ngusir segera. Jangan ngaco kamu, Gutenmorgen!"

"Abang!"

"Yes baby?" najis! Aku meringis geli begitu Bang Gemas merespon dengan suara yang dibuat berat dan seksi. Menyebalkan tiap kali dia meledekku dengan menyebut nama lengkapku yang aneh itu.

"Ya sudah diamkan saja! Kamu tuh suka overthinking-an orangnya tahu nggak, sih?"

"Ya ... aku nggak enak saja sama Mas Pur, Te. Soalnya dia cuma orang yang dimandatkan sama Bu Dedeh, kan. Aku kasihan kalau dia sudah minta sampai memohon gini."

"Dasar manusia! Anehnya punya keinginan, tapi nggak lihat realita. Kita kan masih ada waktu dua bulan, Bang. Nggak ah, aku nggak mau pindah dulu. Malah mau aku extend soalnya tinggal di sini enak. Nggak jauh dari pasar."

"Nanti kita cari ruko di dalam pasar saja supaya dekat sama pasar."

"Nggak lucu."

"Namamu lucu tahu, Te,"

"Abang!"

"Yes baby, harder baby—"

"Wong gendeng!"

Aku meletakkan rawon yang baru kumasak kedalam mangkuk di meja makan dengan malas begitu Bang Gemas lagi-lagi memperbanyak kosa kata candaannya hari ini. Ini jelas bukan hal yang main-main walaupun aku nggak mau mengkhawatirkannya lebih dari apa yang Bang Gemas takutkan. Masalahnya, kami mengontrak di unit perumahan ini sejak menikah. Sekarang, setelah dua tahun lamanya, dan masih ada sisa dua bulan sebelum masa bayar kami habis, ternyata sudah diminta pindah. Gimana aku nggak kesal.

Apalagi si gemas itu pakai merasa nggak enak segala.

"Jawab nggak nih, Te?"

"Lempar hapemu, buang saja biar chatnya nggak masuk lagi." aku melempar komentar asal.

"Ngablu! Dah lah, aku jawab saja 'insyaAllah kalau Mas Pur kasih saya DP KPR,'"

Aku tertawa mendengar Bang Gemas berucap seperti itu. Sangat nggak mungkin jawabannya akan berbunyi sama. Selain nggak enakan, Bang Gemas juga orang yang sopan. Dia kelewat sopan malah.

"Sekarepmu dewe, Bang," aku bertolak pinggang begitu melihat hasil karya masakanku. Hari ini kami berencana datang ke rumah mertuaku. Rumah orang tuanya Bang Gemas. Namun, apa yang harus kami bawa hari ini jelas mesti update dari pada sebelum-sebelumnya. Ibu mertuaku tipe picky eater, apalagi kalau kami bawa makanan yang sama di minggu berikutnya. Kadang banyak bacot, tapi aku tetap berusaha respect dengan beliau karena ibu mertuaku sosok yang ada di sisiku ketika aku tepaksa opname di rumah sakit kala keguguran untuk yang pertama kalinya.

Dipikir-pikir kisah kami ini selalu diawali dengan aku, lalu diakhiri Bang Gemas. Tanpa kisah anak di dalamnya, aku dan Bang Gemas sering kali dikira childfree. Terlalu ramai menjadi bahasan karena kami juga menikah di usia sangat matang, apalagi bagi mertuaku. Mereka kira kami menunda kedatangan anak. Belum lagi saat aku keguguran waktu itu, asumsi mereka justru karena aku nggak berkenan punya anak makanya mengabaikannya. Padahal, kalau mereka tahu masalah sebenarnya, nggak akan ada satu orang pun yang menyalahkanku.

Siapa suruh tinggal di rusun tanpa eskalator, apalagi lift? Yak, betul, mertuaku. Alias orang tua Bang Gemas.

Tingkat rawan yang tinggi saat hamil muda, dan intensitas gerakku yang banyak karena harus berulang kali naik tangga ke lantai dua belas, membuatku kelelahan luar biasa. Kejadian itu di lima bulan setelah pernikahan kami. Setelah itu, Bang Gemas langsung meminta izin orang tuanya untuk pindah rumah ke tempat yang lebih baik.

Perkara anak tunggal, orang tua Bang Gemas pengin selalu dekat dengan anaknya. Kebetulan rusun itu satu-satunya tempat kosong di lingkungan rumah Bang Gemas yang bisa kami tempati. Hingga akhirnya opsi terakhir yang mereka paksakan pada kami saking posesifnya ibu pada Bang Gemas adalah meminta putra semata wayangnya mengunjungi seminggu sekali tanpa kecuali.

Sekalipun nggak pernah menyesal menikahi Bang Gemas, tapi jika mesti diingat soal keguguran itu, aku selalu ingin menangis.

Rasanya sakit, cuy!

"Sudah jadi semua nih, Bos. Berangkat kapan?" aku mendekat ke arah Bang Gemas yang duduk di depan televisi. Melepas koran di tangannya, suamiku itu menatap dalam diam.

Mikir jorok apalagi dia?

"Menjelang maghrib, lah. Supaya ada alasan pulang cepat, lalu sesuai rencana kita, ke pasar malam."

"Nyari apa sih ke pasar malam mulu sudah dua minggu ini?"

"Nyari angin! Ya nggak lah. Aku cari kue Missisi. Itu loh, kue yang viral se-Bekasi. Dua minggu ini nggak pernah dapat kan, kita? Aku penasaran sama rasanya. Siapa tahu bisa jadi referensi menu nanti. Untung-untung orangnya mau spill resep juga."

"Mana ada orang mau punya saingan? Kamu nih halu kuadrat tahu, Bang."

"Ya siapa tahu, kan? Pokoknya aku harus coba kue Missisi! Titik!"

"Ibumu nanti merajuk lagi kayak minggu lalu kalau kita nggak nginep, loh?"

"Biarlah. Toh ini buat masa depanku juga, kan?"

"Kamu yakin sama usaha ini, Bang? Maksudku, apa nggak di mindset kerjaan kamu baik-baik saja gitu, supaya kita bisa tetap settle sambil nabung kayak sekarang buat kedepannya?"

"Kamu pikir niat usaha ini bukan demi hidup kita settle? Jelas iya, Te. Aku nggak bisa jamin kedepan bakal seperti apa?"

"Ya sudah, terserah kamulah. Aku mandi dulu kalau gitu."

"Te?"

"Ya?"

"Aku jujur satu hal, ya?"

"Apa?"

"Mas Pur tadi balas lagi, katanya diminta Bu Dedeh naikin biaya sewanya kalau nambah satu tahun lagi misal benar-benar belum mau pindah. Jadi dua puluh juta, tapi harus bayar di muka tambahan lima jutanya akhir bulan ini sebagai tanda jadi."

"Innalillahi? Kok bisa?"

"Bisa, soalnya dia yang punya rumah ini,"

"Aku serius, Bang!"

"Ya aku juga,"

"Trus gimana?"

"Untuk sementara rencananya aku mau pakai uang tabungan kita lima juta. Gimana?"

Aku nggak bisa memaksa untuk menolak, atau Bang Gemas akan lebih pusing mencari nominal lima juta itu. Kutanggapi tawarannya walau dengan setengah hati.

Rencananya uang itu akan kami pakai untuk konsultasi IVF, tapi aku bisa apa? Kehidupan kami sekarang harus lebih diprioritaskan dibanding anak yang belum tahu kapan datangnya.

Tabungan itu baru tersimpan sepuluh juta sekian. Karena single income, maka yang dapat kami lakukan hanya berhemat, dan bijak dengan kehidupan sehari-hari.

"Ya sudah. Pakai saja. Aku mandi dulu, Bang."

"Aku minta maaf ya, Te."

Jika berteriak pada realita, maaf itu nggak pernah berarti apa-apa kecuali bulan depan Bang Gemas bisa menggantinya dua kali lipat.

Ya sudahlah.

***

Sejak tadi apa yang kulihat dari sosok Gutenmorgen, istriku, nggak pernah seburuk ini. Kedatangan kami ke rumah orang tuaku seolah menariknya menjadi pribadi yang lain. Mestinya berkaitan dengan hal-hal yang menjadi konsen kami belakangan.

Apalagi kalau bukan perkara pengin punya anak.

Tetap berdua selama dua tahun bukan keinginanku juga, tapi apa yang bisa kami paksakan jika takdir belum bernyanyi di rumah kami? Apa Ute bisa memaksa laki-laki lain membuahinya kecuali aku?

Iya, kecuali dia mau dosa, dan kuceraikan detik itu juga.

"Ibu nggak aneh-aneh, Neng Ute. Ini supaya lebih bersemangat saja katanya. Biar lebih sehat deh pokoknya. Kamu kan sudah tiga puluh dua tahun, Gemas sudah tiga lima, biar sama-sama fit sampai nanti rejeki anak datang."

"Ute sudah rajin pilates sama makan kurma muda, Bu. Biar jamunya Gemas yang minum saja,"

"Heh! Jangan ngaco kamu! Yang hamil nantinya siapa? Bukan kamu, kan?" aku melirik ke arah Ute ragu-ragu. Apa yang aku sampaikan nggak pernah benar-benar salah kecuali Ute masih bisa tersenyum menanggapi ibu.

Sekarang lihat? Tampangnya muram durjana begitu.

"Ya kan tanpa adanya kambing gembala Gemas, mana bisa Ute hamil? Gemas juga berperan besar, Bu. Sini, biar Gemas minum," tanpa menunggu respon ibu, aku langsung menyambar gelas dengan cairan keruh dari rempah yang masa bodo apa saja campurannya. Begitu cairan itu mengalir ditenggorokanku, hal pertama yang membuatku bersyukur Ute nggak meminumnya adalah rasa pahit yang dibayar kontan.

Sialan! Apaan, nih?

"Ya Allah, pahitnya kayak hidup di negara ini," aku bergidik merinding. Ute memandangiku dalam diam, ibu pun sama.

"Gemas! Aduh! Kok jadi kamu yang minum, sih? Neng Ute, nanti ibu buatkan lagi, ya—"

"Sudah, Bu, minggu ini biar Gemas dulu," aku menampakkan senyum paripurna kedepan ibu. Walau rasa jamu itu luar biasa abstrak, tapi demi Ute aku akan korbankan nyali patunganku ini menenggak campuran rempah yang nggak pernah menjadi teman baik sejak kapanpun.

"Ya sudah, takut kemalaman, kami pamit dulu ya, Bu," aku menginstruksikan Ute untuk segera berdiri. Dia hanya diam sejak tadi. Nggak banyak bicara apalagi menyela.

"Buru-buru banget? Tunggu Baba pulang saja dulu, ya? Gimana? Atau nginap sekalian, deh. Kan sudah lama kalian nggak nginap, Bang?"

"Nggak perlu lah. Besok juga ketemu Baba di kantor polisi. Gemas mau buat surat kehilangan,"

"Apa yang hilang, Bang?"

"Cintaku di masa lalu," aku berkelakar. Mendapati reaksi ibu yang nggak merasakan kelucuan sama sekali.

"ATM Gemas, Bu. Sudah ya, kami balik dulu. Ute sudah masak dari pagi, supaya bisa cepat hamil kata ibu perlu banyak istirahat, kan? Oke kalau gitu kami pulang." Mencium punggung tangan ibu, aku menginstruksikan pada Ute untuk segera beranjak dari duduknya. Ute berpamitan pada ibu sebelum akhirnya mengekorku keluar.

"Kami pamit dulu ya, Bu."

Beginilah keluargaku, terutama ibu.

Hal-hal yang menjadi gambaran kehidupanku dan Ute sebenarnya nggak jauh-jauh dari orang terdekat kami. Dekskripsi yang jelas mereka simpulkan tiap kali aku berjalan menggandeng Ute, alih-alih anak, rasanya sudah seperti kegagalan besar. Nggak terkecuali ibu, tapi sebisa mungkin akan kulakukan yang terbaik demi menjaga perasaan Ute.

***

"... enak banget, Te! Ya Allah nangis banget gue, anjir!"

"Lebay! Bukan karena enak kan, tapi karena mbak-mbaknya tadi seksi, kan? Mana main colek-colek segala lagi, ish!"

"Astaga pikiranmu itu kayak nggak beradab, Te. Seksi iya, tapi colek dikit sih nggak masalah. Bagusnya kan aku dapat spill-an resep,"

"Tapi kamu dicolek lengannya Abang! Mana keringetan begitu kan? Kalau disantet dari air keringat kamu gimana?"

"Ngablu besar kamu, Ute! Ngaco lah. Mana ada? Pokoknya aku senang banget berhasil dapat spill-an resep mereka. Semoga bisa sama rasanya pas buat sendiri."

Mengabaikan Bang Gemas adalah keahlianku yang kesekian. Apalagi sekarang, tingkahnya nggak jauh dari yang namanya berlebihan. Perkara dapat spill-an resep kue Missisi yang penjualnya gatel itu, tingkat kebahagiaannya naik drastis. Apa-apaan Bang Gemas? Dia lupa kalau di rumah ibunya tadi aku baru saja kena manuver mama-minta-cucu yang kian hari makin ngebut. Minggu lalu teh dari daun apalah itu, sekarang jamu racikan khusus.

Kalau belum hamil ya belum hamil. Selain memang belum rejeki, salah siapa kalau kambing gembala Bang Gemas enggan berlarian masuk ke dalam rahimku?

Begitulah orang tuanya sejak dua tahun pernikahan tanpa anak yang kami jalani. Aku bahkan nggak yakin bisa bertahan menghadapi ibu mertuaku setiap hari sebelum akhirnya memaksa Bang Gemas tinggal mandiri di awal pernikahan kami. Jangan tanya soal mental, bisa-bisa aku gila di usia muda.

"Anak hasil satu pasangan saja nggak selalu mirip, apalagi resep yang cuma disebutin tanpa ada takarannya kayak gitu." menyindir sosok suamiku juga keahlian selanjutnya. Sayangnya Bang Gemas bukan orang yang mudah putus asa ketika dihadapkan dengan pilihan hidupnya sendiri. Hobi yang dia geluti, atau aku yang tiap dua hari sekali dia gauli.

Sial, sudah mirip wanita panggilan saja diriku ini!

"Sirik saja, sih? Bilang saja kamu cemburu sama mbak-mbak tadi, Te?" kini giliran Bang Gemas yang menyindir. Apa-apaan? Lebih ganteng Beau Knapp dibandingkan Abang kemana-mana. Ngapain ngiri perkara disukai orang lain?

Orang ini saja nggak bersyukur punya istri masih cemburu. Artinya rasa sayangku jelas seluas samudera, dan seisinya.

"Mana ada? Bodo amat lah, moodku hancur hari ini!" aku beranjak. Sekali lagi mengabaikan Bang Gemas yang menyadari ketidakenakan hatiku hari ini. Sejak pagi apa yang kulakukan untuk memuaskan keluarganya pasca aku 'mengambil anak tunggal mereka' keluar dari rumah, sudah kulakukan. Bukannya menerima lebih banyak kasih sayang, hal yang kudapat justru lebih banyak tuntutan. Aku memang nggak menyalahkan keinginan orang tuanya. Apalagi Bang Gemas sudah kelewat tua untuk punya anak pertama—salahkan kelakuannya sibuk main band sampai lupa menikah—tapi bukannya bisa dibenarkan sikap orang tuanya yang seperti itu. 

Seumur-umur kedua orang tuaku sendiri lebih dari segan memintaku mengunjungi mereka jika Bang Gemas jarang libur, dan khawatir dia kelelahan. Memang bukan waktunya membandingkan orang tua, tapi aku tetap kesal! 

Merebahkan tubuhku diatas ranjang, kupejamkan mata sejenak. Rasanya perih seperti tergores pisau di ulu hati, tapi sulit disudahi karena Bang Gemas akan selalu menjadi bayang-bayang orang tuanya sendiri.

Kenapa dia sangat berkebalikan dengan orang tuanya sendiri, sih?

"Sayang ... kamu marah, Te?" Bang Gemas muncul dari balik pintu. Membawa segelas teh hangat yang entah sejak kapan memberinya ide untuk diberikan padaku.

"Nggak,"

"Marah sama aku, atau sama yang lain?"

"Nggak,"

"Nggak marah, atau nggak salah lagi marahnya? Pilih salah satu dong?"

Aku menyingkirkan tangan Bang Gemas yang bergerak diatas kepalaku. "Lepas. Aku nggak mau dipegang Abang."

"Ute ... aku minta maaf kalau tadi kelewatan, tapi aku benar-benar happy setelah bisa coba kue dari Missisi," Bang Gemas merebah. Memberi pelukan cepat tanpa kusadari. Menekan tubuhnya menempel dengan tubuhku.

"Bagus kalau kamu happy," tapi aku nggak, Abang! Aku meraung kesal dalam hati. Memang sih, aku senang lihat reaksi kelewat sumringah yang Bang Gemas tunjukkan. Namun, apa arti bahagia seorang suami jika istrinya sendiri merana kucai begini?

"Ute,"

"Apa?"

"Kamu bukan marah karena sikap ibu tadi, kan?"

Selain tingkat kesopanan tinggi, Bang Gemas itu lumayan peka orangnya. Menebak apa yang terjadi padaku sering kali sampai jackpot, tapi kadang-kadang eksekusinya nggak jauh dari yang namanya erorr kabeh!

"Sebagian kecil setengah," aku masih membelakanginya. Menyambut pertanyaan itu dengan jawaban setengah malas.

"Aduh, mulai deh nggak jelasnya,"

"Ya Abang pikir saja sendiri. Selalu begitu, kan? Memangnya aku nggak pengin punya anak? Apalagi Abang sudah tua bangka begini."

"Astaga! Itu muncungmu kenapa perih banget sih bahasanya?"

"Ya memang Abang sudah berumur, kan? Jangankan anak kedua, ketiga, anak pertama pun belum," Aku memutar tubuh menatap Abang.

"Ya sudah, abang minta maaf mewakili sikap ibu. Bukannya abang nggak bela, Ute, tapi kan kamu tahu sendiri ibu tuh gimana? Abang juga sudah minum jamunya langsung gantiin kamu, kan? Sudah ya, jangan marah lagi?"

Aku masih menatap Abang. Memang iba sih melihat wajahnya ini. Pipi bersihnya membuatku gemas ingin menyentuh. Bang Gemas orangnya lembut, dan aku selalu bisa luluh sama apapun yang ia katakan biarpun aku sering kali meledeknya tanpa sadar.

"Kita kapan punya anak ya, Bang? Problemnya kesitu mulu akhir-akhir ini ..."

"Ya ... abang mana tahu, Te? Coba tanya rumput yang bergoyang. Kalau goyangnya ke kanan, artinya bulan depan, kalau ke kiri, bulan depan bisa ditanya lagi," Bang Gemas tertawa. Memberiku candaan yang sedikit banyak menenangkan hatiku.

"Kenapa abang susah tembus membuahiku sih? Ayo dong Bang, tembusin!"

"Tembus nggak tembus, masalahnya ada di takdir dan rejeki, sayang. Abang sudah suruh mereka ngejar matahari kamu, tapi pada mager katanya. Santai dulu nggak sih, Bang Gemas,"

Aku lagi-lagi tertawa ketika Abang terus melempar candaan. Sekarang dia meniru suara anak kecil.

"Ya sudah, bulan depan kita ke klinik yang waktu itu bisa, kan?" aku meminta dengan tatapan semangat. Abang sejenak terdiam begitu pertanyaan yang sama ku lontarkan lagi setelah pertama kalinya tadi di jalan. Kulihat dia merebah, mengubah arah pandangan ke langit kamar.

"Uangnya kan abang pisah dulu untuk uang muka perpanjangan kontrakan, Te. Nanti kalau bisa abang ganti habis gajian bulan depan kita datang, ya?"

Aku bukannya lupa, tapi pertanyaan itu terlontar karena kegelisahanku sudah kelewatan. Mengingat kami mesti menambah budget mengontrak, aku jadi kasihan dengan Bang Gemas.

"Ya sudah, nggak apa-apa."

"Oke. Kalau gitu habis ini siap-siap, deh. Abang mau suruh kambing gembala abang kejar matahari kamu malam ini. Gimana?"

"Idih! Tahu-tahu ada maunya!"

"Ya sudah sih, mau cepat tembus nggak? Buruan?!"

"Ya sudah, oke. Aku siap-siap dulu."

Seharusnya aku nggak perlu terlalu memikirkan perkataan ibu, kan?

post-image-66cb39e9439a2.png

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 2; Officially Pindah Rumah! [Sweet as Morning!]
0
0
18+“Apa?” “Ceritanya lagi menyatu dengan alam? Awet amat di dapur, Te?” “Lo pikir saja deh, Mas!” aku menyindirnya kesal. Sudah tahu sejak dua hari ini aku punya profesi baru dengan jam kerja delapan jam di dapur, sekarang dia pakai tanya-tanya segala. “Adudu, manggilnya kayak masa lalu. Mas Gemas, Mas Gemas, sini deh. Mau Ute cium nggak?” Bang Gemas tertawa. Menertawakan sambil memperagakan memori lalu yang selalu ingin kuhempas jauh-jauh. Najis kalau diingat, tapi ketika tahu akhirnya aku mendapatkan dirinya, ada juga sedikit rasa syukur sih. Walaupun lebih banyak malunya!Sweet As Morning
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan