
Kata orang, nyari jodoh jangan di Tinder. Mana ada pria baik-baik yang main aplikasi kencan? Tinder itu isinya orang yang mencari partner untuk kenikmatan sesaat, orang yang mencari selingkuhan, orang yang lagi gabut alias kurang kerjaan, atau scammer yang sedang berburu calon korban.
Tapi… bagaimana kalau mereka semua salah? Bagaimana kalau aku bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku percaya bahwa pria baik-baik itu masih ada? Bukankah jodoh bisa datang dari mana saja, termasuk dari dating app seperti Tinder?
Dulu aku tidak mengerti mengapa ada orang yang menggunakan aplikasi kencan untuk mencari jodoh. Judulnya saja aplikasi kencan. Sudah pasti penggunanya adalah orang yang ingin mendapatkan teman kencan, bukan pasangan hidup. Lagipula, dunia maya itu penuh dengan tipu-tipu. Apa yang ditampilkan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.
Namun, lihat apa yang kulakukan sekarang. Ibarat menjilat ludah sendiri, aku juga sibuk scrolling Tinder—yang tak lain adalah aplikasi kencan—untuk menulusuri kemungkinan bertemu jodoh. Ironi, bukan?
Pertimbanganku satu, aplikasi kencan memungkinkan kita bertemu calon potensial dalam waktu singkat. Itu yang kubutuhkan sekarang karena aku sedang berkejaran dengan waktu.
Jangan salah paham. Aku senekat ini bukan karena usiaku yang menginjak angka 31 bulan lalu. Sama sekali bukan karena itu. Bahkan tadinya aku berencana untuk tidak menikah karena pengalaman terakhirku dengan seorang pria sangat traumatis. Tapi karena satu hal, aku berubah pikiran dan menargetkan menikah dalam waktu dekat.
Masalahnya, menemukan calon potensial di tengah ribuan pengguna Tinder bukan hal yang mudah. Harus cek foto dan kredensial sebelum memutuskan swipe right or left, memulai percakapan, lalu menimbang-nimbang mana yang harus di-unmatch dan mana yang bisa digali lebih jauh. Dan proses itu tidak semudah yang terlihat oleh mata. Terutama bagiku yang punya kriteria sangat spesifik dalam mencari pasangan hidup.
Baru satu minggu main Tinder, aku sudah exhausted. Semangatku menurun drastis dan harapan untuk menemukan dia makin menipis.
“Mungkin lo emang belum ketemu sama cowok yang bener.” Cyntia mencoba menghibur. Siang ini kami sengaja makan siang bersama di kafe tak jauh dari stasiun TV tempat dia bekerja. “Baru seminggu, kan? Sabar aja dulu. Good things take time, Ra.”
“Tapi waktu gue kan nggak banyak, Shin. Dalam waktu tiga bulan gue harus ketemu cowok yang bisa gue kenalin ke mama dan papa.”
Sebelum memutuskan untuk menjajal Tinder, aku memang sempat berdiskusi dengan Tyas dan Cyntia meski mereka juga belum pernah menggunakan aplikasi kencan itu.
Semula Tyas tidak setuju. Dia bilang Tinder adalah gudangnya penipu dan cowok brengsek. Alih-alih mendapatkan jodoh, bisa saja aku tertimpa masalah baru. Tertipu atau jadi korban penjahat kelamin misalnya. Sebagai gantinya Tyas mengusulkan agar aku mendaftar jadi anggota biro jodoh yang dia rekomendasikan.
Di lain sisi, Cyntia justru mendukung niatku. Dia bilang jodoh bisa datang dari mana saja, aplikasi kencan salah satunya. Toh, beberapa orang yang dia kenal sudah mengalaminya. Apa salahnya dicoba? Yang penting aku tetap rasional dan tidak berekspektasi tinggi.
Agar adil, aku memutuskan untuk melakukan dua-duanya; mendaftar biro jodoh yang pernah diikuti oleh Tyas, juga memasang Tinder di ponselku. Dengan begitu, possibility untuk bertemu si dia makin besar.
Namun sayang, biro jodoh yang diusulkan Tyas ternyata sudah berhenti beroperasi satu bulan yang lalu. Mungkin karena kurang peminat. Maklum, aplikasi kencan sudah bertebaran dan lebih mudah diakses tanpa prosedur yang rumit seperti bido jodoh.
“Dan seminggu ini yang chat lo pada brengsek-brengsek, ya?” tanya Tyas sambil mencomot kentang goreng yang masih utuh piringku.
Aku mengangguk lesu. “Padahal udah gue tulis di bio “Looking for serious only. No FWB”. Tapi yang match sama gue pada nawarin gituan. Sebenarnya mereka bisa baca nggak, sih?” keluhku sambil mengaduk-aduk lemon tea. Nafsu makanku mendadak hilang setelah teringat cowok-cowok aneh itu. “Belum lagi yang nggak nyambung, ghosting atau ngotot ngajak ketemuan padahal baru chat sekali.”
“Netizen +62 kan emang minim literasi, Ra.” Tyas mengusap sudut bibirnya dengan tisu. “Mereka pasti langsung swipe right setelah lihat foto lo, tanpa repot-repot baca bio atau cek kredensial.”
Aku mencebik. “Nggak ada otak emang. Kalau pengen gituan, kenapa nggak nyari cewek yang open BO aja, sih? Emangnya semua pengguna Tinder cuma pengen nyari sex partner?”
“Lah, kalau ada yang gratis kenapa harus bayar?” Tyas tertawa. “Tapi lo belum pernah ketemuan sama cowok dari Tinder kan, Ra?”
“Belum. Kan lo sendiri yang bilang jangan mau diajak ketemuan kalau belum ngerasa cocok.”
“Good girl,” puji Tyas. “Pokoknya jangan kasih nomor WhatsApp, akun media sosial, apalagi alamat sama sembarang orang. Bahaya.”
“Setuju.” Cyntia menyahut. “Kalau lo udah benar-benar yakin, baru deh arahkan ke WhatsApp biar ngobrolnya lebih enak. Ngomong-ngomong, seminggu ini yang match sama lo ada berapa?”
“100 lebih kayaknya. Gue lupa.”
“Buset!” Cyntia membelalak. “Itu banyak, Ra. Baru seminggu loh.”
“Gue bilang juga apa, cowok-cowok pasti ngiler setelah melihat kecantikan Ansara.” Tyas menukas. “Makanya banyak yang nawarin FWB. Berharap Ansara akan setuju dan dia dapat durian nomplok.”
“Nggak ada satu pun yang cocok sama lo dari ratusan cowok itu?” Cyntia masih tampak takjub. Padahal aku yakin dia akan mendapatkan lebih banyak match jika menggunakan Tinder. Namun, dia sudah menikah lima tahun yang lalu dan punya satu orang anak yang amat cantik. Cyntia jelas tidak akan melakukan hal konyol seperti yang kulakukan sekarang.
“Sejauh ini sih belum. Tapi gue belum cek semua yang match sama gue, Shin. Baru sekitar 20 orang dan gue udah capek.”
“Gimana kalau gue sama Tyas yang screening buat lo?” Cyntia menawarkan bantuan. “Lo mau kan, Yas?” Dia menoleh pada Tyas yang masih sibuk menyeruput sisa-sisa es teh di gelasnya.
“Mau banget dong,” sambut Tyas dengan antusias. “Meskipun gue masih jomlo, insting gue dalam memilih cowok cukup tajam. Gue nggak akan milihin psikopat, tukang pukul, atau narcissist buat lo, Ra.”
Aku mencibir. Tyas memang hobi menyindirku. “Iya, iya. Gue tahu lo nggak akan sejahat itu. Tolong bantu gue menemukan calon potensial dalam waktu satu minggu. Paling nggak, minggu depan gue bisa ketemuan sama orang itu.”
Cyntia dan Tyas saling berpandangan, lalu tersenyum penuh arti. Aku yakin sudah ada rencana di kepala mereka. Dan semoga itu bisa membantuku untuk mencapai target dalam tiga bulan.
*
Setelah makan siang dengan Tyas dan Cyntia, aku langsung menuju kampus tempat aku melanjutkan S2 sejak tiga bulan yang lalu. Meski pikiranku bercabang ke mana-mana, tapi aku berusaha fokus sampai akhirnya kelas usai jam enam sore.
Seperti biasa, aku langsung pulang begitu kelas berakhir. Bukan ke rumah sakit seperti hari-hari sebelumnya, melainkan ke rumah orang tuaku. Dan ini adalah kabar baik pertama yang kuterima dalam seminggu terakhir.
Aroma harum menyambut ketika aku masuk rumah. Dengan langkah panjang aku langsung menuju dapur. Dugaanku benar. Papa sedang asyik memasak hingga tidak menyadari kedatanganku.
Aku memeluk pria paruh baya itu dari belakang. Bisa kurasakan tubuh Papa menegang sesaat sebelum berangsur-angsur rileks lagi. Bibirku refleks mengurai senyum. Setelah menjalani hari yang cukup berat, aroma parfum Papa adalah obat yang paling mujarab.
“Lapar?” tanya Papa tanpa menghentikan kegiatannya mengaduk-aduk sesuatu di dalam wajan.
“Banget. Tadi siang aku nggak nafsu makan,” ujarku terus terang.
“Kenapa gitu? Makanannya nggak enak?”
Aku menggeleng. “Nggak nafsu aja.” Aku tidak mungkin mengatakan pada Papa tentang pria-pria aneh yang kutemui di Tinder.
“Ya udah, kamu mandi dulu sana. Habis itu kita makan bareng-bareng. Papa bikin capcay kuah sama udang goreng kesukaan mama kamu.”
“Oke,” jawabku cepat walaupun sebenarnya aku masih tidak nafsu makan sampai sekarang.
Aku berusaha mandi secepat mungkin, berganti dengan baju santai, lalu ke kamar Mama yang sekarang dipindah ke lantai bawah. Mama menyambutku dengan senyum ketika aku membuka pintu kamar. Meski wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap meneduhkan.
“Kamu pasti capek ya, Dek?” sapanya saat aku membungkuk untuk mengecup pipinya yang tirus karena kehilangan bobot puluhan kilogram dalam waktu singkat.
“Nggak, Ma. Kuliah doang nggak bikin capek.” Aku duduk di dekat kaki Mama agar bisa memijatnya. “Gimana perasaan Mama hari ini?”
Itu pertanyaan konyol. Memang apa yang dirasakan seorang pasien kanker rahim stadium akhir selain rasa sakit yang teramat sangat? Tapi jujur, aku tidak bisa memikirkan hal lain saat ini. Ketakutan akan kehilangan Mama dan kekhawatiran karena belum mendapatkan pasangan membuat otakku buntu.
“Never been better.” Bibir Mama kembali mengulas senyum simpul. “Tadi Adit sama Adnan telepon. Mereka bilang mau pulang minggu depan.”
“Mereka ambil cuti?”
Mama mengangguk dengan mata berbinar-binar. “Mama nggak sabar ketemu mereka, Ra. Nanti kamu sama Papa jemput Adnan sama Adit di bandara, ya?”
Aku mengangguk.
Adit—kependekan dari Aditya—dan Adnan adalah kakak-kakakku yang sudah lama tinggal di US untuk bekerja. Enam bulan yang lalu, aku masih tinggal bersama mereka sampai Papa mengabari bahwa Mama divonis kanker rahim stadium akhir. Aku memutuskan kembali ke Jakarta untuk merawat Mama sambil melanjutkan S2.
Selain dua orang itu, aku masih punya satu orang kakak lagi—Aarav—yang tinggal di Kanada untuk kuliah S3 dan bekerja. Aarav adalah satu-satunya kakakku yang sudah menikah. Dia mengikat janji dengan seorang wanita asli Kanada empat tahun yang lalu. Sekarang mereka punya dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan.
Adnan sepertinya tidak tertarik untuk menikah karena dia lebih mencintai pekerjaannya. Sementara Adit baru putus dengan kekasihnya setelah enam tahun berpacaran. Lalu aku sendiri batal menikah karena mantan calon suamiku nyaris membunuhku. Tragedi itu terjadi dua tahun yang lalu, tapi aku tahu Mama masih memikirkannya sampai sekarang. Membuat imun tubuhnya merosot drastis hingga Mama mudah sakit. Puncaknya adalah vonis kanker rahim yang terlambat untuk diketahui.
Dua minggu yang lalu, dokter mengatakan Mama tidak akan bertahan lebih dari lima bulan. Sel-sel kanker yang menggerogoti tubuhnya sudah menjalar ke organ lain dan sulit dihentikan meski Mama sudah menjalani serangkaian pengobatan dan kemoterapi.
Satu-satunya hal yang kupikirkan saat itu adalah, aku harus menikah dalam waktu tiga bulan. Aku ingin Mama merasa tenang karena putri satu-satunya bertemu jodoh yang terbaik. Paling tidak, Mama sempat melihatku bahagia sebelum meninggalkan dunia ini.
“Makan malam datang.” Papa masuk dengan nampan berisi makanan di tangannya. Di belakang Papa, Bu Ning—ART yang sudah puluhan tahun bekerja di rumah ini—juga membawa beberapa piring yang kemudian ditata di atas meja.
“Coba tebak Papa masak apa,” ujar Papa sambil membantu Mama untuk duduk dan bersandar di headboard.
“Nasi goreng?” Mama mencoba menebak.
Papa menggeleng. “Tetot. Mama salah.”
“Steak?”
“Masih salah. Mama kan tahu Papa nggak pernah bener kalau masak steak.”
Mama terkekeh pelan. Tapi cukup untuk membuat hatiku menghangat. “Mama nyerah, deh.”
Papa mengambil piring yang sudah diisi nasi, capcay dan udang goreng oleh Bu Ning. Ditunjukkannya piring itu pada Mama. “Semuanya kesukaan Mama. Makan, ya? Papa suapin.”
Papa duduk di pinggir tempat tidur, lalu mulai menyuapi Mama dengan penuh kasih. “Enak nggak?”
Mama mengangguk.
“Beneran? Nggak keasinan kayak kemarin?”
Aku tidak sanggup melihat interaksi mereka berdua lebih lama lagi. Tanpa suara, aku menyelinap keluar dari kamar Mama dan bergegas ke halaman belakang. Di sana, aku menumpahkan tangis yang sejak tadi kutahan.
Aku mohon, Ma. Bertahanlah tiga bulan lagi. Putrimu ini akan menemukan jodohnya sebentar lagi.
BERSAMBUNG…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
