RINDU LANGIT SYAHDU

6
3
Deskripsi

Sebagaimana judulnya, “Rindu Langit Syahdu,” cerita pendek ini seperti sebuah lagu > merdu dan syahdu.

Sahabat, cerpen ini terbuka. Bisa dibacara siapa saja dan kapan saja. 

Agar sahabat tidak ketinggalan terhadap cerita terbaru, silakan download karyakarsa.com, ikuti syafruddin Pernyata. Jangan lupa subscribe dan share.

RINDU LANGIT SYAHDU

Bukan karena dia cantik maka aku memberanikan diri menghampirinya. Keberanian ini harus kulakukan karena tidak ada pilihan kecuali bertanya kepada dia. Ya, hanya ada seorang wanita di tepi Danau ini. Maklum, hari sudah senja. Hujan baru saja reda.

"Maaf ya Dik, apakah di sekitar sini ada penginapan, home stay, maksud saya?"

Wanita itu tak segera menjawab. Ia memandangku sekilas. Lalu wajahnya ia palingkan ke arah barat. Aku mengikuti arah wajahnya dan kulihat memang ada sebuah bangunan di tepi danau. Samar. Beberapa pohon kelapa di belakang bangunan.

"Mungkin Bapak bisa menginap di sana." Gadis itu menunjuk sebuah bangunan mungil. Aku lega. Kupikir, jaraknya tidak terlalu jauh. Lima belas menit berjalan kaki, pasti sudah tiba.

"Terima kasih ya. Suka danau juga?" Aku bertanya sebelum meninggalkan wanita dengan rambut tergerai hingga bahu.

"Saya menginap di kota, Pak. Ini hari kedua saya duduk-duduk di sini."

"Oh ya? Kok senang di sini?"

"Saya suka karena matahari terbenam paling indah di lihat dari sini."

"Betul. Makanya saya juga tadi minta taxi yang mengantarkan saya untuk berhenti di sini saja. Saya pernah ke sini dua puluh tahun lalu."

Wanita itu --- kupikir usianya belum 20 tahun --- menoleh kembali ke arahku dengan tatapan penuh selidik. Andai saja aku menikah, mungkin usia anakku tak jauh beda dengan dia.

Dari bias cahaya senja, aku masih bisa melihat jelas wajah gadis ini. Kulihat dia mengernyitkan dahi. Tak lama kemudian tersenyum. Mengangguk-anggukan kepalanya.

"Pasti Bapak punya kenangan indah sehingga napak tilas ke mari. Bapak orang Kalimantan?"

"Betul. Kok tahu?" Aku terkejut. Sungguh. Tak banyak orang yang baru mengenalku tahu asal daerahku. Aku bisa meniru aksen Jawa dan Bugis, karena sahabatku di Samarinda banyak berasal dari kedua suku bangsa itu.

"Tebak-tebak saja."

"Kukira karena kamu bisa mengenali aksenku. Boleh tahu namamu, Dik?"

"Rindu Langit Syahdu. Bapak?"

"Namamu seperti itu?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan dia.

"Ada masalah dengan nama itu?"

"Tidak juga. Hanya tidak biasa. Saya Putra."

"Hahahaha, pastilah. Mana ada putri seperti Bapak."

"Maksud saya, Putra Eka Lakara Samudera. Teman-teman saya menyingkatnya Pelas. Saya tak suka. Cukup Putra."

"Lucu."

"Maksudmu?"

"Bapak anak pertama, dari seorang nelayan yang bercita-cita agar anaknya jadi tentara. Betul kan?"

"Kamu peramal atau sekedar menebak arti nama saya? Sebagian betul sih. Hahaha. Saya anak tunggal. Betul bapak saya nelayan. Dia perantauan dari Makassar. Ayah saya memang menginginkan agar saya jadi Angkatan Laut! Hahaha."

"Terkabul?"

"Tidak. Saya jadi dosen jurusan bahasa dan sastra daerah."

"Hahaha, jauh beda dengan cita-cita Ayah bapak ya?"

"Ya sih. Rindu, eh Langit, maksud saya Syahdu, ah bingung saya menyebut nama sapaanmu..."

"Rindu saja, Pak."

"Rindu sendiri asal dari sini?"

"Saya sedang liburan. Ibu saya orang Balikpapan dan tinggal di sini hingga almarhum wafat. Ayah saya dari Palembang."

"Balikpapan itu dekat kota saya, Samarinda. Jauh juga jodoh ibumu. Ngomong-ngomong, mengapa kamu sampai dua hari berturut-turut ke mari?"

Matahari menyisakan bias senjanya di langit. Tepi danau mulai temaram. Dingin mulai menyergap tapi aku tak segera beranjak karena merasa nyaman ada kawan. Rindu Langit Syahdu. Cantik, sopan dan ramah.

"Mungkin lebih baik Bapak yang cerita lebih dahulu. Mengapa datang kedua kali ke danau ini."

"Oke, oke tapi agak gelap di sini."

"Sebentar purnama akan datang. Cahayanya akan mantul di danau dan insya Allah langit benderang. Bapak takut?"

"Takut apa? Hahaha.  Agaknya kesenangan kita sama. Saya sudah merencanakan ke danau ini tiga bulan lalu. Saya memilih hari ini karena malam ini pasti bulan penuh. Saya suka pada purnama."

"Ceritanya hanya itu?"

"Hahaha. Tidaklah. Seperti saya katakan tadi, dua puluh tahun lalu saya pernah ke sini. Bersama teman-teman mahasiswa. Seorang di antara mahasiswa itu,  maksud saya yang wanita, sangat saya sukai dan saya nyatakan cinta saya padanya. Di sini."

"Romantis sekali."

"Hahaha. Biasalah itu. Saya kecewa karena cinta saya ditolak. Alasannya sederhana."

"Apa itu?"

"Dia sudah punya pacar. Dia bilang, sesungguhnya dia juga tertarik pada saya. Bahkan sejak kali pertama berkenalan. Akan tetapi, karena dia wanita, dia tidak bisa mengungkapkan lebih dulu."

"Waduh. Seru juga."

"Dia, katanya, menunggu hingga empat semester. Ternyata saya tidak juga mengungkapkan perasaan saya. Akhirnya, dia menerima lamaran anak dari kerabat ayahnya. Usai wisuda menikah. Kami terpisah."

"Sudah malam, Pak. Saya pamit duluan. Kalau Bapak berkenan, bisa saya antar ke penginapan. Saya bawa kendaraan."

"Terima kasih. Saya mau jalan kaki saja ke penginapan yang kamu katakan tadi. Sayangnya, saya belum dengar ceritamu."

Rindu Langit Syahdu tak merespon kata-kataku. Dia malah bertanya, berapa sudah anakku.

"Saya belum berkeluarga."

"Sungguh? Setidaknya Bapak sudah mendekati 40 tahun."

"Kamu memang peramal. Dua bulan lagi usiaku empat puluh satu tahun."

"Bapak punya nomor WhatsApp?"

Atas permintaan gadis itu, kuberikan nomor telepon.

"Oh ya,  nanti saya ceritakan mengapa saya dua hari ini duduk-duduk di sini tapi lewat chatting saja ya, Pak," kata Rindu Langit Syahdu. Lalu mobilnya hilang di tikungan.

Dua jam sudah aku merebahkan tubuhku di home stay yang bersih dan sejuk ini tapi mataku belum bisa terpejam.

Aku pun melangkah ke beranda samping. Kulihat bulan penuh. Langit benderang.

Teleponku bergetar. Sebuah pesan masuk.

"Rindu ingin berlama-lama duduk di tepi danau bersama Bapak. Rindu tak sanggup. Cerita Bapak membuat jantung berdebar. Dada rindu sesak. Rindu ingin menangis. Rindu tahan sekuat hati. Barulah di penginapan menangis. Rindu sedih sekali, Pak."

Lidahku tercekat. Campur aduk berbagai perasaan dan pertanyaan di batin.

"Rindu adalah putri tunggal Ratna Puspa Sari. Ibu Rindu empat tahun lalu menghadap Allah. Ibu dan ayah berpisah setelah empat tahun menikah dan saat itu Rindu masih bayi. Ayah menikah lagi. Ibu tak mau di madu dan memilih menjalani hidup sebagai orang tua tunggal dan mengasuh Rindu hingga menjelang ujian SMA. Almarhumah ibu pernah bercerita bahwa sesungguhnya dia memang tidak terlalu cinta pada ayah tapi karena dijodohkan dengan kerabat dan lelaki yang dicintainya tidak juga menyatakan cintanya, terjadilah pernikahan itu."

Masya Allah. Aku tak kuat menahan air mata agar tak mengalir.

"Ibu bilang, andai dia menikah dengan lelaki idamannya, mungkin nasibnya tidak harus menjanda. Almarhumah ibu Rindu juga dosen seperti Bapak. Cerita Bapak persis seperti yang sering ibu ceritakan. Dia sangat suka dengan Danau Linow. Seingat Rindu, sudah empat kali Ibu mengajak saya ke sini. Doakan ibu Rindu ya, Pak. Rindu juga berdoa agar Bapak mendapat jodoh segera dan jangan lupa undang : Rindu Langit Syahdu, putri almarhum Ratna Puspa Sari. Ini nomor Rindu, Pak. Rindu beruntung bisa bertemu Bapak. Seakan hadir kembali ibu di depan saya. Mudah-mudahan Bapak berkenan mengizinkan sesekali Rindu menyapa Bapak."

Aku tak kuasa menahan sesak dadaku dan menahan agar mataku tak basah. Ya Allah, pertemukan aku dengan Rindu Langit Syahdu besok. Dia bukan darah dagingku tapi mudah-mudahan dia menerimaku sebagai ayahnya.***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 07-Berkenalan dengan Sulam Alis dan Sulam Bibir
1
0
Tahukah sahabat bahwa Pricilia Seventina adalah nama yang membawa keberuntungan bagi Painem. Dia sudah mengenal wadges, sulam alis, sulam bibir, Ori, KW satu, pedicure mancure.Hidupnya berubah dan kini dia pun jatuh dalam pelukan lelaki mabuk Asmara. Siapa dia? Silakan lanjut dibaca.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan