YUTUBIR (Bab 1—5) GRATIS

3
1
Deskripsi

Karena sesuatu hal, Cecilia harus membujuk George untuk membuat konten youtube bersamanya. Apakah Cecilia akan berhasil membujuk musuh bebuyutannya itu? Atau tindakannya justru akan mengorek perasaannya yang telah lama coba ia pendam?
 



 

                                  BAB 1— Si Yutuber

 

"Sssst..."
 

Seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun tampak bersembunyi di balik tanaman hias. Sesekali gadis itu menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk, wajahnya terlihat panik memandang ke arah kamera  Go-pro. 
 

Gadis itu bernama Cecilia Yolanda Lestari. Putri tunggal seorang pengusaha sukses yang memilih jalan ninjanya sendiri. Cecilia tidak ingin menjadi penerus seperti anak pengusaha lainnya, gadis itu lebih senang menghabiskan waktu dengan membuat konten untuk ditonton subscriber-nya. 

Sudah genap dua tahun Cecilia berprofesi sebagai youtuber, melepaskan gelar sarjana ekonomi yang ditempuh selama tiga setengah tahun begitu saja. 
 

Untungnya Cecilia adalah anak tunggal yang sangat dimanja dan disayangi oleh kedua orangtuanya. Jadi, gadis itu bebas untuk melakukan hal yang ia sukai. Meski dalam lubuk hatinya, Cecilia ingin menunjukkan pada kedua orangtuanya bahwa ia bisa sukses dengan jalan pilihannya sendiri suatu hari nanti. 

Cecilia sangat percaya diri, terlebih jumlah subscriber channel miliknya sudah sebanyak seratus tiga puluh ribu. Kontennya juga sering masuk trending di youtube. Cecilia yakin suatu saat bisa seperti youtuber seniornya yang memiliki subscriber sampai puluhan juta. 

"Jadi guys, tebak gue lagi di mana?" Cecilia mengarahkan Go-pro ke bangunan bertingkat dua dengan desain minimalis yang berada tepat di hadapannya. "Gue kasih waktu sepuluh detik buat nebak, coba jawabannya tulis di kolom komentar."

Selagi berlagak memberi waktu pada para subscriber channel-nya untuk menjawab, Cecilia kembali mengendap-endap. Bersembunyi dibalik pot-pot bunga yang berada di halaman rumah itu. Meski sebenarnya pot-pot itu tidak bisa menyembunyikan keberadaan Cecilia. 

Tetapi gadis itu selalu memegang teguh prinsipnya.

'Lebih baik gagal setelah berusaha dari pada gagal karena tidak mencoba.'

Oleh sebab itulah di sini Cecilia berada. Di balik pot bunga Lily putih dengan tangan kanan membawa Go-pro. Mengusahakan agar layar kameranya tidak terlalu berguncang saat tubuhnya berpindah dari pot ke pot.

Setelah melewati empat pot bunga, akhirnya Cecilia berhasil sampai di depan pintu rumah. Cecilia kembali menatap Go-pro di tangan kanannya. Tampak memberi kode pada para penontonnya melalui kedipan mata. 

"Jadi hari ini gue mau grebek rumah pengantin bar--Aaaakh!"

Cecilia nyaris melemparkan Go-pro miliknya saat merasakan sebuah tangan perlahan menyentuh tengkuk lehernya. Bulu kuduk Cecilia langsung meremang, kedua kakinya mendadak lemas. 

Sebelum Cecilia benar-benar terjatuh di lantai, pemilik tangan yang dengan jahil menyentuh tengkuk leher gadis itu dengan sigap menangkap tubuh mungil Cecilia. Menyangga punggung gadis itu dengan dada bidangnya. 

"Yaelah, lemah amat?" 

Mendengar suara tengil itu, Cecilia refleks mendongak. Tatapannya langsung bertemu mata dengan musuh bebuyutannya selama tiga tahun ini.

Curious George.

Ah, bukan. Nama aslinya adalah George Abraham Delovano. Pria berusia genap kepala tiga itu adalah sahabat baik sekaligus sekretaris kakak sepupunya yang rumahnya akan Cecilia grebek.

"Mau sampe kapan nyender? Lo berat."

Sindiran George langsung membuat Cecilia tersadar sepenuhnya yang masih bersandar di dada bidang pria itu. Dengan wajah memanas karena malu, Cecilia langsung berdiri tegak. 

Cecilia menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Mana ada gue berat? Berat badan gue turun tahu!" 

George memasukkan kedua tangannya di saku celana, menatap datar Cecilia. "Badan lo ringan, dosa lo yang berat."

Ucapan George berhasil menyulur emosi Cecilia. Gadis itu membelalakkan mata tidak terima. "Lo ngapain di sini? Ganggu aja."

"Enggak kebalik?" George menaikkan sebelah alis. "Gue ke sini karena ada urusan pekerjaan. Nah, lo ngapain? Mau ngerusuh? Kamuflase jadi pot bunga?"

Sial, lagi-lagi tatapan meremehkan itu terlihat dari manik hitam milik George. Cecilia benar-benar kesal dengan tatapan itu. Karena terlalu kesal, Cecilia sampai lupa jika Go-pro miliknya sejak tadi masih merekam.

"Cih," Cecilia berdecih sinis. "Dasar temen enggak pengertian. Baru juga pulang dari honeymoon, bukannya dikasih istirahat. Lo malah datang bawa kerjaan?"

"Bocah tahu apa, sih?" George menggelengkan kepala, perlahan mendorong tubuh Cecilia bergeser dari pintu. "Minggir, ini bukan tempat main."

Sudah cukup. Jika diibaratkan sebuah gunung berapi, sekarang Cecilia sudah mengeluarkan lava panas yang meledak-ledak. Menerkam habis musuh bebuyutan yang dengan sok berdiri di sampingnya. 

Saat George mengulurkan tangan kanannya hendak menekan tombol bel, Cecilia dengan cepat memukul tangan itu dengan tangan kirinya yang terbebas. 

Pukulan keras Cecilia berhasil membuat George terlonjak kaget. 

"Minggir, gue duluan yang sampe!" Cecilia mendorong tubuh George hingga menabrak dinding. 

Tanpa peduli dengan tatapan kesal George, Cecilia menatap layar Go-pro dan tersenyum. "Jadi gais, hari ini gue bakalan grebek rumah Ceo ganteng yang barusan menikah dan balik dari honeymoon!"

George yang semula ingin membalas ucapan Cecilia justru jadi terdiam. Menatap ke arah kamera, mengamati layar kecil itu. 

Perbuatan George  langsung  tertangkap basah oleh Cecilia. Gadis itu jelas melihat pantulan bayangan George yang berusaha mengintip. Terlihat penasaran. 

Cecilia menghela nafas panjang. "Mau ikutan?" 

"Enggak," jawab George cepat.

"Dih, yaudah!" Cecilia mendorong tubuh George menjauh. "Jangan deket-deket nanti lo kelihatan di kamera."

George terkekeh. "Kurang gaul banget gue deket-deket bocah."

Benar-benar Cecilia sudah kehabisan kesabarannya. Perlahan Cecilia meletakkan Go-pro di atas kursi kayu jati yang berada di teras. 

Kening George berkerut dalam memperhatikan tingkah Cecilia. Gadis itu tampak menggerakkan lehernya ke kanan dan kekiri, meregangkan lengan dan juga pergelangan tangannya. Cecilia juga meraih karet gelang yang berada di kantung jeansnya, mengikat tinggi rambut cokelatnya yang mulai memanjang. 

George sudah was-was saat melihat Cecilia berbalik, memandangnya tajam. George menaikkan sebelah alisnya, melihat kedua tangan Cecilia sudah terkepal kuat. George refleks termundur saat Cecilia tiba-tiba memajukan tangannya tepat ke arah wajahnya. Namun, berbeda dari dugaan George. Kepalan tangan Cecilia berhenti tepat di depan wajahnya. Tepat satu senti sebelum menyentuh hidung bangirnya. 

”Suit!" ucap Cecilia dengan ekspresi tegas.

"Eh?" George terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa geli. "Untuk?"
 

"Siapa yang berhak tekan bel duluan." 

"Astaga," George memutar bola matanya malas. "Yaudah, lo aja yang tekan bel. Ngapain pake suit-suit segala? Repot bener."

"Enggak bisa," Cecilia menggeleng. "Lo udah merebut timming bagus gue buat grebek rumah ini. Sekarang pilihannya cuma dua, kalau gue menang gue bakalan lanjutin rencana awal. Kalau gue kalah.."

Cecilia mengamati ekspresi George yang tampak penasaran menunggu jawabannya. Sebenarnya Cecilia sudah tahu rencananya untuk menggrebek rumah kakak sepupunya sudah gagal sejak kehadiran George. Pasti nanti kakak sepupunya akan lebih sibuk dengan pria menyebalkan ini.

Sekarang Cecilia jadi punya dua judul alternatif untuk kontennya. Judul pertama 'Bertemu Ceo tampan dan istrinya yang cantik'  sedangkan judul kedua 'bertemu Ceo tampan dengan istrinya yang cantik, dan temannya yang biadap'. Sepertinya pilihan kedua akan lebih menarik perhatian netizen
 

"Kalau lo kalah?" tanya George tidak sabar.

"Gue pulang."

"Semudah itu?" George menatap tak percaya Cecilia. 

Biasanya Cecilia bukan tipe orang yang mudah sekali mengalah. Jelas saja George yang sudah sering berusaha mengusir Cecilia dari ruangan kerja atasannya terkejut mendengar pengakuan gadis itu. 

"Iya," Cecilia mengangguk yakin.

Sesaat George diam. Memperhatikan ekspresi Cecilia yang tampak sangat serius dengan ucapannya. 

"Oke," George tersenyum. "Gunting, batu, kertas? Berapa kali?"

"Sekali," jawab Cecilia.

Cecilia lebih dulu mengulurkan tangannya diikuti George yang tampak ragu balas mengulurkan tangan. 

"Siap?" tanya Cecilia langsung dijawab anggukan oleh George. "Gunting.. batu.. kertas..!"

Kedua mata Cecilia membulat kegirangan saat melihat George mengeluarkan batu sedangkan tangannya sendiri membentuk kertas.

"Gue menang!" Cecilia melompat-lompat kecil dengan hebohnya. 
 

"Buset-buset gue menang!" Cecilia menepuk-nepuk lengan kekar George yang terlihat tidak bersemangat. 

"Udah pacarannya?"

Suara bariton itu membuat George dan Cecilia refleks menoleh ke arah jendela di samping pintu rumah. Di balik jendela itu menampilkan wajah Jack yang tampak menyandarkan lengannya di jeruji jendela. Entah sejak kapan pria itu ada di sana, seolah sengaja menjadikan George dan Cecilia tontonan.

Jack adalah kakak sepupu Cecilia yang baru saja menikah dengan perempuan cantik bernama Adel. Nama asli Jack adalah Marchellino Feraz Harianto, tetapi pria itu lebih senang dipanggil dengan nama Jack dan hanya memperbolehkan istri juga ibu kandungnya saja yang memanggilnya sayang. Katanya supaya mirip dengan Jack di film Titanic, padahal bagi Cecilia kakak sepupunya itu tidak ada keren-kerennya jika dibandungkan dengan tokoh Jack. Justru kakak sepupunya itu lebih cocok menggantikan peran kapal yang tenggelam. 

Cecilia yang semula mencengkeram erat lengan George langsung tersadar setelah mendengar sindiran Jack. Cecilia perlahan melangkahkan kakinya mundur, menjauh dari George yang tampak tenang membalas tatapan Jack. 

"Padahal gue belum tekan belnya," ucap George saat pintu sudah terbuka menampilkan Jack dengan kaus putih polos dan rambut sedikit basah. 

"Kemesraan kalian kedengeran sampe kamar mandi," Jack mempersilahkan George dan Cecilia masuk ke dalam rumahnya. "Adel denger suara lo berdua langsung mau masakin kalian makan malam. Udah makan? Kalau belum bagus, kalau udah tetep harus makan karena istri gue udah susah payah masak buat kalian."

"Kak Adel lagi masak? Bagus!" Cecilia bersemangat meraih kembali Go-pro yang sempat ia terlantarkan tadi. "Kak Chello, gue izin ke dapur mau bikin konten!" 

Jack hanya mengangguk mempersilahkan Cecilia berlari riang menuju ke arah dapurnya yang terletak di lantai satu. 

"Heboh bener bocah satu. Heran gue," George mendudukkan pantatnya di atas sofa, memandangi punggung mungil Cecilia yang mulai menjauh. 

"Kenapa?" 

George mengerutkan kening melihat Jack duduk di seberangnya. "Apanya?"

"Kenapa tadi lo ngalah?" Jack melipat kedua tangannya, menatap curiga George. "Jelas lo tahu Cecil selalu keluarin kertas setiap kali suit."

"Enggak ada alasan penting," George mengedikkan bahu tak acuh. "Dia dateng duluan tadi dan sebagai saksi lihat dia kamuflase jadi pot, gue berbaik hati biarin dia menang. Kasihan juga kalau disuruh pulang."

"Kasihan?" Jack menganggukkan kepala. "Kirain ada  alasan lain."

"Jangan mulai," George memutar bola matanya malas. 

Jack tertawa. 

George kesal sekali jika sahabatnya itu mulai menuduh yang macam-macam terkait hubungannya dengan Cecilia. Benar-benar perpaduan yang tidak masuk akal. Sudah jelas dari jarak umur saja terpaut tujuh tahun, terlebih sikap kekanakan Cecilia. George hanya memandang gadis itu seperti bocah yang banyak gaya dan mengganggu. 

Selagi Adel menyiapkan makan malam bersama Cecilia yang tampak asik merekam, George dan Jack lebih serius. Membicarakan terkait perkembangan bisnis di perusahaannya selama Jack sibuk honeymoon selama tiga hari. 

Menunggu setengah jam, meja makan telah dipenuhi dengan beraneka macam lauk. Mulai dari sayur asem, ikan nila goreng, ayam goreng, tempe bawang, tahu, dan kerupuk udang.

George dan Cecil terpaksa duduk berdampingan melihat betapa menempelnya Jack pada istrinya. 

Kening George berkerut dalam melihat Jack sempat mengecup sekilas pipi Adel sebelum bergabung ke meja makan. Tatapan George beralih pada tangan Jack yang menggandeng erat tangan Adel. Padahal ini cuma di dalam rumah. 

Dasar bucin, batin George. 

Adel lebih dulu memimpin doa makan sebelum mereka mulai menikmati hidangan yang tersedia. Adel tampak sibuk mengabil nasi untuk Jack tidak memperhatikan Cecilia dan George yang sudah mulai meributkan hal kecil.

"Ini sendok gue!" Cecilia merebut paksa sendok yang  sudah berada di genggaman George. 

"Astaga," George dengan kesal melepaskan sendoknya, mengalah. "Masih banyak yang lain juga. Berasa sendok lo terbuat dari perunggu? Special lo, hah?"

Setelah tadinya berebut sendok, lagi-lagi George dan Cecilia meributkan siapa yang berhak mengambil nasi lebih dulu. 

"Ladies first," celetuk Cecilia seraya merebut centong dari tangan George. 

"Menurut gue ladies first cuma berlaku untuk woman," George merebut kembali centong dari tangan Cecilia. "Lo bocah bukan woman.
 

Melihat tatapan Cecilia berubah membara karena emosi, Adel dengan cepat meraih centong di tangan George. "Aku aja yang ambilin biar adil. Oke?"

George dan Cecilia kompak kembali duduk di kursi masing-masing, saling menatap kesal.

Jack menyandarkan punggung memandang lelah George dan Cecilia. "Bertengkar mulu. Awas lo benci jadi bucin."

"Gue bucin sama bocil? Ew," George bergidik ngeri.

Tingkah George langsung mendapat tatapan tajam Cecilia. "Dih, gue juga ogah bucin sama om-om!"

Adel berhenti menyendokkan nasi, tatapannya bertemu mata dengan Jack yang sedang memandanginya penuh arti. Ah, rindu sekali melihat pemandangan itu. Persis seperti tingkah jutek Adel sebelum jatuh ke dalam pelukannya. 

"Lihat aja nanti," ucap Jack langsung membuat Cecilia dan George kompak mendengus sinis.

 

🐵🐵🐵

 

BAB 2—Bencana

 

"Mampus gue!"
 

Cecilia menyembunyikan wajah dibalik bantalnya. Sesekali melirik takut pada layar laptop yang menampilkan ratusan komentar pada salah satu konten youtube yang baru ia post tujuh belas jam lalu. 

Jika dalam kondisi normal, mungkin Cecilia akan merasa sangat senang melihat kontennya seramai ini. Belum ada genap dua puluh empat jam, sudah dibanjiri seratus komentar lebih dan ribuan like. Terakhir kali channel-nya seramai ini adalah saat konten pertamanya dengan kakak sepupunya berbulan-bulan yang lalu. Dan sekarang kontennya kembali ramai bukan karena Jack, melainkan temannya yang lain.

Parah, puluhan komentar masuk sebagian besar salah fokus pada sosok pria yang muncul di menit ke 10:03. Siapa lagi kalau bukan Curious George?

Karena terlalu lelah, Cecilia lupa menghapus bagian George yang tiba-tiba memunculkan wajahnya di kamera Go-pro miliknya. Sialnya lagi, banyak subscriber-nya salah fokus dan meneror Cecilia untuk membuat konten bersama George. Masalahnya cuma satu, Cecilia sangat yakin George tidak mau membuat konten bersamanya. Jika memilih mengabaikan komentar para subscriber-nya, Cecilia yakin di video manapun mereka pasti akan menerornya. Parahnya lagi, view kontennya berkurang banyak karena permintaan mereka diabaikan. 

"Mampus lo, Cil!" Cecilia merengek di atas ranjang sambil berguling ke kanan dan ke kiri. "Mana kemarin habis ribut lagi. Seratus persen dia enggak mau bikin konten sama gue. Lagi baik-baik aja dia belum tentu mau."

Cecilia berhenti menggulingkan tubuh, keningnya berkerut dalam. "Lah, memangnya dia pernah lagi baik?"

Otak Cecilia langsung memutar ulang setiap kejadian menyebalkan yang terjadi saat bersama dengan George. Bukan bersama, lebih tepatnya jika pria itu berada di sekitarnya. Demi apapun Cecilia benci dengan pria bernama mirip dengan karakter monyet kesukaannya dulu. Iya, dulu.

Dulu Cecilia memang pernah naksir kartun monyet juga pria bernama mirip dengan karakter film itu. Tolong dicatat itu dulu, tetapnya. tiga tahun yang lalu saat dirinya masih menjadi mahasiswi. Cecilia pernah naksir dengan wajah tampan dan tegasnya sikap George. Berbeda sekali dengan kakak sepupunya yang senang bercanda dengan ribuan lelucon ampas. Sayangnya, lelucon Cecilia juga ampas. 

Cecilia bahkan sudah menyiapkan strategi untuk mendekati George setelah mendengar kabar dari Jack bahwa sekretarisnya itu baru saja putus. Tapi semakin mengenal George, niat yang mulanya sudah Cecilia persiapkan langsung lenyap. George memang tampan dan berkharisma, tetapi super duper menyebalkan. Apalagi jika pria itu menunjukan tatapan meremehkan dan memanggilnya bocah. Parah, mood Cecilia bisa langsung hancur saat itu juga!

Cecilia itu sudah berusia dua puluh tiga tahun. Meski penampilan dan sifatnya kekanakan, Cecilia tidak suka dipandang seperti itu. 

Masalahnya sekarang Cecilia harus memutar otaknya, mencari cara bagaimana George bisa muncul pada konten berikutnya. Jika Cecilia berhasil membujuk George, sudah pasti konten berikutnya akan sangat ramai. Cecilia tidak ingin melepaskan kesempatan emas itu begitu saja. Ingat prinsip Cecilia? 

'Lebih baik gagal setelah berusaha dari pada gagal sebelum mencoba.'

Cecillia langsung menegakkan tubuhnya jadi terduduk di atas ranjang. Gadis itu mengangguk yakin dengan sebelah tangan terkepal. Kebiasaan yang sering Cecilia lakukan jika gadis itu sedang sangat bersemangat dan optimis.

"Gue harus ketemu Kak Chello."

Cecilia melirik jam berbentuk Minnie Mouse yang berada di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas siang, tepat jam makan siang di perusahaan milik kakak sepupunya. 

Tidak ingin membuang waktu terlalu lama, Cecilia segera menyisir rambut cokelat sepunggungnya. Melepas kaus kedodoran serta celana pendek yang semula ia kenakan, lalu menggantinya dengan sweater berwarna cream sedikit kebesaran di tubuhnya dan rok ungu muda bermotif kotak-kotak dengan garis merah muda sepanjang lutut. Untuk menutupi rambutnya yang sedikit lepek, Cecilia meraih salah satu koleksi bandananya, memilih satu model yang memiliki warna senada dengan sweater-nya.
 

Tidak lupa Cecilia memoleskan bedak bayi pada wajahnya, sedikit blush on, dan juga liptint berwarna merah muda. Cecilia segera memindahkan ponsel, dompet, beserta kunci mobilnya ke dalam tas cokelat dengan Merk Starkey yang merupakan salah satu koleksi kesayangannya. 

Memastikan tidak ada yang tertinggal, Cecilia meraih sepasang sneakers cokelat muda di lemari sepatunya dan berlari kecil menuruni tangga dengan kedua kaki sudah terpasang kaus kaki. Cecilia berulang kali nyaris terpeleset di tangga, namun bukanya berhenti gadis itu justru terus melanjutkan langkahnya. 

Kamar Cecilia berada di lantai paling atas, itu berarti ia harus melewati satu lantai lagi untuk sampai di parkiran mobilnya yang berada di lantai satu. 

"Mau ke mana?" 

Suara lembut Clarissa membuat Cecilia mati-matian mengerem langkah kakinya. Terlebih saat sosok cantik ibu kandungnya muncul dari balik dapur lengkap dengan celemek dan spatula di tangan kanannya. Mampus sudah, pasti Cecilia tidak boleh pergi sebelum menghabiskan makan siangnya. 

"Mau ke tempat Kak Chello," Cecilia meringis kecil.

"Kapan?" tanya Clarissa.

Cecilia meneguk ludahnya gugup. "Sekarang?"

"Enggak boleh," Clarissa menggelengkan kepala tegas. "Makan dulu baru pergi."

"Aduh.. tapi--"

"Enggak ada tapi-tapian," Clarissa menatap galak Cecilia. "Mau asam lambung kamu kambuh lagi? Duduk, bentar lagi mama selesai masak."

Cecilia menggerutu dalam hati. Alih-alih melawan, ia hanya bisa menurut duduk di kursi meja makan. Menunggu ibunya mempersiapkan lauk pauk untuk makan siangnya. 

Sebenarnya Clarissa bukan ibu yang galak, justru wanita itu sangat memanjakan Cecilia. Hanya saja jika menyangkut tentang kesehatan putrinya, Clarissa berubah menjadi sangat tegas dan tidak bisa dibantah. 

Bagi Cecilia sendiri, ibu kandungnya itu terlihat paling menyeramkan saat mengenakan celemek dengan sebelah tangan membawa spatula. Mengingatkannya pada dalah satu tokoh di scene film Spongebobs.
 

Siapa namanya? The Sash Ringing, the trash singing, mash flinging, hash slinging, the slash slinging slesher... sudahlah intinya itu. Monster dengan mata merah dan sebelah tangan spatula. 

Asli, saat kecil Cecilia sangat takut menonton Spongebobs yang menampilkan betapa seramnya monster bertangan spatula itu. Alhasil, Cecilia mendoktrin monster itu sebagai sosok yang sama menyeramkannya dengan sosok ibunya saat mengenakan celemek dan membawa spatula. Sama-sama tidak bisa dibantah.

Tak berapa lama Clarissa dibantu oleh Bi Minah membawa nampan berisi lauk pauk dan juga nasi putih. 

"Makan yang banyak baru pergi," ucap Clarissa.

Cecilia menghela nafas panjang, pasrah pada keadaan. Ia hanya bisa berdoa dapat segera bertemu kakak sepupunya dan juga musuh bebuyutannya.

 

🐵🐵🐵

 

Setelah menghabiskan makan siangnya, barulah Cecilia diperbolehkan pergi menemui Jack. Masalahnya, karena jalanan cukup macet alhasil Cecilia baru sampai pukul setengah dua siang. Sial sekali, padahal Cecilia berharap bisa mengobrol panjang lebar selama jam istirahat. Sekarang pasti Jack dan George sudah sibuk dengan pekerjaaan masing-masing.

Seperti biasa Cecilia melangkahkan kakinya dengan riang menyusuri ruangan demi ruangan. Tidak lupa gadis itu memberikan senyuman ramah pada para karyawan Jack yang sudah mengenalnya. Jelas saja, hampir setiap hari Cecilia datang ke tempat ini. Bagi Cecilia tempat kerja Jack sudah jadi rumah keduanya. 

Cecilia menghentikan kakinya sebentar saat melewati ruangan milik George. Tiba-tiba jadi teringat dengan puluhan komentar yang menerornya untuk membuat konten dengan pria itu. Astaga, hanya melihat ruangannya dari depan saja Cecilia sudah ketakutan. Tidak terbayangkan bagaimana reaksi George saat dirinya berbicara jujur terkait konten yang harus dibuat bersamanya. Cecilia sudah sangat siap dengan segala bentuk bentakan dan cara penolakan kejam yang akan George lakukan. 

Tidak masalah, Cecilia akan tetap mencobanya. Sejujurnya, Cecilia sudah sangat kebal dengan mulut pedas George. 

Alih-alih menghampiri George, Cecilia memilih untuk menemui kakak sepupunya lebih dulu. Ingin meminta pendapat sekaligus bantuan. Meski Cecilia masih tidak yakin Jack dapat membantu banyak mengingat kerasnya watak George yang tidak mudah berpaling dari prinsipnya. 

Cecilia hampir saja lupa mengetuk pintu dan langsung masuk sembarangan ke ruangan Jack. Tetapi, mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, saat ia tidak sengaja masuk dan melihat posisi Jack sedang sangat ambigu dengan pacar yang sekarang sudah menjadi istrinya. Cecilia jadi trauma. 

Setelah mengetuk beberapa kali biasanya akan terdengar suara Jack menyahut dari dalam. Tetapi sudah cukup lama Cecilia menunggu, sama sekali tidak terdengar jawaban. Karena tidak sabar, akhirnya Cecilia memberanikan diri membuka pintu itu.

"Kak Chello--eh?" bibir Cecilia langsung merapat saat tatapannya bertemu dengan sepasang manik hitam yang tampak serius menatap ke arahnya.

Cecilia meneguk ludahnya susah payah melihat sosok George sedang berada di samping meja kerja Jack, tampak memeriksa beberapa dokumen yang sudah ditandatangani. 

George yang sedang serius seperti itu benar-benar pemandangan yang indah di mata Cecilia. Andai pria itu bisa diam terus seperti itu, pasti Cecilia tidak bisa menahan rasa kagumnya. Karena jika George sudah mulai membuka mulut pedasnya, Cecilia lebih ingin menyumpahinya.

"Kak Chello di mana?" Cecilia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. 

"Lagi anterin Adel ke parkiran," ucap George tanpa menoleh. Masih sibuk mengecek dokumen-dokumen itu.

"Oh, kirain ke mana." 

Cecilia menghentikan langkahnya tepat di sisi meja, sedikit dekat dengan posisi George sekarang. Cecilia menggigit bibir bawahnya, ragu ingin berbicara. Tetapi hanya ini satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Kapan lagi bisa berbicara berdua saja dengan George? Ah, bukan. Kapan lagi Cecilia mau mengalah demi berbicara dengan George tanpa ada urat emosi?

Oke, lo bisa. Pikir Cecilia meyakinkan dirinya sendiri. Cecilia menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya perlahan. Berusaha memasukkan banyak oksigen ke otaknya yang sedikit memanas karena terlalu banyak berpikir hari ini. 

"K-kak George.."

Panggilan itu refleks membuat George menghentikan aktivitasnya. George tidak langsung merespon, pria itu justru jadi terdiam kaku di tempatnya. Takut-takut George mendongakkan wajah menatap horor Cecilia.

"Lo yang ngomong barusan?" George mengarahkan tatapannya ke sekeliling ruangan. "Bukan yang lain, kan?"

"Dih, lebay lo!" Cecilia mendengus sinis, namun sedetik kemudian ia langsung menepuk keras bibirnya sendiri dengan telapak tangan. 

Tersadar, tidak seharusnya berucap kasar atau menyulut keributan. Harus tetap kalem meski sangat sulit mengingat lawan bicaranya ini musuh bebuyutannya sejak tiga tahun yang lalu.

"Lo salah makan, ya?"George menyentuh pelan kening Cecilia dengan telapak tangan kanannya. "Sakit?"

Merasakan kehangatan dan lembutnya sentuhan tangan George di keningnya, Cecilia hanya bisa diam dengan mata membulat dan bibir sedikit terbuka. Biasanya tangan besar itu selalu digunakan hanya untuk mengusirnya, jelas saja Cecilia terkejut mendapat perlakuan seperti ini. 

Cecilia menggeleng cepat. "Enggak."

"Lah, terus?" George menurunkan tangannya balas menatap bingung Cecilia. "Lo aneh banget hari ini."

"Itu.. sebenernya.." Cecilia menusuk-nusuk telapak tangannya sendiri dengan kuku yang mulai memanjang. "Anu.."

Kening George berkerut semakin dalam. "Apaan?"

"Gue boleh minta tolong?" tanya Cecilia takut-takut membalas tatapan bingung George.

"Minta tolong apa?"

"Mmm.. itu.." Cecilia meringis kecil. "Bisa enggak lo jadi partner gue buat konten youtube? Sekali aja?"

Kerutan di kening George langsung hilang tergantikan dengan ekspresi datar.

Melihat ekspresi tak minat George, sudah jelas sekali tawaran Cecilia ditolak. Namun harapan Cecilia agak sedikit melambung saat perlahan George tersenyum, bahkan pria itu mengangguk sekali.

"Bisa."

Senyuman Cecilia langsung merekah. "Serius?" 

"Bisa diam tidak?"

Sedetik kemudian harapan Cecilia musnah bersama dengan senyuman di bibirnya. 

"Plis, sekali ini aja?" mohon Cecilia dengan ekspresi memelas.

"Enggak, lo dulu bilang gitu juga ke Jack dan akhirnya satu yang lo maksud itu dateng lagi di hari berikutnya. Lo tahu sendiri penonton pasti enggak akan pernah puas walau keinginannya dipenuhi," ucap George seraya kembali fokus mengecek dokumen.

Cecilia menghela nafas panjang. "Lo benci banget sama youtuber, ya? Kayaknya males banget kalau muncul di channel gue."

"Enggak benci," George mengedikkan bahu. "Cuma gue milih-milih aja siapa partner-nya."

Sial, Cecilia benar-benar tersinggung dengan ucapan George. Jadi maksudnya George mau muncul di youtube jika pemilik channel-nya bukan Cecilia?

"Kenapa? Karena gue kelihatan kayak bocah banget? Gue bisa merubah penampilan jadi lebih dewasa biar lo enggak malu ada di konten gue!" ucap Cecilia tanpa sadar meninggikan nada bicaranya.

George menghela nafas panjang menyadari Cecilia salah paham dengan ucapannya. Pria itu segera meletakkan kembali dokumen ke atas meja, beralih menatap sepenuhnya gadis yang kini tampak sangat marah padanya. 

"Gue enggak malu. Lagian, ngapain lo susah-susah merubah penampilan lo jadi dewasa kalau gini aja udah cukup bikin gemes?"

"Eh?" 

Cecilia membelalakkan mata tak percaya saat George perlahan mengulurkan tangan, mengusap lembut puncak kepalanya. Jantung Cecilia rasanya hampir lepas melihat bibir George perlahan menyunggingkan senyuman manis padanya.

"Lo itu gemesin kayak kucing–" George menurunkan tangannya beralih mendorong pelan kening Cecilia dengan jari telunjuk.

"–sayangnya, gue enggak suka kucing."

 

🐵🐵🐵


 

BAB 3— Tranformasi 

 

"Ke Lombok?" 

Jack mengangguk. "Rencana awal bulan Desember besok kita berangkat, biar sebelum malam natalnya udah bisa balik lagi ke Jakarta."

"Mendadak banget?" George mengerutkan kening. "Lagian, kenapa enggak lo aja pergi berdua sama Adel? Bukanya lebih seru pergi berdua sama istri dari pada rame-rame?"

"George, ada saatnya gue juga pingin kumpul bareng temen-temen gue. Gitu juga Adel," Jack menyandarkan punggungnya di kursi. "Rencana gue mau undang lo,Dicky, juga temen-temenya Adel. Lo bebas mau ajak siapa, soalnya Dicky jelas bawa istri dan anaknya.

"Nyindir?" George menyipitkan kedua matanya. "Udah jelas enggak ada yang bisa gue bawa ke sana."

Jack tertawa. "Siapa tahu nantinya ada? Liburan masih satu bulan lagi. Nah, selama itu coba lo berburu pacar. Biar bisa di bawa ke Lombok."

George menatap datar Jack yang sedang tersenyum lebar padanya. Sial, pria itu pasti sekarang bermaksud sombong karena sudah mempunyai istri. Memang terkadang manusia sering lupa diri, lupa berterimakasih jika sudah berada di titik teratas. Andai Jack kembali mengingat siapa pahlawan yang selalu memberinya nasihat bijak hingga bisa berhasil  dalam kisah cintanya. Jelas hanya ada satu nama tercetak tebal 'George Abraham Delovano'. 

"Oh," Jack menjentikkan jarinya. "Katanya Cecil juga bakalan ikutan sama temen-temennya. Nah, siapa tahu lo bisa gebet satu temennya--"

"Lo suruh gue gebet bocah?" George mendengus. "Cukup kenal sama satu bocah aja gue udah repot, apalagi ketemu bocah-bocah lainnya."

"Bocah yang lo maksud udah umur dua puluh tiga tahun dan akhir Desember besok dia bakalan resmi berusia dua puluh empat tahun," Jack menaikkan sebelah alisnya. "Bocah dari mananya coba?"

George memutar bola matanya malas. "Lo kayaknya ngebet banget jodohin gue sama itu bocah, ya?"

Jack tertawa lagi, kali ini lebih keras dari pada sebelumnya. "Bukan gitu, tapi kayaknya bakalan seru kalau kita bisa jadi satu kerabat."

Membicarakan kerabat, George jadi teringat ucapannya dulu saat dirinya dan Jack masih duduk dibangku S1. Geroge dan Jack lulusan Universitas Indonesia jurusan bisnis. Keduanya jadi dekat karena beberapa kali berada di kelas yang sama. Namun, sejak lulus keduanya sempat terpisah selama dua tahun karena Jack melanjutkan S2 di Universitas Harvard. Setelah lulus dan diberi tanggung jawab menggantikan posisi ayahnya, Jack langsung mempromosikan George menjadi sekretarisnya. Saat itu George hanya bekerja sebagai seorang karyawan di perusahaan kecil. Jelas saja tawaran Jack terlalu menggoda untuk ditolak. Meski awalnya George dibuat kerepotan karena Jack sering  melalaikan pekerjaannya dan memilih menjadi ojek online. 

Karena sangat dekat, George dan Jack bahkan sampai membayangkan bagaimana jika mereka bisa menjadi kerabat suatu saat nanti. Kebetulan saat itu hanya ada Cecilia, jadilah Jack terus menerus menjodohkannya dengan gadis itu. Terlebih saat George sudah putus dengan kekasihnya, Jack semakin gencar menjalankan rencananya. Menyelipkan nama Cecilia dalam setiap percakapan menyangkut status single-nya.

"Kerja dulu yang bener baru mikirin liburan," George menunjuk tumpukan kertas di atas meja Jack sebelum berlalu pergi meninggalkannya, hendak kembali ke ruangannya. 

"George."

Panggilan itu membuat George berhenti melangkah. Tatapannya beralih pada Pak Triyana, manager administrasi dan keuangan di perusahaan ini. 

"Saya ingin menyerahkan ini," Pak Triyana menyerahkan amplop putih. "Surat pengunduran diri saya." 

George meraih amplop itu. "Baik Pak Triyana, nanti saya sampaikan surat mengunduran dirinya."

Pak Triyana tersenyum, dengan akrab menepuk pundak George. "Makasih."

Setelah itu Pak Triyana kembali ke ruangannya. Kebetulan ruangannya berada tepat di seberang ruangan George.

George terdiam memandangi surat pengunduran diri Pak Triyana. Sejak kejadian tiga tahun yang lalu, Jack memiliki sedikit trauma jika melihat amplop putih berisi surat pengunduran diri. Karena saat itu ada karyawan yang mengundurkan diri bukan hanya dari pekerjaannya tapi juga dari hidup Jack. Meski sekarang semuanya sudah membaik, trauma Jack masih belum hilang. Tidak ingin membuat Jack panik, setiap surat pengunduran diri dialihkan padanya. 

Pak Triyana sudah berusia sekitar lima puluh tahun, pria itu sudah setia bekerja sejak Andreas ayah Jack memimpin perusahaan ini. Sebenarnya George sangat menyayangkan Pak Triyana harus segera pensiun lantaran kinerja beliau sangat baik. Namun, melihat Pak Triyana sering terlihat kelelahan, George tidak tega juga. 

George menghela nafas panjang, memandang amplop putih di tangannya. "Jadi, siapa penggantinya?"


 

🐵🐵🐵


 

"Kamu siapa? Apakah Keylie Jenner atau Sandra Dewi?" Cecilia menyelipkan anak rambut yang menjuntai di wajahnya. "Sudah pasti kamu Cecilia Yolanda Lestari."
 

Bukan Cecilia namanya jika mudah menyerah. Penolakan George kemarin sama sekali tidak melunturkan semangat Cecilia. Demi kontennya, hari ini Cecilia kembali datang mengunjungi George di ruangannya. Sebelum itu, Cecilia sudah menyiapkan beberapa makanan mulai dari makanan berat hingga es kopi susu cincau kesukaan George. Berharap dengan itu George tidak langsung mengusirnya pergi. 
 

Bukan hanya menyiapkan sogokan, hari ini Cecilia juga berpenampilan berbeda dari biasanya. Alih-alih mengenakan sweater dan rok berwarna pastel, Cecilia justru mengenakan blouse lengan panjang berwarna beige dengan kerah pita, dipadukan rok sepan hitam yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambut cokelat Cecilia yang mulai memanjang dikeriting gelombang besar dan dibiarkan tergerai. Untuk alas kaki, Cecilia mengganti sneakers kesayangnnya dengan higheels hitam setinggi tujuh senti. 

Jika biasanya Cecilia hanya mengenakan bedak bayi dan liptint, khusus hari ini gadis itu memoles make up lebih tebal. Bahkan Cecilia tidak segan memoles lipstik berwarna merah di bibir mungilnya. Cecilia juga merubah hal-hal kecil seperti harum parfumnya. Mengganti prafum beraroma buah dengan parfum milik ibunya. 
 

"Perfect," Cecilia menatap puas penampilannya dari pantulan kaca mobilnya. 
 

Walau sebenarnya Cecilia merasa terkejut dengan bayangannya sendiri. Benar-benar berubah, Cecilia bahkan tidak dapat mengenali sosoknya sendiri. Cecilia merasa telah menjadi sosok orang lain, tidak nyaman dengan aroma parfum milik ibunya dan juga higheels yang mulai menyakiti kakinya. Demi kontennya, Cecilia berusaha menahan semua itu. Cecilia harus bisa membujuk George agar bersedia membuat konten bersamanya. 

 

Tangan kanan Cecilia membawa plastik berisi makan siang dan kopi, sedangkan tangan kirinya membawa clutch berwarna hitam. 
 

Cecilia berusaha mati-matian menyembunyikan senyuman bangga saat melihat beberapa karyawan pria yang kebetulan berpapasan dengannya terlihat terpesona. Padahal, biasanya para karyawan itu lebih sering memberinya senyuman gemas seperti sedang melihat anak kecil. Sekarang senyuman itu berubah menjadi senyuman kagum bahkan tertarik. Cecilia jadi tidak sabar melihat reaksi George.

 

Cecilia sudah berkhayal George akan terdiam mematung, terpukau memandangi betapa cantiknya Cecilia hari ini. Terakhir kali George melihat Cecilia berpenampilan dewasa seperti ini hanya saat ada acara resmi perusahaan kakak sepupunya atau saat Cecilia sengaja langsung menghampiri Jack sesaat setelah ia presentasi di kampusnya tiga tahun yang lalu. Cecilia ingat saat itu salah satu mata kuliahnya mengharuskan mahasiswa untuk mengenakan pakaian formal saat presentasi. 

 

Kebetulan saat itu Cecilia sedang tertarik dengan George. Cecilia tahu tipe ideal George adalah gadis yang dewasa baik dari segi penampilan maupun sifatnya. Karena ingin memperlihatkan penampilan dewasanya pada George, Cecilia tanpa pikir panjang langsung datang ke kantor Jack tanpa berganti pakian terlebih dahulu. Sialnya, George justru sedang pergi ke luar dan tidak melihat penampilannya.
 

Hari ini Cecilia ingin mewujudkan rencananya yang sempat gagal dulu. Namun bukan karena Cecilia masih tertarik pada George, ia hanya ingin membuat pria itu berpikir ulang terkait kontennya. 
 

Langkah Cecilia terhenti saat melihat sosok yang menjadi sasarannya hari ini sedang sibuk berbincang serius dengan salah seorang karyawan berusia paruh baya di depan pintu ruangan Jack. Hanya sesaat sebelum George kembali ke ruangannya sendiri. 

 

Tiba-tiba Cecilia jadi merasa gugup hanya karena melihat sosok George. Jantungnya berdebar kencang membayangkan bagaimana ekspresi George saat melihat penampilannya hari ini. Apakah pria itu akan tersipu atau bersikap manis seperti yang selalu pria itu lakukan pada gadis selain dirinya?
 

Cecilia berdeham sejenak sebelum melangkahkan kaki dengan mantap menuju ruangan George. Biasanya Cecilia memilih mengendap-endap atau langsung masuk tanpa izin. Berhubung hari ini Cecilia sedang berperan menjadi perempuan dewasa, alih-alih langsung masuk gadis itu dengan anggun mengetuk pintu. 

"Masuk."

Suara berat George tanpa sadar membuat Cecilia meneguk ludahnya gugup. Cecilia justru jadi ragu memberanikan diri tetap masuk ke dalam ruangan itu atau kabur saja. Tetapi, Cecilia tidak ingin usahanya hari ini terbuang sia-sia.
 

Perlahan Cecilia membuka pintu ruangan George. 

Tatapan George yang semula fokus membaca selembar kertas langsung terbelalak lebar saat melihat siapa tamu yang datang ke ruangannya.

Cecilia mengerutkan kening. Benar, sih, George terdiam di tempat seperti ekspektasinya tadi. Tetapi pria itu tidak terlihat terpesona, malahan seperti khawatir?

"Ehm," Cecilia berdeham, tangan kanannya sedikit terangkat memperlihatkan dua box makanan dan kopi. "Mau makan siang bareng?"
 

George segera bangkit berdiri berjalan mendekati Cecilia. 

Cecilia yang belum mempersiapkan diri tanpa sadar langsung merapatkan tubuhnya bersandar di pintu yang sudah tertutup rapat. Jantung Cecilia berdebar cepat saat George semakin menghimpitnya. Cecilia tidak pernah membayangkan George ternyata sangat agresif. 
 

"Lo.."

 

Ini dia yang Cecilia tunggu-tunggu. George terlihat memandang ke arahnya, juga bersikap lembut tidak memancing keributan seperti biasanya. Pasti setelah ini George akan mengatakan bahwa Cecilia sangat cantik.
 

Kedua mata Cecilia membelalak kaget saat merasakan kelembutan tangan George menyentuh keningnya. 

 

Namun imajinasi Cecilia langsung hancur saat George menjauhkan telapak tangan yang semula menyentuh keningnya. Dengan tidak sopan pria itu menempelkan telapak tangan di pantatnya sendiri.

"Lo sakit, ya?" tanya George.

Sial, Cecilia tidak tahu harus merasa kesal atau malu. Sudah berdandan seperti ini, kata-kata yang terucap dari George sangat tidak ada manis-manisnya.
 

Kesal, Cecilia mendorong pelan dada bidang George. "Panggil gue Miss Cassie."
 

"Pffttt..." 
 

Cecilia membelalakkan mata tidak terima melihat pundak George mulai bergetar. Sebelah tangan pria itu menutup bibirnya sendiri, menahan tawa.
 

"Sorry," George berusaha memberhentikan tawanya, menyadari perubahan ekspresi Cecilia. "Lo lagi ngapain, sih?"

 

George memperhatikan penampilan Cecilia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu sedetik kemudian ia tertawa lagi. 
 

Padahal Cecilia merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Tetapi setelah melihat reaksi George, rasanya semua jadi terlihat salah. Apa seharusnya Cecilia tidak perlu berdandan seperti ini, ya?
 

"Katanya kalau partner-nya dewasa, lo mau bikin konten bareng," Cecilia menunduk dengan bibir mengerucut. 
 

"Gue kapan bilang gitu?" George terkekeh. "Dari awal gue memang males masuk ke konten youtube. Bukan karena siapa yang bakalan jadi partner gue."
 

Cecilia berdecak. "Lo enggak jelasin waktu itu."

George menyandarkan punggungnya di dinding, memperhatikan Cecilia dengan tatapan geli. Sama sekali tidak berusaha menjelaskan, malah diam-diam ia menikmati ekspresi kesal bercampur malu yang tercetak jelas di wajah gadis itu.

"Tahu gitu gue enggak perlu repot dandan," cicit Cecilia pelan namun masih terdengar jelas di telinga George.
 

Saat Cecilia hendak beranjak pergi, George dengan sigap meraih tangan gadis itu. Menahannya.

Cecilia menoleh kaget, memandangi tangan kekar George yang kini berada di pergelangan tangannya. 

"Itu makanan buat gue, kan?" George mengedikkan dagu ke arah plastik yang berada di tangan kanan Cecilia. "Dari pada mubazir, mending makan aja sekarang?"

Masih diam di tempat, Cecilia membiarkan George mengambil alih plastik itu. Tiba-tiba Cecilia sudah tidak mood untuk makan. 
 

"Enggak mau makan?" tanya George menyadari Cecilia tidak menyusulnya duduk di sofa. 

Melihat Cecilia masih terdiam di tempat dengan ekspresi ditekuk, George mengangguk mengerti. Pria itu diam sejenak sebelum akhirnya berdeham pelan. 
 

"Miss Cassie, sini duduk kita makan bareng."
 

Panggilan George membuat kedua mata Cecilia membulat. 
 

"Udah sini cepetan," George menarik tangan Cecilia hingga terduduk di sampingnya. 
 

Cecilia kembali di buat tertegun saat George perlahan membelai puncak kepalanya. Jantung Cecilia berdebar kencang memandangi senyuman manis yang terukir di bibir George. Namun, sesaat setelahnya Cecilia menyadari tidak seharusnya debaran jantungnya bertindak berlebihan seperti itu. Terlebih saat senyuman George berubah menjadi seringaian jahil.
 

"Anak kecil harus makan yang banyak biar sehat, ya?"
                                      

                                           🐵🐵🐵

 

"Ke Lombok?" 


 

Jack mengangguk. "Rencana awal bulan Desember besok kita berangkat, biar sebelum malam natalnya udah bisa balik lagi ke Jakarta."


 

"Mendadak banget?" George mengerutkan kening. "Lagian, kenapa enggak lo aja pergi berdua sama Adel? Bukanya lebih seru pergi berdua sama istri dari pada rame-rame?"


 

"George, ada saatnya gue juga pingin kumpul bareng temen-temen gue. Gitu juga Adel," Jack menyandarkan punggungnya di kursi. "Rencana gue mau undang lo,Dicky, juga temen-temenya Adel. Lo bebas mau ajak siapa, soalnya Dicky jelas bawa istri dan anaknya."


 

"Nyindir?" George menyipitkan kedua matanya. "Udah jelas enggak ada yang bisa gue bawa ke sana."


 

Jack tertawa. "Siapa tahu nantinya ada? Liburan masih satu bulan lagi. Nah, selama itu coba lo berburu pacar. Biar bisa di bawa ke Lombok."


 

George menatap datar Jack yang sedang tersenyum lebar padanya. Sial, pria itu pasti sekarang bermaksud sombong karena sudah mempunyai istri. Memang terkadang manusia sering lupa diri, lupa berterimakasih jika sudah berada di titik teratas. Andai Jack kembali mengingat siapa pahlawan yang selalu memberinya nasihat bijak hingga bisa berhasil  dalam kisah cintanya. Jelas hanya ada satu nama tercetak tebal 'George Abraham Delovano'. 


 

"Oh," Jack menjentikkan jarinya. "Katanya Cecil juga bakalan ikutan sama temen-temennya. Nah, siapa tahu lo bisa gebet satu temennya--"


 

"Lo suruh gue gebet bocah?" George mendengus. "Cukup kenal sama satu bocah aja gue udah repot, apalagi ketemu bocah-bocah lainnya."


 

"Bocah yang lo maksud udah umur dua puluh tiga tahun dan akhir Desember besok dia bakalan resmi berusia dua puluh empat tahun," Jack menaikkan sebelah alisnya. "Bocah dari mananya coba?"


 

George memutar bola matanya malas. "Lo kayaknya ngebet banget jodohin gue sama itu bocah, ya?"


 

Jack tertawa lagi, kali ini lebih keras dari pada sebelumnya. "Bukan gitu, tapi kayaknya bakalan seru kalau kita bisa jadi satu kerabat."


 

Membicarakan kerabat, George jadi teringat ucapannya dulu saat dirinya dan Jack masih duduk dibangku S1. Geroge dan Jack lulusan Universitas Indonesia jurusan bisnis. Keduanya jadi dekat karena beberapa kali berada di kelas yang sama. Namun, sejak lulus keduanya sempat terpisah selama dua tahun karena Jack melanjutkan S2 di Universitas Harvard. Setelah lulus dan diberi tanggung jawab menggantikan posisi ayahnya, Jack langsung mempromosikan George menjadi sekretarisnya. Saat itu George hanya bekerja sebagai seorang karyawan di perusahaan kecil. Jelas saja tawaran Jack terlalu menggoda untuk ditolak. Meski awalnya George dibuat kerepotan karena Jack sering  melalaikan pekerjaannya dan memilih menjadi ojek online. 


 

Karena sangat dekat, George dan Jack bahkan sampai membayangkan bagaimana jika mereka bisa menjadi kerabat suatu saat nanti. Kebetulan saat itu hanya ada Cecilia, jadilah Jack terus menerus menjodohkannya dengan gadis itu. Terlebih saat George sudah putus dengan kekasihnya, Jack semakin gencar menjalankan rencananya. Menyelipkan nama Cecilia dalam setiap percakapan menyangkut status single-nya.


 

"Kerja dulu yang bener baru mikirin liburan," George menunjuk tumpukan kertas di atas meja Jack sebelum berlalu pergi meninggalkannya, hendak kembali ke ruangannya. 


 

"George."


 

Panggilan itu membuat George berhenti melangkah. Tatapannya beralih pada Pak Triyana, manager administrasi dan keuangan di perusahaan ini. 


 

"Saya ingin menyerahkan ini," Pak Triyana menyerahkan amplop putih. "Surat pengunduran diri saya." 


 

George meraih amplop itu. "Baik Pak Triyana, nanti saya sampaikan surat mengunduran dirinya."


 

Pak Triyana tersenyum, dengan akrab menepuk pundak George. "Makasih."


 

Setelah itu Pak Triyana kembali ke ruangannya. Kebetulan ruangannya berada tepat di seberang ruangan George.


 

George terdiam memandangi surat pengunduran diri Pak Triyana. Sejak kejadian tiga tahun yang lalu, Jack memiliki sedikit trauma jika melihat amplop putih berisi surat pengunduran diri. Karena saat itu ada karyawan yang mengundurkan diri bukan hanya dari pekerjaannya tapi juga dari hidup Jack. Meski sekarang semuanya sudah membaik, trauma Jack masih belum hilang. Tidak ingin membuat Jack panik, setiap surat pengunduran diri dialihkan padanya. 


 

Pak Triyana sudah berusia sekitar lima puluh tahun, pria itu sudah setia bekerja sejak Andreas ayah Jack memimpin perusahaan ini. Sebenarnya George sangat menyayangkan Pak Triyana harus segera pensiun lantaran kinerja beliau sangat baik. Namun, melihat Pak Triyana sering terlihat kelelahan, George tidak tega juga. 


 

George menghela nafas panjang, memandang amplop putih di tangannya. "Jadi, siapa penggantinya?"


 

🐵🐵🐵


 

"Kamu siapa? Apakah Keylie Jenner atau Sandra Dewi?" Cecilia menyelipkan anak rambut yang menjuntai di wajahnya. "Sudah pasti kamu Cecilia Yolanda Lestari."


 

Bukan Cecilia namanya jika mudah menyerah. Penolakan George kemarin sama sekali tidak melunturkan semangat Cecilia. Demi kontennya, hari ini Cecilia kembali datang mengunjungi George di ruangannya. Sebelum itu, Cecilia sudah menyiapkan beberapa makanan mulai dari makanan berat hingga es kopi susu cincau kesukaan George. Berharap dengan itu George tidak langsung mengusirnya pergi. 


 

Bukan hanya menyiapkan sogokan, hari ini Cecilia juga berpenampilan berbeda dari biasanya. Alih-alih mengenakan sweater dan rok berwarna pastel, Cecilia justru mengenakan blouse lengan panjang berwarna beige dengan kerah pita, dipadukan rok sepan hitam yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambut cokelat Cecilia yang mulai memanjang dikeriting gelombang besar dan dibiarkan tergerai. Untuk alas kaki, Cecilia mengganti sneakers kesayangnnya dengan higheels hitam setinggi tujuh senti. 


 


 


 

Jika biasanya Cecilia hanya mengenakan bedak bayi dan liptint, khusus hari ini gadis itu memoles make up lebih tebal. Bahkan Cecilia tidak segan memoles lipstik berwarna merah di bibir mungilnya. Cecilia juga merubah hal-hal kecil seperti harum parfumnya. Mengganti prafum beraroma buah dengan parfum milik ibunya. 


 

"Perfect," Cecilia menatap puas penampilannya dari pantulan kaca mobilnya. 


 

Walau sebenarnya Cecilia merasa terkejut dengan bayangannya sendiri. Benar-benar berubah, Cecilia bahkan tidak dapat mengenali sosoknya sendiri. Cecilia merasa telah menjadi sosok orang lain, tidak nyaman dengan aroma parfum milik ibunya dan juga higheels yang mulai menyakiti kakinya. Demi kontennya, Cecilia berusaha menahan semua itu. Cecilia harus bisa membujuk George agar bersedia membuat konten bersamanya. 


 

Tangan kanan Cecilia membawa plastik berisi makan siang dan kopi, sedangkan tangan kirinya membawa clutch berwarna hitam. 


 

Cecilia berusaha mati-matian menyembunyikan senyuman bangga saat melihat beberapa karyawan pria yang kebetulan berpapasan dengannya terlihat terpesona. Padahal, biasanya para karyawan itu lebih sering memberinya senyuman gemas seperti sedang melihat anak kecil. Sekarang senyuman itu berubah menjadi senyuman kagum bahkan tertarik. Cecilia jadi tidak sabar melihat reaksi George.


 

Cecilia sudah berkhayal George akan terdiam mematung, terpukau memandangi betapa cantiknya Cecilia hari ini. Terakhir kali George melihat Cecilia berpenampilan dewasa seperti ini hanya saat ada acara resmi perusahaan kakak sepupunya atau saat Cecilia sengaja langsung menghampiri Jack sesaat setelah ia presentasi di kampusnya tiga tahun yang lalu. Cecilia ingat saat itu salah satu mata kuliahnya mengharuskan mahasiswa untuk mengenakan pakaian formal saat presentasi. 


 

Kebetulan saat itu Cecilia sedang tertarik dengan George. Cecilia tahu tipe ideal George adalah gadis yang dewasa baik dari segi penampilan maupun sifatnya. Karena ingin memperlihatkan penampilan dewasanya pada George, Cecilia tanpa pikir panjang langsung datang ke kantor Jack tanpa berganti pakian terlebih dahulu. Sialnya, George justru sedang pergi ke luar dan tidak melihat penampilannya.


 

Hari ini Cecilia ingin mewujudkan rencananya yang sempat gagal dulu. Namun bukan karena Cecilia masih tertarik pada George, ia hanya ingin membuat pria itu berpikir ulang terkait kontennya. 


 

Langkah Cecilia terhenti saat melihat sosok yang menjadi sasarannya hari ini sedang sibuk berbincang serius dengan salah seorang karyawan berusia paruh baya di depan pintu ruangan Jack. Hanya sesaat sebelum George kembali ke ruangannya sendiri. 


 

Tiba-tiba Cecilia jadi merasa gugup hanya karena melihat sosok George. Jantungnya berdebar kencang membayangkan bagaimana ekspresi George saat melihat penampilannya hari ini. Apakah pria itu akan tersipu atau bersikap manis seperti yang selalu pria itu lakukan pada gadis selain dirinya?


 

Cecilia berdeham sejenak sebelum melangkahkan kaki dengan mantap menuju ruangan George. Biasanya Cecilia memilih mengendap-endap atau langsung masuk tanpa izin. Berhubung hari ini Cecilia sedang berperan menjadi perempuan dewasa, alih-alih langsung masuk gadis itu dengan anggun mengetuk pintu. 


 

"Masuk."


 

Suara berat George tanpa sadar membuat Cecilia meneguk ludahnya gugup. Cecilia justru jadi ragu memberanikan diri tetap masuk ke dalam ruangan itu atau kabur saja. Tetapi, Cecilia tidak ingin usahanya hari ini terbuang sia-sia.


 

Perlahan Cecilia membuka pintu ruangan George. 


 

Tatapan George yang semula fokus membaca selembar kertas langsung terbelalak lebar saat melihat siapa tamu yang datang ke ruangannya.


 

Cecilia mengerutkan kening. Benar, sih, George terdiam di tempat seperti ekspektasinya tadi. Tetapi pria itu tidak terlihat terpesona, malahan seperti khawatir?


 

"Ehm," Cecilia berdeham, tangan kanannya sedikit terangkat memperlihatkan dua box makanan dan kopi. "Mau makan siang bareng?"


 

George segera bangkit berdiri berjalan mendekati Cecilia. 


 

Cecilia yang belum mempersiapkan diri tanpa sadar langsung merapatkan tubuhnya bersandar di pintu yang sudah tertutup rapat. Jantung Cecilia berdebar cepat saat George semakin menghimpitnya. Cecilia tidak pernah membayangkan George ternyata sangat agresif. 


 

"Lo.."


 

Ini dia yang Cecilia tunggu-tunggu. George terlihat memandang ke arahnya, juga bersikap lembut tidak memancing keributan seperti biasanya. Pasti setelah ini George akan mengatakan bahwa Cecilia sangat cantik.


 

Kedua mata Cecilia membelalak kaget saat merasakan kelembutan tangan George menyentuh keningnya. 


 

Namun imajinasi Cecilia langsung hancur saat George menjauhkan telapak tangan yang semula menyentuh keningnya. Dengan tidak sopan pria itu menempelkan telapak tangan di pantatnya sendiri.


 

"Lo sakit, ya?" tanya George.


 

Sial, Cecilia tidak tahu harus merasa kesal atau malu. Sudah berdandan seperti ini, kata-kata yang terucap dari George sangat tidak ada manis-manisnya.


 

Kesal, Cecilia mendorong pelan dada bidang George. "Panggil gue Miss Cassie."


 

"Pffttt..." 


 

Cecilia membelalakkan mata tidak terima melihat pundak George mulai bergetar. Sebelah tangan pria itu menutup bibirnya sendiri, menahan tawa.


 

"Sorry," George berusaha memberhentikan tawanya, menyadari perubahan ekspresi Cecilia. "Lo lagi ngapain, sih?"


 

George memperhatikan penampilan Cecilia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lalu sedetik kemudian ia tertawa lagi. 


 

Padahal Cecilia merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Tetapi setelah melihat reaksi George, rasanya semua jadi terlihat salah. Apa seharusnya Cecilia tidak perlu berdandan seperti ini, ya?


 

"Katanya kalau partner-nya dewasa, lo mau bikin konten bareng," Cecilia menunduk dengan bibir mengerucut. 


 

"Gue kapan bilang gitu?" George terkekeh. "Dari awal gue memang males masuk ke konten youtube. Bukan karena siapa yang bakalan jadi partner gue."


 

Cecilia berdecak. "Lo enggak jelasin waktu itu."


 

George menyandarkan punggungnya di dinding, memperhatikan Cecilia dengan tatapan geli. Sama sekali tidak berusaha menjelaskan, malah diam-diam ia menikmati ekspresi kesal bercampur malu yang tercetak jelas di wajah gadis itu.


 

"Tahu gitu gue enggak perlu repot dandan," cicit Cecilia pelan namun masih terdengar jelas di telinga George.


 

Saat Cecilia hendak beranjak pergi, George dengan sigap meraih tangan gadis itu. Menahannya.


 

Cecilia menoleh kaget, memandangi tangan kekar George yang kini berada di pergelangan tangannya. 


 

"Itu makanan buat gue, kan?" George mengedikkan dagu ke arah plastik yang berada di tangan kanan Cecilia. "Dari pada mubazir, mending makan aja sekarang?"


 

Masih diam di tempat, Cecilia membiarkan George mengambil alih plastik itu. Tiba-tiba Cecilia sudah tidak mood untuk makan. 


 

"Enggak mau makan?" tanya George menyadari Cecilia tidak menyusulnya duduk di sofa. 


 

Melihat Cecilia masih terdiam di tempat dengan ekspresi ditekuk, George mengangguk mengerti. Pria itu diam sejenak sebelum akhirnya berdeham pelan. 


 

"Miss Cassie, sini duduk kita makan bareng."


 

Panggilan George membuat kedua mata Cecilia membulat. 


 

"Udah sini cepetan," George menarik tangan Cecilia hingga terduduk di sampingnya. 


 

Cecilia kembali di buat tertegun saat George perlahan membelai puncak kepalanya. Jantung Cecilia berdebar kencang memandangi senyuman manis yang terukir di bibir George. Namun, sesaat setelahnya Cecilia menyadari tidak seharusnya debaran jantungnya bertindak berlebihan seperti itu. Terlebih saat senyuman George berubah menjadi seringaian jahil.


 

"Anak kecil harus makan yang banyak biar sehat, ya?"


 


 

🐵🐵🐵

 


Bab 4—Perempuan Dewasa

 

"Cari cowok ganteng yang lain aja?" usul Laila.

Elsa mengangguk setuju. "Kayaknya udah waktunya lo cari pacar, Cil. Biar bisa bikin konten bareng gitu kayak youtuber lainnya. Semisal lo punya pacar, pasti mereka enggak bakalan cari-cari Garaga--"

"George," koreksi Laila.

"Yah, itulah.." Elsa mengedikkan bahu santai. "Apalagi kalau pacar lo ganteng, pasti nambah jumlah viewers."

Selagi Laila dan Elsa sibuk memberikan usul, Cecilia justru menyandarkan wajahnya lemas di atas meja. Mungkin untuk yang satu ini ia memang hanya bisa menyerah melihat betapa kukuhnya pendirian George menolak permintaannya. Sekarang Cecilia sedang memikirkan cara lain untuk membuat subscriber-nya melupakan permintaan membuat konten bersama pria itu. 

Karena otaknya tidak cukup untuk menanggung beban sendirian, Cecilia membaginya dengan Laila dan Elsa sahabatnya sejak duduk di bangku SMP. Ketiganya sudah menghabiskan waktu selama satu jam di cafe hanya untuk membicarakan masalah ini. Dan hingga sekarang belum ada usul yang diterima oleh Cecilia.

"Percuma kayaknya," Elsa menyikut pelan lengan Laila. "Memang anaknya belum mau nyerah. Ada usul berapapun enggak bakalan dia dengerin."

"Gue denger," gumam Cecilia masih dalam posisinya. "Tapi kalau sarannya cari pacar, gue enggak mau."

"Kenapa?" tanya Laila.

"Belum minat punya pacar."

Cecilia mengubah posisinya jadi menghadap ke arah jendela, mengamati kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Tatapannya terjatuh pada sosok gadis yang sedang yang mengobrol ringan dengan pasangannya di cafe seberang. Kening Cecilia berkerut dalam melihat betapa anggun gadis itu, mulai dari cara tertawa hingga caranya meraih cangkir di meja. 

Lagi-lagi Cecilia merasa insecure. 

"Coba gue kayak Kak Adel," jari Cecilia mengetuk pelan meja dengan bibir mengerucut kesal. "Dewasa, cantik, pinter masak, terus keibuan juga."

Laila dan Elsa hanya diam, saling bertukar pandang.

"Bentar-bentar gue curiga," Elsa mengerutkan kening dalam. "Ini lo galau karena gagal bikin konten atau.."

"Karena orang yang mau lo ajakin bikin konten?" sambung Laila.

Ucapan Laila sukses membuat Cecilia menghentikkan aktivitasnya melamun sambil mengetuk meja dengan jari. Cecilia segera duduk menegak menatap kaget Elsa dan Laila.

Cecilia menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. "Gue galau karena Curious George?"

Elsa dan Laila bertukar pandang, kompak mengedikkan bahu. 

"Bisa jadi?" Elsa menopang dagunya dengan tangan, kedua matanya menyipit curiga. "Dulu lo pernah naksir dia, kan? Jangan-jangan sampai sekarang juga--"

"Enggak!" potong Cecilia cepat. "Dulu cuma naksir karena dia ganteng. Tapi sekarang udah biasa aja. Lagian nyebelin banget orangnya, bukan tipe gue banget. Udah seumuran om-om pula, gue bisa kali cari yang lebih seger."

"Nah, itu lo udah tahu?" Elsa menepuk pelan lengan Cecilia. "Udah enggak perlu lo mohon-mohon lagi ke Gar, eh, George. Masih banyak kali cowok ganteng yang bersedia bikin konten bareng lo."

Laila mengangguk setuju. "Udah jangan sedih lagi. Masalah konten jangan dibawa ke real life, nanti lo stres sendiri."

Cecilia membalas tatapan khawatir Elsa dan Laila. Bibirnya tersenyum tipis, merasa beruntung memiliki sahabat baik seperti mereka berdua. Setiap kali Cecilia ada masalah Elsa dan Laila pasti berada di barisan paling depan. Masalahnya, Elsa dan Laila sudah memiliki pacar. Cecilia khawatir membayangkan kedua sahabatnya kelak menikah dan meninggalkannya sendirian. 

Apa ini memang sudah waktunya Cecilia mencari pacar? 

Memikirkan pertanyaan itu tiba-tiba membuat mood Cecilia turun lagi. 

"Ini beneran cuma masalah konten, kan?" bisik Elsa pada Laila.

Laila melipat kedua tangannya, memperhatikan Cecilia yang kembali menyandarkan wajah lesu di atas meja. "Kayaknya lebih rumit dari pada itu."


 

🐵🐵🐵
 

"Penampilan perempuan dewasa," gumam Cecilia dengan jari sibuk mengetik di atas keyboard laptopnya.

Meski kemarin sudah ditertawakan oleh George, Cecilia masih belum menyerah. Ia yakin bisa berubah menjadi perempuan dewasa suatu saat nanti dan membuat George menarik semua kata-kata 'bocah' itu.

Sedetik kemudian muncul beberapa gambar sesuai dengan apa yang Cecilia ketik sebelumnya. Cecilia menghela nafas lelah menyadari style-nya memang berbanding terbalik dengan sosok perempuan dewasa yang muncul di internet. Kebanyakan perempua dewasa hanya mengenakan pakaian seperti celana jeans, kemeja, dan pakaian lain yang memiliki warna kalem tidak seperti koleksi pakaian Cecilia. 

Cecilia segera beranjak mendekat ke lemari pakaiannya. Lemari pakaian Cecilia memiliki desain tiga pintu. Pada pintu pertama berisi atasan mulai dari kaus, tantop, hingga blouse. Pada pintu kedua berisi koleksi celana dan rok Cecilia. Sedangkan pintu ke tiga menampilkan beberapa koleksi dress pesta.
 

Pundak Cecilia langsung menurun lemas menyadari betapa menyalanya warna baju yang ia miliki. Karena Cecilia sangat menyukai drama korea, gadis itu jadi senang meniru style tokoh perempuan yang kebanyakan berpenampilan imut. Masalahnya, imut bukan lagi hal yang Cecilia inginkan sekarang. Cecilia ingin terlihat dewasa dan sexy.

Belum menyerah, Cecilia segera berlari kecil mengendap-endap masuk ke dalam kamar kedua orangtuanya yang berada tepat diseberang kamarnya. Untung saja Clarissa sedang asik menonton sinetron di ruang keluarga yang berada di lantai dua. Setidaknya Cecilia memiliki ruang bebas untuk menjalankan rencananya.
 

Cecilia mulai membuka lemari pakaian milik Clarissa, mencari-cari pakaian yang dimiliki ibunya. Kebetulan tubuh Clarissa juga sama mungilnya dengan tibuh Cecilia, hanya sedikit lebih besar dibagian tertentu seperti bagian dada dan pinggul. 

Setelah mengambil dua potong dress, Cecilia segera berlari kembali menuju kamarnya. Tanpa membuang waktu lagi, Cecilia segera mengunci pintu kamarnya dan mulai lengganti pakaiannya dengan dress milik Clarissa. 

Sebuah long dress tanpa lengan berwarna merah maroon dengan model press body itu seharusnya menonjolkan setiap lekukan tubuh penggunanya. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku di tubuh Cecilia. 

Kening Cecilia berkerut dalam memandangi bayangannya sendiri di cermin. Pinggang Cecilia terlalu ramping, pinggulnya juga terlalu sempit tidak membentuk lekukan sexy.  Tatapan Cecilia turun ke arah dadanya sendiri. Banyak rongga kosong di sana, mungkin karena dress itu dibuat pas untuk tubuh Clarissa. Ibunya itu walau bertubuh mungil tapi memiliki dada dan pantat yang sexy. Tetapi kata Clarissa, ia baru bisa mendapatkan dada dan pantat sexy setelah memiliki anak. 

Masa Cecilia harus memiliki anak dulu agar George bersedia membuat konten untuknya? 

Tatapan Cecilia beralih pada sepasang kakinya. "Kenapa kaki gue pendek banget, sih?"

Cecilia segera melepaskan dress yang melekat di tubuhnya, mulai menggantinya dengan kaus hitam kedodoran dan celana kolor putih. Rambut yang semula tergerai ia gulung asal dengan menggunakan karet beludru berwarna merah muda. 

Baru saja Cecilia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, terdengar ketukan heboh dari depan kamarnya.

"Cil, buka pintunya!"

Suara Clarissa membuat Cecilia mengusap wajahnya kasar. "Iya-iya sabar.."

Tanpa minat Cecilia berjalan mendekat ke arah pintu dan membukanya. Wajah Clarissa yang semula berseri-seri langsung membelalakkan mata melihat penampilan putri tunggalnya.

"Udah jam segini dan kamu belum mandi?" Clarissa menggelengkan kepala. "Bentar lagi bahkan makan malam sudah siap.”

Cecilia memutar bola matanya malas."Baru jam enam kali, Ma."

"Heran, punya anak gadis kok males banget disuruh mandi," Clarissa menggelengkan kepala. 

Cecilia berusaha mencari-cari topik untuk membuat Clarissa lupa pada ceramahnya. Jika tidak segera dialihkan, bisa- bisa sampai malam hari Cecilia harus mendengar ibunya tidak berhenti memberinya nasihat terkait bagaimana menjadi anak gadis yang baik. 
 

"Itu kotak apa, Ma?" tanya Cecilia dalam hati berterimakasih pada kotak persegi yang berada di tangan Clarissa.

Pandangan Clarissa beralih. "Oh, ini kue yang mama pesen di Bu Dewi. Kamu bisa antar satu ke rumah Chello? Kamu sering banget repotin dia, mama jadi enggak enak."

"Cecil enggak ngerepotin," bantah Cecilia.

"Iya-iya.." Clarissa mengusap pelan wajah Cecilia. "Karena kamu nganggur, sekarang cuci muka dulu terus anterin kue ini ke rumah Chello."

"Ngapain cuci muka segala? Cuma ketemu Kak Chello juga."

Dua puluh menit kemudian Cecilia menyesali kenapa tidak menuruti ucapan Clarissa. Hampir selama sepuluh menit lamanya, Cecilia masih bersembunyi di dalam mobilnya yang terparkir agak jauh dari rumah Jack. Tatapannya tidak terlepas pada mobil hitam yang terparkir di depan rumah Jack. Andai Cecilia tidak mengenali siapa pemilik mobil hitam itu, mungkin ia tidak perlu bersembunyi seperti ini. Cecilia akan dengan cuek mendatangi Jack, memberikan kue titipan ibunya, lalu pulang ke rumah dengan perasaan damai. 

Masalahnya, Cecilia mengenal salah satu tamu Jack. Siapa lagi kalau bukan George, pria yang berhasil membuatnya pusing memikirkan cara menjadi perempuan dewasa. Memikirkan itu, lagi-lagi Cecilia merasa frustasi.

Sialnya lagi, Cecilia lupa membawa ponselnya. Padahal niatnya ia ingin menghubungi Jack untuk menghampirinya diam-diam. 

Cecilia mengamati wajahnya di kaca sepion mobilnya. Wajah berminyak, bibir pucat, rambut lepek yang digulung asal, baju lusuh, celana buluk. Ah, sempurna sudah ketidak sempurnaannya. Kalau begini caranya, kata perempuan dewasa yang selalu pandai menjaga penampilan jelas sekali tidak terlihat dalam dirinya. 

"Apa gerai aja?" Cecilia masih berusaha memperbaiki penampilannya. Tetapi saat karet beludrunya terlepas, rambut Cecilia justru semakin berantakan seperti semak belukar. 

"Huee.. mama Cecilia mau mandi sekarang!" Cecilia merengek kecil dengan kedua kaki mendendang-nendang asal. 

Setelah cukup lama bersembunyi, akhirnya Cecilia pasrah pada takdir. Tidak mungkin juga ia kembali ke rumah dan mandi dulu baru bertemu Jack. Lagian, Cecilia yakin George tetap tidak berminat membuat konten dengannya. 

Pasrah, Cecilia memarkirkan mobilnya tepat di belakang mobil George. Setelah memastikan mobilnya terkunci, Cecilia melangkahkan kaki masuk ke halaman rumah Jack dengan tangan kanan membawa plastik putih berisi kotak kue.  

Dari kejauhan saja Cecilia dapat mendengar suara tawa tiga orang pria yang tampak asik bercanda gurau di ruang tamu. 

"Permisi, Kak Chell--"

Ucapan Cecilia terhenti saat tatapannya bertemu mata dengan sosok seorang pria yang duduk di salah satu sofa tepat menghadap ke arah pintu masuk. Aneh, biasanya sosok George akan langsung mencuri perhatian Cecilia. Tetapi tidak kali ini. 

Cecilia tidak dapat memalingkan pandangannya dari sosok pria tampan yang duduk tepat di samping George. Sekali melihat saja Cecilia tahu pria itu blasteran Indonesia-Amerika. Manik matanya kecokelatan, rambut cepaknya berwarna cokelat alami kontras dengan kulitnya yang putih. Hidungnya mancung dengan bibir tipis berwarna merah alami. 
 

"Cecilia?"


Cecilia semakin dibuat terkejut saat pria itu mengenali namanya. Bahkan Jack dan George kompak saling bertukar pandang terkejut pria itu mengenali Cecilia.
 

"Lo kenal dia Hans?" tanya George.

Pria blasteran Indonesia-Amerika itu bernama Hans Archangel Nestorio, sepupu George yang baru saja menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia jurusan bisnis. Ingin mencari pengalaman, pria itu hendak mengajukan diri bekerja di perusahaan Jack. 

Jack sendiri dibuat keheranan Hans bisa mengenal Cecilia, padahal ia baru bertemu dengan Hans hari ini.

"Siapa yang enggak kenal youtuber lagi naik daun dua tahun belakangan ini?" Hans tanpa izin bangkit berdiri, berjalan mendekati Cecilia yang masih berdiri mematung di depan pintu. 

Hans mengulurkan tangannya. "Kenalin, gue Hans Archangel Nestorio panggil aja Hans. Gue sepupu Kak George, umur dua puluh lima tahun. Masih single, jago gombal, kelemahan lihat cewek cantik."
 

Masih setengah sadar, Cecilia balas menjabat tangan Hans. "Cecilia."
 

Cecilia hendak melepaskan jabatan tangan Hans, namun dengan cepat pria itu menahannya. "Singkat banget? Gitu, ya, kalau udah terkenal?"

"Eh?" Cecilia mengerjap cepat. "Enggak gitu.."

"Bercanda," Hans terkekeh, perlahan melepaskan jabatan tangannya. Tatapan Hans beralih mengamati penampilan Cecilia dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Dilihat langsung lo imut banget."

"Eh?" Cecilia membelalakkan mata tidak percaya. 

Gila, ada cowok tampan mengenali dirinya sebagai youtuber dan saat ini terang-terangan memujinya imut. Apakah ini sebuah jawaban dari segala pertanyaannya selama ini? 

"Judulnya cinta bersemi di rumah gue ," gumam Jack membuat George menoleh.

"Siapa?”
 

"Itu," Jack mengedikkan dagu ke arah Cecilia dan Hans yang masih saling bertatapan. "Kayaknya kita beneran jadi kerabat. Adik sepupu lo sama adik sepupu gue. Mantap!"

Ucapan Jack tanpa sadar membuat George jadi mengamati Cecilia yang tampak tersipu di hadapan Hans. George bahkan refleks membelalakkan mata saat melihat Hans perlahan menyelipkan anak rambut di sisi wajah Cecilia. 

Terlalu sibuk memperhatikan Cecilia dan Hans, George sampai tidak sadar Jack sudah menutup bibirnya menyembunyikan senyuman geli.
 

Jack menyandarkan punggungnya di bantalan sofa, menikmati pemandangan itu. Jadi seperti ini rasanya berada di posisi George yang dulu menjadi penonton hubungannya dengan Adel? Mulai hari ini Jack akan dengan senang hati menggantikan posisi George.

Ada cinta bersemi atau ada cinta datang terlambat di rumah gue?  

Jack menduga-duga dua judul yang paling tepat untuk drama yang akan ditontonnya selama hari-hari ke depan.


 

🐵🐵🐵


 

Bab 5—Firasat

 

George mengendarai mobilnya dalam diam. Sesekali melirik Hans yang sejak tadi tampak sibuk mengetik sebuah pesan di layar ponselnya dengan bibir bersenandung kecil. Tidak perlu mengintip, George yakin sekali puluhan notifikasi di ponsel Hans pasti berasal dari para gadis yang terpesona dengan mulut manis adik sepupunya itu.

 

"Hans," panggil George membuat Hans berhenti mengetik. "Lo bukannya udah punya pacar?"

Hans menaikkan sebelah alis. "Iya, tadinya. Tapi udah putus dua jam yang lalu."

"Lagi?" George menggelengkan kepala tidak habis pikir. "Masih aja enggak berubah dari dulu. Inget umur, udah dua puluh lima tahun. Bukan waktu yang tepat untuk main-main."
 

"Gue enggak main-main, ini namanya perjalanan untuk mencari yang paling tepat," balas Hans.

"Sinting," George terkekeh. "Lo doang yang punya pemikiran kayak gitu. Berapa waktu paling lama lo menjalin sebuah hubungan?"

Hans mengetuk-ngetuk ibu jarinya di layar ponsel. "Satu bulan."

George mengumpat pelan mendengar jawaban Hans. Lebih parahnya lagi, Hans terlihat tidak merasa bersalah saat mengucapkannya. Hans benar-benar definisi cowok brengsek. Tampan, bermulut manis, punya banyak simpanan, dan sulit berkomitmen pada satu orang. Terlalu berbahaya untuk gadis polos. Pasti hanya berakhir dijadikan mainan untuk menghabiskan waktu bosan.

George tiba-tiba teringat interaksi antara Hans dan Cecilia. Menurut George, Hans terlalu berbahaya untuk gadis sepolos Cecilia. Untungnya sebelum Hans berhasil meminta nomor Cecilia, gadis itu lebih dulu pamit pergi.
 

"Lo bisa kenal sama bocil cuma karena dari youtube?" tanya George.

"Bocil?" kening Hans berkerut dalam.

"Cewek yang tadi dateng ke rumah Jack," jelas George. 

"Cecilia?" Hans tertawa. "Iya, gue sering nonton kontennya di youtube. Gue nonton bukan karena konten, tapi pingin lihat mukanya. Gemes banget, eh, aslinya apalagi."

George melirik sekilas Hans yang terlihat bersemangat membicarakan Cecilia. Tidak, sebenarnya Hans memang selalu bersemangat jika sedang membicarakan perempuan. Apalagi yang menarik di matanya. George menggigit sekilas daging bibir dalamnya, menimbang-nimbang.
 

"Buat yang satu itu…" George berdeham sejenak,”Jangan."

Meskipun sangat pelan, Hans dapat mendengar jelas ucapan George. Ujung bibirnya langsung tertarik ke atas membentuk senyuman jahil, terlebih saat melihat George terlihat sedikit canggung usai mengucapkannya.

"Eh?" Hans menatap polos George. "Jangan apa?"

Sial, George sangat yakin Hans paham maksud ucapannya. Masalahnya, adik sepupunya itu memiliki watak sangat jahil. Sekali melihat saja, George yakin Hans sedang salah paham sekarang. Tercetak jelas pada senyuman jahil yang terukir di bibir pria itu.

"Jangan salah paham," ucap George tenang, "Dia adik sepupu sahabat baik gue. Bakalan repot urusannya kalau lo main-main sama dia."

"Beneran cuma karena itu?" Hans menyipitkan kedua mata curiga. "Kayaknya tadi Kak George sampai punya panggilan sayang buat Cecil?"

George terkekeh. "Panggilan sayang? Kurang belaian banget gue kasih panggilan sayang ke bocah kayak dia."

"Gitu?" Hans mengangguk. "Berarti bener enggak ada maksud lain? Kalau ada gue mundur, nih."

Tepat saat itu, lampu lalulintas menunjukan warna merah. George menghentikan mobilnya, beralih menatap serius Hans.

"Maksud lain apaan?" tanya George.

Hans mengedikkan bahu santai. "Gebetan mungkin?" 
 

Tawa George langsung terpecah mendengar satu kata itu muncul dari mulut Hans. Terlebih itu ditujukan padanya.

"Dia itu udah gue anggep adik sendiri," George menggelengkan kepala tidak habis pikir Hans menuduhnya memiliki perasaan pada Cecilia. "Kalau untuk jadi pendamping, dia bukan tipe gue. Lo sendiri tahu, kan?"

"Bisa jadi sekarang selera Kak George berubah," Hans mengedikkan bahu santai. "Siapa tahu bosen sama yang dewasa dan kalem kayak Kak Gina, eh, sorry kelepasan."

George hanya diam dalam hati mengumpat. Yakin sekali Hans sengaja menyebut mantan pacar terakhirnya itu. Hans masih bersikeras menebak George memilih sendiri selama tiga tahun setelah putus karena gagal move on. Sejujurnya tuduhan itu tidak seratus persen salah. George memang jadi malas menjalin hubungan karena trauma dengan kisah cintanya yang kandas karena Gina memilih bersama pria lain. Pria yang jauh lebih tajir dibanding dirinya. 

Padahal sosok Gina benar-benar sesuai sekali dengan kriteria perempuan idaman George. Cantik, dewasa, kalem, mandiri, pengertian dan memiliki sosok keibuan. Sayang sekali kisah cintanya harus kandas tepat di tahun George berencana untuk melamar gadis itu. 

Hans berdeham sejenak, berusaha mengusir suasana yang mendadak berubah suram. "Jadi beneran enggak ada maksud lain Kak George larang gue deketin Cecil?"
 

George menggeleng.


"Oke, gue terima alasannya. Tapi.." Hans sengaja menggantung ucapannya membuat George mengerutkan kening.
 

"Apaan?"

"Tapi jangan larang gue buat deket sama dia," Hans tersenyum. "Berteman enggak masalah, kan?"

George terdiam, memperhatikan Hans cukup lama. Mencari-cari kejujuran di balik manik kecokelatan adik sepupunya itu. 
 

"Terserah," jawab George tak acuh.

Hans mengangguk puas. "Oke."

Diam-diam Hans tersenyum puas menyadari ada yang aneh dengan kakak sepupunya. Hans sangat mengenal George, biasanya pria itu selalu cuek dan tidak peduli pada siapapun gadis yang ingin ia dekati. Baru kali ini George benar-benar protektif pada seorang perempuan. Meski George mengaku alasannya adalah karena Cecilia adik sepupu sahabat baiknya, Hans masih belum bisa menerima alasan itu. 

Sepertinya sedikit menggoda kakak sepupunya yang sudah berusia tiga puluh tahun itu cukup bisa membuatnya terhibur. Sudah cukup bosan bermain dengan perasaan perempuan, Hans ingin mencoba permainan lain yang lebih menantang.
 

"Kak George enggak perlu khawatir. Gue deket sama Cecil cuma sebatas teman."

George tetap fokus menjalankan mobilnya, tidak terlalu peduli pada Hans. Namun, ucapan Hans selanjutnya membuat George menekan rem kuat-kuat.
 

"Friend's with benefit."
 

🐵🐵🐵

 

Seorang gadis bertubuh mungil dengan hoodie putih polos kebesaran dan celana jeans hitam tampak mengendap-endap menyusuri lorong gedung. Wajah gadis itu tidak terlalu terekspos karena ia mengenakan kacamata hitam dan masker berwarna senada. 

Meski begitu, beberapa karyawan yang sudah mengenal siapa gadis itu hanya bisa diam sambil menggelengkan kepala. 

George salah satunya.

Dengan santai George menyandarkan lengannya di pembatas ruangan, memperhatikan gerak-gerik Cecilia yang berlagak seperti detektif handal. Benar-benar gadis itu terlalu banyak menoton film, bukannya terlihat seperti detektif, George justru melihatnya seperti bongkahan kapas yang menggelinding karena tertiup angin.

Di sisi lain, Cecilia sama sekali tidak merasa diperhatikan. Cecilia masih sangat pede sekali bersembunyi dari balik pintu ke pintu ruangan yang lain. Saat sampai di ruangan yang menjadi tujuannya, Cecilia langsung berjongkok. Gadis itu diam cukup lama, menetralkan jantungnya yang berdebar gugup.

Masih dalam posisi berjongkok Cecilia mulai menggerakkan kakinya maju, mengintip celah pintu yang sedikit terbuka. Cecilia melepaskan kaca mata hitamnya, mulai mengamati ruangan dengan seksama.

"Lah, kok kosong?" gumam Cecilia.

"Mungkin orangnya lagi di luar?" 

Cecilia mengangguk. "Iya, mungkin lagi di--"

Kening Cecilia berkerut dalam. Mencerna kejadian sepersekian detik yang terjadi barusan. Lah, barusan Cecilia berbicara dengan siapa?

Susah payah Cecilia meneguk ludahnya, masih belum berani menoleh. Cecilia dapat merasakan bayangan seseorang mendekat, ikut berjongkok di sampingnya.

Perlahan Cecilia memberanikan diri menoleh. Tatapannya langsung bertemu mata dengan George yang sedang berjongkok di sampingnya sambil menopang dagu. 

Gawat, ini terlalu dekat. Cecilia bahkan dapat menghirup aroma permen mint dalam hembusan nafas George. Dalam jarak sedekat ini, Cecilia dapat melihat jelas rahang tegas George, hidung bangirnya, serta bibir ranum pria itu. Tidak dapat dipungkiri, terlepas dari sifat menyebalkan George, Cecilia mengakui pesona pria itu memang bukan kaleng-kaleng. 

"Minggir," George mendorong pelan kening Cecilia dengan jari telunjuk, membuat gadis itu langsung rubuh dari lamunannya.

Cecilia mengaduh kecil saat pantatnya mendarat di atar lantai keramik akibat ulah George barusan. 

"Kalau pingin jadi ganjel pintu bilang," George segera bangkit berdiri, melewati Cecilia yang sudah terduduk di lantai tanpa berniat membantu.

"Dih," Cecilia bangkit berdiri, membersihkan sekilas pantatnya yang baru saja mendarat mulus di atas lantai. "Kalaupun harus jadi ganjel pintu, gue enggak sudi jadi ganjelan pintu ruangan lo!"

George tidak menggubris ucapan Cecilia. Pria itu memilih mendudukkan diri di kursinya, membuka beberapa map yang harus diperiksa lagi sebelum memberikannya pada Jack. 

Konsentrasi George terusik melihat Cecilia masih berdiri di depan pintu dengan kepala sedikit masuk ke dalam ruangan. Gadis itu tampak sangat serius memperhatikan ruangannya.
 

"Jack di ruangannya," ucap George sebelum berusaha kembali fokus pada pekerjaannya.

"Tahu," jawab Cecilia cuek.

"Yaudah sana," George menggerakkan telapak tangannya mengusir. "Lo kalau enggak bisa jadi ganjel pintu jangan diem di situ. Ganggu pemandangan."

Cecilia membelalakkan mata tidak terima. Ia menggeser tubuhnya dan menoleh ke belakang. Kening Cecilia berkerut dalam menyadari pemandangan di depan ruangan George hanya ada pot hias. "Pemandangan apaan? Cuma ada pot."

Tanpa menunggu izin George, Cecilia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Duduk di sofa panjang yang berada di ruangan George. Selama tiga tahun mengenal George, Cecilia belum pernah secara langsung masuk ke ruangan pria itu. Biasanya Cecilia akan bertemu George di tuangan Jack. Tidak pernah terbayangkan ternyata ruangan George hampir sama besarnya dengan ruangan Jack. Fasilitasnya juga tidak jauh berbeda. Cecilia curiga, sebenarnya fasilitas seperti ini memang diperoleh seorang sekretaris atau karena George adalah sahabat baik Jack. Bisa juga Jack sengaja memberi fasilitas terbaik pada George agar pria itu betah menjadi sekretarisnya karena sadar dirinya sangat menyebalkan.

Sepertinya kemungkinan terakhir lebih masuk akal. 

George menutup rapat mapnya, beralih memandang malas Cecilia yang masih sibuk memperhatikan ruangannya. "Ada perlu apa sebenernya?"

Pertanyaan George membuat Cecilia menoleh. Kedua matanya berbinar senang, akhirnya George membuka percakapan lebih dulu. Karena sejujurnya Cecilia bingung bagaimana memulai percakapan tanpa ada unsur baku hantam di dalamnya.

Cecilia tersenyum kecil. "Gue mau minta tolong."

"Apalagi sekarang?" George menghela nafas panjang berusaha sabar. "Kalau masalahnya masih sama kayak kemarin, jawaban gue tetep enggak akan berubah sedikitpun."

"Jelek banget tebakan lo," Cecilia mengerucutkan bibir. "Bahkan gue belum bicara apa-apa."

"Lah, bener enggak? Pasti ujung-ujungnya ke arah sana," George mendengus sinis. "Pokoknya gue enggak mau sedikitpun muncul di konten lo itu. Bilang ke subscriber lo kalau gue sama sekali enggak--"

"Gue dateng ke sini bukan buat paksa lo bikin konten kok," potong Cecilia cepat.

Bukan bermaksud tidak sopan, Cecilia hanya tidak ingin mendengar kata-kata itu keluar dari mulut George. Emosinya bisa meledak-ledak dan rencananya hari jadi gagal total.

George menaikkan sebelah alis. "Terus?"

Sesaat Cecilia membasahi bibirnya gugup. Tatapannya yang semula berani balas menatap tajam George jadi melunak. Gadis itu menunduk, memandangi ujung sepatunya.

Tingkah Cecilia yang seperti ini justru mengundang ribuan pertanyaan dibenak George. Tidak biasanya gadis itu mudah melunak seperti ini, bahkan terlihat sedikit malu-malu. Bulu kuduk George jadi meremang, takut mendengar permintaan tolong Cecilia. Pasti lebih menyeramkan dari pada sekadar mengajaknya membuat konten bersama.

"Itu.." Cecilia memilin ujung hoodie-nya dengan jari. "Cowok yang kemarin ada di rumah Kak Chello adik sepupu lo, ya?"

Cecilia meringis kecil, masih dengan wajah menunduk. Takut melihat ekspresi George. Pasti pria itu sedang menatapnya remeh. Tapi, Cecilia memilih tidak ambil pusing. Karena hanya dengan cara ini semua masalahnya mungkin akan terselesaikan.

"Gue janji setelah ini enggak bakalan gangguin atau paksa lo untuk bikin konten. Jadi.."

Benar saja, firasat buruk George sepertinya akan terjadi. George tanpa sadar mengeraskan rahangnya saat melihat Cecilia tampak tersipu malu.

"Boleh minta nomornya Hans?"

🐵🐵🐵


 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya YUTUBIR (Bab 6—10)
2
1
Hans cowok blasteran yang merupakan adik sepupu George berhasil mencuri perhatian Cecilia. Untuk sesaat gadis itu melupakan rencananya membujuk George dan lebih memilih menghabiskan waktu lebih banyak dengan Hans. Akan tetapi, kedekatan Cecilia dan Hans selalu diusik oleh George yang entah mengapa menjadi lebih cerewet daripada biasanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan