Cinta Terlarang (Bab 1-3)

81
19
Deskripsi

Tentang Sasi:

Dia adalah wanita jenius yang kaku, galak, dan tidak banyak bicara. Aku bahkan tidak bisa membedakan antara dia dengan orang-orangan sawah. 

Aku curiga dia sebenarnya adalah robot yang diberi nyawa.

Sialnya, dia menyimpan banyak cerita yang membuatku makin penasaran. Dia seperti novel misteri yang menyimpan banyak kejutan pada setiap halamannya. Belum pernah aku bertemu wanita sepertinya.

Perlahan, aku jatuh cinta padanya.

Sialnya lagi, dia adalah calon kakak iparku. Sasi.

 

Bab Satu

Sasi mencuri pandang pada Rianti yang tengah menyesap kopinya. Rasa gelisah mulai menelusup masuk dan membuatnya tak nyaman. Kakinya juga mulai kaku dan tak dapat digerakkan. Sensasi  yang dia rasakan hanya saat berada satu ruangan berdua saja dengan sang mama.

Sejak memutuskan tinggal di apartemen sendirian satu tahun yang lalu, kunjungan Rianti bisa dihitung jari. Wanita paruh baya itu lebih suka menelepon dan memintanya pulang kalau ada yang ingin dibicarakan. Jika Rianti sampai datang ke sini pagi-pagi, tentu bukan hanya untuk minum kopi. Dan karena tujuan yang belum dia ketahui itulah Sasi merasa cemas.

Sasi menarik napas panjang, mencoba menekan perasaan tidak nyaman yang dia rasakan, lalu bertanya para Rianti dengan nada sesantai mungkin. "Tumben Mama ke apartemen Sasi pagi-pagi?"

“Mama cuma mau ngingetin kamu tentang dinner nanti malam. Kamu kan pelupa.” Ada sindiran yang tersirat jelas dalam suara Rianti.

Sasi mengernyit. “Dinner?”

Dalam keluarga mereka, dinner bersama hanya diadakan untuk merayakan momen khusus atau membahas sesuatu secara serius. Apa dia berbuat kesalahan yang membuatnya mamanya marah atau kecewa?

Melihat putrinya terlihat bingung, Rianti berdecak sembari meletakkan kopinya ke atas meja dengan keras hingga Sasi terlonjak kaget. “Nanti malam ada dinner dengan keluarga Irawan. Kamu nggak lupa, kan?"

Sasi menghela napas. Dia tidak tahu kapan acara itu direncanakan. Bima, kekasihnya, juga tidak mengatakan apa-apa. Tetapi demi menghindari cercaan mamanya, Sasi mengangguk. Anggap saja Rianti sudah memberitahunya. 

"Sasi nggak lupa kok, Ma." Apa ada cara agar dia bisa menghindar dari makan malam yang sudah pasti terasa membosankan itu?

"Jangan lupa ke salon untuk makeup. Pakai dress yang Mama belikan dua minggu lalu," tandas Rianti. "Terus pakai soflense aja. Jangan pakai kacamata kamu yang kuno itu. Kamu kelihatan lebih tua 10 tahun. Kapan sih, kamu mau menuruti saran Mama untuk operasi lasik?"

Sasi meremas tangannya mendengar nada tinggi yang tercetus dari mulut sang ibu. Rasa cemas dan gelisah di dadanya kian menjadi. Dia bahkan mulai merasa sesak karena menahan buliran bening yang sudah mengumpul di pelupuk matanya.

Rianti mungkin tidak tahu dia tidak suka makeup tebal karena kulit wajahnya sensitif. Rianti juga mungkin tidak paham dia benci memakai dress dengan model terbuka karena membuatnya tak nyaman. Belum lagi softlense yang sering membuat matanya iritasi. 

Namun, Sasi tak pernah ingin memberitahu ibunya. Untuk apa? Rianti tidak akan peduli. Wanita paruh baya itu tidak pernah mau dibantah, dan Sasi juga tak punya kekuatan untuk menolak perintah ibunya. Sejak kecil, dia didoktrin untuk menjadi anak penurut.

"Kamu denger nggak sih barusan Mama bilang apa, Sas?" Rianti terdengar tidak sabar karena tak kunjung mendengar jawaban Sasi. 

"Iya, Ma. Aku dengar," jawab Sasi pelan. Ada sedikit getar dalam suaranya yang coba dia sembunyikan.

Rianti mendesah puas. Tujuannya sudah terpenuhi. Nanti malam putrinya yang selalu tampil membosankan dan ketinggalan zaman akan berubah menjadi putri cantik yang bisa dibanggakan di depan calon besannya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Sasi. Secara akademis dia sangat menonjol. IQ-nya bahkan menunjukkan dia termasuk ke dalam kategori jenius. 

Di usianya yang ke-22, Sasi sudah menyandang gelar master dari Cambridge University setelah mengambil undergraduate program di kampus yang sama. Dan sekarang Sasi bersiap mengambil program doktoral di Universitas Indonesia. Sasi juga menguasai lima bahasa dan punya ingatan fotografis yang sangat langka. 

Luar biasa, bukan?

Namun secara sosial, Sasi sangat memalukan. Gadis itu adalah seorang introver dengan penampilan kuno, seolah dia dilahirkan tahun 80-an. Dia tidak punya teman dan tidak suka hang out di mall, atau kedai kopi layaknya anak muda masa kini. Dia bahkan tidak punya media sosial layaknya orang kebanyakan.

Selain hitam dan abu-abu, Sasi tak punya warna lain di lemarinya. Lupakan gaun-gaun cantik karena dia hanya suka memakai kemeja, blazer dan celana panjang. Itu sebabnya Rianti rutin membelikan gaun untuk Sasi setiap kali ada acara penting.

Gadis itu juga begitu setia pada kacamata bingkai kotak yang ketinggalan zaman meski sekarang sudah ada softlense dengan berbagai warna yang cantik. Dipaksa operasi lasik pun, Sasi tidak pernah mau menggubris. Itu sebabnya Rianti sengaja datang ke sini pagi-pagi untuk mengingatkan Sasi agar tampil modis nanti malam. Semata-mata agar dia tidak malu di hadapan calon besannya yang tak lain adalah seorang fashion designer.

“Ya sudah kalau begitu. Jangan sampai telat, ya!” ujar Rianti sambil bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu dengan diantar Sasi.

Sejurus kemudian wanita paruh baya itu lenyap di balik pintu, tanpa ada pelukan atau ciuman di pipi untuk menunjukkan kasih sayang. Kunjungan pagi itu seolah dilakukan seorang bos yang sedang menginspeksi pegawainya.

Bulir bening yang sejak tadi Sasi tahan akhirnya meluncur jatuh ketika sosok sang mama pergi. Keringat dingin membanjiri kening dan punggungnya. Jantungnya memukul kencang dari dalam. Bahkan napasnya seolah terhenti di tenggorokan.

Sasi bersimpuh di lantai sambil memukuli dadanya yang sesak. Berharap dengan itu dia bisa meraup oksigen untuk memenuhi paru-parunya. Air matanya kian deras membanjiri wajah, sementara dia mencoba mengumpulkan sisa-sisa pikiran warasnya yang masih bertahan.

Tenang Sas, tenang. Dia sudah pergi. 

Ayo, bernapas dengan benar. Tarik napas panjang, buang perlahan. 

Tarik napas panjang, buang perlahan. You can do it, Sas! Ayo, tenang… tenang… tenang! 

Sasi merapal kalimat itu dalam hati. Dengan susah payah dia menarik napas panjang dan membuang napas panjang secara perlahan. Dia juga berusaha memegangi jarinya satu persatu untuk mengurangi serangan panik yang tengah dia rasakan.

Sati tidak tahu berapa lama dia bersimpuh di belakang pintu. Dia baru membuka mata ketika debaran jantungnya kembali normal, sudah bisa bernapas dan keringat dingin tak lagi mengucur.

Seketika Sasi merasa sangat lelah seolah baru berlari puluhan kilometer. Ingin rasanya dia tidur sepanjang hari ini. Tetapi denting jam menyadarkan bahwa dia punya pekerjaan yang harus diselesaikan.

All is well Sas. You’re gonna be okay. Sasi terus merapal dalam hati. Semoga hari ini memang baik-baik saja.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­***

Aksara memandang gedung kampus di hadapannya dengan senyum terkembang. Tidak dipungkiri dia sedikit rindu bangunan ini, karena semester lalu dia mengambil cuti yang membuat ayahnya murka. 

“Kamu cuti lagi, Aksa? Mau jadi apa kamu? Cuti terus, kuliah nggak kelar-kelar. Mau jadi fosil kampus??”

Selain lebay, ayahnya kreatif juga mencari julukan. Ayahnya tidak tahu saja. Banyak mahasiswa angkatan tua yang masih bertahan di kampus ini. Dia bukan satu-satunya. 

Beberapa telat lulus karena sering mengambil cuti seperti dirinya. Sebagian yang lain memang tidak serius kuliah hingga mendapatkan nilai jelek dan harus mengulang di tahun berikutnya. Sebagian lagi ketiban sial karena mendapatkan dosen pembimbing skripsi yang perfeksionis dan sulit ditemui. 

Aksara berharap dia juga tidak ketiban apes dan bertemu dengan dosen resek yang pelit nilai. Dengan begitu dia tidak perlu mengulang semester depan dan bisa mengerjakan skripsi seperti rencananya.

Sambil menyusuri lorong kampus untuk mencari kelasnya, Aksara kembali mengecek jadwal kuliahnya semester ini. Cukup padat mengingat dia sering cuti dan ada banyak mata kuliah yang harus dia ulang agar IPK-nya terdengar manusiawi.

Pagi ini ada mata kuliah Statistika 1 yang harus dia ikuti. Mata kuliah itu belum dia ambil karena mendengar namanya saja perutnya sudah mual. 

Aksara benci mata kuliah sejenis itu.

Sayang, mata kuliah itu adalah mata kuliah dasar yang harus dia ambil sebelum mengambil mata kuliah lanjutan yang menjadi syarat pengerjaan skripsi. 

“Aksa!” teriakan seseorang membuyarkan membuat Aksara mendongak dari KRS (Kartu Rencana Studi) di tangannya. 

Dia melihat Vano melambaikan tangan. Sepertinya kelas pagi ini ada di ujung lorong karena sahabatnya itu sudah ngetem disana. Mungkin sedang mencari gebetan mahasiswi baru yang masih kinyis-kinyis dan polos.

Vano adalah sahabatnya satu angkatan yang masih bertahan di kampus ini. Jika Aksara sering ambil cuti karena mengurus usahanya, maka Vano sering bolos karena lebih suka berkeliaran di gunung bersama anggota MAPALA.

“Masih hidup lo, Sa,” ujar Vano ketika Aksara mendekat, yang dibalas jitakan oleh laki-laki itu.

“Terpaksa. Kalo gue cuti lagi, bisa-bisa gue ditendang jadi anak.”

Vano terbahak sambil memukul bahu Aksara. “Nasib lo apes banget. Ayo masuk. Lima menit lagi dosennya dateng.”

Seperti biasa, mereka berdua memilih deretan kursi paling belakang bersama dengan mahasiswa-mahasiswa bangkotan lain yang ikut kelas ini. Aksara mengenali beberapa diantaranya sebagai teman satu angkatan dan beberapa angkatan di bawahnya.

Aksara menepuk bahu mereka dengan akrab lalu mencari posisi duduk yang nyaman. Satu setengah jam kedepan akan dia gunakan untuk mengecek laporan usahanya lewat ponsel. Lagipula pertemuan pertama biasanya hanya diisi dengan perkenalan dan penjelasan tentang silabus. Tidak penting-penting amat baginya.

“Tahun ini cewek-ceweknya bening-bening, Sa. Lumayan buat cuci mata,” bisik Vano. 

Aksara hanya tersenyum. Mahasiswi cantik bukanlah tujuannya datang ke kampus. Dia sama sekali tidak tertarik. Mau ada mahasiswi secantik Ariel Tatum sekalipun, dia tidak akan peduli. Dia hanya ingin lulus tahun depan. Titik.

Aksara baru saja mengeluarkan ponsel dari dalam saku ketika terdengar suara dari depan kelas. “Selamat pagi.”

Aksara mendongak dan seketika terbelalak melihat sosok dosen statistik yang sudah berdiri di depan kelas. No way! Gue nggak salah liat kan? Dia mengucek-ngucek kedua matanya dan menyadari dia memang tidak salah lihat.

Sesosok wanita dengan ekspresi datar sedang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Wanita itu memakai setelan blazer hitam dan celana panjang berwarna senada. Rambut panjangnya dikuncir kuda. Sebuah kacamata berbentuk kotak membingkai wajahnya yang minim riasan.  Penampilannya sangat kontras dengan mahasiswinya yang fashionable dengan riasan cetar membahana.

Namun bukan itu yang membuat Aksara terkejut. Kenyataan bahwa dosen statistiknya adalah Sasi, kekasih Bima—kakaknya, membuatnya menganga. Pasalnya, saat mendaftar KRS (Kartu Rencana Studi), Aksara tidak melihat siapa dosen pengampu mata kuliah ini dan dia benar-benar lupa Sasi mengajar di kampus ini sejak satu tahun yang lalu.

Sementara Aksara masih melongo di kursinya, Sasi mulai memperkenalkan diri. “Saya adalah dosen pengampu Statistik 1 semester ini. Nama saya Sasikirana Prameswari. Cukup panggil saya Sasi.”

Sebuah perkenalan singkat yang diucapkan dengan begitu datar. Bukan hanya Aksara yang tercengang, mahasiswa yang lain—terutama yang belum pernah diajar Sasi— sepertinya juga clueless, karena baru kali ini mereka bertemu dosen wanita yang tidak memiliki ekspresi. Begitu kaku seperti penampilannya.

Mengabaikan ekspresi mahasiswanya, Sasi mulai mengabsen mahasiswanya satu persatu. Ketika berhenti di nama Aksara Pramudya Irawan, Sasi mendongak dan menatap pria itu lebih lama sebelum kembali mengabsen mahasiswa selanjutnya. 

“Saya tidak akan memberi toleransi pada mahasiswa yang titip absen. Jika ada yang melakukannya, silakan mengulang kelas saya tahun depan, karena sudah pasti yang bersangkutan akan mendapat nilai D.”

Sebagai pelaku titip absen, Aksara merasa ancaman itu ditujukan secara khusus padanya. Sial, baru lima menit, Sasi sudah menunjukkan wataknya yang kejam melebihi ibu tiri.

“Saya juga tidak akan memberi toleransi pada yang terlambat mengumpulkan tugas. Lebih baik kalian tidak perlu mengumpulkan karena pasti tidak akan saya koreksi. Itu artinya kalian dianggap tidak mengumpulkan tugas.”

Aksara bergidik. Melihat lugasnya cara bicara Sasi, sepertinya dia tak akan mendapat dispensasi meski statusnya adalah calon adik ipar. Ya ampun, mau lulus kuliah aja susah banget. Dosa apa gue dapet dosen kejam kayak Sasi?

 

Bab Dua

“Gila, bisa-bisa kita jadi mahasiswa abadi kalau semua dosennya kayak Bu Sasi.” Vano terus merutuk setelah kelas Statistik 1 usai. “Doi cakep, sih. Mana masih muda juga. Tapi kakunya ngalahin tante gue yang udah bau tanah. Dia kurang belaian apa gimana?” 

Aksara tidak tahu jawabannya. Meski Bima adalah kakaknya, dia tidak pernah tahu gaya pacaran mereka. Tetapi melihat betapa kakunya Sasi, dia sangsi wanita itu mau disentuh seperti pacar-pacar Bima yang terdahulu. 

“Ngomel terus juga nggak ada guna, Van. Mending sekarang kita mikir gimana caranya bisa lulus matkul ini. Lo ada kenalan junior yang pinter itung-itungan nggak?”

Vano berpikir sejenak. “Kayaknya gue tahu. Udah tiga semester ini IPK-nya sempurna. Nanti gue cari kontaknya dulu, deh.”

Aksara mengangguk. Mereka lantas berpisah di depan kampus. Aksara langsung ke area parkir sementara Vano entah kemana.

Setibanya di parkiran, entah kebetulan atau Aksara yang apes, motor besarnya berada tepat di samping sedan hitam Sasi. Dia tahu itu adalah mobil Sasi karena pemiliknya sedang berdiri di samping mobilnya. 

Tiba-tiba timbul niat Aksara untuk bicara dengan Sasi. Siapa tahu wanita itu bisa dilobi. Toh, mereka akan jadi keluarga sebentar lagi, bukan?

“Kenapa kamu nggak bilang kalo nanti malam ada dinner?”

Langkah Aksara terhenti. Rupanya Sasi sedang bicara dengan seseorang lewat ponsel. Posisinya yang membelakangi Aksara membuatnya tak tahu apa yang dilakukan oleh wanita itu.

Aksara jadi bimbang. Dia tidak ingin berdiri di sana dan berpotensi dituduh menguping. Tetapi ini mungkin jadi kesempatan baik untuk bicara dengan Sasi agar sedikit berbelas kasih padanya semester ini.

Don’t you dare, Bim! Jangan pernah bicarakan pernikahan. Aku belum siap. Kamu tahu itu.”

Meskipun penasaran setengah mati setelah mendengar nama Bima, Aksara memutuskan untuk balik badan. Dia membawa motornya dari sana dan menyalakannya setelah dirasa cukup jauh dan tidak mengganggu pembicaraan Sasi.

Sepanjang perjalanan pulang, Aksara masih terngiang-ngiang percakapan dosen kaku yang akan jadi kakak iparnya itu. Entah kenapa dia yang biasanya masa bodoh dengan urusan Bima, kini penasaran bukan main.

Mengapa Sasi tidak terdengar suka dengan rencana pernikahannya? Bukankah hubungannya dengan Bima sudah serius?

Aksara memukul helmnya dengan gemas. Masa bodo amat lah. Mending gue pikirin nasib gue sendiri.

***

Sasi kembali mengecek penampilannya di cermin. Entah sudah berapa kali dia melakukannya, tetapi dia terus merasa resah. Seolah-olah masih ada yang salah dengan penampilannya.

Padahal makeup-nya terlihat bagus meski akan membuat kulit wajahnya gatal setelah ini. Gaunnya juga masih rapi. Tak ada lipatan atau kerutan. Hanya matanya yang tidak bisa berkompromi karena softlense membuat matanya gatal. Semoga dia bisa bertahan sampai makan malam selesai. Rianti bisa murka kalau dia melepas softlense dan kembali memakai kacamata.

“Sasi, ayo cepat!” seru Rianti dengan raut tak sabar. Wirahadi, suaminya, sudah mendahului mereka masuk ke rumah calon besannya.

Sasi bergegas memasukkan cermin ke dalam tas tangan, lalu keluar dari mobil dan menghampiri mamanya dengan langkah tertatih-tatih. Stiletto 12 senti yang Rianti belikan sungguh menyiksa kakinya yang terbiasa memakai flat shoes.

 Rianti memandangi putrinya dari atas sampai bawah lalu tersenyum puas. “Harusnya kamu dandan kayak gini setiap hari, Sas. Bukannya setia dengan style kamu yang kuno seperti biasanya.”

Sasi hanya tersenyum kecut. Rianti adalah kritikus andal yang tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengkritik putrinya sendiri. Tak peduli ucapannya makin melukai perasaan Sasi dan kerap membuatnya tak percaya diri.

“Ingat pesan Mama, kamu harus terlihat ceria dan banyak tersenyum. Sapa calon mertua kamu dengan ramah. Jangan pasang wajah datar kamu yang membosankan itu. Mama nggak mau malu di depan calon besan. Ngerti?”

Sasi hanya mengangguk. Ceria dan banyak tersenyum jelas bukan dirinya. Dia bahkan benci basa-basi meski dengan orang tua Bima. Tetapi seperti biasa, dia tidak punya kuasa untuk membantah.

Beruntung Bima menghampiri mereka yang masih berdiri di halaman hingga Sasi terselamatkan dari rentetan pesan Rianti. Pria itu menyalimi tangan Rianti, lalu bertanya dengan sopan, “Macet nggak, Tante?” 

Rianti mengibaskan tangannya sambil mengulas senyum lebar. “Ah, nggak kok. Gimana kabar kamu, Bim? Sehat?”

“Sehat, Tante. Tante sendiri gimana? Makin hari makin cantik aja.”

“Masa, sih? Kamu bisa aja.” Rianti memegangi pipinya yang memerah. “Kamu juga tambah ganteng lo, Bim. Makasih ya, kamu mau bertahan di samping anak Tante yang membosankan ini.”

Sasi meremas tepi gaunnya saat Rianti melemparkan tatapan sinis yang ditutupi dengan senyuman. Haruskah Rianti menjatuhkannya di depan Bima juga? Mendadak dia merasa mual dan ingin segera pulang.

“Kata siapa membosankan?” Bima merangkul bahu Sasi, yang membuat wanita itu kaget setengah mati meski wajah datarnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. “Sasi ini wanita yang luar biasa menurut saya. Dia cantik, cerdas, dan setia. Pokoknya wife material banget, Tante.”

Rianti tertawa melengking. Jenis tawa yang membuat perut Sasi makin bergolak. Ditambah dengan kata-kata manis Bima yang terdengar palsu, dia merasa salah tempat. Dia tidak seharusnya dia berada di sini!

“Gue nggak telat kan, Bim?” Satu suara menyela pembicaraan mereka. 

Sasi dan Bima kompak menoleh.  Begitu juga dengan Rianti.

“Nggak, baru pada dateng kok.” Bima menepuk bahu Aksara, adik satu-satunya, yang baru datang.

Aksara menghela napas lega. Dia lantas menyapa Rianti yang tengah menatapnya dengan penuh minat. “Selamat malam, Tante.”

Rianti membalas sapaan itu dengan ramah. Sasi yang muak mendengar nada bicara ibunya, memalingkan pandangan ke arah lain. Dia bahkan berjalan dengan amat pelan ketika Bima mengajaknya masuk ke rumah. 

“Selamat malam, Sasi.”

Sasi seketika menoleh dan mengernyit menatap Aksara yang berjalan di sampingnya. Dia pikir mahasiswa bangkotan ini sudah berjalan bersama Bima tadi.

“Di luar kelas, gue nggak perlu manggil lo ‘Bu Sasi’, kan? In case lo lupa, gue lebih tua dua tahun dari lo.” Aksara melanjutkan, karena Sasi tidak terlihat ingin membalas sapaannya. “Oiya, lo cantik malam ini. Tapi bukan berarti lo jelek tadi pagi. Maksud gue, lo terlihat berbeda.”

Sasi melotot melihat Aksara mengedipkan mata. Mahasiswa kurang ajar! Memangnya siapa dia sampai berani mengomentari penampilanku? 

Sasi mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan memilih mempercepat langkah. Tak sudi membalas ucapan Aksara yang menurutnya tidak sopan. Memang kenapa kalau Aksara dua tahun lebih tua? Toh, dia adalah dosen pria itu. Secara hierarki, Aksara harus menghormatinya.

Begitu kakinya menapak di ruang tamu, Sasi menarik napas dalam. Di bawah pelototan mamanya yang sudah duduk di sofa, bibir menyunggingkan senyum kaku. Dia menghampiri orang tua Bima dan menyalami mereka. 

“Apa kabar Tante, Om?” sapanya dengan sopan sebelum mengambil tempat di samping Bima.

“Baik, Sas.” Orang tua Bima menjawab dengan kompak. “Kamu sendiri gimana? Udah lama nggak main ke sini.”

“Dia sibuk banget, Jeng.” Rianti yang menjawab sebelum Sasi membuka mulut. “Dia kan mau lanjut kuliah di UI.”

Sasi hanya tersenyum samar saat Dewi—Ibu Bima—menatapnya dengan penuh kekaguman. “Wah, keren sekali. Kamu mau ambil jurusan apa, Sas?”

“Ilmu Ekonomi, Tante,” jawab Sasi singkat. 

Rianti seketika melotot. Tatapannya seolah mengatakan jawabannya-jangan-singkat-singkat-gitu-dong! Tetapi Sasi benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa. Meskipun sudah berpacaran dengan Bima selama setahun, dia jarang berbincang-bincang dengan Dewi.

“Om salut sekali dengan kamu, Sas. Gairah belajar kamu nggak surut meskipun kamu wanita. Bima pasti bangga punya istri seperti kamu.”

“Jelas dong, Pa.” Bima kembali merangkul bahu Sasi. “Wanita seperti Sasi itu amat langka. Dan aku beruntung karena dia memilihku.”

Sasi kembali meremas tepi gaunnya. Seandainya semua orang tahu dia tidak ingin kuliah lagi. Seandainya semua orang tahu betapa dia muak dengan sandiwara ini. Dia bahkan ingin memuntahkan isi perutnya saat ini.

Di sudut ruang tamu, Aksara yang seolah tidak dianggap keberadaannya hanya bisa menatap Sasi dengan berbagai tanya berkecamuk di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi? 

 

Bab Tiga

“Jadi, dosen kamu semester ini adalah, Aksa?” Suara Dewi membuyarkan lamunan Aksara. 

Aksara tergagap. Malu karena ketahuan melamun di tengah-tengah dinner. Ditambah semua mata kini tertuju padanya. “Iya, Ma. Kelasnya baru mulai tadi pagi,” jawabnya sedikit kikuk. Diam-diam ia melirik Sasi yang tengah sibuk memotong steak-nya tanpa semangat. 

“Wah, kalo gitu tolong bantu Aksa ya, Sas. Dia ini agak lemah kalau hitung-hitungan. Makanya nggak lulus-lulus, padahal umurnya sudah 24 tahun ini. Beda dengan Bima yang jenius seperti kamu.” Kali ini Irawan—ayah Aksa—yang bicara.

Mendengar namanya disebut, Sasi mengalihkan perhatian dari piringnya lalu menatap Irawan dengan bingung. “Maksudnya, Om?”

Rianti berdecak tak sabar. Meskipun jenius, kadang-kadang putrinya agak “lelet” memahami situasi tertentu. “Kamu bantuin calon adik ipar kamu, Sas. Gimana caranya biar dia cepet lulus.” 

Ada tekanan pada kata’ adik ipar’ dan itu membuat Sasi mengernyitkan kening. Adik ipar? Aku bahkan belum menyetujui rencana pernikahan yang tadi sempat disebutkan oleh para orang tua. Lagipula sejak kapan aku mengistimewakan mahasiswaku? 

Kalimat itu hanya tertahan di ujung lidah Sasi. Dia tidak mungkin menyuarakan isi pikirannya, karena haram hukumnya membantah Rianti, apalagi di hadapan orang lain.

Sedangkan Aksara, meski merasa sedikit terganggu dengan ucapan Irawan yang seolah merendahkan putranya sendiri, memilih mengabaikannya dan fokus pada jawaban Sasi.

“Tentu, Om. Aksa bisa belajar dengan saya kalau dia mau.” Sasi menjawab sambil menatap Aksara sengit Dan kamu akan menerima akibatnya, wahai mahasiswa bangkotan nan kurang ajar! Lihat saja nanti!

Meski melihat permusuhan dalam sorot mata Sasi, Aksara tidak peduli. Malam ini kemenangan dan keberuntungan ada di pihaknya. Cepat dia menyambar kesempatan itu. “Siap, Maam.”

Vano pasti akan koprol sambil kayang jika tahu dia akan diasistensi langsung oleh dosen kaku yang katanya mirip kanebo kering ini. Yuhuu, ini yang namanya rejeki anak soleh.

***

Dengan alasan ingin merokok—meski sebenarnya dia tidak merokok—Aksara pamit ke belakang setelah makan malam selesai. Dia tidak ikut dalam pembicaraan tentang rencana pernikahan Bima dan Sasi. Toh, pendapatnya juga tidak dibutuhkan.

Aksara memilih menyendiri di gazebo halaman belakang yang sepi. Ditemani sinar bulan dan embusan semilir angin malam, Aksara menikmati kesendiriannya tanpa gangguan siapapun. Sesekali ia membalas chat pegawainya yang memberikan laporan penjualan hari ini.

Tidak banyak yang tahu bahwa dibalik alasan cutinya, Aksara sedang sibuk mengurus usaha warung pecel lele yang dia rintis tiga tahun lalu, dan kini sudah memiliki tiga cabang yang tersebar di beberapa titik strategis.

Meskipun hanya warung pecel lele dengan konsep lesehan yang sederhana, Aksara bangga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi beberapa mahasiswa yang butuh penghasilan tambahan. Apalagi usahanya tidak sedikitpun mendapatkan bantuan dari orang tuanya. Semua modal murni datang dari kantungnya sendiri dari hasil penjualan mobil dan juga koleksi gundamnya.

Sebagai gantinya, sudah tiga tahun terakhir dia mandiri. Tak lagi mengandalkan uang bulanan dari papanya. Walaupun begitu, Irawan dan Dewi tak pernah bangga dengan usahanya. Dia yang diharapkan membantu Bima meneruskan bisnis keluarga, justru memilih jalannya sendiri dan itu membuat mereka luar biasa kecewa. 

Berulangkali mereka membujuknya untuk melepas warung pecel lelenya dan fokus pada kuliah supaya bisa ikut mengurus bisnis keluarga. Tetapi dia bergeming. Aksara sangat menikmati statusnya sebagai juragan pecel lele. Dia bahkan berencana membuka cabang baru dalam waktu dekat.

Melihat Aksara yang kukuh pada pendiriannya, Irawan dan Dewi makin murka. Puncaknya mereka mengusirnya dari rumah dan melarangnya datang jika tidak dipanggil. Tidak masalah. Toh, dia juga tidak pernah betah di rumah.

Aksara lalu pindah indekos yang dekat dengan kampus, dan warung pecel lele pertama yang dia buka. Kemarahan orang tuanya sama sekali tak menyurutkan langkahnya untuk mengembangkan usahanya. Lagipula sudah lama dia memendam kekecewaan pada Dewi dan Irawan yang tidak pernah mendukung apapun yang dia lakukan. 

Di mata mereka hanya ada Bima, sang kakak yang hanya berbeda satu tahun dengan dirinya. Bima yang kini sudah menggondol gelar S2 dan amat cakap dalam bisnis keluarga. Bima yang cerdas. Bima yang pandai menempatkan diri. Bla… bla… bla. Huek. Aksara nyaris muntah jika mengingat itu.

Dalam situasi tertentu, seperti dinner malam ini, dia memang pulang ke rumahnya. Tetapi selain itu, Aksara tidak pernah menginjakkan kaki di rumah megah ini lagi.

“Kuliah kamu tinggal berapa semester lagi?” Sasi tiba-tiba muncul dan memecah keheningan yang sedang Aksara nikmati.

Pria berwajah tengil itu menoleh dan mendapati sang dosen tengah berdiri tak jauh darinya. “Dua semester lagi,” jawabnya dengan bangga. 

“Dan tahun depan harus jadi tahun terakhir kamu, kan?”

Aksara mengangguk. “Itu sebabnya Bu Sasi Yang Terhormat harus membantu saya biar saya nggak di-DO.” 

Sasi hanya berdecak lalu mengalihkan pandangan pada halaman belakang yang dikelilingi pohon palem. Tanpa sadar wanita itu mengembuskan napas panjang. Matanya menerawang dan sesekali ia meremas tangannya. 

Diam-diam Aksara memandangi kekasih kakaknya itu. Seingatnya, dia baru bertemu Sasi dua kali.  

Yang pertama saat dia tidak sengaja bertemu Bima dan Sasi di restoran sebuah mal. Bima langsung mengenalkannya pada Sasi. Tentu saja dia tidak langsung percaya. Selain karena Sasi berbeda dengan pacar-pacar Bima yang terdahulu, wanita itu juga terlihat datar. Tidak ada sorot mata penuh cinta saat Sasi menatap Bima. Dia baru percaya ketika Dewi sendiri yang mengonfirmasi kebenarannya.

Yang kedua saat ulang tahun pernikahan Dewi dan Irawan. Saat itu Sasi juga diundang. Sama seperti malam ini, Sasi datang bersama kedua orang tuanya. Dan ekspresi datar itu sama sekali tidak berubah. Aksara sampai bertanya-tanya apakah Sasi hanya punya satu ekspresi paten yang tidak bisa diubah setelannya?

Dan malam ini—meski Sasi terlihat berbeda dari penampilannya yang biasa—Aksara juga tak melihat rona kebahagiaan di wajah Sasi. Walaupun begitu, dia bisa melihat Sasi tampak tak nyaman dengan penampilannya. 

Berkali-kali Sasi menarik-narik gaunnya yang hanya sebatas lutut, atau menggerai rambut untuk menutupi bahunya yang terbuka, yang jelas dilakukan oleh seseorang yang tak nyaman dengan pakaiannya. Dan semua itu tertangkap oleh mata Aksara.

“Jadi, kapan kalian akan menikah?” Aksara akhirnya bersuara dan memecahkan keheningan di antara mereka.

Lamunan Sasi seketika buyar. Lima bulan lagi,” jawabnya enggan tanpa menatap Aksara.

Aksara terperangah. “Secepat itu?” 

“Hm.”

“Dan lo setuju?”

Kali ini Sasi menoleh. “Menurut kamu aku bisa menolak?”

Aksara terdiam. Meski tadi pagi dia sudah mendengar percakapan Sasi dan Bima di telepon, dia tidak menyangka Bima akan bersikeras untuk menikahi Sasi dalam secepat ini. Tidak mungkin Sasi hamil di luar nikah yang membuatnya harus menikah cepat, bukan? Aksara tidak percaya jika itu alasannya.

Dari hasil pengamatannya setiap kali bertemu Sasi dan Bima, tidak ada chemistry di antara mereka. Aksara bahkan sempat menangkap pandangan jijik yang diam-diam dilayangkan Sasi pada Bima. Hal yang sangat aneh, bukan? Lalu mengapa Sasi menerima rencana pernikahannya begitu saja?

Entah mengapa, Aksara tidak terima. Dia bisa mengendus bahwa pernikahan ini digagas demi kerja sama bisnis semata. Dan Bima pasti ada hubungannya dengan hal ini.

“Kalau belum siap, lo bisa bilang sama Bima. Kalau dia bener-bener cinta sama lo, dia pasti bisa ngerti dan membujuk orang tua kalian untuk menunda pernikahan. Bukankah pernikahan butuh komitmen besar yang harus dijalani seumur hidup?”

Hening. Hanya terdengar suara jangkrik yang berpadu dengan desau angin.

“Gue emang belum nikah, tapi gue tahu pernikahan itu nggak mudah. Kalau dari awal sudah ada setitik keraguan, bukan nggak mungkin lo akan menyesali keputusan lo nanti. Kita beli baju aja milih-milih, apalagi calon pendamping hidup? Nikah itu ibadah terlama, makanya lo harus pertimbangkan dengan baik. Jangan asal main terima aja.”

Aksara mungkin lancang mengatakan itu pada kekasih kakaknya sendiri. Tetapi hanya itu yang ada di pikirannya saat ini. Dan dia merasa harus mengatakannya pada Sasi. 

Saat Aksara akan membuka mulut untuk meminta maaf, Sasi menoleh, lalu berkata dengan nada datarnya yang biasa. “Thanks untuk obrolannya. Tapi anggap aja kamu nggak pernah ngobrol kayak gini sama aku. Dan please, jangan bilang Bima tentang pembicaraan ini.” 

 

 

***

Selamat datang di buku Aksa-Sasi. Setelah terkatung-katung selama beberapa bulan, aku memutuskan melanjutkan cerita ini. Ada sedikit penambahan dan pengurangan sana-sini, yess. Semoga makin enak dibaca.

Sarangbeo 😊

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cinta Terlarang
Selanjutnya Cinta Terlarang (Bab 4-6)
71
24
Enjoy ^_^
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan