
KETUKAN PINTU TERAKHIR adalah satu dari puluhan cerita yang pernah saya posting di sebuah grup dan mendapat apresiasi sangat baik.
Banyak yang meminta agar cerpen ini bersambung karena menganggap masih ada harapan lain sebagaimana akhir cerita ini.
Bagaimanakah pendapat sahabat? Silakan komen. Jangan lupa untuk mengikuti.
Oh ya, sampai cerita yang ke tujuh ini, saya memilih βterbukaβ untuk setiap cerpen saya. Siapa pun bisa membacanya. Ada sahabat yang ingin menghargai karya saya dan menyarankan agar...
π Ketukan Pintu Terakhir
Anita baru saja menidurkan Aldo, anak pertama yang baru berusia 6 tahun, tiba-tiba gelegar halilintar seakan memecahkan kaca jendela rumahnya. Seketika, Winarni, adik Aldo yang masih bayi, menjerit. Bayi berusia dua tahun dalam gendongannya itu pun meronta-ronta.
"Ya Allah, tolong hambamu ini," doa Anita lirih. Hujan turun. Listrik padam. Winarni menjerit lagi. Lebih keras suaranya. Anita pun menangis. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Tak ada lampu darurat. Yang ada hanya gelap.
Aldo dan Winarni adalah buah hati Anita yang harus dirawat, diasuh, dididik dan dibesarkan setulus hati. Sejak Raditya, suaminya, menikah lagi dan mereka berpisah, kehidupan berubah seratus delapan puluh derajat. Terutama soal keperluan hidup. Ibu dua anak ini tidak bisa hanya mengurus rumah, tapi juga memastikan anaknya makan. Kebutuhan dasar yang tidak bisa ditawar.
Apakah yang bisa dilakukan seorang wanita lulusan SMP dan tidak punya pengalaman kerja di kantor, pabrik, toko pun di sawah, huma dan tambak? Anita hanyalah seorang anak yang sehari-hari membantu ibunya mengurus rumah dengan hanya menimba air di sumur, memasukkannya ke dalam bak mandi dan drum.
Lengan Anita hanya terbiasa mengupas singkong, mengiris, menjemur, menggoreng dan mengemasnya lalu mengantarkan ke warung-warung kecil di desa. Setiap hari.
Sedari subuh, dia sudah sibukkan urusan air, menjerangnya, mencampur dengan air dingin lalu memandikan ibunya yang lumpuh karena stroke sudah empat tahun. Selesai itu, ia harus mencuci piring, pakaian dan merapikan rumah.
Ketulusannya merawat bundanya, mencari rejeki melalui kerupuk singkong, setiap hari, telah menjadi alasan utama jika kemudian ia tidak melanjutkan pendidikan ke SMA.
Allah berkehendak, bunda yang dirawatnya selama empat tahun itu akhirnya berpulang. Tinggallah Anita sendiri. Menghuni rumah almarhum bundanya. Tanpa saudara.
Di rantau ini, Anita tidak punya keluarga. Saudara ibunya semua di Jawa. Ayahnya tidak punya saudara. Dia anak tunggal. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal. Keluarga Anita adalah semua tetangga yang baik hatinya.
Tetangga itulah keluarga Anita. Salah seorang tetangga yang cukup berada meminang untuk anaknya. Dia bersedia. Maka, delapan tahun lalu, jadilah Anita istri dari Raditya hingga beroleh dua orang buah hati. Itulah Winarni dan Aldo.
Raditya adalah anak tetangga Anita yang beruntung. Lahan pertanian peninggalan ayahnya menyimpan batu bara. Lahan itu berubah jadi tambang.
Sejak itu kehidupan berubah. Raditya menjadi suami sibuk. Sesungguhnya, ganti rugi lahan dua hektar yang ditambang pengusaha itu tidak terlalu besar juga nilainya tapi Raditya melihat celah baru. Ia membujuk para pemilik lahan pertanian sekitarnya untuk diganti rugi. Sebagian setuju, sebagian menolak.
Raditya tidak lagi dikenal sebagai pemilik toko kelontong warisan orang tuanya. Dia lebih dikenal sebagai pengusaha sukses batu bara. Kemana-mana berkendaraan roda empat.
Sebenarnya, penghasilan Raditya tidaklah besar. Ia bukan pengusaha yang sesungguhnya. Profesinya tak lebih dari makelar tanah. Tidak bisa disebut pengusaha tambang karena penambangan di kampungnya itu ilegal. Skala kecil dan itu bukan pula milik Raditya.
Di belakang Raditya memang ada pengusaha spekulatif. Hasil tambang-tambang kecil itu ada yang menampungnya. Mereka itulah teman Raditya yang biasa ngobrol di kafe-kafe dan lobby hotel.
Pergaulan Raditya berubah. Ia biasa keluar malam bersama para pengusaha yang selalu haus menggarap lahan para petani dan pekebun. Pergaulan itulah yang menyeret Raditya pada kehidupan malam dan jatuh hati pada pekerja di tempat hiburan malam. Raditya menikahinya. Dia berterus terang pada Anita.
Anita sudah mengingatkan Raditya agar berhati-hati, terutama soal pergaulan. Peringatan itu tidak berbekas di hati Raditya yang sudah tertutup dan buta oleh senyum semu, cinta semu.
Jalinan suami istri yang sudah berlangsung delapan tahun itu bubar dua tahun setengah yang lalu. Saat itu, Winarni baru berusia enam bulan.
Anita tidak menyesal atas keputusannya. Dia jalani kehidupan sebagai orang tua tunggal dengan sepenuh hati. Dia rawat kedua buah hatinya dengan segenap kemampuan jiwa raganya. Orang-orang kampung yang dulu menyebut Anita sebagai perempuan beruntung akhirnya menyebut Anita sebagai 'perempuan malang'.
Perempuan malang itu sekarang adalah tukang cuci, tukang pel dan tukang masak di dua rumah tetangga. Profesi lama sebagai penjual kerupuk singkong pun akhirnya dilakoni kembali oleh perempuan malang itu demi kelangsungan hidup bersama kedua anaknya.
Tak ada yang tahu, kecuali Anita sendiri, sudah tiga kali Raditya datang tengah malam menemui Anita dan mengajaknya untuk rujuk.
"Aku sudah pisah. Hanya tiga bulan. Maafkan aku Anita, aku telah salah jalan. Aku ingin meluruskan jalanku. Beri aku kesempatan."
Anita bergeming.
"Aku bersalah padamu juga pada kedua anakku. Hari-hariku selalu tersiksa karena selalu ingat Aldo dan Winarni."
"Abang tersiksa karena ingat mereka. Aku menderita karena aku harus memastikan mereka tetap bisa makan. Tapi aku bahagia, Bang. Jadi, jangan usik kebahagiaanku."
Raditya terperangah. Tidak disangkanya jawaban Anita seperti itu. Dikiranya Anita akan menerimanya kembali sebagai suami. Dia terlalu percaya diri.
"Itulah yang juga menyebabkan aku datang padamu untuk meringankan bebanmu. Betapa berat dirimu mengasuh kedua buah hati kita."
"Memang sangat berat tapi aku sudah terbiasa. Aku tidak apa-apa. Bahagia-bahagia saja. Anak-anak juga sudah biasa. Tidak lagi bertanya kemana ayahnya. Apalagi Winarni, dia Abang tinggalkan sejak bayi jadi tidak tahu siapa ayahnya."
Raditya mengusap air matanya. Ia menghiba agar Anita mau mengampuni kesalahannya dan mau menerimanya kembali sebagai suami dan ayah kedua anaknya.
"Abang adalah ayah dari Aldo dan Winarni tapi bagi saya, Abang bukan siapa-siapa. Penuhi kewajiban Abang sebagai ayah tapi tidak ada kewajiban dan hak Abang kepada saya. Ini sudah terlalu larut. Saya harus istirahat."
Raditya termangu.
"Maaf, Bang. Saya harus mengunci pintu." Kata Anita lagi. Raditya tidak bisa berkata apa-apa karena Anita memberi isyarat dengan tangannya agar Raditya keluar dari rumah itu.
Guntur kembali menggelegar. Hujan belum juga berhenti. Juga hujan di mata Anita. Winarni sudah terlelap dalam dekapannya..
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Pukul 21.15. Tak ada orang biasa bertamu malam-malam ke rumah ini sejak Anita berpisah dengan Raditya. Apakah pengetuk pintu itu adalah Raditya sendiri?
Anita tidak melihat apa-apa di dalam rumah yang gelap. Karena itu, siapapun tamu itu tidak akan ia bukakan pintu. Apalagi kalau Raditya, menerima tamu, malam-malam, gelap, sangat berbahaya.
"Anita, bukakan pintu. Aku Raditya. Aku kedinginan." Suara dari balik pintu. Anita pura-pura tak mendengar. Jantungnya berdebar. Ia kuatir, Raditya yang datang di malam gelap seperti ini akan berbuat onar, nekat dan mengancam jiwa.
Sudah tiga kali lelaki itu datang malam-malam. Dia mengaku malu jika datang siang karena takut dilihat orang.
"Kalau malu, ya jangan datang." Begitu sahut Anita.
"Anita, bukalah." Suara Raditya memelas. Anita bergeming. Ia menutup telinga dengan kedua ujung telunjuknya.
Perempuan malang itu tidak bisa tidur meskipun suara ketukan pintu tidak didengarnya lagi.
Pukul 22.40, listrik menyala. Anita memandang buah hatinya yang terlelap. Sedih hatinya. "Mudah-mudahan kamu sabar dalam hidup sebagaimana aku berusaha untuk sabar mengasuhmu." Harap Anita dalam hati kepada kedua buah hati.
Anita berdiri untuk mematikan lampu ruang tamu, tiba-tiba pintu diketuk lagi.
"Anita, bukalah. Aku kedinginan. Tolong aku." Lirih sekali suara Raditya.
Anita terkejut. Tak menyangka Raditya masih berada di depan rumahnya. Di dalam saja dingin apalagi di luar. Lampu di ruang tamu sudah ia padamkan. Anita pun masuk ke kamar tidurnya.
Kedatangan Raditya terakhir 3 Minggu lalu. Anita terpaksa menerima mantan suaminya itu karena pintu rumah belum terkunci.
Lelaki ganteng itu sudah jauh berbeda. Tubuhnya kurus. Matanya cekung. Tampak benar ia tidak terurus. Kepada Anita, mantan suaminya itu mengaku sakit-sakitan. Sakit yang paling berat dideritanya adalah beban menanggung kesalahan dan dosa kepada istri dan anaknya. Itulah sebabnya dia meminta memberi kesempatan kepadanya agar bisa menebus dosa itu.
Anita bersikukuh dengan hatinya. Lelaki bernama Raditya itu adalah pengkhianat. Mengapa harus menerima pengkhianat. Kalau Anita mau, banyak lelaki jujur, baik, tulus, di luar sana yang telah menyatakan perasaan cintanya. Anita bergeming. Cinta hanya ada pada kedua buah hatinya. Setidaknya untuk sementara waktu. Raditya adalah masa lalu. Masa lalu yang sudah dikubur oleh pemiliknya sendiri. Mustahil untuk dibangkitkan.
Tiba-tiba Anita terkejut. Suara ketukan pintu tidak lagi bersahabat. Keras suaranya. Namanya pun dipanggil berulang-ulang. Anita melihat jam dinding. Pukul setengah enam. Masya Allah, dia bangun kesiangan.
Ia segera bergegas menuju pintu depan. Banyak tetangganya berkumpul. Beberapa orang lelaki membopong tubuh kurus ke sebuah mobil.
"Sejak kapan dia di tangga rumahmu?" Ketua RT bertanya pada Anita.
"Saat listrik padam. Saya tak berani membuka pintu. Gelap, Pak. Selain itu, kan sudah malam."
"Kasihan juga ya."
Anita tak bereaksi.
"Mudahan lapang kuburnya." Kata pak RT lagi.
"Memangnya Bang Raditya...?"
"Tidak ada lagi denyut nadinya. Biarlah kita tunggu, apa hasil pemeriksaan nanti."
Hari itu, Anita mendengar kabar, Raditya, ayah Aldo dan Winarni, mantan suaminya, telah menghembuskan nafas terakhir di tangga rumahnya.***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
