Sekeping Hati Ai

0
0
Deskripsi

Pijar mengakui kalau sebenarnya Alifa  bukan anaknya. Ai kaget mendengarnya. Tapi apa itu akan mengurangi kasih sayangnya pada anak itu? Tidak. Ia sayang sekaligus kasihan padanya. Tapi tidak lama Pijar juga mengatakan kalau suatu saat ia akan mengambil Alifa. Ai merasakan hatinya hampa. Ia akan kehilangan Pijar dan juga Alifa.

Bab 11  Anak Siapa? 

Mas Pijar menjalankan mobil perlahan, membawa mobil keluar dari halaman rumah menuju jalanan. Setelah melewati kemacetan di perempatan jalan, mobil kembali melaju dengan lancar. Suasana sepi melingkupi dalam mobil. Hingga beberapa menit aku maupun mas Pijar tak juga menemukan bahan obrolan. Apa mas Pijar segrogi aku? Ah, kukira tidak. Orang sekeren dia pasti sudah pengalaman pergi bersama cewek.  Entah berapa kali ia berganti pacar. 

“Kenapa kamu nggak minta motor sama bulik atau om Hari?, Ai? Tempat kuliahmu kan lumayan jauh?” tanya mas Pijar tiba-tiba.

Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. “Ah, enggak, Mas,” jawabku.

“Kenapa?” cowok itu menoleh sekejap kepadaku, lalu kembali menghadap ke jalanan.

“Nggak apa-apa. Bisa kuliah juga aku sudah senang.” 

Waktu itu ayah udah mau ambil motor buat aku dengan cara kredit. Tapi aku lebih butuh laptop dan printer. Dari pada aku harus pergi ke warnet, atau numpang ngetik di laptop Mita setiap kali harus mengerjakan tugas kuliah. Bahkan dengan laptop aku bisa mengembangkan hobi menulisku sampai sekarang. Meski begitu ayah waktu itu masih juga menawari beli motor. Tapi aku menolak.

 Sebagai anak angkat, semakin dewasa aku semakin sering berpikir untuk membalas kebaikan ayah dan ibu. Bukan malah membebani mereka. Aku ingin cepat lulus, lalu kerja. Terbayang, gaji pertama yang aku terima nanti akan aku belikan sesuatu buat ayah, ibu dan juga Alifa.

“Kenapa kamu bersikap seperti orang lain? Kamu sudah seperti anak kandung. Kamulah anak satu-satunya harapan bulik dan om.”

“Justru karena aku anak angkat.”  Aku nggak mau manja dan memanfaatkan kebaikan ayah dan ibu. Aku melanjutkan jawabanku dalam hati.

 “Kamu mengambil alih posisiku di rumah bulik. Kehadiranmu di rumah bulik sempat membuatku kecewa dan berpikir kalau kamu sudah merampas bulik dariku.”

Aku tercekat. “Maaf, Mas,” ucapku dengan sungguh-sungguh dan merasa nggak enak. Dan aku merasa memang telah merenggut ibu darinya. “Aku baru tahu kalau mas Pijar selama ini marah padaku.”

Tapi saat aku mengerling, kulihat dia tidak menunjukkan dendam, tapi senyum konyol yang ditujukan pada dirinya sendiri.

Aku lega karena kami akhirnya bisa ngobrol selama dalam perjalanan. Dan aku merasa kami sudah lebih akrab. Dia tidak sekaku yang kukira.

 “Ai,” panggil mas Pijar kemudian.

Aku menoleh dengan penuh dengan perlahan. Dari samping, nampak irisan wajah menarik itu. Dahinya yang lebar, matanya yang dalam, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang lembut.

“Makasih, selama ini sudah menjaga Alifa!” ucapnya kalem dan terdengar tulus.

Aku terdiam sesaat. “Aku hanya bantuin ibu menjaga Alifa,” sahutku sambil kembali membawa kepalaku berpaling ke arah jalanan di depan.

“Kamu pikir aku nggak dengar cerita dari bulik bagaimana kamu merawat Alifa? Dari bangun sampai datang waktu tidur, kamu yang lebih sering bersama Alifa.”

Aku mengiyakan dengan senyum simpul. Memang iya. Aku yang lebih sering bersama Alifa ketimbang ibu. Apalagi kalau ibu sedang banyak jahitan yang harus segera diselesaikan.

“Lama-lama kamu kayak bulik. Kamu begitu menyayangi Alifa. Padahal Alifa nggak ada hubungan apapun denganmu.”

Aku termangu menatap pemandangan di luar kaca. Aku menyayangi Alifa bukan semata-mata karena aku juga menginginkan mas Pijar.  Aku tulus  menyayangi Alifa dengan sepenuh hati.

Tidak lama mas Pijar menepi dan kemudian menghentikan kendaraannya. Aku menoleh dan mendapati laki-laki di sebelahku itu seperti mau mengungkap sesuatu. Kurasakan hatiku berdebar-debar. Mau ngapain dia? Mas Pijar berterima kasih padaku karena aku telah merawat anaknya dengan baik? Apa lalu dia mau menyatakan perasaannya padaku. Oh, itu kayalanku, dan aku sudah merasa melambung tinggi.

“Ai,” panggilnya lagi perlahan. Pandangannya menatap penuh ke arahku.

Aku tidak kuasa menyahut panggilannya. Karena dentaman dalam dadaku yang makin keras bertalu.

“Maukah kamu menyimpan rahasia ini?” pintanya mendadak berubah serius.

Aku menatapnya nanar dan menyadarkan diriku bahwa sorot matanya bukan sebagaimana orang yang ingin mengungkap perasaan cinta. “Rahasia apa?” detak di jantungku kini beralih ke arah pikiranku yang tak mampu menebak apa yang hendak dia utarakan. Apa yang akan dikatakan mas Pijar sebenarnya? Aku resah dan terus bertanya-tanya.

“Berjanji kamu tidak akan menyampaikan pada ayah, ibu atau siapapun. Ini hanya rahasia kita. Oke?”

Aku sempat yakin dan terpikir mas Pijar juga menyukaiku, tapi tak mau ketahuan sama ayah dan ibu atau siapapun. Karena kami adalah kakak adik. Meski bukan sekandung. Meski tidak sedarah. Setidaknya itu mungkin alasan ayah atau ibu tidak menyetujui hubungan kami. Tapi aku heran kenapa mata di hadapanku itu tidak terlihat akan mengatakan hal yang terpikir olehku?

“Aku juga nggak tahu kalau akhirnya aku memutuskan akan mengatakannya padamu.”

Aku menunggu ucapannya dan memaksa menerobos matanya yang cukup resah itu. Apa mas Pijar mengira aku akan menolaknya? Bukan. Bukan. Otakku bersikeras membantah.Mungkin mas Pijar berpikir ….

“Alifa bukan anakku.”

Aku tak mampu seketika mencerna kalimatnya. Apa yang dia katakan? Alifa bukan anaknya? Lalu? Dadaku bergemuruh. Lalu anak siapa? Kalau bukan anaknya kenapa dia membawa ke tempat ibu? Kalau bukan anaknya kenapa dia malam itu menyerahkan bayi itu pada ibu dan meminta ibu merawatnya?

“Aku belum lama ini menjalani tes DNA dan hasilnya aku dan Alifa tidak ada hubungan darah.”

Aku terpaku. Namun pikiranku melompat ke sana kemari.

“Alia, pacarku, aku juga belum lama menyadari hal itu,” ia memulai mengungkap sebuah kisah mengejutkan. “Dia rupanya telah menghianatiku. Dia hamil entah dengan siapa. Dan mungkin laki-laki itu tak mau bertanggung jawab. Dia lalu menjebakku. Aku ingat waktu itu dia memberiku minuman waktu aku datang ke rumahnya. Aku tertidur semalaman. Waktu aku bangun pagi harinya aku tiba-tiba sudah bersamanya di sebuah tempat tidur. Sekitar dua atau tiga bulan kemudian dia mengatakan kalau dia hamil, dan dia meminta pertanggunganjawab padaku. Anehnya dia nggak mau menikah dengan beralasan akan melanjutkan kuliah ke luar negeri.  Dia minta aku membesarkan anak yang dilahirkannya.”

Aku terpana dan mengutuk dalam hati. Perempuan bejad. Dia hamil dengan laki-laki lain, lalu sengaja berniat membuang anaknya. Benar-benar nggak punya hati nurani.

“Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantor dan nggak tahu kalau dia berselingkuh. Alia mengatakan dalam dua tahun dia akan kembali ke Indonesia. Tapi sampai sekarang sudah hampir tiga tahun, dia tak juga kembali. Hubungan kami sudah terputus saat ini. Aku coba hubungi tapi nggak pernah dijawab. ”

Namun begitu mas Pijar masih begitu mencintai pacarnya. Menyedihkan. Sekaligus bodoh. Kenapa mencintai perempuan rendah dan gampangan begitu? Aku ingat bagaimana penampilannya waktu di bawa ke Jogja dan dikenalkan dengan seluruh keluarga. Cantik, sih. Kulitnya putih bersih, matanya lebar dan badannya langsing. Sebagian fisik yang dimiliki Alifa adalah karena gen ibunya. Tapi penampilannya sungguh tidak ada sopan-sopannya. Rambutnya dicat seperti bule dan pakaiannya juga kurang sopan. Celana jins sobek-sobek dan baju yang  kurang pantas karena tipis dan memperlihatkan sebagian bahunya.

“Bagaimanapun aku merasa bersalah pada bulik. Bulik mau merawat Alifa karena tahu dia anakku. Begitu juga dengan kamu.“

Ya. Tapi mas Pijar adalah alasan kedua, ketiga atau mungkin ke tujuh belas kenapa aku merawat Alifa. Alasan pertamaku karena kemanusiaan. Dan setelah mendengar apa yang diungkapkannya, apa aku akan membenci Alifa? Oh, andai mas Pijar tahu, kasih sayangku pada Alifa tak akan berubah. Tangisannya di teras tadi masih terngiang di telingaku. Melihatnya meronta sambil tangannya berusaha meraihku waktu aku berangkat tadi masih membekas diingatanku. Aku justru makin kasihan pada anak itu. Ibunya benar-benar perempuan …. nggak tahu lagi bagaimana aku menyebutnya.  Bisa dibayangakan kalau Alifa tinggal bersamanya, dia pasti juga tidak akan mendapat curahan dan perhatian yang berlimpah sebagaimana yang aku, ayah dan ibu berikan. 

 “Aku akan tetap menyayanginya. Dan aku akan tetap merawatnya,” ujarku dengan keputusan dan tekad yang bulat.

“Aku menghargai ketulusanmu. Dan aku mengucapkan terima kasih atas apa yang telah kamu lakukan pada Alifa. Tidak lupa aku juga minta maaf sudah membebanimu dengan membawa Alifa ke rumah.”

“Apa mas Pijar akan mengambil Alifa suatu saat nanti? Atau akan membiarkan dia tinggal di rumah ibu?” tanyaku.

“Aku sudah menyatakan pada bulik dan om Hari kalau dia anakku. Maka aku akan mengambilnya dan merawatnya nanti. Alifa cantik, pintar dan lucu anaknya. Aku mulai mengenalnya dan sepertinya aku juga sudah menyayanginya.”

Ia kembali menjalankan mobil dan aku merasa ditinggalkan meski kami masih duduk di dalam mobil. Entah. Hatiku terasa begitu kosong dan merana. Harapan yang pernah kurajut itu lenyap. Aku tidak saja merasa ditolak cintaku. Aku kehilangan seluruh harapanku. Aku akan kehilangan mas Pijar dan juga Alifa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Hold Me Love Me (2)
0
0
Prastiwi merajuk ketika Fajar tidak mengijinkan dia bekerja. Dia mendiamkan Fajar dan tidak memperdulikannya. Dan tentu saja sikapnya itu membuat Fajar tersiksa. Akhirnya Fajar luluh dan memberi ijin dia bekerja, meski dengan banyak syarat yang dia tentukan. Prastiwi merasa senang dan nggak perduli dengan syarat apapun, asalkan dia boleh bekerja.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan