My Crazy Boss (Bab 4 & 5)

28
6
Deskripsi

“Apa itu hari Minggu? Kayaknya nggak pernah dengar.”

-Sambatan anak buah yang tetap bekerja di hari libur-

Bab Empat

Hari ini aku punya rencana sempurna untuk menghabiskan akhir pekan sebelum berangkat ke Filipina untuk syuting selama lima hari.

Setelah salat subuh, aku akan beres-beres kamar kosku yang mirip sarang penyamun. Baju kotor yang bertebaran di lantai dan menumpuk di keranjang harus dibawa ke laundry. Lantai yang lengket karena tumpahan milo empat hari yang lalu harus dipel sampai kinclong dan kesat. Jangan lupa mengelap jendela kamar yang sudah berdebu, juga membersihkan sarang laba-laba di sudut kamar. Kegiatan bersih-bersih seperti ini jelas tidak akan lakukan di hari kerja, karena aku lebih suka tidur jika ada waktu luang.

Urusan kebersihan kamar selesai, lalu aku akan mandi, luluran dan keramas empat kali biar kepalaku nggak gatal lagi. Jangan lupa pakai conditioner biar rambutku nggak sekasar sabut kelapa. Walaupun keesokannya aku harus syuting panas-panasan, minimal rambutku pernah wangi dan lembut. 

Aji berjanji akan menjemputku sejam 10. Jadi aku harus sudah siap sebelum dia tiba. Cowok macho itu akan menemaniku ke mal untuk berburu skechers baru, karena yang lama sudah menyerah dibawa berlarian ke sana-sini. Setelahnya kami akan menonton, lalu makan di restoran fast food untuk menumpuk lemak dan kolesterol. Terdengar seperti rencana sempurna dan banyak dilakukan oleh pegawai normal yang punya work-life balance, kan? 

Baru saja aku selesai siap-siap setelah kerja rodi membersihkan kamar, sebuah pesan masuk. Pesan yang paling tidak aku harapkan. Siapa lagi kalau bukan si Bege!

[Ra, ke kantor sekarang! Script kamu perlu direvisi.]

Sekarang kalian mengerti kan, kenapa aku bilang kehidupan sosialku nyaris nol? Hari libur saja aku masih harus ke kantor. Itulah derita punya bos yang nggak waras seperti Sabda.

Dengan gontai aku menghampiri Aji yang sudah menunggu di ruang tamu. Anak ini memang nggak pernah telat kalau janjian. Berbanding terbalik dengan aku yang suka molor karena pikun. 

“Mau jalan kok mukanya manyun gitu?” Aji mengerutkan kening saat aku duduk di seberangnya.

“Jalan ke kantor maksudnya?” balasku sewot. Susah payah aku keramas dan dandan, tetapi si Raja Tega itu merusak semuanya. Boleh nggak sih nyumpahin bos sendiri cepet mati? 

“Pak Sabda nyuruh lo kantor?”

Aku mengangguk. “Katanya script gue harus direvisi. Padahal kemarin gue udah revisi sampai lima kali dan katanya udah oke.”

Aji geleng-geleng. “Tapi ini kan hari libur lo, Ra.”

“Mungkin dia sering bolos pelajaran Bahasa Indonesia. Makanya dia nggak tahu definisi libur itu apa,” keluhku. Punya bos gila yang perfeksionis setengah mampus itu memang menguras kewarasan dan kesabaran. “Kayaknya rencana kita terpaksa batal deh, Ji.”

“Gue tungguin lo di kantor,” putus Aji. “Revisi script nggak mungkin seharian, kan?”

“Tapi—”

“Ayo, buruan!” Aji berdiri. Tidak memberiku kesempatan untuk melanjutkan protes. “Makin cepet lo ke kantor, makin cepet juga revisi lo kelar.”

Dengan semangat yang tersisa 20 persen, aku mengikuti Aji menuju mobilnya. Baru juga kami meninggalkan indekos, si Bege menelepon. Ya Tuhan! “Iya, Pak?” sapaku ogah-ogahan tanpa repot-repot mengucapkan salam.

“Kamu sudah baca chat saya?” 

“Sudah.”

“Lalu kenapa tidak kamu balas?” Suara Sabda terdengar tak sabar.

Aku melongo sebentar. “Harus banget dibalas, Pak? Yang penting saya datang ke sana, kan?”

“Tapi saya perlu konfirmasi kamu, Ra. Sekarang kamu di mana?”

“Di jala, Pak. Lima menit lagi sampai.” Indekosku memang berada di belakang Satia Tower. Kalau sedang waras, aku jalan kaki menuju kantor. Hitung-hitung cardio biar jantungku sehat. Tapi kalau malasku kumat, terutama jika malamnya lembur, aku akan memesan ojek online.

“Ya sudah, saya tunggu. Nggak pakai lama, ya.”

Panggilan diakhiri sebelum aku sempat mengatakan ‘iya’. Aku hanya berdecak sambil menatap layar ponselku dengan sebal. Aji tidak mengatakan apa-apa. Dia pasti sudah cukup paham seperti apa karakter bosku yang satu itu. Selain karena beberapa kali menjadi campers (camera person, istilah lain untuk kamerawan) dalam programku, Aji juga sering jadi tong sampah atas keluh kesahku tentang Sabda.

Tiba di Satia Tower, Aji mengatakan akan menunggu di rooftop. Tempat itu memang sangat nyaman untuk nongkrong, makan-makan, sampai brainstorming. Aku hanya mengangguk dan bergegas menuju lift yang membawaku ke lantai 15.

Lantai ini digunakan untuk departemen produksi dan terbagi menjadi dua. Yang pertama berisi produser, kreatif, asisten produksi (PA), talent, wardrobe, produser eksekutif dan ketua departemen produksi. Lalu yang kedua adalah ruang IT broadcast serta ruang departemen pascaproduksi yang terdiri dari editing, audio post dan graphics.

Hanya ada beberapa orang yang tampak sedang bekerja ketika aku tiba. Maklum, ini hari Minggu. Hari liburnya para budak korporat termasuk pegawai stasiun TV. Kecuali aku, yang punya nasib sial karena punya bos agak lain.

Aku langsung menuju kubikelku. Sabda sedang duduk di kursinya. Sibuk mengetik sesuatu dengan raut serius. 

Morning, Boss,” sapaku datar sambil menarik kursi. 

“Hm.”

Aku tidak heran dengan jawabannya yang super irit. Terkadang Sabda bisa berubah jadi HP Esia Hidayah yang biaya pesan singkatnya dihitung berdasarkan karakter. Sudah kubilang kan, otak bosku ini memang agak lain.

“Bagian mana yang harus saya revisi, Pak?”

Sabda dia mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Dia menatapku dari atas sampai bawah dengan kening berkerut. “Kamu mau ngelenong di mana, Ra?”

Kampreet!

Susah-susah mandi, dandan lalu memilih dress sebetis yang nyaman, Sabda justru menudingku akan ngelenong. Kalau tidak ingat dia adalah bos yang menjadi jalanku menuju kreatif program musik, aku pasti sudah menyumpahinya dengan kata-kata mutiara. 

For your information, ini adalah hari libur. Saya mau jalan-jalan dan menghabiskan akhir pekan seperti orang normal ketika Bapak mengirim pesan tadi,” balasku ketus dengan penekanan pada kata ‘orang normal’. 

“Jalan-jalan sama siapa? Kamu kan nggak punya pacar.” Sabda tidak repot-repot menyembunyikan nada mengejek dalam suaranya. Jelas dia tidak sadar dengan sindiranku barusan.

“Memangnya jalan-jalan harus sama pacar, Pak?” Aku menahan geram. 

“Oh, sama teman? Tapi kayaknya kamu nggak punya teman selain Lani, Fajar dan Ibnu. Akhir pakan begini, mereka pasti sibuk dengan keluarga masing-masing. Mana sempat jalan-jalan sama kamu?” 

Mengapa aku, yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua, memiliki bos yang nggak punya akhlak seperti Sabda? Apa Tuhan menginginkan aku lebih sabar? Tetapi pertanyaan Sabda tadi sangat annoying. Aneh rasanya kalau aku tidak merasa kesal.

“Makanya cari pacar, Ra. Biar kamu nggak ke mana-mana sendirian.”

‘Gimana gue bisa cari pacar kalau setiap hari lo selalu ngerecokin gue, Bos?’ Ingin rasanya aku mengatakan itu. Tapi aku berhasil menyimpannya dalam hati dan bertanya, “Bagian mana yang harus saya revisi, Pak?” 

Berhasil! Sabda sepertinya tersadar akan tujuannya memanggilku ke kantor. Dia memberi isyarat agar aku mendekat ke kursinya. Meski enggan, mau tak mau aku membungkuk di sampingnya selagi dia menerangkan sambil menunjuk layar komputer yang menampilkan script buatanku.

“Bagian yang ini ‘Ada 13 juta penduduk Filipina yang tak mampu membeli makanan tiga kali sehari’ bisa kamu pertahankan. Tapi kalimat selanjutnya kamu hapus saja. Ganti dengan informasi bahwa membuang makanan berarti menghamburkan sumber daya dan membantu meningkatkan efek rumah kaca seperti gas metana. Efek yang lain bisa kamu riset sendiri.”

Mendadak perhatianku teralihkan ketika menghidu aroma maskulin dari Sabda. Mbak Lani dan segenap Sabda Lovers di gedung ini benar. Pria ini memang wangi. Aku baru menyadarinya. Kira-kira dia marah nggak ya, kalau aku tanya merek parfumnya? Aku tertarik untuk mencoba. Kebetulan aku lebih suka aroma citrus atau woody ketimbang aroma parfum yang manis.

Astaga, bisa-bisanya aku berpikir ingin menanyakan merek parfum si BeGe! Siapa tahu dia pakai parfum yang diekstrak dari bunga kamboja. Ih, amit-amit!

“Lalu untuk scene yang ini, kamu bisa minta koki restoran mendemonstasikan cara memasak yang lebih ramah lingkungan agar tidak banyak bahan makanan yang terbuang. Misalnya membuat kaldu dari kulit bawang bombay dan hal-hal seperti itu. Durasinya nggak perlu panjang-panjang. Yang penting caranya tersampaikan dengan jelas.”

Di luar kekejaman dan kegilaannya, harus aku akui Sabda adalah produser yang cerdas dan punya insting tajam. Dia tahu betul cara mengulik sebuah tema agar menarik untuk ditayangkan dan disukai oleh masyarakat. Memang itu adalah pekerjaan seorang produser. Tetapi Pak Wili, bos lamaku tidak begitu. Pak Wili hanya terima beres. Ketika ada konten yang tidak sesuai ekspektasi Mas Danu selaku Kepala Departemen Produksi, kreatif-lah yang disalahkan. Beruntung dia dipecat enam bulan yang lalu karena kedapatan korupsi.

“Baik, Pak. Ada lagi?”

“Itu saja. Nanti saya cek lagi setelah kamu revisi.”

Aku mengangguk, lalu kembali ke mejaku untuk mengerjakan apa yang Sabda minta. Kami lantas bekerja dalam diam hingga aku merasa bosan. Maklum, biasanya aku bekerja di samping Mbak Lani yang cerewet. Sementara Sabda sibuk dengan dunianya sendiri. Sesekali dia bicara dengan Mas Danu atau Mbak Sinta di telepon, tetapi selebihnya aku seperti tidak tampak di matanya. 

Satu jam kemudian aku selesai merevisi script seperti permintaan Sabda. Aku memintanya untuk mengoreksi. Tetapi baru di paragraf pertama, dia sudah berdecak tidak suka. “Banyak typo, Ra. Kamu ngetiknya yang bener, dong!”

Baiklah. Revisi lagi.

“Kamu belajar SPOK nggak waktu SD dulu? Kalimat kamu ini nggak jelas banget, Ra. Saya aja nggak ngerti, apalagi host-nya.”

“Ingat, Ra, kita ingin menayangkan konten yang menghibur, informatif, tetapi tetap sesuai dengan fakta. Tidak ada yang dilebih-lebihkan apalagi dikurangi. Tapi kalimat kamu ini terlalu judgemental dan menggiring opini. Ganti!”

“Kamu sebenarnya mengerti maksud saya nggak sih, Ra? Revisi semudah ini saja kamu butuh waktu lama.”

Aku baru tahu membuat script untuk sebuah tayangan bisa sesulit ini. Selama ini Mbak Lani, Mas Fajar atau Mbak Siska tampak mudah-mudah saja membuatnya. Sabda juga tidak banyak protes. Lalu mengapa Sabda rewel sekarang? Apa kemampuanku seburuk itu?

Mendadak aku ingin menangis. Mungkin karena efek PMS ditambah perutku sudah lapar sejak tadi. Apalagi Aji juga tak henti mengirim pesan yang menanyakan apakah pekerjaan sudah selesai atau belum. Tetapi karena aku pantang menunjukkan raut kesedihan apalagi kekalahan di depan Sabda, aku berusaha mengikuti semua perintahnya.

“Ini udah oke. Kamu bisa print dan fotokopi.”

Aku menghela napas lega. Setelah berjam-jam revisi, akhirnya aku bisa memuaskan Sabda juga.

“Setelah itu temani saya makan siang.”

Eh? “Gimana, Pak?”

Sabda berdecak tidak sabar. “Apa kalimat saya kurang jelas?”

“Bukan gitu, tapi saya ada urusan, Pak.” Aji sudah keriting menungguku di rooftop. Masa iya aku meninggalkannya untuk menemani Sabda makan siang? Lagipula, mengapa Sabda harus ditemani? Memangnya dia bayi?

“Sebentar saja, Ra. Ada yang mau saya bicarakan tentang konsep VT untuk sponsorship. Klien meminta kita membuat sedikit perubahan. Kan kamu yang tanggung jawab besok.”

Bahuku terkulai. Lagi-lagi si Bege mengacaukan rencanaku. Aku harus bilang apa pada Aji?

 

Bab Lima

Syuting hari pertama sampai ketiga di Manila, Filipina, berjalan dengan lancar. Ada beberapa makanan khas Filipina yang kami liput. Seperti chicken adobo (ayam yang dimarinasi dengan campuran bumbu, saus kecap dan bahan tradisional lainnya) yang mulai mendunia, chicken inasal (mirip ayam bakar), kare-kare (sop buntut dan babat sapi dengan kuah yang terbuat dari kacang tanah dan berbagai bumbu lainnya), buko pie (pie berbahan dasar kelapa), halo-halo (mirip es campur) sampai balut yang merupakan kuliner ekstrim khas Filipina yang sangat popular. Terbuat dari telur ayam atau bebek yang berusia 18-21 hari hingga menjadi embrio. 

Makanan terakhir menjadi perbincangan hangat saat kami kembali ke hotel untuk istirahat dan makan malam. Mas Fajar adalah orang pertama yang mengawali pembicaraan bergenre 18+ itu.

“Nu, harusnya lo nyoba makan balut tadi. Katanya bisa buat obat kuat.”

“Ngapain pake obat kuat segala, Mas?” Ibnu mencibir. “Tiga ronde aja gue kuat.”

Aku hanya diam sambil menghabiskan malam malam, sementara Mbak Lani mulai cekikikan. Aku yakin sebentar lagi pembicaraan ini akan bertambah panas.

“Nggak yakin gue. Habis resepsi lo pasti langsung tepar, Nu. Apalagi lo ngundang dua ribu tamu undangan, kan? Lo masih bisa berdiri aja bagus.” Mas Andre terbahak.

Ayah Ibnu adalah sekretaris sebuah partai yang sangat besar. Sementara ayah calon istrinya adalah pengusaha perhotelan yang cukup terkenal. Wajar jika tamu yang diundang sebanyak itu. Aku justru heran mengapa Ibnu mau jadi budak korporat dengan bayaran tak seberapa tapi jam kerja tak terhingga. Padahal bisa saja dia menjadi politikus atau bekerja di hotel mertuanya dengan gaji lebih besar ketimbang PA.

“Urusan gituan Ibnu pasti kuat, Jar. Lo nggak liat mukanya udah kebelet gitu?” Mbak Lani ikut tertawa.

“Tuh, kan. Mbak Lani aja percaya gue bisa.” Ibnu terdengar bangga. “Apa perlu gue dokumentasikan biar lo percaya, Mas?” 

“Bisa apa?”

Kami semua kompak menoleh. Sabda tiba-tiba datang, lalu menarik kursi kosong di sampingku. Tumben dia nimbrung. Biasanya dia selalu menyendiri di kamarnya setelah syuting usai. Apa dia sedang bertengkar dengan pacarnya dan butuh pengalihan biar nggak kesepian? 

Perlahan aku menggeser kursiku menjauh dari Sabda. Jujur, aku masih kesal karena insiden hari Minggu kemarin. Bagaimana tidak, setelah makan siang Sabda masih memberiku beberapa pekerjaan yang membuatku harus lembur sampai jam 10 malam. Rencanaku dengan Aji benar-benar gatot alias gagal total. Aku bahkan harus ikhlas memakai skecher yang sudah rusak karena tidak sempat membeli yang baru.

“Bisa anu, Pak.” Mas Fajar cengengesan. Tampangnya seperti bapak-bapak mesum. “Bapak pasti tahulah.”

“Oh. Saya kira apa.” Sabda menyahut. Nada bicaranya terdengar santai. Jauh berbeda dibanding saat kami syuting. “Ngomong-ngomong nikahan kamu kapan, Nu?”

“Satu bulan setengah lagi, Pak. Hari Senin saya kasih undangannya. Bapak datang, ya?”

“Tentu. Saya pasti akan luangkan waktu untuk tim saya.”

Wajah tembam Ibnu tampak semringah. Sementara kami semua saling berpandangan. Sikap santai Sabda yang sangat tidak biasa ini membuat kami deg-degan. Jangan bilang dia akan membahas kesalahan kami setelah ini. Biasanya dia akan membahas itu setelah kami kembali ke kantor, tapi siapa tahu dia berubah pikiran. Iya, kan?

“Kira-kira Bapak mau datang sama siapa?” Iseng aku bertanya. Daripada kami semua tegang. “Sama pacarnya yang kemarin ya, Pak?”

“Yang mana?”

Buset! Apa Sabda punya banyak pacar? Mbak Lani bahkan sampai melotot mendengar pertanyaan Sabda.

“Yang di lobi, Pak.” Aku mengingatkan.

“Oh, yang kamu stalking saya, ya?”

Mbak Lani susah payah menahan tawa. Mas Fajar dan Ibnu juga sama. 

“Kan saya sudah bilang, saya nggak stalking Bapak waktu itu. Kebetulan ada teman—”

“Yang nunggu kamu di lobi.” Dengan kurang ajar Sabda memotong kalimatku. “Ya, ya. Saya masih ingat, kok. Walaupun sampai sekarang saya nggak percaya dengan jawaban kamu. Kamu aja nggak kelihatan punya teman selain tiga orang ini. Lagipula selama ini kamu yang paling getol menggosipkan saya. Wajar kan, kalau saya berpikir kamu stalking saya?”

Tawa Mbak Lani pecah. Ibnu menutup mulutnya dengan kedua tangan, sedangkan Mas Fajar geleng-geleng. Aku sendiri merasa wajahku memanas sampai ke telinga.

“Untuk apa saya stalking Bapak? Kurang kerjaan banget.” Suaraku terdengar defensif. Ya iyalah, mana mau aku dituduh menguntit meski kenyataannya memang begitu? Coba kalau Sabda menjawab pertanyaanku tentang statusnya, aku nggak akan nekat mengikutinya sampai ke lobi waktu itu.

“Mana saya tau? Yang stalking saya kan kamu. Kok kamu malah balik tanya saya.”

“Jangan salah, Pak. Walaupun kelihatannya nggak punya teman, tapi Ara ini banyak fans-nya lo.” Mas Fajar membela. Aku melempar senyum sebagai tanda terima kasih. “Sejak awal masuk sini, udah beberapa orang yang nembak dia. Mulai campers sampai produser program sebelah. Tapi Ara yang terlalu selektif.”

“Oya?” Sabda menoleh. Pandangan kami bersirobok dan aku bisa merasa dia sedang menilaiku dengan kedua bola matanya yang legam itu. Seolah-olah dia tidak yakin dengan ucapan Mas Fajar tadi. “Kenapa begitu, Ra? Memangnya pria seperti apa yang kamu cari?”

“Yang nggak suka nyinyir, perhatian, pengertian dan tentu saja waras,” jawabku cepat. 

“Waras?” Sabda mengernyit.

“Iya, waras alias nggak gila.” Kayak Bapak, lanjutku dalam hati.

Sabda diam sebentar sebelum kembali bertanya. “Mereka yang nembak kamu nggak ada yang memenuhi kriteria? Kayaknya Satia TV nggak menerima orang gila jadi pegawainya.”

Aku hanya mengedik. Tidak berniat melanjutkan pembicaraan ini dengan Sabda. Aku sudah kapok setelah insiden di kantor tempo hari. Lagipula sepertinya Sabda tidak paham bahwa jawabanku hanyalah bertujuan untuk menyindirnya.

Yang terjadi sebenarnya adalah aku tidak mau memiliki hubungan romansa dengan siapa pun. Aku punya trauma yang belum sembuh sampai sekarang. Selain itu aku juga punya trust issue terhadap pria meski selama ini aku sangat ramah pada mereka. 

“Selektif boleh, tapi kamu harus tahu diri juga, Ara.”

Mataku seketika melotot. “Maksud Bapak apa?” tanyaku tidak terima. 

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Sabda hanya tersenyum penuh rahasia sambil bangkit dari duduknya. “Sudah jam 11 malam. Sebaiknya kalian tidur sekarang. Saya nggak terima alasan kalau besok ada yang kesiangan.”

*

Rasanya aku baru tidur sebentar ketika merasa ada yang mengguncang bahuku dengan brutal.

“Ra, bangun!” 

Itu suara Mbak Lani. Mengapa dia ribut sepagi ini? Alarm di ponselku bahkan belum berbunyi.

“Ya ampun ni bocah, susah banget bangunnya!” Mbak Lani mengguncang bahuku lebih keras lagi. Aku bisa mendengar gerutuannya dengan jelas meski mataku masih tertutup. “Araminta, banguun! Lo dicariin si Bos.”

Aku terpaksa membuka mata meski berat. Mbak Lani duduk di sampingku dengan raut gusar. “Ada apa sih, Mbak? Hotel kita kebakaran?”

“Bukan hotel kita, tapi si Bos! Dia manggil lo sekarang.” 

Seketika aku duduk. Membuat pandanganku berkunang-kunang karena gerakan yang terlalu mendadak. “Si Bos marah kenapa?”

“Semalam Putra ditangkap polisi waktu lagi pesta sabu di rumahnya.”

Butuh waktu beberapa detik bagiku untuk mencerna ucapan Mbak Lani. Maklum, aku baru bangun tidur dan jiwaku belum kembali sepenuhnya. 

“Ara, lo paham nggak sih gue ngomong apa?” Mbak Lani memegang kedua bahuku dan mengguncangnya lagi.

“Maksud lo, Putra Permana yang akan jadi host kita?” Aku memekik ketika kesadaranku benar-benar terkumpul.

“Iya, Araa!” Mbak Lani terlihat gemas. “Kita nggak punya host sekarang. Mending lo temuin si Bos sebelum dia makin tantrum.”

Shit! Shit! Shit! Bagaimana bisa Putra berpesta dengan barang terkutuk itu, padahal seharusnya dia terbang ke Filipina tadi malam?

Tanpa menyisir rambut apalagi mengganti piyama, aku melesat ke luar kamar dan langsung menuju kamar Sabda dengan detak jantung tak karuan. Sudah ada Mas Fajar dan Ibnu di ruang tamu kamar Sabda. Wajah mereka sama khawatirnya seperti Mbak Lani yang menyusulku. Sementara Sabda… jangan ditanya. Belum pernah aku melihatnya semarah itu.

Aku berdiri di samping Mas Fajar dan memberanikan diri menatap Sabda. “Bapak manggil saya?”

“Iya.” Bahkan suara dinginnya membuat bulu kudukku meremang. “Kamu sudah dengar berita tentang Putra, kan?” 

“Sudah, Pak. Tadi Mbak Lani sudah ngasih tahu saya.” Aku mencoba tegar. Tertangkapnya Putra bukan kesalahanku, kan? Jadi kenapa aku harus takut?

Sabda melipat tangannya di depan dada. Aku baru sadar dia masih memakai baju yang sama dengan semalam. Apa dia belum tidur? “Lalu siapa host yang kamu siapkan sebagai cadangan?”

Aku melongo. Host cadangan?

Sabda sepertinya bisa menangkap keterkejutan di wajahku, karena air mukanya kian menggelap. “Kamu tidak menyiapkan host cadangan?”

Aku meneguk ludah. Lidahku benar-benar kelu.

“I can’t believe it!” Sabda menyugar rambutnya dengan frustrasi. Aku bisa mendengar dia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa aku pahami. 

Aku mencoba mengingat-ingat kapan Sabda memintaku menyiapkan host pengganti, karena terus terang itu tidak pernah kami lakukan. Host program Jurnal Rasa dipilih dengan selektif hingga kami tidak perlu menyiapkan pengganti. Kecuali untuk episode spesial minggu ini.

“Kamu tidak dengar waktu saya meminta kamu menyiapkan satu host pengganti untuk berjaga-jaga? Saya juga sudah mengingatkan kamu sebelum kita berangkat tiga hari yang lalu.” Sabda kembali mencecarku.

Sial! Aku ingat sekarang. Sabda memang sudah mengatakan itu saat aku sedang hectic dengan pekerjaanku yang menggunung. Ya Tuhan, aku sedang menggali kuburanku sendiri sekarang! 

“Maaf, Pak. Saya akan cari gantinya sekarang.” Aku menunduk. Hanya itu kalimat terbaik yang bisa aku katakana sekarang.

“How?” Sabda menggeram. “Kalau kita ada di Jakarta, mudah untuk mencari pengganti Putra. But we’re in Philipines right now! Kita tidak bisa mengunakan host lokal, sementara syuting akan dimulai lima jam dari sekarang.”

“Maaf, Pak.” Aku tertunduk makin dalam.

Sabda mengumpat. Aku yakin dia sudah mendapat omelan Mas Danu dan Mbak Sinta. “Saya sudah bilang zero mistake, Ara! Sesulit itukah untuk kamu pahami? Kalau kamu tidak sanggup menjadi PIC, seharusnya kamu katakan pada saya sejak awal. Bukannya membuat ulah seperti ini. Kapan kamu bisa bekerja dengan benar, Ara?”

Mataku mulai memanas. Tolong jangan menangis di sini! 

“Saya akan berusaha mencari pengganti sebaik Putra sekarang, Pak.”

“Kami juga akan bantu Ara, Pak.” Seperti biasa, Mas Fajar selalu membelaku. 

Sabda berdecak. Dia pasti tidak puas dengan jawabanku dan Mas Fajar. “Syuting tidak akan dimulai sampai kamu menemukan pengganti Putra! Dan setelah kita kembali ke Jakarta, siapkan surat pengunduran diri kamu!” tukasnya sebelum berlalu ke kamar tidur. Meninggalkan kami bertiga yang masih terpaku di ruang tamu.

Setelah beberapa saat, Mbak Lani akhirnya memapahku keluar dari kamar Sabda, diikuti Mas Fajar dan Ibnu. Kami memutuskan kembali ke kamarku dan Mbak Lani, di mana aku bisa menangis sepuasnya. 

Ini pertama kalinya aku menangis sejak bergabung jadi bagian Satia TV. Seberat apa pun pekerjaanku, aku masih bisa menanggapinya dengan tawa meski sesekali disisipi dengan sambatan. Tetapi malam ini perasaanku begitu campur aduk. Aku sedih mendengar vonis Sabda, sekaligus marah pada diriku sendiri karena melalaikan instruksi sepenting itu. Padahal aku sudah mencurahkan 100 persen pikiranku untuk episode spesial ini, tetapi ternyata masih ada yang terlewat. 

Tidak ada yang bicara selama aku menangis. Mbak Lani hanya mengusap-usap punggungku. Sedangkan Mas Fajar dan Ibnu duduk di tepi ranjang dengan raut kusut. Aku yakin mereka ikut pusing meski bukan mereka yang terkena amukan.

“Gue bener-bener nggak inget dia ngomong gitu. Waktu itu gue sibuk ngurus perizinan. Kok gue bego banget ya, Mbak?” ujarku sambil mengusap air mata. 

“Sssh, jangan bilang gitu, Ra. Semua orang pasti pernah miss dalam pekerjaannya. Gue sama Fajar juga sering kok. Mbak Lani mencoba menenangkan. 

“Bener itu, Ra. Nggak ada pegawai yang sempurna di sini.” Mas Fajar menimpali. “Omelan si Bos nggak usah dimasukin ke hati. Nggak mungkin lo dipecat hanya karena kesalahan seperti ini. Dia bilang gitu karena kebawa emosi aja. Soalnya Mas Danu udah marahin dia dari tadi.”

“Iya, Ra. Walaupun kejam, si Bos nggak ungkin mecat lo.” Ibnu menimpali. “Lo kan anak kesayangan si Bos.”

“Kesayangan dari Hongkong!” Aku mendengus sambil mengusap wajahku yang basah. “Sekarang kita harus menghubungi siapa? Di Jakarta masih jam tiga pagi.”

Mas Fajar merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Dia menatapku dengan raut optimis. “Pasti ada seseorang yang bisa kita minta untuk menggantikan Putra.”

Aku tidak yakin. Bahkan jika ada artis yang bisa menggantikan Putra, dia masih harus menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Manila. Itu artinya aku harus menunda syuting selama beberapa jam. Sabda pasti tak akan suka.

Sepertinya aku harus mulai menulis surat pengunduran diriku dari sekarang dan mencari pekerjaan baru.

 

BERSAMBUNG…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Office Romance
Selanjutnya Head Over Heels (Bab 23)
18
2
Aga pernah menganggap Ayang sebagai dunianya. Tetapi ketika dia menemukan perselingkuhan wanita itu, perasaannya berubah menjadi kemarahan dan kebencian. Cerita mereka pun usai dengan cara yang menyakitkan.Empat tahun berselang, tuntutan pekerjaan mempertemukan mereka berdua. Kali ini situasinya amat berbeda. Ayang sudah menikah dengan laki-laki pilihannya dan Aga tak lagi percaya akan cinta. Meski sulit, Aga berusaha bersikap profesional dengan membuang jauh-jauh kenangan tentang mereka berdua.Sayang, situasinya tidak semudah yang Aga bayangkan. Kejadian demi kejadian justru mengikat mereka lagi, bahkan menarik keduanya ke dalam titik kehancuran.Apakah cerita mereka kembali berakhir menyedihkan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan