Sayekti bab 1-5 (gratis)

7
2
Deskripsi

Kepulangan Rama dan Lunar ke kampung halaman adalah demi mendapatkan momongan. Akan tetapi, fakta yang mengejutkan justru terkuak dan itu memicu rahasia di masa lampau yang belum usai.

Bab 1. Wangsit Bapak

Enam tahun yang lalu ….

“Apa pun yang terjadi, jika ingin kita semua selamat, pastikan Rama menikahi Sayekti.” Cokro mengepulkan asap cangklong dengan pelan.

“Anak itu mana bisa diatur, Mas?” tukas Padmi. “Mungkin lebih baik baik kita terus terang, biar dia paham.”

Suaminya menoleh dengan tatapan mata tajam. “Jadi aku yang salah, Bune?!”

Padmi menggelengkan kepala dengan raut wajah sedih. “Keputusan sampeyan sejak awal sudah mematikan harapanku, Mas!”

**

Rama kali ini pulang bersama Lunar, istrinya, tanpa memberitahu keluarga. Setelah dua tahun menikah dan belum memiliki keturunan, keduanya memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Rama, di desa Cetho, Semarang. 

Sambutan keluarga itu cukup hangat, terutama buleknya, Trining. Ibu Rama sendiri lebih bersikap datar dan menghindari terlalu lama bicara dengan mereka.

Lunar paham, pernikahannya dengan Rama sempat ditentang oleh ibu mertuanya, Padmi. Wanita tersebut terlihat tidak begitu menyukai Lunar sebagai calon menantu. Namun, Lunar tidak pernah berhenti berusaha untuk menarik simpati, walau ia tahu usahanya sia-sia. 

Entah apa yang mendasari sikap ibu Rama tersebut, tetapi Lunar memilih untuk tidak menyimpan dalam hati dan ambil pusing. 

“Jadi kamu benaran pindah ke sini selamanya tho, Le?” tanya buleknya, Trining, dengan senyum sumringah. 

“Iya, Bulek. Aku ‘kan wes ngasih kabar kalo sekarang dapat tugas di RSUD Pringgeni. Sekalian Lunar juga bisa lebih tenang merampungkan novelnya,” sahut Rama, sambil menyeruput kopi tubruk hasil kebun sendiri. 

Trining tampak bahagia dan senang. 

“Nanti bulek panggilkan mbah Puji, dukun beranak yang bisa benerin kandungannya Lunar,” janji Trining, makin bersemangat. 

“Wah, beneran, Bulek! Mau banget aku,” sambut Lunar, yang muncul dengan dahi berkeringat karena baru selesai membereskan bawaan mereka. 

“Sini … sini, Cah Ayu! Besok mungkin ndak bisa, karena Mbah Puji masih mantu. Yang penting kamu sekarang udah di sini, nanti bulek buatin jamu penyubur kandungan juga,” timpal Trining. 

Lunar mengangguk antusias disertai senyuman. Trining mampu mengobati rasa rindunya pada seorang ibu yang sebetulnya Lunar harapkan dari Padmi. 

Lunar sendiri besar tanpa seorang ibu. Sejak kecil ia tumbuh hanya dengan ayah dan neneknya. Hingga saat ini, Lunar masih berharap mertuanya akan luluh. 

Ayah Rama telah meninggal dunia enam tahun yang lalu, saat anaknya menempuh pendidikan kedokteran dengan mengambil spesialis pulmonogist atau paru-paru. 

Ia bertemu dengan Lunar, ketika keduanya bertemu dalam suatu acara amal di kampus, tempat Rama kuliah. 

Lunar saat itu berprofesi sebagai wartawan lepas, kemudian memutuskan mundur dan memilih menjadi novelis sejak menikah. Karir keduanya menanjak dengan mudah. Karya Lunar bahkan mendapatkan penghargaan sebagai novel terlaris dua tahun belakangan. 

Sayangnya, keberhasilan mereka dalam hidup tidak seiring dengan harapan untuk segera menimang bayi. Kepulangan mereka bermaksud untuk menempuh cara tradisional demi mewujudkan keinginan memiliki keturunan, dengan harapan akan berhasil.

“Enak, ya, di sini tenang dan udaranya dingin,” ucap Lunar, sambil menatap sekeliling teras. 

Kabut tipis mulai turun. Harum bunga kopi tercium dengan aroma menyengat. Lunar merasakan damai. Rumah itu bergaya joglo dengan material bangunan didominasi kayu. Kejayaan Cokro, ayah Rama, jelas terlihat dalam bentuk ukiran kayu tiap sudut dan kualitas tinggi mebel di rumah.

“Ibu mau bicara!” ucap Padmi, tiba-tiba muncul dari dalam.

Trining seketika menunduk. Lunar menatap wanita itu, jelas sekali Trining tampak takut dan sungkan terhadap Padmi, kakak iparnya. Trining sendiri tidak pernah menikah lagi sejak suaminya pergi entah ke mana. 

“Ya, Bu. Monggo. Sekalian kita ngobrol-ngobrol,” sambut Rama, masih bersikap santai sembari mengambil jadah goreng. 

Padmi mendekat, lalu turut duduk bersama mereka. Kursi teras yang berbentuk setengah bulat itu menyanggah dengan sempurna tubuh ibunya yang selalu memakai kebaya dan masih terlihat singset.

“Ibu bukan mau ngobrol iseng yang ndak ada gunanya!” cetus Padmi sedikit sinis. 

Trining melirik diam-diam dan kembali menunduk. Lunar menghela napas dengan halus. Suasana mulai tidak menyenangkan. Rama pun menyadari perubahan tersebut.

“Kamu tahu wangsit dari bapak, tho?” tanya Padmi, tanpa menoleh sedikit pun pada Lunar. 

“Ayolah, Bu. Kita mau bahas tentang hal itu lagi?” balas Rama, menunjukkan wajah malas.

Lunar tahu, yang dimaksud Padmi adalah pesan Cokro mengenai perjodohannya dengan Sayekti, putri dari Ki Sukmo. 

“Jangan lancang kamu, Ram! Ini sama saja kamu ndak menghormati bapakmu!” bentak Padmi mulai naik darah. 

Rama membuang muka dengan hati kecut. Ibunya paling pandai menyudutkan dan Rama bisa menduga intimidasi seperti apa yang Lunar terima selama ini. 

“Aku bukan bermaksud untuk tidak menghormati mendiang bapak, Bu. Tapi Lunar sudah menjadi pilihanku yang terakhir, seharusnya Ibu juga menghargai itu,” tukas pria tersebut dengan wajah muram. 

“Ya! Tadinya ibu pikir pilihanmu bener! Tapi, setelah tahu dia mandul, apa kamu masih ingin bertahan?” cecar ibunya tanpa perasaan. 

Rama merasakan wajahnya memanas, sementara Lunar membeku dengan kepala tertunduk. 

“Ibu!” seru Rama, tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. 

Padmi tidak peduli, ia memalingkan wajah pada Lunar.

“Kamu juga harusnya tahu diri! Kalo memang ndak bisa kasih keturunan, ya, izinkan suamimu menikah lagi!” kecam Padmi tanpa ampun. 

Ia tidak menyahut, Lunar terdiam dan membiarkan matanya merebak. Trining tidak berani bergerak sedikit pun, tapi tatapan matanya menyiratkan dia sangat prihatin terhadap situasi Lunar saat ini.

“Cukup, Bu! Lunar nggak mandul dan nggak akan ada pernikahan lain!” bentak Rama, mulai menunjukkan sikapnya. Padmi berpaling pada putranya kembali. 

“Kamu memang tidak bisa diandalkan, Rama! Anak ndak tahu diri!” pekik ibunya makin menjadi. 

Seketika Rama bangkit dan mengajak Lunar untuk berlalu dari tempat tersebut. Wanita cantik yang terlihat lunglai itu mengikuti tuntunan suaminya dengan langkah tertatih. Begitu tiba di kamar, Lunar rebah dan menangis sejadinya. Rama memeluk Lunar dengan penuh cinta. 

“Nar, jangan diambil hati, ya?” pinta Rama, mencoba menenangkan istrinya. 

Lunar tidak menjawab. Hanya isak tangis yang tertahan oleh bantal saja yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. 

Rama menjadi bimbang. Mulai meragukan pilihannya pindah kembali ke rumah adalah bijak dan tepat. Lunar membutuhkan tempat yang jauh dari himpitan stres dan kampung halamannya adalah lokasi yang tepat. Tapi, kini mereka justru menerima tekanan yang lain. 

“Mas,” panggil Lunar, seraya menyudahi tangisnya. Dia menyingkirkan bantal dari wajah. 

“Ya, Nar?” jawab Rama, mulai lega. 

“Kenapa ibu begitu gigih meminta Mas Rama menikah lagi? Apakah karena wangsit bapak atau ada perjodohan yang memang sudah mereka sepakati?” Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Rama menghela napas berat. 

“Bapak udah menjodohkan aku dengan Sayekti, anaknya Ki Sukmo. Tapi ini kan bukan zaman siti nurbaya, Nar. Masak mau menikah aja harus dijodohkan?” sahut Rama dengan wajah tertekan. 

Lunar menyusut air mata dan berbalik menghadap suami tercinta sepenuhnya. 

“Mas, pergilah dan temui keluarga Sayekti untuk meminta maaf. Anggap kamu mewakili bapak yang belum sempat mengutarakan pembatalan perjodohan kalian. Semoga dengan ini, ibu akan lega,” pinta Lunar dengan amat sangat. 

Rama memandang istrinya yang tampak tersiksa dengan situasi saat ini. Pria itu tidak memiliki pilihan lain.

“Ya, sudahlah. Besok aku sowan ke rumah Ki Sukmo, demi kamu,” janji Rama. 

Lunar mulai tersenyum kembali, menganggu penuh dukungan kepadanya. Di sisi lain, Rama mulai merasakan dilema ini akan terus berlanjut dan dia harus siap menghadapi.

***

Sore itu Lunar tampak sibuk di dapur membantu buleknya menyiapkan makan malam dengan Sri, asisten rumah tangga mereka. 

Rama mengintip ke ruang tengah. Pakleknya, Pram, terlihat duduk tenang melihat televisi. 

Sejak bapaknya meninggal, Pram berubah menjadi hilang akal tanpa diketahui sebabnya. Pria itu adalah adik kandung ayahnya yang paling bungsu dan belum juga menikah. 

“Paklek, nonton apa?” tanya Ram, sembari berjalan mendekat. 

Pram tidak menoleh, tapi mulai bergumam tidak jelas. Rama mengambil remote dan mengecilkan suara televisi. 

“Paklek, suka tayangan berita, ya?” tanya Rama lagi.

Ia mulai mencari acara yang cocok untuk pamannya sambil duduk di sebelah. Gumaman Pram makin keras. Rama pun menoleh dan mencoba mendengarkan baik-baik. 

“Mau ngomong apa, Paklek?” 

Pram tiba-tiba berpaling dan melontarkan kalimat yang membuat bulu kuduk Rama merinding.

“Sayekti nuntut getih! Sayekti nuntut getih!” Pram mengulang kalimat itu terus menerus, sementara matanya melotot.

Tubuh Rama seperti tersiram air dingin!

[-]

Bab 2. Arwah Keluarga Wirabrata

Sepuluh tahun yang lalu ….

“Cara menyelamatkan dia adalah dengan mengorbankan garis keturunanmu yang lain!”

Cokro tertegun, raut wajah itu tampak pucat pasi.

“Apakah nggak ada pilihan lain, Mas?” tawar pria itu, berharap ada harapan yang lebih baik.

Helaan napas berat terlontar. “Menurutmu, jika kita meminta sesuatu yang melawan takdir itu ndak ada harganya?”

Mendengar kalimat terakhir Cokro merasakan panik mulai mendera. “Ak-aku hanya ingin dia hidup, Mas ….”

Lelaki yang lebih tua darinya mengangguk. “Maka bersiaplah akan resiko mendatang, Cokro. Sebab nyawa harus dibayar dengan nyawa berikutnya dan aku akan terikat sebagai penanggung jawab sampai mati!”

**

Tanpa terasa sudah menjelang pagi, tapi Rama belum juga berhasil memejamkan mata. Jarum jam mulai bergerak ke angka tiga. 

Dengan enggan, Rama bangun dan mengusap wajahnya. 

Lunar masih terlelap dengan posisi meringkuk. Udara memang sangat dingin. Desa yang terletak di lereng pegunungan tersebut terkenal dengan cuaca yang dingin sepanjang tahun. Suara tokek yang bergema membuat Rama terlonjak. 

“Astagfirullah,” desisnya merasa konyol. 

Rasa ingin buang air kecil memaksa Rama beranjak keluar. Kamar mandi di rumahnya hanya ada dua. Di ruang tengah dan di belakang. Ayahnya tidak pernah menyukai ide membuat kamar mandi dalam kamar. 

Menurut beliau, hal itu pamali karena kamar mandi identik dengan toilet tempat buang hajat. Setengah menggerutu, Rama menuntaskan dengan tubuh merinding karena kedinginan. 

Setengah terburu-buru, ia keluar dan berjalan melewati ruang tengah. Ruang tamu itu tampak temaram, satu-satunya penerangan adalah dari lampu samping yang menerobos lewat jendela. Entah, apa yang membuatnya tertarik untuk menengok ke arah belakang, Rama pun menajamkan penglihatannya. 

Ada sosok bayangan hitam melintas dengan cepat. 

“Ibu! Bulek!” seru Rama, mencoba memastikan. 

Tidak ada jawaban. Pria itu mulai merasa curiga dan memilih untuk mendekat. Tangannya meraih saklar lampu. Klik. 

Seketika tampak terang benderang. Ruangan saat ini kosong, tidak ada siapa pun di ruang tamu tersebut. 

Rasa mengantuk kembali menyerang Rama. Ia memilih untuk segera ke kamar dan mematikan saklar lampu. Begitu membalikkan badan, tiba-tiba ia mematung sementara matanya melotot tidak percaya.

Dengan jelas Rama melihat wajah ayahnya dalam kegelapan, sosok itu menatap dengan sorot tajam.

“Aaahh!!” Beberapa detik kemudian ia memekik, terhuyung ke belakang. “Tidak!” serunya panik.

Tidak lama, istrinya membuka pintu kamar.

“Mas …!” seru Lunar, sembari menyalakan lampu ruang tengah kembali. 

Rama bersandar di tembok dengan wajah pucat, sementara Lunar tergopoh-gopoh mendekat.

“Ada apa, Mas?” tanya Lunar, terdengar sangat khawatir.

“Eng-enggak apa-apa.” Rama mencoba menghilangkan kesan gugupnya. 

Penampakan tadi sudah lenyap! 

“Dah, kita tidur lagi,” ajaknya buru-buru.

Lunar terlalu mengantuk untuk bertanya. Keduanya masuk kamar tanpa membahas kembali, meski Rama menoleh lagi ke belakang dengan hati menyimpan kengerian tersendiri.

Apakah sosok tadi hanya ilusi semata?

***

Cokro Wirabrata, ayah Rama, adalah seorang pria tegas dan keras. Semasa hidup ia menjabat sebagai camat selama dua periode. Cokro memiliki tiga anak dan Rama adalah anak bungsunya. 

Dua kakak kembar Rama meninggal saat remaja karena sakit. Rama masih terlalu kecil waktu itu. Ia tidak pernah mengetahui dengan pasti penyebab kedua kakaknya meninggal di usia tiga belas tahun. Namun karena hal tersebut, Rama berambisi mengambil jurusan kedokteran. 

Ibunya, Padmi, adalah wanita keturunan ningrat Yogyakarta. Seorang perempuan yang mandiri dan disiplin. 

Semasa Rama tumbuh, ia tidak pernah merasakan hidup seperti remaja lainnya. Selalu ada target dan tuntutan dari kedua orang tuanya. Akan tetapi Rama bersyukur, karena jika tidak, maka hidupnya tidak akan berhasil seperti sekarang. 

Selama ini Trining dan Pram selalu tinggal bersama mereka. Keduanya adalah adik Cokro yang membantu mengelola kebun kopi dan sawah milik keluarga. 

Trining pernah menikah, tapi selang dua bulan kemudian suaminya pergi dan tidak pernah kembali. Pram adalah adik bungsu ayahnya yang dulunya cekatan dan disukai oleh semua orang. Sayang, hingga mencapai usia empat puluh tahun, pamannya tidak pernah menikah. 

“Sebentar lagi panen dan kamu harus melihat serunya motong padi terus makan di sawah sambil lesehan, Nduk,” ucap Trining pada Lunar. 

Wanita itu tertawa dan mengiyakan. 

“Pasti nikmat banget, ya, Bulek?” sambut Lunar, menyukai ide tersebut. 

Trining terkekeh. 

“Tiada duanya,” balas Sri yang menimpali dari belakang. 

Ketiganya menyiapkan makan siang dengan riang dan tanpa beban. Ibu mertuanya sudah sedari pagi pergi dengan Totok, supir mereka. 

“Nar, aku jalan dulu, ya?” pamit Rama, tampak sudah berpakaian rapi. 

Lunar berhenti mengulek dan menoleh. 

“Jadi sowan sekarang?” tanyanya. 

“Oh, nanti sore aku baru ke rumah Ki Sukmo. Sekarang mau ketemu dulu dengan Drajat. Kangen aku sama dia,” jawab Rama. 

Lunar mengangguk dan memberikan senyum termanis. Trining menyenggol lengan Lunar dengan tatapan penuh tanya sekaligus kaget. 

“Aku minta Mas Rama buat nemuin Ki Sukmo, Bulek. Alangkah baiknya dia menghadap dan meminta maaf pada beliau, karena telah mangkir dari perjodohan bapak dulu,” jawab Lunar pelan. 

Trining menajamkan pandangannya. 

“Kamu tahu ndak siapa Ki Sukmo itu?” tanya Trining dengan nada aneh. 

Lunar mengerutkan kening atas sikap Trining yang terkesan ganjil. 

“Dia itu terkenal sebagai dukun sakti, Nduk. Kita harus berhati-hati, jangan sampai menyinggung perasaan dia,” ucap Trining lirih, setengah berbisik. 

Mata Lunar melebar, ia menelan ludah dengan cemas.

“Ta-tapi niat kami kan baik, Bulek. Kalo kita diam aja, apa nggak malah membuat mereka tersinggung?” jawab Lunar, mencoba menjelaskan. 

Trining menoleh kanan dan kiri. Ia beringsut mendekati Lunar yang berada di ujung balai bambu. 

“Ibu mertua kamu sudah menyampaikan permintaan maaf dengan Pram, dua bulan sejak Mas Cokro meninggal. Tahu apa yang terjadi setelah itu? Pram jadi seperti sekarang,” bisik Trining dengan mimik ngeri. 

Bibir wanita itu terlihat kering dan matanya melotot, seperti menahan tekanan yang kurang menyenangkan. Lunar tidak serta merta mempercayai hal yang Trining katakan.

“Bulek, itu semua karena paklek syok kehilangan bapak,” tukas Lunar, menyanggah dugaan dan asumsi Trining. Baginya semua itu terdengar tidak masuk akal. 

“Kamu ndak tau, apa saja yang bisa dilakukan oleh seorang Ki Sukmo, Nduk. Dia itu mengerikan seperti dedemit,” ucap Trining, suaranya bergetar, meski terlontar pelan.

Deru mobil yang memasuki halaman membuat keduanya berhenti diskusi. Padmi sudah pulang dan sebentar lagi suasana akan tidak menyenangkan. Lunar mendesah dengan resah. Kenapa harapannya untuk hidup tenang bersama keluarga Wirabrata berubah menjadi siksaan? 

Mertuanya melongok sebentar ke arah dapur yang didesain setengah terbuka, kemudian pergi tanpa berkata-kata. 

Lunar menghela napas lega. 

Setidaknya dia tidak mendengar kalimat ketus yang menyinggung ataupun sindiran yang membuat telinga panas. Ia terus berdoa agar Padmi berubah dan tidak lagi bersikap dingin kepadanya. 

“Bulek mau nyuapin paklekmu dulu. Kamu bantu Sri masak lauk, ya?” pamit Trining dengan buru-buru. 

Lunar mengiyakan dengan anggukan samar. Begitu Trining pergi, Sri mendekat.

“Mbak Lunar, jangan terlalu diambil hati, ya? Sabar-sabar, ini semua ada hikmahnya nanti,” hibur Sri pada majikannya. 

Wanita itu melempar senyum disertai anggukan kepala. 

“Saya hanya serahkan semua pada Allah saja, Mbak. Ini semua pasti cobaan yang bikin kita tambah kuat dan pinter,” sahut Lunar, tulus dan ringan. 

Sri mengacungkan jempolnya. 

“Leres itu, Mbak,” timpalnya setuju. 

Kedua wanita itu segera menuntaskan memasak dan menyiapkan meja makan untuk bersantap siang. Lunar menghindar dan memilih untuk tidak bergabung dengan mertuanya. Dia segera masuk kamar dan melanjutkan menulis. Lebih baik memperkecil intensitas bertemu dengan Padmi, daripada mereka tidak nyaman satu sama lain. 

Setelah mencoba menenangkan pikiran, Lunar melanjutkan cerita novel dan tenggelam dalam imajinasinya. Tidak terasa sudah dua jam lebih ia menuangkan ide dengan lancar tanpa kendala. Suara motor Rama yang masuk halaman membuyarkan konsentrasi dan menghentikan ketikan jarinya. Ia segera menutup laptop dan membereskan meja kerjanya dengan buru-buru.

Perempuan itu ingin menyambut suaminya dan menawarkan kopi. Tetapi, ketika ia hampir sampai di ruang depan, terdengar isak tangis ibu Rama yang setengah meratap. 

Lunar seketika berhenti dan mendengar dengan jelas ucapan mertuanya. 

“Mala dan Maya sudah ndak ada, Rama. Tinggal kamu harapan ibu. Sekarang kamu mau menghancurkan semuanya tanpa mau mendengarkan penjelasan apa pun, ibu harus ngeluh sama siapa?” 

“Ibu, mbak Maya sama mbak Mala sudah tenang di alamnya. Jangan menghubungkan dengan masalah ini. Kenapa sih Ibu begitu memaksa buat Rama menikahi Sayekti? Ini tidak masuk akal, Bu.” Rama terdengar bersikukuh, menolak tegas permintaan Padmi yang begitu gigih mendesaknya untuk menikah lagi.

“Kamu seperti ndak tahu asal dari perjodohan ini, Ram.” Padmi mengurangi sedu sedannya.

Anaknya terlihat menghela napas dan menunduk. “Rama akan mengunjungi mereka dan menyampaikan permintaan maaf, Bu.” 

“Kamu pikir ibu tidak pernah melakukan itu?” 

Dengan raut muka tertegun, Rama menatap Padmi. “Maksud, Ibu?”

“Lihat paklekmu Pram, jadi gila! Itu akibat ibu mendatangi mereka! Kenapa kamu ndak juga ngerti?!” 

Lunar merasakan tubuhnya merinding dan kedua lutut gemetar. 

Trining mengatakan hal yang sama!

Dengan langkah tertatih, Lunar menjauh dan masuk kamar diam-diam. Air matanya yang tadi tertahan, kini berlinang. 

Sekuat tenaga, wanita itu melangkah menuju meja rias dan meraih tisu. Perlahan ia duduk dan menatap kaca. 

Sampai kapan ia mengalami ini? 

Padmi tidak akan berhenti memaksakan kehendaknya pada Rama. Berusaha mencari simpati sepertinya sebuah usaha yang benar-benar percuma. 

Lunar pun tergugu, membiarkan rasa kecewa itu menyelimuti jiwanya. Perlahan ia menegakkan tubuh, setelah puas meluapkan semua rasa sesak yang menggumpal. 

Wanita itu terhenyak, dengan pandangan lurus ke depan. Pantulan wajahnya tampak sembab dan pucat, tidak seperti tadi.

Lambat laun ia melihat bayangan itu berubah, tapi belum sadar sepenuhnya. Sejenak Lunar tidak yakin, hingga ia mengucak mata untuk menajamkan penglihatannya. 

Kini bukan hanya satu, melainkan dua dan itu bukan wajahnya!

Mulut Lunar terbuka, ingin menjerit tapi tidak ada suara yang keluar. Matanya terus melekat ke pantulan cermin, walau otak Lunar memerintahkan untuk berpaling!

Ia kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri ....

Angin semilir dari jendela berubah menjadi semakin dingin. Kabut tipis memenuhi kamarnya. 

“Pergi … pergi ….” 

Gaung dua sosok tersebut terdengar jelas, sementara menatap Lunar dengan empat rongga kosong tanpa bola mata! 

Lunar tidak sempat berteriak, tubuh itu lunglai dan pandangannya gelap ....

[-]

Bab 3. Penghuni Rumah Bukit

Pria berambut putih dengan kumis tebal senada itu bernama Ki Sukmo. Pakaiannya masih bergaya kuno dengan celana panjang gombrong hitam bertali di pinggang. Setiap pagi ia selalu berdiri dengan gaya ganjil di depan rumahnya yang paling tinggi, di puncak bukit. 

Dia memandang secara menyeluruh, menyapu semua wilayah, sejauh mata bisa menjangkau. Wajahnya selalu serius dan mulutnya komat kamit melontarkan kalimat tanpa suara. 

Semua warga sekitar hingga ke beberapa desa yang lain, memiliki anggapan berbeda tentang siapa Ki Sukmo. 

Ada yang menyebut pria itu sebagai dukun, paranormal ataupun tukang santet. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti, siapa Ki Sukmo sebenarnya. 

Kehidupannya sangat tertutup dan hampir tidak terjamah oleh siapa pun. Berbagai kematian selalu dikaitkan dengan kiprahnya yang penuh misteri. 

Ki Sukmo tidak pernah muncul untuk mengklarifikasi hal tersebut. Lelaki tua itu seakan tidak pernah peduli terhadap desas desus miring tentang dirinya. 

Dulu, hanya dua orang yang dekat dengan Ki Sukmo. Cokro Wirabrata dan seorang peracik tembakau sekaligus guru ngaji yang paling terkenal, mbah Darmo. 

Sejak Cokro meninggal, mbah Darmo juga tidak pernah terlihat mengunjungi rumah Ki Sukmo lagi. Mereka seperti terputus hubungan begitu saja. 

Walaupun misterius, semua orang tahu bahwa Ki Sukmo memiliki putri tunggal yang teramat cantik, Sayekti namanya. Istri Ki Sukmo sendiri tidak banyak yang tahu mengenai keberadaannya. 

Mereka tidak pernah bergaul, jarang ada warga tahu pasti akan kisah keluarga tersebut. Istri Ki Sukmo terakhir terlihat sekitar lima belas tahun yang lalu. 

Ada yang menduga istrinya kabur, namun tidak sedikit yang menyimpulkan mati karena dibunuh suaminya sendiri. Polisi tidak pernah ikut campur dan menyelidiki, karena bukti yang tidak kuat. 

Entah siapa yang memberitahu tentang berita yang mencuat heboh Sabtu pagi itu, tapi para warga sibuk membicarakan tentang kematian mendadak warga RT sepuluh tadi malam dan Ki Sukmo kembali menjadi tertuduh. 

"Mas Paidi itu terbelit hutang! Pasti dia bunuh diri karena stres, bukan dibunuh karena ndak bisa cari tumbal!" tangkis seorang bapak penjual penjual kelapa. 

"Weleh! Pakne ini kok kayak ndak tahu siapa mas Paidi aja. Dia itu dua bulan terakhir sering dateng ke rumah yang di bukit kui lho!" bantah ibu-ibu, yang sibuk mengunyah sirihnya dengan mulut nyinyir. 

Suasana pasar pagi itu dipenuhi dengung diskusi yang berbau gosip. Lunar mendengarkan dengan seksama, sementara memilih sayuran. 

Kejadian yang menimpanya kemarin sore, dalam penampakan di kaca saja membuat Lunar tidak betah. Apalagi dengan berita yang sangat mengganggu mentalnya tersebut? 

"Siapa pun juga paham, kalo yang datang ke rumah di bukit itu pasti ada kaitannya dengan pesugihan atau minta bantuan santet," imbuh pria yang berjualan beras dengan nada yakin.

“Kalian ini kok sembarang aja nuduh orang tanpa bukti. Kalo ketahuan dan dia lapor polisi, bisa di jerat pencemaran nama baik lho!” seru penjual kelapa masih mencoba mengingatkan warga semuanya. 

Lunar mempercepat langkahnya agar menjauh dari mereka, diikuti Sri. 

“Kita pulang, Mbak Sri. Semua sudah lengkap, kan?” tanya Lunar. 

“Sampun, Mbak,” jawab Sri. 

Asistennya tahu alasan utama Lunar tidak mau terlalu lama berada di pasar. Semua pembicaraan warga pagi ini membuat majikannya tidak nyaman. Begitu tiba di rumah dan memarkirkan sepeda motor, Trining menyambut keduanya dan membantu membawa barang belanjaan. 

“Nar, bulek pergi dulu sebentar, ya? Mau setor uang jualan kopi ke bank. Sejam lagi balik,” pamit Trining sambil membetulkan kerudungnya yang hanya tersampir begitu saja di kepala. 

“Siapa yang antar, Bulek?” tanya Lunar.

“Totok yang ngantar,” jawab Trining dari depan. 

Lunar segera bergegas ke dapur dan bertemu dengan Rama yang sedang menyeduh kopi sendiri.

“Mas, aku buatin sini,” tawar Lunar buru-buru.

Rama tersenyum dan mengibaskan tangan di udara.

“Nggak usah. Aku bisa sendiri kok, gampang ini. Kamu udah pulang dari pasar?” sahut suaminya dengan suara lembut. 

Wajahnya masih terlihat khawatir atas kejadian kemarin. Istrinya ia temukan pingsan di kamar dan saat tersadar, Lunar tampak bingung serta ketakutan. Wanita itu memberikan alasan yang menurut Rama cukup tidak masuk akal. 

“Temani aku ngobrol di depan, yuk! Mumpung masih bisa, ntar kalo aku mulai ngantor ‘kan repot,” ajak Rama kemudian. 

Lunar tersenyum dan mengangguk. Kedua pasangan yang masih menjaga kemesraan itu melenggang menuju teras depan. Lunar melihat Pram yang sedang duduk di tangga teras dengan sikap seperti biasa. 

Diam dan bergeming. 

“Paklek, duduknya pindah nggih? Di sini panas,” ajak Lunar. 

Pram menurut saat Lunar menuntunnya untuk bangkit berdiri, lalu duduk bersama mereka. Rama tersenyum dan mengajak pamannya berbicara, seakan-akan dalam kondisi normal. Pram hanya menatap ke depan dengan tatapan kosong serta hampa. 

“Aku akan bawa paklek ketemu dengan dokter lagi. Kebetulan temanku ada yang bertugas di RSJ Magelang,” ucap Rama pada Lunar.

Istrinya mengangguk dan meraih tisu meja untuk membersihkan air liur Pram yang mulai menetes. 

“Minta izin dulu sama ibu. Siapa tahu ada dokter yang sudah menangani sebelumnya,” saran Lunar.

Belum sempat Rama menjawab, Pram bergumam kembali. Keduanya bungkam. 

“Nagih sukmo, nagih sukmo …,” desisnya dengan mata melotot dan pandangan lurus ke depan. 

Spontan Lunar menarik tubuhnya ke belakang dengan ekspresi kaget, tisu yang di tangan pun terjatuh. Wajah wanita itu terlihat pucat. Rama menelan ludah dan mengusap punggung Pram untuk menenangkan. 

“Pram, masuk kamar!” seru ibunya yang muncul tiba-tiba dan berdiri di pintu masuk. 

Ajaibnya, Pram berhenti mengoceh dan dengan patuh meninggalkan teras, masuk ke dalam rumah. 

Lunar melirik suaminya disertai wajah gelisah. Padmi berbalik cepat, melangkah dengan ayunan kaki tanpa suara.

“A-aku takut, Mas,” bisik Lunar, meremas ujung kaosnya dengan gemetar. 

“Sudah nggak apa-apa. Paklek cuman ngelantur aja,” hibur Rama, tapi dia seperti tidak yakin akan ucapannya sendiri. 

“Kemarin itu aku lihat sesuatu di cermin, tapi nggak berani ngomong sama kamu,” akunya Lunar dengan suara gemetar. 

“Lihat apa? Kamu bilang kaget lihat tokek?” tanya Rama, makin kebingungan. 

Dengan terbata-bata, Lunar menceritakan kejadian kemarin sore yang sesungguhnya. Air mata itu bergulir tanpa bisa ia kendalikan. Bibirnya bergetar hebat saat melontarkan kata demi kata. 

“Apakah mereka berambut sebahu?” tanya Rama lirih. 

Lunar kaget, mengangguk lemah. 

“Mbak Maya sama mbak Mala …,” desis Rama, dengan wajah kecut. 

Selama beberapa detik hati Lunar seperti berdenyut nyeri.

“Ka-kakak kembarmu?” tanyanya terbata-bata.

Suaminya mengiyakan dengan pandangan sendu. Beberapa hari lalu dia yang melihat sosok mendiang bapak di ruang tengah, kini giliran Lunar yang bertemu dengan kedua arwah kakaknya. 

Apa yang terjadi sebenarnya? 

Kenapa mereka menjadi semakin mengalami teror penampakan yang sangat intens? 

Apakah arwah keluarganya tidak tenang? 

Ketika suasana hening sejenak, aroma tembakau terbakar mulai merebak. Udara berhembus pelan dan bau itu semakin gencar menguar. Tidak ada satu pun yang merokok di keluarga tersebut, kecuali bapaknya dulu. 

Masih kebingungan akan keanehan pagi itu, mendadak udara terasa dingin menggigit. Lunar seketika merasa tidak nyaman. Ia memegang lengan suaminya, menelan ludah cemas dan gugup. 

Rama tidak harus mengatakan apa, dia sendiri diliputi keheranan yang belum terpecahkan.

Mendadak jendela dan pintu terbuka dan tertutup sendiri dengan pelan. 

Brak!

Lunar menoleh ke kanan dan kiri dengan mulut terbuka. Cengkeraman tangannya kian kuat, memegang lengan Rama.

Semakin lama gerakan jendela dan pintu semakin gencar!

Brak!

Klek!

Brak!

Lunar menggigil, nyaris melompat dari kursinya. Rama melantunkan ayat-ayat suci dan Lunar mengikuti dengan tangis tertahan. 

Di tengah situasi tegang, tiba-tiba Padmi muncul dan menghentakkan kakinya ke lantai tiga kali.

“Lerem!!” bentaknya dengan keras. 

Seketika semua berhenti! 

Padmi melirik pada anak dan menantunya. Kali ini bukan dengan tatapan marah ataupun sinis. 

“Ibu menghadapi ini selama bertahun-tahun, dan kalian dengan egoisnya tidak ingin mengikuti saranku! Arwah bapak dan kedua kakakmu tidak tenang. Sekarang Pram juga jadi sasaran. Tega sekali kamu, Rama,” ucap Padmi dengan raut wajah yang menyimpan luka juga kesedihan mendalam.

Anaknya tergagap, tidak mampu mengatakan kalimat balasan. 

“Kapan kamu sadar akan tanggung jawab ini, Rama?” Padmi menggelengkan kepala dengan tatapan kecewa, kemudian membalikkan tubuh dan menjauh pergi.

Perlahan Rama menunduk, memandang lantai tanpa mengangkat wajah. Tangan itu terkepal di pangkuan, tubuh Rama tampak gemetar seakan menahan sesuatu.

Lunar mematung, belum memahami sepenuhnya. Semua yang terjadi, kini kian meninggalkan teka teki penuh misteri.

Beberapa kali ia mencoba mengumpulkan seluruh rangkuman cerita serta peristiwa yang telah mereka alami, Lunar tetap tidak menemukan ujung pangkal dari kemelut saat ini.

Wangsit bapak Rama, Ki Sukmo dan Sayekti. 

Ada kaitan apa di balik ini semua? 

Kenapa Padmi menyatakan Rama yang bersalah?

**

Sementara itu, di suatu tempat, seorang lelaki sedang duduk bersila dalam sebuah ruangan gelap dengan peluh bercucuran, walau udara dingin di sekitarnya terasa menggigit. 

Kedua tangan tertangkup di dada, sementara mata itu terpejam rapat. Mulutnya komat kamit, mengucapkan kalimat sansekerta yang sulit dipahami. 

Dari langit-langit, muncul sosok hitam pekat dan merangkak turun dengan gerakan perlahan. Kepalanya menghadap ke bawah dan kaki merangkak di atas. Rambutnya terjuntai ke bawah dengan bentuk wajah terbalik yang menampilkan gurat hitam mengerikan. 

Tidak jelas makhluk apa, tapi desisan kemarahan terlontar dari dirinya. Berkali-kali sosok itu berusaha menyerang, tapi pria tersebut seperti tak tersentuh. 

Dengan gerakan tangan yang halus, lelaki itu mengacungkan tangan ke depan sekuat tenaganya. 

Brak!!

Makhluk itu pun terpental menghantam plafon.

“Titeni kowe Darmooooo!!” raungnya dengan suara penuh amarah, kemudian menghilang bagai asap. 

[-]

Bab 4. Sayekti

Iring-iringan sekelompak anak sekolah berseragam pramuka tampak menyusuri jalan raya yang tidak begitu ramai. Mereka baru saja pulang sekolah dan berjalan melewati pasar sambil bercerita riang. 

Tidak berapa lama, mereka tiba di depan sebuah situs bekas peninggalan bersejarah dari zaman purba. Peninggalan itu berupa sarkogafus atau meja batu yang tepat berada di depan sekolah dasar, bersebelahan dengan kelurahan Cetho. 

Dua pohon beringin besar menaungi meja batu tersebut, sementara tembok yang tidak begitu tinggi mengelilingi lokasi situs. Ada beberapa bekas sajen yang masih tampak baru di atas meja batu tersebut. Tawa para remaja yang tadinya terbahak riang, berubah menjadi siulan genit, saat seorang gadis cantik keluar dari areal meja batu.

Wajahnya begitu menawan dengan lesung pipit di pipi. Kulitnya putih mulus dan mengkilat seperti pualam. Kaos warna biru muda dan rok selutut berwarna hitam yang ia kenakan tampak sederhana. Kecantikannya jelas terpancar, menunjukkan kesan anggun dari seorang gadis desa yang begitu ranum dan mempesona.

Sayekti, nama wanita yang berusia dua puluh lima tahun itu. Rambutnya yang tebal bergelombang, terkepang dengan rapi ke samping. Semua pemuda bahkan duda mengejar serta berharap bisa mempersunting Sayekti. Akan tetapi, bagi mereka yang mengenal siapa ayah dari Sayekti, lebih baik tidak mencoba sedikit pun.

Putri dari Ki Sukmo ini menjadi kembang desa dan idaman setiap pria tanpa bisa tersentuh. Pembawaannya sangat sopan dan jarang bicara. 

Setiap pagi, Sayekti membawa sajen ke lokasi meja batu di depan kelurahan. Tidak pernah luput, selalu ia lakukan dari hari ke hari.

Terkadang sendiri, tidak jarang juga berdua dengan ayahnya. Ada yang mengira keyakinan mereka adalah Hindu. Tapi hingga detik ini, tidak ada yang mengetahui dengan pasti, alasan bapak dan anak itu memberikan sesajen di meja batu tersebut. 

Matahari siang yang semula terik berubah menjadi mendung dalam sekejap. Orang-orang yang tadinya berada di lapangan bola dekat pasar, mulai berlarian mencari tempat meneduh. Langit gelap menyelimuti dengan cepat dan gerimis pun turun deras. 

Sayekti menghentikan kayuhannya, setengah tergesa menghindar sambil menuntun sepeda. Ia berteduh di teras warung pecel bersama dengan beberapa orang lainnya. Titik-titik air membasahi wajah Sayekti, ia mengusap dengan ujung lengan kaos seadanya sembari berjalan ke meja jualan.

“Budhe, mie pecelnya masih ada?” tanya Sayekti dengan suara lembut. 

Para pria berbisik sambil melirik dengan tatapan kagum. 

“Masih ada, Nduk. Mau pesan berapa?” tanya penjual pecel dengan ramah.

“Lima bungkus. Pedas semua, ya, Budhe,” sahut Sayekti. 

Usai memesan, ia duduk dengan tenang. Tubuhnya tegak dan mata yang dinaungi bulu mata lentik itu menatap lurus ke depan, seperti menikmati derai hujan yang tak kunjung reda. 

Tumitnya yang tampak berwarna merah muda, terlihat begitu menggoda. Tungkai kakinya yang mulus dan indah itu terjuntai, saat Sayekti duduk di bangku depan warung. 

Salah satu pria yang berasal dari desa sebelah mulai memberanikan diri untuk mendekatinya. Penjual pecel seketika langsung tampak resah. 

“Boleh kenalan nggak?” tanya pemuda itu dengan sopan.

Sayekti tidak menoleh, ia hanya mengukir senyum samar dengan kepala tertunduk. 

“Boleh. Aku Sayekti,” sahutnya pelan. 

Pemuda itu tampak gembira. Niatnya bersambut manis. 

“Aku Narko,” ucap pemuda tersebut, seraya mengacungkan tangan. 

Sayekti memalingkan kepalanya dengan gerakan pelan, tidak menanggapi uluran tangan Narko.

“Bukan muhrim. Kita kenalan lewat lisan saja, ya, Mas?” tolak Sayekti dengan santun, tapi senyum itu menyiratkan aura eksotis yang menggoda. 

Narko makin terpesona dan penasaran.

“Nduk, pecelnya sudah jadi!” seru ibu penjual dengan suara keras, berusaha mengalahkan deru hujan. 

Sayekti bangkit dan mengulurkan uang untuk membayar. Sambil menenteng plastik, gadis itu kemudian menggantungkan di stang sepeda tuanya dan bersiap pergi. 

“Masih hujan, kok mau jalan?” tahan Narko dengan wajah khawatir. 

Sayekti menoleh padanya serta tersenyum. 

“Sudah berhenti,” sahutnya. 

Aneh!

Seketika hujan reda dan matahari bersinar samar. Penjual pecel menelan ludah dengan gugup dan memberi isyarat pada pemuda yang lain untuk menahan Narko. Pria yang mengenakan baju bola berwarna hijau menarik kepala Narko dan membisiki sesuatu. 

Sia-sia saja, sebab pemuda tersebut mengabaikan dan tetap bergegas menyusul Sayekti. 

“Boleh nganter?” pinta Narko. 

Sayekti mengangguk malu-malu. Tanpa berpikir panjang, Narko menyambar tas ransel dan mengikuti langkah gadis muda itu.

“Kenapa kalian tidak tahan dia?!” seru ibu penjual dengan suara tertahan. 

“Udah, Budhe. Tapi dia kayak nggak denger begitu!” tangkis temannya dengan heran. 

“Memangnya kenapa, Budhe? Dia sudah menikah?” tanya pemuda yang satu lagi. 

“Kalian tahu dia anak siapa?” tanya penjual pecel dengan kesal.

“Mboten. Bapaknya galak nggih, Budhe?” 

“Bukan cuman galak! Dia itu anak Ki Sukmo! Dukun yang suka meresahkan desa sini!” sahut ibu penjual dengan wajah garang. Semua wajah para pemuda seketika memucat!

***

Narko mengikuti langkah Sayekti dan mengajak ngobrol yang hanya ditanggapi sesekali. Wanita itu benar-benar membuatnya terpesona. Jalanan menanjak dan mereka tiba di depan pagar sebelum memasuki rumah Sayekti. 

“Wah, udah sampe kita,” ucap Narko sedikit kecewa. Sayekti tertawa kecil. 

“Memangnya obrolan tadi ndak cukup?” tanya Sayekti, dengan senyum terus menghiasi wajahnya.

“Nggak cukuplah. Lebih asyik kalo ngobrol lama-lama,” sahut Narko penuh harap.

“Mau ke rumah? Mampir sekalian,” tawar Sayekti dengan halus. 

“Emangnya boleh?” Narko terlihat begitu gembira mendengar penawaran tersebut.

Hatinya berbunga-bunga karena ia mendapat sambutan yang ia harapkan. Sayekti belum sempat menjawab, ketika seorang pria tua muncul dan membuka pagar dari bambu tersebut. Narko mendadak sungkan dan menciut nyalinya.

“Sayekti, masuk!” pinta pria yang ternyata Ki Sukmo. 

“Tapi, Pak …,” jawab Sayekti, tampak keberatan. 

“Masuk! Jangan keterlaluan kamu!” bentaknya keras. 

Sayekti membalas pandangan ayahnya dengan berani. 

“Berani melawan, kamu tahu tindakanku!” ancam Ki Sukmo pada putrinya sendiri. 

Sayekti mendengus kasar. Gadis itu berbalik dan membisikkan sesuatu pada Narko yang membuat pemuda tersebut membeku. Sayekti segera berlalu sambil menuntun sepedanya dengan sikap angkuh.

Pria itu menatap menatap Narko dengan tatapan menusuk.

“Pulang, jangan menoleh sebelum tiga belas langkah atau kau celaka!” usir Ki Sukmo dengan wajah bengis. 

Narko melangkah mundur dan mengiyakan dengan gugup. Pemuda itu setengah tergesa menjauh. Karena panik dan bercampur takut, Narko salah menghitung langkah dan mulai bingung. 

Sayup-sayup, ia mendengar suara yang memanggil. 

“Narkoooo ....”

Setengah mati ia tergoda untuk menengok ke belakang, tapi nurani Narko berteriak keras, melarang kepalanya berbalik. Narko pun mengalami gejolak batin yang begitu kuat. 

***

Ketukan di pintu yang begitu kuat membuat Rama dan Lunar terbangun. 

“Astaga, ada apa sih? Ini baru jam empat pagi?” keluh Rama, sambil bangun dan menyeret kakinya menuju pintu kamar. 

Azan subuh terdengar sayup-sayup, Lunar turut terjaga dan memutuskan untuk sholat subuh sekalian. 

“Bulek?” seru Rama kaget, melihat Trining berdiri dengan wajah pucat. 

“Pak RT minta tolong, ada yang meninggal di sendang!” pekik Trining panik. 

Rama tergagap dan langsung mengiyakan. Dia tidak sempat mencuci muka, buru-buru menyambar tas prakteknya. 

Lunar tercenggang beberapa saat. Pikirannya masih terpaku dengan kata ‘meninggal’. Rama pergi dengan Pak RT dan tampak tergesa. 

Keduanya mengendarai sepeda motor untuk mencapai lokasi penemuan jenazah. Untuk mencapai sendang atau mata air yang tidak jauh dari rumah Rama, mereka harus menempuh setengah jam perjalanan.

Saat tiba, Rama melihat beberapa warga yang berkerumun. 

Sendang itu umum dipergunakan para warga untuk mencuci baju dan mandi. Sepertinya jenazah itu membuat gempar, sebab sendang tersebut salah satu tempat paling ramai saat akhir pekan. Warga biasanya mencuci sprei dan perkakas rumah sambil mengobrol, menjadi tradisi dari tahun ke tahun.

Rama menyeruak keramaian dan melihat tubuh seorang pemuda terbujur kaku di tepi sendang, di atas lantai permanen dari semen bercampur kerikil. 

Wajah tersebut tampak membiru dan jenazah itu kondisinya basah kuyup. Rama memeriksa semua alat vital pemuda itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Ia bahkan sempat memompa dada untuk memastikan jantungnya berdetak kembali, tapi sia-sia. 

“Kalian menemukan dia tenggelam?” tanya Rama.

“Mboten ngertos (tidak tahu), Dok. Tadi ditemuin sudah dalam kondisi seperti sekarang. Belum ada yang berani menyentuh,” sahut salah satu warga.

Rama benar-benar heran, karena seluruh tubuh jenazah basah. Ia kembali mengamati dengan seksama. Kedua jari tangan itu menekuk ke dalam, sementara telapak kaki lurus dan kaku. Analisa Rama, sepertinya sebelum meninggal almarhum sempat mengalami kejang-kejang. 

Ia meraih senter kecil dalam tasnya, lalu meneliti pupil mata yang melotot. Dengan seksama, Rama juga memeriksa kuku dan saat beralih pada tangan sebelah kiri, ia terkesiap. Rama menemukan segenggam rambut panjang tersangkut di antara jari dalam jumlah yang cukup banyak. 

“Kita harus bawa dia ke rumah sakit, jenazah tidak bisa diselamatkan lagi.” Dokter itu menelan ludah dengan wajah penuh beban. “Waktu kematian belum diketahui,” sambung Rama dengan lesu.

Para warga segera bergotong royong, memapah tubuh kaku korban dan menaikkan ke atas pickup

“Siapa anak itu, Pak?” tanya Rama, dengan wajah prihatin.

Sulis, ketua RT yang datang bersamanya, menghela napas dengan berat.

“Anak desa Wawar Lor. Dia salah satu bintang sepak bola kecamatan kita. Sunarko, namanya, masih kuliah dan pemuda yang baik,” sahut Sulis sendu. 

“Innailillahi …,” desis Rama, menyayangkan kematian pemuda malang itu. 

“Dok, terakhir sebelum Narko kita temukan, ada yang mengatakan kalo dia mengantar Sayekti,” bisik Sulis lirih. 

Kedua kening Rama naik bersamaan, menatap Sulis dengan wajah membeku.

“Sudah ada yang memperingatkan, tapi anak itu nggak mau dengar,” sambungnya dengan nada menyesal. “Sayekti bukan gadis yang sama seperti dulu, Dok.”

Entah kenapa, Rama tidak ingin memberikan opininya saat ini. Cara Sulis bicara, seakan-akan dirinya mengenal baik Sayekti padahal seingat Rama tidak.

“Ki Sukmo makin merajalela,” sambung Sulis, tampak geram.

Ia menangkap ada rasa gentar, di balik sikap emosi yang Sulis tunjukkan. Rama sendiri tidak mengerti, kenapa semua warga terkesan diam. Tidak ada yang berusaha melawan teror, yang dilakukan oleh pria bernama Ki Sukmo tersebut!

[-]

Bab 5. Kesengsem Semar Mendem

Kasus kematian Narko menyebabkan dua desa berada dalam situasi yang memanas. Tudingan karena dendam desa Cetho pernah kalah dalam pertandingan sepak bola, menjadi isu yang gencar dihembuskan. Sulis selalu mengupayakan beberapa kali mengadakan perundingan dan pendekatan, dengan ditemani Woro, lurah desa tersebut. 

Sayang, hingga hari ini perdebatan masih berlangsung.

“Narko terakhir dilihat berada di lapangan ini dengan pemain kalian. Jangan mungkir!” serang salah satu paman Narko, yang terlihat menyimpan kemarahan berbalut kebencian.

“Betul .... Tapi budhe Marti mengatakan, kalo dia pergi dan itu jelas bukan dengan pemain kami! Kalian tahu siapa yang kami maksud!” bantah Sulis. 

Penjual pecel yang menjadi saksi tampak memucat. Perdebatan itu diisi dengan tangis dan air mata, keluarga Narko tampak begitu histeris sebab pembunuh anaknya masih menjadi misteri.

Kesepakatan dan perdamaian pun akhirnya terjadi, setelah mediasi yang melibatkan kepolisian. Detektif yang sudah melakukan otopsi dan penyelidikan itu menyatakan, tidak ada andil pemain sepak bola dusun Cetho dalam kematian Narko. 

Kemarahan dusun Wawar Lor pun mereda. 

Woro, sebagai lurah, mengusulkan mengadakan selamatan untuk tolak bala dengan menanggap wayang. Kematian tidak lagi diusut, karena terbentur oleh beberapa saksi yang mundur. Saat mengetahui siapa yang terakhir kali bersama dengan mendiang Narko, satu persatu memilih untuk tidak dilibatkan.

**

Siang itu, Lunar baru menyelesaikan bab yang seratus dalam novelnya. Sulit dipercaya dia bisa menulis dalam kondisi tertekan saat ini. 

Kisah horor tentang legenda di suatu desa itu bukan hal yang mudah untuk dia rampungkan. Suatu keuntungan bagi Lunar, karena mengalami beberapa peristiwa sendiri dan itu menambah kengerian dalam novelnya meningkat. 

“Aku harus menghadiri undangan dari pak lurah jam delapan nanti,” keluh Rama, sambil membawa baju batiknya yang baru selesai disetrika. 

“Perhelatan desa maksudnya, Mas?” tanya Lunar. 

“Iya. Ada acara wayang dan itu pasti bikin aku ngantuk,” sahutnya. 

Lunar menutup laptop dan berputar menghadap Rama. Suaminya terlihat benar-benar malas dan tidak bersemangat.

“Pergi ajalah. Sekarang Mas Rama ‘kan wakil bapak. Baik juga menjalin hubungan dengan warga desa,” saran Lunar pada suaminya. 

“Tetap aja, Nar, acara wayangnya nggak nahan,” balas Rama, sambil duduk di tepi pembaringan. 

“Bentar aja, yang penting nongol. Habis itu pamit pulang,” saran istrinya. 

“Iya, Istriku Sayang,” goda Rama, melirik Lunar dengan pandangan nakal. 

Keduanya bercanda dengan saling melemparkan seloroh ringan, sambil tertawa geli.

“Udah jam delapan tuh! Bentar lagi kamu dijemput sama pak Sulis,” ingat Lunar.

Rama pun mengiyakan dengan enggan. 

***

Suasana balai desa sangat ramai oleh penonton yang berjubel. Nyaris seluruh warga datang, untuk menyaksikan pertunjukan wayang dengan dalang terkenal malam itu. 

Rama menjadi salah satu tamu kehormatan dan duduk di jajaran kursi depan. Sebelum dalang memulai, mereka menampilkan tarian yang dipersembahkan sebagai pembuka acara. Lampu diredupkan dan lagu gending jawa mulai dimainkan dengan nada mendayu. 

Seiring gending Jawa mengalun, muncul tiga penari yang keluar dengan luwesnya, meliuk sesuai dengan iringan gamelan. Suara sinden dengan cengkok khas benar-benar memukau pengunjung. 

Wajah Rama tampak terkesima, saat menyadari jika salah satu penari tersebut adalah Sayekti!

Malam itu Sayekti bergerak gemulai dan penuh magis, seperti sedang merayakan sebuah kemenangan yang baru ia capai. Penampilannya sangat memukau, dengan bentuk tubuh seksi dan menggoda, sanggup memabukkan para pria yang memandang. 

Rama seperti tersihir selama beberapa detik, bahkan matanya tak berkedip.

Apa yang telah ia alami saat ini, ternyata juga terjadi pada semua lelaki, yang tidak segan-segan melemparkan saweran ke atas panggung. 

Meski awalnya Rama terpesona, masih ada sisi lain dari dirinya yang tidak nyaman. Ia merasa mulai tidak enak dan anehnya lagi, hati Rama terus berteriak untuk segera meninggalkan tempat tersebut. 

Sayekti melemparkan pandangan, melirik penuh arti padanya. Rama semakin gelisah dan gugup. Dalam hati ia mulai menggumamkan lantunan doa dengan penuh kesungguhan.

Wajah pria itu memang sangat tampan dan penuh karisma. Selain tampang, Rama juga terkenal sebagai pemuda yang cerdas. Dulu, banyak sekali para orang tua yang merelakan putrinya untuk dipinang oleh Cokro dan Padmi. Namun, semua tidak berhasil meluluhkan hati Rama.

Pria itu seperti memiliki prinsip sendiri, hingga bertemu dengan Lunar yang memenangkan simpati Rama dan mereka pun menikah.

Tarian gambyong yang dibawakan sebagai tari penyambutan tamu, kini berlanjut menjadi ajang sawer yang menggugah para pemuda dan lelaki hidung belang. Mereka semakin liar saat berjoget, berharap bisa meluluhkan salah satu dari penari tersebut. 

Di tengah gempita saat ini, Rama menunduk dalam-dalam untuk mengalihkan pandangannya dari panggung. 

Harum bunga kantil mulai tercium, Rama semakin merasakan sensasi menggelitik yang mendesaknya untuk menatap Sayekti kembali. 

Dia sadar, bahwa semua hal yang dia rasakan sekarang adalah tidak wajar. Selama ini Rama tidak pernah terpikat dengan gadis lain. Bagi dia, Lunar adalah segalanya.

Pria itu semakin gencar melantunkan doa lebih khusyuk lagi. Tangannya berkeringat, lutut Rama pun terasa lemas. Dia tidak mengerti, kenapa tubuhnya mendadak tidak bisa ia kendalikan. 

Rama setengah mati berjuang mengatasi kegelisahan yang berusaha ia tundukkan. 

‘Duh, Gusti Allah. Lindungi hamba dari segala yang jahat …,’ batinnya terus menerus memohon dengan nyali kian menciut.

Semakin lama dia mencoba menolak untuk melihat panggung, keresahannya kian meningkat dan itu dibarengi rasa lunglai di sekujur tubuh. 

Rama benar-benar tidak lagi menikmati pertunjukan saat ini!

Napasnya mulai terengah, sementara butiran keringat bertebaran di dahi. Tangan Rama memegang lengan kursi kuat-kuat, seperti menahan tekanan berat yang sedang menindih.

Tiba-tiba sentuhan hangat terasa di pundaknya. 

Rama refleks memejamkan mata dengan tubuh gemetar. Ia berharap orang yang memegang pundaknya tadi bukanlah Sayekti!

“Rama ….”

Pria itu tersentak, mengenali suara yang menyebut namanya!

Ia membuka mata dan menoleh. Seketika ia merasakan hatinya damai dan tenang. 

“Mbah Darmo!” seru Rama tertahan, walau dia sadar jika suaranya bergetar hebat.

Pria tua yang tampak bersahaja dengan balutan baju koko dan celana hitam itu tersenyum penuh kerinduan. Sejak kepulangannya, Rama setiap hari mengunjungi rumah mbah Darmo yang kosong. Drajat, sahabatnya, mengatakan jika mbah Darmo pergi, tapi tidak jelas kemana. 

Kini, setelah berhadapan langsung, Rama tidak tahu harus menjelaskan seperti apa situasinya saat ini. dia berharap Darmo akan memahami dan menolong.

“Ayo pulang, Le. Makin ndak apik di sini,” bisiknya dengan lembut. 

Usai kalimat itu terucap diiringi tepukan pelan di pundak Rama, mendadak dokter muda tersebut merasakan tubuhnya ringan!

Beban yang tadi terasa menghimpit dan menguncinya di kursi lenyap!

Walau masih keheranan dan gugup, Rama tidak mau membuang waktu lagi dan segera bangkit. Ia berpamitan pada para aparat desa yang mengundangnya. 

Dengan segan, mereka membungkuk takzim begitu melihat mbah Darmo. Belum sempat keduanya mencapai pintu keluar gedung sebelah timur, Ki Sukmo masuk dari depan dengan bahasa tubuh yang angkuh. 

“Sayekti!! Pulang kamu!!” teriaknya, hingga suara itu bergema ke seluruh ruangan. 

….

Spontan, musik gamelan berhenti dan setiap mata memandang Ki Sukmo dengan tatapan ngeri. Satu persatu pria yang tadinya berjoget, mulai mundur dan menghilang dari depan panggung secepatnya.

Beberapa aparat juga saling tukar pandang dengan ekspresi sungkan bercampur takut.

Rama menoleh ke arah panggung, di mana Sayekti berdiri tegak, sementara dua penari berlari ketakutan. 

“Sudah kularang pergi, lancang kau langgar!!” teriak Ki Sukmo dengan penuh amarah. 

“Aku juga berhak berada di sini!” bantah Sayekti. 

Dari sikapnya, ia terlihat menentang perintah si ayah tanpa takut. 

“Kurang ajar!!” pekik Ki Sukmo, tampak makin murka. 

Mbah Darmo melangkah ke tengah, berdiri di antara Ki Sukmo dan anak gadisnya. Ia menatap keduanya dengan wajah tenang, lalu memalingkan muka ke panggung.

“Sayekti, kamu dengar barusan. Hindari keributan, pulanglah,” ucap pria yang tampak lebih tua dari Ki Sukmo itu dengan suara lembut.

Rama mendadak khawatir, jika Ki Sukmo menyerang dan menyakiti mbah Darmo. Ia berniat untuk mendekati mereka, sekalipun itu tindakan yang paling bodoh dan konyol. 

Akan tetapi, ketika Rama hendak melangkah, kakinya terasa berat dan tidak bisa ia gerakkan. Tidak peduli seberapa kuat ia berusaha, Rama tidak bisa mengangkat kaki seinci pun. 

‘Ak-aku kenapa lagi?’ pekiknya dalam hati dengan panik.

Ia menatap sekeliling yang mulai sepi. Orang-orang mulai meninggalkan pertunjukan wayang, yang sepertinya akan gagal ditampilkan malam itu. Ingin Rama berteriak, tapi situasi saat ini tidak mendukung!

“Nduk, ayolah. Pulang, turuti bapakmu,” pinta mbah Darmo.

Gadis itu melengos kesal. Sayekti berbalik dan meninggalkan panggung dengan wajah kecewa.

Begitu mbah Darmo berbalik dan Ki Sukmo pergi, Rama baru bisa menggerakkan kaki kembali. Napasnya menjadi tersenggal karena panik.

“Ayo, Le. Kita juga pulang,” ajak mbah Darmo, sangat ringan dan tanpa beban.

Rama menatap lelaki tua itu dengan terheran-heran. Hanya dengan ucapan dan ajakan, mendadak ia bisa menguasai diri kembali dan rasa sesak di dadanya lenyap. 

Dengan langkah cepat, Rama menyusul. Keduanya beriringan, jalan kaki menuju rumah Rama yang tidak jauh dari balai desa. 

“Mbah Darmo, kemana saja? Sudah lima tahun nggak pernah kelihatan,” tanya Rama, dengan hati penuh harap akan mendapat jawaban. 

Begitu banyak pertanyaan yang bertumpuk dalam kepala, termasuk kejadian beberapa menit yang lalu. Tapi, Rama lebih dulu ingin tahu keberadaan mbah Darmo selama ini. Sejak ayahnya meninggal, mbah Darmo hanya datang sekali, kemudian pergi dan tidak pernah kembali. Kakek tua yang masih tampak gesit tersebut terkekeh pelan. 

“Pernikahan saya juga Simbah nggak dateng,” keluh Rama. 

“Yang penting semua selamat dan aman, tho?” sahut pria tua itu dengan santai. 

“Alhamdullilah, Mbah. Hanya saja ….” Rama urung mengatakan tentang berita paman dan arwah yang muncul sejak kepulangannya. 

Seperti membaca pikiran Rama, mbah Darmo menebak isi kepanya dengan mudah.

“Pram kenthir dan banyak gangguan di rumah, gitu maksudmu?” tanyanya dengan senyum mengambang. 

Rama mengiyakan dengan anggukan kepala lemah.

“Nanti, kalau ada waktu yang tepat, mbah jelasin semua. Sekarang kamu pulang, tenangin pikiran dan salam buat ibumu,” nasehatnya dengan lembut. 

Rama tidak sempat menanggapi, sebab dia kembali lagi tertegun. Sepertinya dia baru berjalan kurang dari sepuluh menit, tapi mereka sudah berada di depan rumahnya. 

Kenapa rasanya cepat sekali mereka berjalan? 

Seharusnya mereka ….

“Udah, Le. Masuk dulu sana. Salam buat Lunar, ya, Le,” pamit mbah Darmo, seraya memberi tepukan hangat yang biasa ia lakukan padanya tiap bertemu dan berpisah. 

Rama berpaling ke samping untuk mengajak mbah Darmo mampir, tapi pria tua itu sudah lenyap!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sayekti bab 6-10
7
2
Teror demi teror mulai melanda, ditandai dengan kematian seorang pemuda dan gencarnya penampakan di rumah Rama. Kunjungan pria itu ke rumah Ki Sukmo justru menguak lapisan pertama misteri yang membingungkan!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan