
Kisah pilu tentang menemukan saudara kandung yang telah terpisah selama beberapa dekade. Sang adik menjadi detektif, sementara kakaknya adalah pembunuh bayaran.
Apa yang akan Joe lakukan, jika adik yang selama ini ia cari adalah target yang harus ia bunuh?
Xander Maddox, detektif pembakang yang selalu memiliki pemikiran gila dan melanggar aturan kepolisian Las Vegas. Terlibat dalam tugas berbahaya dan jatuh cinta pada saksi pembunuhan yang menyimpan begitu banyak rahasia, Foxire Dawson. ...
Chapter 01. The Arrogant Detective
Kantor polisi yang ada di pusat hiruk pikuk Las Vegas tampak hilir mudik perwira dan mobil patroli. Penuh dengan corak warna kriminalitas yang beragam, kesibukan para penegak hukum di tempat tersebut nyaris tak pernah berhenti.
Menjelang siang, sosok perwira gagah dengan rambut hitam dan wajah keras tampak berjalan dengan ayunan kaki ringan. Tidak mempedulikan sekitar, pria dengan pancaran sinar tajam tersebut meneguk gelas kertas kopinya.
Topi khas detektif Sherlock Holmes yang menjadi legenda selalu bertengger di kepala pria itu. Xander Maddox, detektif yang terkenal dengan sikap acuh dan penyendiri tersebut tiba di kantor menjelang pukul sepuluh.
Hampir sebagian besar rekan kerjanya tidak menyukai pria tersebut. Selain karena kasar dan acuh, Maddox juga selalu menolak bekerja sama dalam tim.
Akan tetapi Tim Muller, kaptennya, selalu mengandalkan dan menyukai Maddox. Pria itu menjadi satu-satunya manusia yang bisa mengendalikan detektif pembangkang tersebut.
“Pagi!” sapa Tim pada seluruh timnya saat briefing.
Tidak ada tanggapan, semua mulut bungkam serta menunjukkan wajah tidak suka. Bukan karena antipati terhadap Tim, tapi kehadiran Maddox yang selalu dibela kapten mereka membuat rekan kerjanya muak.
“Terima kasih telah menyelesaikan kasus pembobolan bank terakhir!” Tim melirik ke arah Maddox, sembari membuka dokumen yang akan ia tugaskan pada timnya hari ini. “Kerja yang bagus, Maddox!”
“Yah, selalu Maddox! Si Anak Emas yang memborong penghargaan!” cibir Luke dari belakang.
Komandannya tersenyum samar, tampak tak terganggu oleh komentar tersebut. Selanjutnya Tim membacakan satu persatu tugas masing-masing, lalu menyudahi dengan pandangan menyeluruh.
“Tugas juga sudah ada di papan, silakan periksa dan selamat bersenang- senang!” pungkas Tim mengakhiri briefing singkat pagi itu.
Semua meninggalkan ruangan dengan terburu-buru seperti ingin menghindar. Maddox tinggal sendiri bersama Tim, dengan kepulan asap yang terjepit di bibirnya.
“Aku merasa semua orang semakin menyukaiku!” cetus Maddox dengan sinis.
Tim tertawa, menyerahkan beberapa lembar kertas padanya.
“Kau selalu menjadi yang terfavorit di kepolisian kita!” timpal Tim.
Maddox membaca rangkuman kasus yang tertulis pada tiap lembaran. Wajahnya tanpa ekspresi dan tampak tidak berminat. Seraya bangkit, ia menyodorkan kembali kertas tersebut pada Tim. Mata birunya menatap sang komandan dengan tajam.
“Serahkan pada Chris. Aku ada urusan.”
Maddox menjauh dari kaptennya dengan langkah panjang.
“Mad! Kau tidak bisa selalu seperti ini!” protes Tim tampak berang. Maddox tetap melangkah tanpa menoleh kembali.
“Aku harus menuntaskan pembicaraan dengan Jimmy!” teriak Maddox, lalu lenyap di balik pintu.
Jimmy adalah pemilik kasino yang kini dicurigai mempekerjakan gadis muda dari Asia secara ilegal. Maddox sudah mengincar dan ingin segera menguak kelicikan pria tua yang berpenampilan koboi tersebut. Secara tidak sengaja, Maddox menemukan fakta bahwa Jimmy telah menyogok bagian imigrasi untuk tidak menyidak kegiatan bisnisnya selama ini.
“Sial!” umpat Tim dengan kesal.
Terkadang penyesalan selalu ia rasakan setiap menghadapi sikap Maddox yang semau sendiri. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, karena Maddox telah membuktikan diri sebagai detektif ulung, yang selalu berhasil memecahkan kasus rumit, di mana rekan lainnya tidak bisa tangani.
Menjadi bagian dari kepolisian Las Vegas yang memiliki pimpinan tertinggi Sheriff, Tim juga mendapat tekanan dari atasannya untuk menertibkan Maddox dalam bertugas.
Jika penjahat yang menjadi buruannya adalah dari kasus pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak-anak, Maddox tidak pernah membiarkan buronannya hidup.
Para penjahat sangat gentar sekaligus mencari kesempatan untuk bisa membalas dan menjebak Maddox. Namun mereka selalu selangkah lebih lambat, sementara pria itu selalu unggul dalam segala hal.
Meski begitu, penampilannya yang tampan dengan rambut ikal panjang yang diikat sembarangan, menjadi daya tarik tersendiri.
Tato yang menghiasi tangannya membuatnya sebagai detektif macho yang mampu meruntuhkan para wanita yang tidak mengenalnya dengan baik, tapi dia bukanlah pria hidung belang. Selama ini Maddox tidak pernah terlibat dalam percintaan serius.
Hidupnya selalu ia curahkan dalam pekerjaan. Gayanya untuk bersantai adalah dengan minum sendiri di sebuah bar kecil yang berada di ujung kota Las Vegas.
Kota yang terkenal sebagai kota judi dunia tersebut tidak mampu menggoyahkan pribadinya menjadi pria yang tenggelam dalam hidup serba mewah, meski itu adalah pilihan rekan lainnya.
“Aku bersumpah akan mengalahkan dia suatu saat nanti!” desis Chris geram. Detektif tampan berambut pirang itu selalu ingin menyaingi Maddox.
“Yeah! Dalam mimpimu!” cibir Jean Lockey.
Wanita yang bekerja di bagian administrasi kepolisian sebagai pengolah data ini, menjadi satu-satunya pendukung Maddox. Jean adalah perempuan penyuka sesama jenis yang kutu buku dan dianggap wanita aneh.
Jean juga seorang ahli komputer dan memiliki kemampuan meretas jaringan paling rahasia negara. Maddox mendapatkan kemudahan dalam mendapat informasi dari Jean.
“Aku akan membuktikannya, Lockey! Jangan panggil aku Chris Harlow jika tidak bisa menjadi pemenang!” bantah Chris jengkel.
Jean mengibaskan tangannya dan berlalu dengan acuh.
Berbanding terbalik dengan Maddox, Chris Harlow adalah detektif yang menjadi pujaan rekan-rekan kerjanya. Perwira yang satu itu cukup cemerlang dan menjadi kesukaan kepala polisi pusat, atasan Tim Muller.
Semua tahu jika Chris selalu mencoba menjatuhkan Maddox, serta ingin mengungguli kinerja si detektif pembakang, tapi sayangnya selalu gagal.
Secara fisik Chris memang menarik. Pria berambut pirang dengan mata hijau menawan ini memiliki postur mempesona dan menjadi pujaan rekan kerja wanitanya. Tapi jika dibandingkan Maddox, dia akan selalu menjadi yang kedua.
-^-
Chapter 02. A Place to Feel Human
Tim membalik sosis panggang dan steaknya seraya berdendang mengikuti alunan musik dari tape. Pesta barbekyu kecil-kecilan yang diselenggarakan oleh keluarganya selalu berlangsung setiap akhir pekan jika ada waktu senggang.
Pamela, istrinya, tak lama keluar dan menggotong sebuah cooler boks minuman bersama April, putri sulung mereka.
“Kau yakin ini tidak terlalu banyak?” tanya istrinya dengan napas terengah.
Tim menggelengkan kepala.
“Dia akan datang dan tidak mungkin melewatkan steak wagyu ini!” tukas Tim tanpa ragu.
“Jika Maddox tidak muncul sore ini, aku bersumpah akan mendiamkan dia selama sebulan penuh!” April terdengar mulai mengeluarkan ancaman yang selalu berhasil membuat Maddox melemah.
Di halaman belakang Tim yang tidak terlalu besar, tapi sangat rindang dan nyaman tersebut, mereka menghabiskan banyak waktu berkualitas.
April adalah putri sulung Tim yang sangat dekat dengan Maddox. Sedangkan Apple, putri keduanya, merupakan senjata Tim untuk meluluhkan pria pembakang tersebut jika menghilang selama beberapa waktu tanpa kabar.
“Aku sudah menyiapkan saus kesukaan Maddox!” seru Apple, gadis remaja yang baru menginjak enam belas tahun itu pandai membuat saus untuk steak.
“Ayolah, Ape (baca: Ep)! Maddox tidak pernah menyukai sausmu! Jangan menyiksa orang dengan makanan busukmu!” cetus April ,yang tiga tahun lebih tua darinya.
“Berhentilah memanggilku Ape, April!” protes adiknya dengan kesal.
Kakaknya tidak mengacuhkan dan terus membantu ayahnya membalik sosis juga steak. Berbeda dengan April yang memiliki sifat tegas, sedikit sinis dan sangat tomboi, Apple adalah gadis humoris yang selalu menyegarkan suasana dengan candanya.
Pamela melirik pada April yang terlihat hatinya dalam situasi baik.
“Mama masih berpikir jika kau lebih cantik tanpa tindikan di hidungmu, April. Kau benar-benar terlihat seperti anak lelaki,” ucap ibunya menyatakan keberatan akan penampilan April yang semenjak kuliah berubah total.
“Ma, aku sudah dewasa dan berhak menentukan penampilanku. Jadi, jika dulu aku menurut dengan kepang dua rambutku, atau warna baju pilihan Mama, sekarang waktunya untukku bebas bergaya. Oke?” balas si sulung dengan wajah mulai kesal. Matanya memutar dan mulai membangun benteng diri untuk mempertahankan pilihannya.
Pamela berpaling pada suaminya untuk meminta dukungan. Tim mengedikkan bahu seperti tidak mau ikut campur.
“April benar, Pam. Dia sudah besar dan tidak perlu kita arahkan seperti anak kecil,” jawab Tim akhirnya, tanpa bermaksud membela siapa pun. Pamela membulatkan mulut seperti tidak percaya, karena suaminya tidak mendukung sama sekali.
“Aku suka tindikan April, mirip dengan kerbau. Sangat pas sekali dengan karakternya,” ledek Apple seraya memberikan sebotol jus dingin pada kakaknya. Inilah kesempatan untuk membalas.
“Yeah! Kerbau adalah lambang kekuatan dan keberanian!” April dengan mudah membalikkan kata-kata adiknya.
Apple meringis dan menyentil hidung April dengan jari.
“Kau iri dan berharap memiliki ini, bukan?” tuduh April.
“Hmm … mungkin. Jika namaku April, tapi sayangnya Apple adalah panggilanku,” cetus Apple dengan ringan.
April tampak jengkel karena adiknya pandai berkata-kata. Perdebatan ringan yang selalu terjadi itu berlangsung seru. Tim dan Pamela hanya mendengarkan dengan geleng-geleng kepala.
Meski sering berbeda pendapat, akan tetapi kehangatan selalu terjaga. Bebas mengeluarkan pemikiran membuat Tim dan Pamela dekat dengan kedua putri mereka.
Inilah rumah, tempat mereka bisa menjadi diri sendiri dengan nyaman.
“Hei! Kalian memulai pesta tanpaku?!” Seruan lantang itu membuat semuanya menoleh dan Maddox muncul dengan dua botol whiskey di tangannya.
Baik Apple dan April memekik senang dan berusaha merebut perhatian Maddox, pahlawan mereka.
“Kau tampak normal hari ini, Pam!” sapa Maddox seraya mengecup pipi Pamela.
“Thank you!” sambut Pamela dengan senyum geli.
“Melihatmu dengan seragam dokter bedah dan gergaji yang mengamputasi korbanku, membuatku tidak bisa berhenti membayangkan seorang psikopat keji!” timpal Maddox.
Pamela kembali tertawa kecil. Istri Tim adalah dokter bedah yang bekerja di rumah sakit umum dan sering membantu mereka untuk proses otopsi atau menyelamatkan penjahat yang terluka saat penyergapan.
“Mad, menurutmu tindik ini keren?” April mulai mencari dukungan dari Maddox.
Pria itu menghempaskan tubuh di kursi malas dan kemudian memicingkan matanya.
“Lumayan!” sahutnya acuh.
“Apa maksudmu lumayan? Itu komentar yang tidak aku harapkan, Mad!” keluh April.
“Sudah aku katakan, keren itu hanya dalam imajinasimu, April!” Apple tampak menang dan puas.
April menghentakkan kaki ke rumput dan meninggalkan halaman belakang sambil menggerutu.
“Dia merencanakan ingin melakukan tato,” bisik Pamela dengan khawatir.
“Biarkan April bebas dan memilih kehidupannya, Pam! Dia sudah cukup dewasa!” seru Tim yang mendengar dengan jelas.
“Aku adalah ibunya, Tim. Selamanya April akan selalu menjadi putri kecilku!” tukas Pamela tidak sepakat.
“Itu jelas dan tidak akan pernah berubah, tapi yang kau lakukan sekarang sama dengan merebut kebebasannya! Itu sudah tidak sehat!” bantah Tim juga bersikeras.
“Apakah jika aku dewasa Mama akan melakukan hal yang sama?” timpal Apple mulai khawatir.
Suasana menjadi perdebatan simpang siur saat April kembali dan Pamela berusaha membuat aturan yang menurutnya wajar.
“Hei … hei! Bisakah kalian berhenti?!” teriak Maddox tidak tahan lagi. Ketiganya bungkam dan membuang muka disertai sikap jengkel.
“Momen ini terlalu berharga untuk memusingkan masalah sepele itu! April ingin memiliki tato dan tindik, memangnya kenapa? Dia masih tetap April dan tidak ada yang mengubah hal tersebut! Apple ingin membesarkan payudaranya, tapi dia tetap putrimu. Ayolah! Biarkan mereka mencari jati diri yang paling nyaman, Pam! Jangan ciptakan suasana rumah menjadi penuh tuntutan, yang akhirnya menuntun mereka mencari kebahagiaan di luar!”
Kalimat Maddox terlihat menohok dan membuat Pamela tersadar, tapi pria itu belum selesai.
“Dan kau, April. Tidak seharusnya kau ingin terlihat keren dengan mengikuti tren basi itu! Kau jauh lebih baik dari sekedar menjadi gadis bertindik juga bertato. Ini juga berlaku untukmu, Apple! Menjadi cantik dan menarik secara fisik memang penting! Tapi ingat, saat otakmu kosong, tidak ada satu pun laki-laki yang bisa bertahan dan memberimu cinta yang tulus!”
April dan Apple menunduk dan tampak serba salah. Pamela mulai terlihat lega karena Maddox tidak sepenuhnya menentang apa yang ia inginkan.
Tim tersenyum lalu meletakkan hasil panggangannya di meja.
“Kau jauh lebih manusiawi saat ini, Mad! Kurasa tempat ini membuatmu menjadi manusia seutuhnya!” cetus Tim.
Maddox meneguk botol birnya dan mengusap sembarang dengan lengan jaket.
“Ya, aku tahu! Janganlah kalian bertingkah normal dan membuatku mulai tidak nyaman! Rumah ini satu-satunya tempat tersembunyi yang paling pas denganku!” sahut Maddox dengan ketus.
“Aku hanya ingin terlihat tidak lemah. Kupikir gaya gadis punk akan berhasil membuatku aman,” ucap April pelan.
“Latih terus martial arts-mu, kujamin tidak ada satu pun yang bisa menyentuhmu!” balas Maddox.
“Teman-temanku selalu mengejek, dadaku terlalu rata untuk gadis berusia enam belas tahun,” keluh Apple.
“Mulai asah otakmu hingga menjadi yang paling unggul! Baca dan cari tau mengenai penampilan yang paling pas untuk tetap menunjukkan kau adalah gadis yang sangat menarik! Tubuhmu bukan hambatan untuk menjadi cantik!” Usulan Maddox barusan membuat Apple tersenyum lebar.
“Oke. Problem solved! Bisakah kita menyantap ini? Aku sudah sangat lapar sekali!” protes Maddox tidak sabar.
Kedekatan Maddox dengan keluarga Tim memang sangat terlihat. Sejak Tim menemukan dirinya pada usia remaja, Maddox menganggap pria itu adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Ketika menikah dengan Pamela dan kemudian dua putri mereka lahir, Maddox terlibat dalam kehidupannya dalam hal apa pun. Ada sesuatu yang membuat Maddox berbeda setiap berada di rumah ini.
Maddox merasakan dirinya menjadi manusia yang layak dan pantas memiliki keluarga.
-^-
Chapter 03. Bad Lawyer
“Hubungi beberapa saksi dan laporkan padaku segera! Jika aku bilang segera, itu berarti tidak lebih dari satu jam mendatang, Claire!” tegas Foxire dengan suara dingin.
Sekretarisnya Claire mengangguk dan tidak membuang waktu lagi, berlalu dari ruang kantor pengacara Foxire Dawson.
Wanita yang berusia tiga puluh tahun itu merupakan seorang pengacara yang sedang menanjak karirnya semenjak berhasil memenangkan kasus keracunan limbah pabrik dua tahun lalu. Foxire Dawson atau akrab dipanggil dengan Foxy terkenal sebagai wanita yang tegas dan ketus.
Segala cara ia tempuh untuk memenangkan sebuah kasus. Meski demikian, Foxy selalu bermain rapi dan tidak ada yang bisa mengungkap trik kejinya dalam mendapatkan informasi atau memutar balikkan fakta.
Wanita berambut pirang keemasan dengan wajah cantik seperti perempuan Yunani ini memiliki mata hijau terang. Wajahnya sangat menawan dan mempesona para lelaki. Sayangnya, Foxy adalah wanita misterius yang sulit dimengerti.
Sebagai keponakan dari seorang calon gubernur Nevada tersebut, Foxy cukup serius terlibat dalam politik serta sesekali membantu dalam kampanye pamannya.
Perempuan cerdas yang menyandang gelar master dalam bidang hukum ini lebih serius menjalani karirnya sebagai pengacara.
Siapa pun tahu bahwa di daerah tersebut ada seorang devil lawyer yang handal dan telah memiliki nama cukup mentereng di kalangan elit Las Vegas, yaitu Foxire Dawon.
Telepon berdering dan dengan malas Foxy mengangkat. Claire memberitahu jika pamannya sudah ada di luar dan ingin bertemu dengannya.
“Suruh dia masuk!” sahut Foxy sedikit jengkel.
Beberapa detik kemudian, pintu terkuak dan pria dengan tubuh sedikit gempal namun masih dalam bentuk kekar muncul. Bajunya sangat rapi dengan dasi yang bernilai ratusan dolar. Jangan pertanyakan nominal harga jas pria tersebut, Josh Bill Harten adalah pria dandi dengan penampilan eksklusif.
Rambutnya yang tersisir rapi dan sedikit pirang membuatnya semakin terlihat sebagai politikus sejati.
“Aku sangat sibuk, Josh. Tidak seharusnya kau muncul mendadak begini,” sapa Foxy dengan wajah dingin.
Pamannya tersenyum dan langsung duduk di salah satu sofa yang ada di ruangan tersebut.
“Kapan kau akan memulai memanggilku paman, Fox?” sambut Josh tidak terlihat terganggu dengan sebutan keponakannya.
Foxy meliriknya sekilas dan kembali fokus di laptop.
“Kau mungkin membesarkan aku, tapi tidak ada kewajiban untuk melarangku memanggil namamu! Sudah kubayar semua hutang budiku, bukan?” jawab Foxy tanpa menutupi kesinisannya.
Josh tersenyum miring.
“Kau benar-benar mirip denganku! Aku bahkan terkadang lupa bahwa kau bukan anakku!”
Pujian yang terlontar mencerminkan bahwa hubungan mereka sangat dekat. Meski sering terlontar kata-kata pedas dan sinis, terkadang kecaman yang cukup tajam, namun mereka memahami satu sama lain.
“Aku ingin menanyakan kembali kesanggupanmu untuk bergabung dalam timku. Aku butuh seseorang yang cerdas dan memahami visi juga misiku, Fox. Eric sepertinya tidak begitu mengerti itu semua. Tidak tahan rasanya ingin memecat pria bodoh itu!”
Foxy tersenyum sama dan masih mengerjakan kesimpulan akhirnya untuk sidang besok pagi.
“Aku sedang dalam puncak karirku, Josh! Terjun ke dunia politik terlalu mudah dan aku benci intriknya yang norak, karena pencapaian yang kudapatkan tidak sebanding dengan kerja keras!”
“Kali ini saja, bantu pamanmu yang sudah tua ini! Setelah aku naik dan menjadi gubernur Nevada, kau juga akan mendapat keuntungan karena bisa melebarkan sayapmu sebagai pengacara elit!”
Tawaran Josh begitu menggiurkan bagi Foxy.
Wanita itu berhenti mengetik dan menatap pria dengan kisaran umur setengah abad lebih dengan ragu.
“Kau pernah mengecewakan aku dengan memilih simpanan rambut merahmu itu! Aku jauh lebih tepat dan kompeten untuk menduduki posisi direktur pertambangan, Josh! Dan dengan mudahnya kau tendang keponakanmu ini hanya karena kau tidur dengannya!”
Josh tersenyum lebar dan mengedikkan bahu.
“Aku ini lelaki, Foxy! Bukan pria tua yang sudah impoten! Tentu saja otak dan nalarku kalah dengan testoronku!”
Foxy menggelengkan kepala seraya mencibir.
“Aku sangat menyayangkan Marybeth yang begitu setia dan tutup mata atas semua tindak tandukmu, Josh!”
Josh mengubah posisi duduk lebih tegak dan kali ini sangat serius.
“Fox, aku mungkin bajingan dan tidak pernah menjadi suami yang baik. Tapi aku punya misi dan visi yang bisa mengubah pandangan orang tentang keluarga kita!”
“Keluarga kita sudah hancur, Josh! Itulah alasanku mengubah nama belakangku menjadi Dawson dan bukan lagi Harten!” cibir Foxy.
“Tega sekali kau berkata seperti itu! Leluhur kitalah yang paling berjasa membangun Las Vegas menjadi seperti sekarang! Tapi apa yang mereka dapatkan? Nol besar! Orang-orang itu mengkhianatinya dan membuat ayahmu dan aku merangkak serta hidup dalam kemiskinan juga terhina!”
“Dan kau ingin membalas semuanya? Klise! Itulah hukuman untuk manusia yang menciptakan kota ini sebagai kota penjudi! The sin city, itulah sebutan untuk Las Vegas jika kau sudah lupa! Dan itu berkat leluhur kita!” Foxy terlihat begitu membenci latar belakang keluarganya.
“Jangan membahas tentang dosa. Kau terdengar sangat menggelikan, Fox! Segala kelicikan dan tipu dayamu dalam memenangkan kasus juga tidak semanis yang aku dengar!” tawa Josh terdengar sumbang. Foxy mengangkat alisnya sebelah.
“Kurasa kita berdua cukup memahami diri masing-masing bukan?” balas Foxy dengan santai.
Josh menghela napas dan mengibaskan tangannya seraya membetulkan jas.
“Aku tidak akan memohon jika ini hanya mengenai diriku saja.” Ucapan Josh yang terakhir menyentuh Foxy dan wanita itu mengangkat dagunya.
“Masa depan kota dengan sejarah ini harus kita pertahankan.” Josh lagi-lagi melontarkan kalimat yang membuat keponakannya tidak lagi bisa mengelak.
“Baiklah! Aku akan membantumu naik menjadi gubernur! Tapi setelah itu, jangan pernah ganggu hidupku lagi!”
Mata Josh terbeliak dan senyum lebar mengembang.
“Keputusan yang bijak, Foxy!”
Pamannya berdiri dan mengancingkan jas kembali. Foxy tidak menanggapi. Wanita itu kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Josh melenggang keluar dengan siulan riang.
-^-
Chapter 04. True Punisher
Telepon itu ditutup oleh Tim dengan setengah dibanting. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Mark Parker, Sherriff yang menjadi kepala polisi di Las Vegas, barusan menelepon untuk menegaskan kembali supaya dirinya segera mengontrol Maddox.
Masih tergiang di telinganya mengenai sepak terjang Maddox yang membuat Jimmy babak belur.
“Sudah kukatakan padamu, Tim! Maddox harus membenahi tingkah lakunya atau dia keluar dari kesatuan kita!” teriak Mark murka.
Jimmy merupakan salah satu pebisnis yang berada dalam daftar istimewanya. Mark tidak bisa berbuat apa-apa karena kepala imigrasi dan wali kota Las Vegas berada di pihak bajingan tua tersebut.
Entah berapa nilai suap yang Jimmy berikan, tapi yang pasti Mark memilih untuk tidak terlibat. Keharusannya untuk memenuhi perintah pejabat negara adalah salah satu hal yang tidak tertulis di dalam job description-nya, namun wajib dan mutlak dilakukan.
Jimmy selama ini kebal hukum bukan tanpa alasan.
Akan tetapi Maddox mengobrak abrik kasino dan hotelnya, serta menguak aibnya yang menggunakan gadis-gadis muda dari Asia untuk secara ilegal dipekerjakan.
Tekanan ini tidak bisa Tim abaikan lagi. Mark adalah atasannya yang tidak suka ditentang, apalagi Maddox sudah berulang kali mendapat peringatan.
“Bawa Maddox ke kantorku!” teriak Tim dari pintu pada semua pegawainya.
Chris tersenyum penuh kemenangan.
“Jagoan tengil kita mendapat masalah! Wow! Aku tidak pernah mengira ini adalah hari keberuntunganku!” seru Chris dengan bahagia.
Jean lewat dan menatap tajam Chris dengan wajah mencemooh. “Kau pikir Maddox selemah itu untuk ditumbangkan oleh masalah sepele ini?”
“Kau dengar kapten kita, Lockey!” bantah Chris.
Jean geleng-geleng kepala dan berlalu.
“Chris … Chris … masih saja dangkal dan tidak cerdas-cerdas!” cibirnya seraya menjauh.
Chris memberikan tatapan bingung atas cibiran Jean yang sangat aneh menurutnya.
“Dasar Lesbian! Pria semenarik aku tidak pernah menjadi minatnya!” gerutu Chris.
*
“Duduk!” perintah Tim dengan rahang mengeras.
Maddox dengan santai menghempaskan tubuh di kursi depan bosnya tersebut.
“Apa yang kau lakukan pada Jimmy, Mad? Sudah aku katakan berulang kali, jangan sentuh dia! Kau ini tuli atau bebal?!”
Maddox tidak diam mendengar kalimat pedas dari komandannya. “Kau tidak menjawab pertanyaanku yang kurang mengerti alasan sebenarnya, Tim! Secara hukum dia bermasalah dan aku tidak pernah membiarkan penjahat seperti Jimmy untuk terus bernapas! Aku pikir diriku sudah cukup baik hati hanya mematahkan tulangnya saja!”
“Kau tahu jika Mark terus menekanku dan meminta kau keluar dari kesatuan ini?! Apa kau paham?!” pekik Tim berada di situasi sulit.
Maddox menggelengkan kepala dengan senyum miring.
“Kau selalu ketakutan pada sistem dan menciut setiap sesuatu menekanmu, Tim! Kupikir kau lebih baik dari ini!” Maddox bersiap pergi.
“Aku belum selesai!” teriak Tim.
“Oh no! Kau sudah selesai, aku sudah selesai dan kita tidak ada urusan lagi!” jawab Maddox seraya mengacungkan tangannya.
“Kenapa kau ingin menghancurkan kami, Maddox? Hancurkan dirimu sendiri dan jangan bawa-bawa kesatuan ini!”
Maddox yang sudah selangkah menuju pintu berhenti dan memutar badannya.
“Kau membiarkan kejahatan merajalela sementara lencana sebagai penegak hukum menempel di dada dan sumpahmu adalah untuk menjunjung kebenaran! Seharusnya kau malu akan dirimu sendiri, Kapten Tim Muller!”
Wajah kepala detektif itu seketika memerah. “Kita hidup di dunia nyata dan ada hal-hal yang ada di luar kendalimu! Kau tahu apa, Bocah Berandalan yang bersikap sok menjadi pahlawan?!” Tim kali ini benar-benar murka pada Maddox.
Pria itu kembali mengacungkan jarinya pada Tim.
“Bocah berandalan ini adalah remaja yang kau didik dan tanamkan dalam dirinya untuk tidak pernah takut asalkan benar! Bocah berandalan ini adalah korban dari penjahat seperti Jimmy! Aku, adalah hasil dari mimpi indahmu yang kau sendiri takut untuk meraihnya!”
Maddox meninggalkan Tim yang tertegun. Pintunya terbanting keras hingga membuat kacanya bergetar.
Apa yang Maddox barusan lontarkan kepadanya adalah benar.
Dia yang menyelamatkan Maddox dari jalanan. Remaja tanggung berusia enam belas tahun yang memiliki catatan kriminal tinggi, akhirnya menarik perhatian Tim pada suatu kejadian.
Dirinya baru saja menjadi polisi selama beberapa tahun dan harus menjaring remaja jalanan yang selalu mencuri di kawasan Las Vegas. Maddox tertangkap dan Tim mendapat tugas untuk mengantarnya menuju panti sosial.
Usianya belum cukup umur untuk dipenjara, nurani Tim memberontak saat membayangkan remaja yang pantas jadi adiknya itu harus meringkuk di lembaga sosial yang busuk.
Selama perjalanan Maddox hanya terdiam dan ketika Tim memberinya hotdog murahan karena iba, remaja itu menangis sejadinya.
“Bukan ini pilihan hidup yang ingin kujalani! Hotdog ini mengingatkanku bagaimana masyarakat dan dunia memperlakukan aku sangat tidak adil. Jika aku hanya lahir untuk menjadi sampah, kenapa kematian tidak segera menjemputku?”
Tim tahu dari awal jika Maddox sangat istimewa. Ada keberanian yang tidak pernah surut yang tercermin di mata birunya.
Alih-alih mengirimkan Maddox ke panti sosial, Tim justru membuat laporan jika anak tersebut melarikan diri. Keputusan Tim mengirim Maddox dengan identitas baru ke sekolah kepolisian adalah tepat.
Xander Maddox adalah nama yang ia pilih untuk menggantikan nama Jurgen Voller. Tim yang juga memiliki darah Jerman merasakan simpati yang begitu mendalam pada Maddox remaja.
Selama ia menjadi wali dari Maddox, satu hal yang selalu ia tanamkan dalam diri pemuda tersebut setiap mereka bertemu.
“Jadikan kebenaran sebagai dasar hidupmu, supaya tidak ada yang pernah kau sesali. Agar jiwamu damai dan tidak ada tuntutan dari nuranimu.”
Tim memejamkan mata dan dengan bahu terkulai, terduduk kembali.
‘Aku yang menciptakan Maddox untuk menjadi penghukum sejati. Dia benar, aku terlalu pengecut untuk mau mengakui bahwa kebenaran adalah keinginan yang tidak pernah bisa aku terapkan dalam hidup. Aku tergilas oleh tuntutan kerja dan dunia.’
Gejolak dalam diri Tim membuatnya terpukul. Seandainya dia bisa mengubah dalam sekejap, Tim tidak akan melewatkan kesempatan tersebut. Sayangnya kenyataan tidak seindah mimpinya.
-^-
Chapter 05. Dirty Politic
Dengan lincah Jean mengetik laporan dari tiap polisi dan detektif yang baru menyerahkan kasus yang sudah selesai. Wanita itu berperan cukup penting dalam departemen kepolisian yang Tim pimpin.
Selain memasukkan setiap dokumen dan arsip, Jean juga sangat mahir dalam melacak lokasi dan bisa meretas jaringan rahasia.
Untunglah manusia seperti Jean bekerja di bidang hukum. Jika seseorang menemukan bakatnya untuk menggunakan dalam kejahatan, mungkin banyak pihak yang akan mengalami kerugian.
Maddox muncul dan meletakkan setumpuk dokumen Jimmy di mejanya.
“Case closed?” tanya Jean dengan wajah mengernyit. Kacamatanya membuat Jean semakin menarik. Meski lelaki bukan orientasi seksnya, namun banyak pria yang ingin mengajaknya berkencan.
“Terpaksa case closed! Aku menyesal tidak membunuhnya!” sahut Maddox geram.
Pria itu menyambar gelas cappuccino yang ada di atas meja dan sementara meneguk serta tolak pinggang, matanya menatapa ke arah layar televisi yang tertempel di dinding kantor Jean.
“Wanita ini semakin berkibar! Aku heran, kenapa pengacara seperti dia sangat laku!” ucap Maddox masih melekatkan pandangannya pada layar televisi.
Foxire Dawson sedang memberi keterangan pers mengenai rencana kampanye pamannya pada beberapa wartawan. Jean menoleh sekilas dan tersenyum nakal.
“Aku bersumpah ingin menidurinya dan menjadi lesbian paling bahagia!” timpalnya.
Maddox tertawa kecil, seperti mengejek.
“Aku ragu kau masuk dalam kategorinya! Dia pasti memiliki standar yang sangat tinggi! Kau bukan dalam hitungannya!” tukas Maddox.
Jean mengedikkan bahu.
“Siapa tahu? Aku butuh mencobanya, bukan?”
“Kau butuh pria seperti Chris yang bisa membuatmu kembali pada kodrat, Lockey!” seru Maddox menggodanya sembari melenggang keluar dari kantor tersebut.
“Jangan membuatku mual, Maddox!” bantah Jean kesal.
Maddox sudah menjauh dan Jean mendengus makin jengkel.
**
“Semua rencana dan detail telah terkirim. Aku akan mengganti tim dan menyingkirkan beberapa manusia yang tidak berguna!” ucap Foxy pada pamannya.
Keduanya berdiri di jembatan buatan dalam area resort salah satu hotel termahal di Las Vegas dan Josh terlihat serius menikmati aliran sungai yang tenang.
“Tahukah kamu? Kasino pertama yang didirikan di Highway 91 adalah Pair-o-Dice Club pada tahun 1931; kontruksi pertama yang sekarang menjadi El Rancho Vegas, dibuka pertama kali pada tanggal tiga April 1941 dengan enam puluh tiga kamar dan berdiri selama 20 tahun sebelum dihanguskan kebakaran tahun 1960. Kakek kitalah yang mendirikan dan memiliki ide tersebut,” balas Josh sementara matanya memandang ke arah aliran air yang begitu tenang.
“Sulit dipercaya tempat itu kini berkembang menjadi Las Vegas Strip yang kini terkenal. Wilayah bisnis emas di Las Vegas Boulevard South sepanjang empat mil di Paradise dan Winchester. Sukses yang tidak sedikit pun keluarga kita nikmati!” cibir Foxy dengan sengit.
Josh tersenyum lalu menoleh ke arah keponakannya.
“Sekarang kau tahu apa maksud dari tujuanku menjadi gubernur, bukan? Aku akan merengkuh hak kita dan itu tergantung andilmu, Fox! Berusahalah yang terbaik dan kita akan menikmati bersama,” pinta Josh dengan serius.
Foxy mengabaikan perkataan itu dan siap menuju mobilnya kembali. Namun sebelum membuka pintu, dia kembali menoleh.
“Aku tidak pernah berminat menjadi pendampingmu dalam sukses politik, Josh! Aku menyukai duniaku sendiri!”
Wanita itu melangkah menjauh dan Josh tertawa kecil. Suaranya terdengar sumbang.
**
Claire membereskan semua dokumen yang akan dikirimkan ke kantor Josh atas permintaan Foxy, atasannya.
“Kupikir kita tidak terlibat dalam bisnis pamanmu, Bos!” sindir Claire.
Foxy yang baru masuk mendengus kesal.
“Demi ketenangan hidup aku harus melakukan ini!” sahutnya seraya menghempaskan diri di kursi.
“Kau menjilat ludahmu sendiri!” lanjut Claire masih belum puas.
Sekretarisnya memang memiliki lidah yang tajam, tapi Foxy menyukai kinerjanya. Dalam hal ketangkasan, kesetiaan juga menjaga rahasia, Claire bisa diandalkan.
“Aku melihat banyak sekali hal-hal bodoh dalam dokumen ini! Apakah tuan Harten akan menggunakan sebagai senjata pamungkas untuk lawan politiknya?” tanya Claire ingin tahu lebih dalam.
Foxy yang masih belum berminat untuk bergerak, terpaku dengan mata menerawang. Detik berikutnya ia kembali fokus dan melirik ke arah Claire sekilas.
“Jangan terlalu dangkal, Claire! Itu semua hanya gertakan ringan! Kau sudah bekerja untukku cukup lama dan gayaku jauh lebih berkelas dari yang kau pikirkan saat ini!” tukas Foxy seraya mengeluarkan laptopnya.
“Politik dan dunia pengacara memang sama-sama kotor dan kita semua tahu trik-triknya. Tapi, apakah menurutmu tidak terlalu riskan menerapkan ini dalam strategimu? Maksudku, terlalu banyak pemain yang mengaplikasikan hal serupa dan kita butuh taktik yang baru, Bos!”
“Aku tahu, Claire! Itulah sebabnya aku menyebutmu dangkal!”
Claire mengedikkan bahu dan mulai melanjutkan pekerjaannya memasukkan lembaran kertas ke dalam amplop.
“Kau pernah dengar Maddox?” Tiba-tiba Claire menyebut nama asing yang Foxy kurang sukai.
“Xander Maddox, maksudmu?” Foxy menyebut nama lengkap detektif yang ia ketahui dari namanya saja.
“Ya. Detektif yang terkenal dengan sepak terjangnya di Las Vegas ini.”
“Kenapa dengan manusia itu?” Foxy menghentikan ketikannya dan mulai penasaran. Jika Claire menyebut sesuatu, maka itu adalah informasi penting. Claire bukanlah wanita penggosip yang suka bicara hal-hal omong kosong dan tidak suka mengobrol topik sepele.
Itulah sebabnya Foxy sangat menyukainya.
“Berhati-hatilah dengannya! Jimmy sudah mendapat masalah serius dan tidak menutup kemungkinan, dia akan mengusikmu atau tuan Harten!”
Usai mengucapkan kalimat terakhirnya, Claire melenggang keluar dan tidak lagi menyambung pembahasan mengenai detektif Maddox.
Foxy membeku dan mulai berpikir untuk waspada.
“Sudahkah kau lindungi arsip kita?!” teriak Foxy.
“Sudah kulakukan sejak zaman batu!” balas Claire sembari menutup pintu.
Foxy menghela napas lega dan bersandar.
Haruskah dia mulai mengambil langkah untuk menyelidiki seberapa jauh Maddox bisa menjangkau dirinya? Terlalu banyak rahasia busuk yang tersimpan dalam arsipnya. Jika terkuak, ia akan menyeret ratusan pejabat dan orang penting ke dalam penjara!
**
Dua tubuh tanpa busana itu saling mengayun dalam deru napas memburu. Josh menghentak si wanita berambut merah dari belakang, sementara meremas payudara silikon.
“Puaskan aku, Josh! Lebih keras!” pekik si rambut merah yang notabene bekas sekretaris yang sekarang menjadi direktur pertambangannya.
Untuk ukuran pria setengah baya lebih, Josh masih memiliki stamina kuat. Ayunan pinggulnya semakin cepat, menciptakan bunyi dua kelamin berpadu nyaring, hingga menimbulkan gema di kamar hotel.
Perempuan itu akhirnya mengerang, menjerit keras saat menggapai orgasmenya. Josh melambatkan hentakan, tersenyum dengan seringai beringas.
“Berbaliklah!” Belum sedikit pun mendekati akhir permainan, Josh masih tampak bernafsu meski peluh mengalir di tubuhnya.
Perutnya yang sedikit buncit tidak menghilangkan pesona laki-laki garis keturunan Harten yang perkasa. Ia memegang kejantanan yang selalu dia banggakan bisa membuat para wanita bertekuk lutut, melesakkan kembali dengan kasar.
Si rambut merah kembali menggelengkan kepala dan meracau liar. Dia sanggup menjadi budak cinta seorang Josh, karena kenikmatan bercinta tidak pernah mengecewakan sama sekali.
“Pastikan kau menyelesaikan penutupan tambang, sebelum …. Ah! Tubuhmu nikmat sekali!” ringis Josh mulai merasakan puncaknya segera tergapai. “Sebelum polisi menyelidiki untuk keperluan politik!” Pria itu menghunjamkan berkali-kali senjatanya, hingga si perempuan memekik histeris atas jalaran rasa paling memabukkan.
Terkulai dengan napas tersengal, Josh memejamkan mata. Di sampingnya wanita itu tersenyum puas, bahkan sanggup mengulangi lagi.
“Akan kulakukan, asalkan malam ini kau bersamaku,” bisik si rambut merah dengan lidah terjulur, untuk menjilat bibir Josh. “Semua akan kuamankan, pamanku pasti dengan senang hati memenuhi permintaan keponakannya.”
“Kau benar-benar gila, Gil! Kemarilah!” Josh menarik perempuan yang terkekeh geli, saat mulut lelaki itu mengecup lehernya.
Menindih tubuh sintal dengan tangan mulai meraba-raba, mulut Josh mengarah pada puncak benda kenyal buatan.
Desahan dan lenguh maksiat kembali terdengar. Josh memang pandai menempatkan diri dalam hal ini. Menggauli Gil dan memberikan posisi bagus dalam perusahaan adalah salah satu taktik cemerlang. Wanita yang masih notabene kerabat hakim agung wilayah mereka akan menjadi pendukung kuat untuk kiprah politiknya nanti.
Meski skandal itu menjadi konsumsi publik, tapi sejauh ini aman. Istri Josh tidak pernah menggugat, keluarga Gil juga memilih bungkam.
Politik memang sanggup mematikan segala insting manusia untuk lebih peka, sebuah jalur kesuksesan yang dipenuhi dengan gelimang intrik kotor!
-^-
Tinggalkan jejak di kolom komentar, lima bab pertama ini gratis untuk kalian.
Salam hangat
TR Sue
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
