
Hans cowok blasteran yang merupakan adik sepupu George berhasil mencuri perhatian Cecilia. Untuk sesaat gadis itu melupakan rencananya membujuk George dan lebih memilih menghabiskan waktu lebih banyak dengan Hans. Akan tetapi, kedekatan Cecilia dan Hans selalu diusik oleh George yang entah mengapa menjadi lebih cerewet daripada biasanya.
Bab 6
"Sia-sia gue sabar dari tadi!"
Cecilia menghentakkan kakinya kesal. Tidak peduli pada tatapan para karyawan yang diam-diam mengamatinya sejak keluar dari ruangan George. Gagal sudah rencana Cecilia untuk mendapatkan nomor Hans. Gagal sudah konten youtube Cecilia.
Padahal niatnya Cecilia ingin menghubungi Hans dan mengajaknya membuat konten. Jika subscriber melihat ketampanan wajah Hans, pasti mereka dapat dengan cepat melupakan George. Setidaknya Cecilia masih yakin Hans bersedia membuat konten dengannya, karena pria itu mengaku senang menonton kontennya.
Sudah bersusah payah sabar dan tidak menyulut emosi menghadapi George, ternyata pria menyebalkan itu tidak memiliki nomor Hans. Tahu begitu Cecilia tidak perlu susah payah memohon seperti tadi.
Cecilia menunduk lesu, memandangi langkah kakinya sendiri. Sudah lupa dengan penyamaran sebelumnya. Kacamata hitam dan masker yang semula ia kenakan sudah dimasukan asal ke dalam tas. Topi hoodie menutup rambut sepunggungnya yang tergerai. Jika dilihat dari jauh, Cecilia sudah mirip sekali dengan orang-orangan sawah yang tidak lagi memiliki semangat berjaga. Semangat Cecilia sudah layu.
"Loh, Cecil?"
Langkah Cecilia langsung terhenti saat melihat bayangan seseorang mendekat ke arahnya. Cecilia mendongak, kedua matanya membulat lebar melihat siapa pemilik suara berat yang baru saja menyapanya.
Hans yang semula sedang berdiri di depan lobby mempercepat langkahnya saat melihat sosok mungil Cecilia berjalan sendirian di lorong.
"Kok di sini?" tanya Hans.
Cecilia mengerjap cepat berusaha menyadarkan diri bahwa ini bukan halusinasinya. Menghirup harum parfum maskulin Hans membuat Cecilia yakin sosoknya benar-benar nyata.
"Ada urusan sebentar," ucap Cecilia seadanya.
"Urusan apa?" tanya Hans.
Melihat ekspresi penasaran Hans membuat Cecilia bimbang harus jujur atau tidak. Masalahnya, Cecilia takut tidak bisa memiliki kesempatan ini lagi.
"Gue barusan minta nomor lo ke Cur, eh, Kak George."
Hans menaikkan kedua alisnya, dalam hati memuji keberanian Cecilia untuk jujur padanya. Sepertinya Cecilia ini bukan tipe perempuan yang malu-malu untuk mengejar duluan. Hans jadi semakin tertarik dengan permainan ini.
"Terus gimana? Udah dapet?" tanya Hans.
Cecilia menggeleng. "Dia enggak punya nomor lo."
"Hmm?" Hans mengerjap cepat. "Kak George bilang gitu?"
"Iya," Cecilia mengerucutkan bibir. "Gue pikir kalian cukup dekat. Ternyata enggak juga?"
"Mungkin Kak George enggak punya nomor gue yang baru," Hans tersenyum. "Udah makan, Ce?"
"Eh?" Cecilia refleks menggeleng. "Belum. Btw, ada perlu apa ke sini?"
Hans mengangkat tangan kanannya yang membawa sebuah map kertas. "Mau serahin CV."
"Lo mau lamar kerja di sini?" Cecilia membelalakkan mata kaget sekaligus antusias. "Serius?"
Melihat semangat Cecilia, Hans tidak bisa menahan senyum gemas. "Iya, tadinya mau lamar lo tapi kayaknya bakalan ditolak?"
Halah kardus, batin Cecilia.
Sejak awal perkenalannya dengan Hans, Cecilia bisa menebak karakter dan watak pria itu. Cecilia yakin Hans memiliki jutaan rayuan hampir sama dengan kakak sepupunya. Bedanya, Jack hanya memiliki jutaan rayuan kardus, sedangkan Hans memiliki jutaan rayuan maut beserta ratusan gadis yang menjadi ban serepnya. Jika tidak terpaksa demi kontennya, mungkin Cecilia juga tidak ingin dekat-dekat dengan Hans. Pria itu terlalu bahaya untuk hatinya yang lemah.
"Cil, mau makan siang bareng?" Hans tersenyum manis. "Sekalian ngobrol, kayaknya ada sesuatu yang perlu lo bicarain?"
Wah, jelas saja tanpa ragu Cecilia menganggukkan kepala. Kapan lagi memiliki kesempatan bagus seperti ini? Sekarang bahkan Cecilia bisa langsung berbicara dengan Hans terkait ajakannya membuat konten bersama. Tahu begini Cecilia tidak perlu repot-repot memohon pada George yang nyatanya tidak membantu sama sekali.
"Lo bawa mobil?" tanya Hans dijawab anggukan oleh Cecilia. "Mending mobil lo tinggal di sini dulu aja. Kita berangkat bareng naik mobil gue?"
"Boleh," jawab Cecilia.
"Sip, sebentar gue ke atas dulu kasih ini ke Kak George. Tunggu di sini, ya?" Hans segera berlari cepat menuju lift setelah mendapat persetujuan dari Cecilia.
Setelah melihat Hans masuk ke dalam lift, Cecilia langsung melompat-lompat kegirangan. Keduantangannya meninju udara dengan sangat bersemangat.
"Bye-bye Curious George!" Cecilia tertawa. "Gue udah enggak butuh bantuan lo!"
🐵🐵🐵
Hans mengetuk sekilas pintu ruangan. Tanpa menunggu jawaban, Hans langsung membuka pintu lebar-lebar dan melangkah masuk ke ruangan itu.
"Memang enggak ada akhlak," George menggelengkan kepala melihat sosok Hans sudah mendudukkan diri santai di atas sofa tempat Cecilia duduk tadi.
"Gue masih inget ketuk pintu, loh?" Hans berlagak marah. "Wah, tahu gitu gue dobrak langsung aja tadi."
George memutar bola matanya malas. "Sini CV lo. Biar Jack yang lihat langsung nanti. Kalau keterima dua hari lagi lo bakalan dihubungi buat wawancara."
"Oke," Hans menyerahkan map kertas di tangannya pada George. "Udah gini doang?"
"Untuk saat ini iya," George membuka map kertas pemberian Hans, mulai memeriksa CV adik sepupunya itu. "Lo bisa pergi sekarang."
Hans tidak menanggapi ucapan George. Ia justru mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, menghubungi satu kontak yang tersimpan.
Kedua alis Hans terangkat naik saat melihat layar ponsel George yang berada di atas meja menyala. Cepat-cepat Hans menyambar ponsel itu, sengaja mendahului pemiliknya.
Hans tertawa puas melihat namanya muncul di layar ponsel George. "Wow."
George merebut kembali ponsel dari tangan Hans. Keningnya berkerut menyadari telefon masuk barusan adalah ulah Hans. "Kurang kerjaan banget lo."
"Enggak kebalik?" Hans tertawa nyaring. "Parah-parah, bersih banget mainnya."
Kening George masih berkerut bingung. "Siapa yang main bersih?"
"Wah, gila bahkan bisa acting sok enggak tahu gini?" Hans bertepuk tangan. "Keren banget."
Menyadari George benar-benar tampak kebingungan, Hans berhenti menggoda. Hans berdeham sejenak, berusaha terlihat serius.
"Kak George, ingat percakapan kita semalam?" Hans melipat kedua tangannya di depan dada. "Waktu gue bilang mau berteman sama Cecilia."
Mendengar nama Cecilia, Geroge berubah tegang. Sepertinya ia mulai paham ke mana arah pembicaraan Hans.
"Gue ketemu Cecilia barusan," Hans mengedikkan bahu. "Katanya dia minta nomor gue ke Kak George dan kakak bilang enggak punya?"
"Iya," George mengangguk. "Gue harus izin dulu, jangan sampe lo repot. Karena itu bocah bakalan terus teror lo."
"Gue sama sekali enggak merasa repot," Hans tersenyum tenang. "Kakak tahu sendiri kalau gue udah sangat terbiasa membalas ribuan pesan dalam waktu beberapa jam. Pesan dari Cecilia enggak bakalan bikin gue repot."
Hans menyipitkan kedua matanya, mengelidik. "Atau jangan-jangan kakak sengaja enggak mau gue tahu nomor dia?"
George menghempaskan pantatnya di atas kursi. "Lo kayaknya dari kemarin salah paham, ya?"
"Salah paham di bagian mananya?" Hans mengetuk pelan dagunya dengan jari telunjuk. "Tentang gue dan Cecil atau tentang perasaan Kak George?"
"Perasan apalagi, sih?" George terkekeh. "Lo bener-bener salah kalau sampai mikir gue enggak kasih nomor lo karena gue enggak rela dia deket sama lo. Kalau jawabannya untuk jauhin dia dari lo demi kebaikan, ya. Itu tujuan gue."
"Kenapa sampai segitunya?" Hans mendengus. "Sebejat-bejatnya gue masih punya otak buat mikir. Enggak mungkin dia jadi salah satu korban gue. Lagian perasaan kemarin gue udah bilang kalau kita cuma bakalan sebatas teman?"
"With benefit," lanjut George sengaja menyindir.
"Astaga, kakak beneran serius mikir gue bakalan lakuin itu?" Hans lagi-lagi tertawa. "Parah, gue cuma bercanda oncom."
George mendengus sinis. "Semua lo bawa bercanda, gimana gue bisa yakin lo enggak bakalan ngapa-ngapain adik sepupu sahabat gue?"
"Adik sepupu sahabat gue," Hans mencibir meniru cara bicara George saat mengucapkannya. "Iya-iya yang hobinya berlindung di balik kata adik sepupu sahabat gue. Tenang, gue enggak bakalan aneh-aneh."
"Gue enggak berlindung dari apapun," geram George, "bisa berhenti nuduh yang aneh-aneh?"
Hans menatap kagum George, seolah tidak menyadari kakak sepupunya itu mulai kesal. "Gue bahkan belum mengeluarkan semua tuduhan yang ada di isi otak gue dan Kak George udah bisa nebak? Hebat."
Sungguh jika George lupa pria tengil di hadapannya ini adalah adik sepupunya sendiri, mungkin sudah sejak tadi George mengusirnya jauh-jauh. Benar-benar menguras emosi.
"Udah ampun jangan marah," Hans tertawa melihat ekspresi kesal George. "Gue serius waktu bilang enggak bakalan macem-macem. Lagian kayaknya Cecilia tipe yang enggak gampang baperan."
"Kayaknya?" George tersenyum sinis. "Kalau ternyata kebalikannya? Lo bisa tanggung jawab?"
Hans mengerucutkan bibir. "Kayaknya enggak bakalan baper. Kalau baper yaudah gue tanggung jawab."
"Tanggung jawab?" George terkekeh. "Iya, tanggung jawabnya lo pacarin seminggu terus lo campakin dia. Persis kayak mantan-mantan lo yang jumlahnya bisa bikin enam tim sepak bola belum termasuk cadangan pemainnya."
Hans merapatkan bibir, mencerna setiap hujatan George dengan cermat. Hans sama sekali tidak tersinggung karena ucapan George memang sebuah fakta.
"Kalau Kak George segitu khawatirnya Cecilia deket cowok brengsek kayak gue, kenapa enggak kakak sendiri aja yang jaga dia?"
Ucapan Hans sukses membungkam bibir George.
Hans menghela nafas panjang. "Kak, di dunia ini pasti banyak cowok brengsek kayak gue. Meskipun kakak larang gue untuk dekat sama Cecil, memangnya di luar sana enggak ada cowok yang lebih brengsek yang mungkin incar dia juga?"
"Memang," George mengangguk. "Tapi setidaknya itu bukan lo. Jadi gue bisa lepas tangan dan enggak perlu merasa bersalah ke Jack."
"Gitu?" Hans mengangguk. "Jadi memang cuma sebatas gue adik sepupu lo dan Cecil adik sepupu sahabat baik lo?"
George mengangguk. "Sebatas itu."
"Oke," Hans mengangguk. "Kalau gitu gue pamit pergi, udah ditungguin soalnya."
Baru saja Hans hendak melangkahkan kaki keluar, tiba-tiba sebuah ide muncul di otaknya. Hans mengurungkan niat untuk pergi, kembali menghadap George. "Kak, tahu tempat makan siang yang enak? Kalau bisa yang view-nya bagus."
"Cari aja di google," jawab George tak acuh, kembali sibuk membaca CV Hans.
"Kalau makanan kesukaan Cecil, kakak tahu enggak?" tanya Hans kali ini berhasil membuat George berhenti melakukan aktivitasnya.
George menatap curiga Hans. "Kenapa lo tiba-tiba banyak tanya gini?"
"Eh, sorry lagi sibuk, ya?" Hans tersenyum manis. "Yaudah gue enggak mau ganggu. Mendingan gue pergi sekarang, kasihan Cecil udah nunggu di bawah."
Sebelum pergi Hans sempat melirik sekilas George yang terlihat menunduk membaca kembali kertas CV miliknya dengan ekspresi wajah menegang. Meski tidak terlalu jelas, Hans yakin kakak sepupunya itu tidak sedang serius membaca seperti tadi. Pasti ucapannya barusan cukup berhasil mengusik konsentrasi George. Tidak ingin melewatkan momen itu, Hans kembali menyeletuk nyaring.
"Makan siang romantis bareng temen kesayangan."
🐵🐵🐵
Bab 7
"Makanannya enggak enak, ya?"
Pertanyaan Hans membuat Cecilia tersadar dari lamunannya. Bukannya memakan spaghetti pesanannya, Cecilia justru tanpa sadar melamun dengan tangan kanan memegang garpu.
"Sorry, gue belum tahu selera makanan lo," Hans tersenyum tipis. "Lain kali lo pilih, deh, mau makan di mana."
"Eh," Cecilia menggelengkan kepala. "Gue suka kok. Sorry gue enggak fokus barusan."
"Baru kali ini gue ketemu cewek yang bisa enggak fokus padahal gue lagi ada di depannya," Hans menggeser piringnya yang sudah kosong. Dengan gerakan santai Hans menopangkan dagunya dengan tangan, memandangi wajah Cecilia. "Menarik."
Cecilia tertawa. "Gue enggak tahu harus merasa tersanjung atau tersudut."
Hans menggeleng, bibirnya melengkungkan senyuman manis. "Serius, barusan itu sanjungan."
"Ya..ya.." Cecilia meletakkan garpunya. "Biar gue tebak, udah berapa kali lo pake rayuan itu ke cewek? Pasti banyak banget dan gue yakin lo lupa gue cewek yang ke berapa."
Kata-kata Cecilia sukses membungkan bibir Hans. Bukannya tersinggung, Hans justru memuji ketangguhan Cecilia. Biasanya para gadis sudah bertekuk lutut dan luluh setiap kali ia mengeluarkan kata-kata itu.
Sebenarnya sejak awal Hans yakin sekali Cecilia bukan tipe perempuan yang mudah luluh, apalagi jatuh cinta. Cecilia itu cantik dan menyenangkan, pasti sejauh ini banyak sekali pria yang gadis itu tolak begitu saja. Terlebih saat melihat betapa akrabnya kakak sepupunya dengan Cecilia.
Hans penasaran apakah George pernah sekali saja menggoda Cecilia? Karena darah playboy-nya itu juga dimiliki oleh kakak sepupunya. Mungkin setelah putus dengan mantan pacarnya dulu, George sudah tidak bermain-main lagi.
"Ce, boleh tanya?"
Baru kali ini ada orang memanggilnya dengan dua huruf depannya. Anehnya, panggilan Hans yang berbeda itu tidak membuatnya risih. Justru Cecilia merasa namanya jadi lebih lucu.
"Tanya apa?" Cecilia menggulung spaghetti dengan garpu sebelum memasukkannya ke dalam mulut.
"Lo ada hubungan apa sama Kak George?"
Mendengar nama George, refleks Cecilia langsung berhenti mengunyah. Kedua matanya membulat lebar kontras dengan pipinya yang menggembung akibat sesuap penuh spaghetti.
Hans mengulum senyum melihat ekspresi lucu Cecilia. "Kunyah dulu."
Patuh Cecilia mengunyah cepat spaghetti di dalam mulutnya. Cecilia meraih gelas orange jus dan meminumnya, berusaha mendorong sisa spaghetti yang tertinggal di tenggorokannya.
Hans pikir Cecilia akan menjawab sama seperti George. Mungkin gadis itu akan mengakui George sebagai sahabat baik dari kakak sepupunya. Ternyata Cecilia memang gadis yang sulit ditebak. Gadis itu dengan semangat menggebu berucap lantang.
"Haters," jawab Cecilia singkat, padat, dan jelas.
"Eh?" Hans mengerjap tak percaya.
Cecilia mengangguk tegas. "Gue itu haters kakak sepupu lo."
"Masa, sih?" Hans terkekeh geli. "Padahal kalian kelihatan deket."
"Deket bukan berarti akur," balas Cecilia, "lagian dia duluan yang hobi banget memunculkan hobi gue."
Hans mengerutkan kening. "Memangnya hobi lo apa?"
"Memancing–" Cecilia menyipitkan mata sebelum berbisik pelan, "–keributan."
"Waduh," Hans menjentikkan jarinya. "Oke, kita satu jalur."
Cecilia tertawa. "Gue tetep di barisan paling depan."
"Boleh, gue memang maunya di belakang," Hans mengedikkan bahu. "Kalau gue di depan, siapa yang jagain kalau lo jatuh? "
"Halah basi. Rayuan lo sama sekali enggak mempan di gue," Cecilia menyibakkan rambutnya dengan gaya angkuh. "Cecilia Yolanda Lestari sejak kecil sudah divaksin campak supaya besar nanti tidak mudah dicampakin. Bakteri-bakteri dan virus jahat yang hobi datang, ghosting, lalu jadian dengan yang lain tidak akan bisa memengaruhi daya tahan tubuhnya."
Hans tertawa.
Karena terlalu gemas, tanpa sadar Hans mengulurkan tangan mengacak pelan puncak kepala Cecilia. "Asli lo lucu banget, Ce."
"Tentu saja," Cecilia tersenyum penuh kesombongan. "Karena Cecilia itu lucunya asli, tidak suka yang KW..KW.. apalagi WK..WK.. alias dibercandain."
"Wadidaw curhat mulu," Hans tertawa. "Dari tadi lo kayaknya pake hati banget, apalagi waktu bilang kalau lo itu haters kakak sepupu gue. Biasanya haters itu lovers yang pernah tersakiti?"
Meski hanya sesaat, Hans dapat melihat perubahan raut wajah Cecilia. Gadis itu sempat tertegun sesaat sebelum menunjukkan ekspresi kesal.
"Enggak sudi banget gue lovers-in manusia super ngeselin macem dia," Cecilia bergidik ngeri.
Hans tersenyum jahil. "Kalau seandainya kalian berdua terdampar di hutan dan lo harus pilih antara Kak George atau monyet buat jadi pasangan seumur hidup. Lo pilih siapa?"
"Gue pilih Dygta."
"Hmm?" Kening Hans berkerut bingung, namun sedetik kemudian kerutan di keningnya tergantikan dengan tawa saat mendengar Cecilia mulai bersenandung kecil.
"Dan biarku sendiri, sendiri tanpamu~" Cecilia mulai heboh menyanyikan salah satu bait lirik lagu Dygta yang berjudul 'Sendiri'.
"Gue nyerah, deh.." Hans menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan ulah Cecilia. "Udah gue nyerah, sekarang giliran lo yang ngomong. Katanya tadi ada yang mau lo bicarain sama gue?"
Cecilia menepuk pelan keningnya, baru teringat rencana awalnya. Padahal tadi Cecilia sempat melamun karena memikirkan harus memulai percakapan dari mana. Terlalu memaksa otaknya bekerja keras, Cecilia justru hampir melupakan itu.
Apalagi, Hans membawa nama George segala. Benar-benar Cecilia jadi kesal sendiri setiap kali mendengar nama pria itu. Kalau bukan karena George yang sangat pelit dan tidak mau membantunya, Cecilia jadi harus mencoba dekat Hans.
Mulanya Cecilia memang malas sekali harus berusaha akrab dengan Hans, karena pada dasarnya Cecilia itu malas mendekati laki-laki yang tidak membuatnya tertarik. Hans memang tampan, Cecilia senang sekali memandangi wajahnya. Tetapi ketampanan Hans belum berhasil membuat Cecilia meledak-ledak.
Namun, setelah mengobrol santai seperti ini dengan Hans sepertinya tidak terlalu buruk. Hans tidak kaku, selera humornya juga bagus. Sepertinya mereka bisa berteman baik ke depannya, terlepas dari keperluannya membuat konten bersama pria itu.
"Lo tahu gue youtuber, kan?" tanya Cecilia.
Hans mengangguk. "Kenapa? Mau ngajakin bikin konten bareng?"
Cecilia menaikan kedua alisnya, menatap kagum Hans. Luar biasa sekali memang kepekaan pria di hadapannya ini. Pasti karena sudah pernah dekat dengan banyak perempuan, Hans jadi lebih peka pada perasaan dan keinginan perempuan.
Andai saja sejak dulu Cecilia bisa mengenal Hans, mungkin ia akan merekomendasikan pria itu untuk menjadi guru privat Jack, kakak sepupunya yang super tidak peka pada perasaan perempuan. Untung saja Jack mendapatkan perempuan setabah Adel, pikir Cecilia dari dulu hingga sekarang.
"Hebat," Cecilia bertepuk tangan kecil. "Bisa tahu padahal gue cuma bilang gitu doang."
"Thank you," Hans menundukkan punggungnya, berlagak menyambut pujian Cecilia. "Gitu doang juga semua orang bisa nebak sebenernya."
Hans melipat kedua tangannya di atas meja, menatap genit Cecilia. "Mau konten apa? My boyfriend does my make up, prank my boyfriend, lazy day with my boyfriend--"
"Cuma mukbang bareng," potong Cecilia sebelum Hans mulai melantur. "Judulnya mukbang with my new friend."
"Kok friend?" Hans mengerucutkan bibir. "Judulnya lebih seru kalau ada boyfriend-nya. Lumayan clickbait, kan?"
Cecilia menggeleng. "Gue enggak berani bohongin penonton lewat judul."
"Loh, kata siapa lo bohongin mereka?" Hans tersenyum. "Gue cowok dan kita berteman. Cowok bahasa inggrisnya boy, kalau teman bahasa inggrisnya friend. Kalau digabung jadinya?"
"Playboy," jawab Cecilia berhasil membuat Hans membelakkan mata. Cecilia terkekeh, "Bercanda."
Hans menggelengkan kepala memandangi Cecilia yang sibuk menertawakannya. Sepertinya Hans mulai mengerti mengapa hubungan George dan Cecilia jauh dari kata romantis.
Keduanya bermusuhan karena sama-sama memiliki kadar sarkastik dalam versi yang berbeda. George sepedas cabai, sedangkan Cecilia lebih halus seperti lada. Sangat halus sebelum menusuk tiba-tiba. Lihat saja, barusan Cecilia terlihat bercanda padahal Hans yakin gadis itu memang ingin menyindirnya.
Entah kenapa setelah mendengar penjelasan dari dua pihak, Hans semakin tertantang dalam permainan yang ia ciptakan sendiri. Sepertinya akan seru menyalakan api di antara dua orang yang sangat mudah meledakan emosi.
Perlahan Hans mencondongkan wajahnya, menatap lekat Cecilia. "Jadi, kapan kita bisa mulai bikin kontennya?"
🐵🐵🐵
"Makasih, Pak."
Cecilia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada sopir taxi. Tadi siang Cecilia meninggalkan mobilnya di parkiran perusahaan Jack karena hendak makan siang bersama Hans. Tetapi saat mereka berdua hendak kembali, Cecilia baru teringat sudah memiliki janji dengan Elsa dan Laila. Hans dengan baik hati mengantarkan Cecilia langsung ke rumah Elsa.
Berhubung perempuan sering lupa waktu jika sudah bersama sahabatnya, tidak terasa hari sudah larut malam. Terpaksa Cecilia meminta tolong sopirnya untuk mengambil kunci dan membawa mobilnya pulang sore tadi, tepat sebelum parkiran ditutup. Alhasil Cecilia harus pulang dengan menggunakan taxi tepat pukul delapan malam.
Cecilia yakin saat sampai di rumah nanti Clarissa akan mengomelinya karena tidak ingat waktu. Semoga saja ayahnya sudah pulang, jadi Cecilia bisa memperoleh perlindungan.
Langkah Cecilia terhenti saat menyadari sebuah mobil hitam yang sangat familiar terparkir di depan rumahnya. Kedua mata Cecilia membulat lebar saat melihat sosok George tampak berbincang akrab dengan kedua orangtuanya di depan pintu rumah. Sepertinya George sudah lama mampir ke rumahnya dan sekarang pria itu hendak pamit pulang.
Cecilia tanpa sadar sedikit merapatkan tubuhnya di mobil George, bersembunyi hingga Clarissa beranjak dari depan pintu. Cecilia tidak ingin ibunya mengomelinya di depan George. Bisa-bisa pria itu semakin menilainya bocah.
Sialnya Clarissa dan John masih berada di depan pintu rumah sampai George berjalan menghampiri mobilnya.
Cecilia tanpa sadar berjongkok di sisi mobil George tepat saat Clarissa menatap ke arah persembunyiannya.
"Kenapa masih di situ, sih?" gumam Cecilia, mulai putus asa.
George yang semula berjalan mendekati mobilnya langsung tersentak kaget. Kedua matanya membelalak kaget melihat gumpalan kapas besar berjongkok tepat di depan pintu mobilnya.
"Kenapa George?" tanya Clarissa, penasaran melihat perubahan raut wajah George.
George melirik sekilas Cecilia yang tampak memohon dengan wajah memelas.
"Plis, jangan bilang gue di sini.." Cecilia mengusap telapak tangannya, bersikap memohon.
Sebelah alis George terangkat, bibirnya menyunggingkan senyum.
Meski Cecilia mengakui George memiliki senyuman yang sangat manis, untuk malam ini sepertinya hal itu tidak berlaku. Cecilia justru merasa terancam melihat lengkungan terukir di bibir George.
George segera menoleh, balas menatap Clarissa. "Enggak tante, saya cuma kaget lihat ada kucing lagi bersembunyi di bawah mobil saya."
"Kucing?" Clarissa mengerutkan kening dalam, mengingat-ingat apakah tetangganya memiliki kucing. Karena setahu Clarissa di daerah perumahan ini sebagian besar memelihara anjing.
George hanya tersenyum sopan, berlagak mengusir kucing itu dengan tangannya.
"Ayo masuk mulai dingin di luar," John mendorong pelan punggung Clarissa agar masuk lebih dulu ke dalam rumah. Tatapan John beralih pada George. "George hati-hati di jalan."
George tersenyum ramah pada John yang kini menyusul Clarissa masuk ke dalam rumah. Memastikan keduanya sudah hilang dari balik pintu, George mengalihkan pandangannya pada gadis yang kini sedang mengintip dari balik jendela mobil.
Cecilia menghela nafas lega. "Untung ada papa.."
"Untung ada gue," George menyandarkan lengannya di pintu mobil.
"Eh?" tatapan Cecilia beralih pada George. Meski malas sekali mengakui, Cecilia kali ini memilih mengalah. "Iya-iya, terima kasih kakak."
Diam-diam Cecilia memperhatikan penampilan George yang masih mengenakan pakaian formal. "Ngapain lo malem-malem ke sini."
"Yang jelas bukan untuk ketemu lo," ucap George langsung memancing tatapan kesal Cecilia. "Ada titipan undangan pesta anniversary pernikahan orangtua Jack."
"Kenapa jadi titip lo?" Cecilia mengerutkan kening. "Biasanya Kak Chello yang kasih."
"Dia ada urusan dan gue kebetulan lewat sini. Yaudah sekalian."
"Oh, yaudah hati-hati di jalan om."
Setelah mengucapkan itu, Cecilia hendak melangkah pergi meninggalkan George begitu saja. Tetapi dengan cepat George menarik pelan topi hoodie Cecilia, membawa gadis itu kembali ke tempatnya semula.
"Dari mana?"
Cecilia berusaha menggapai topi hoodie-nya. Hendak melepaskan cengeraman tangan George di sana. "Rumah temen."
Jawaban Cecilia tidak membuat George puas. Alih-alih segera melepaskan gadis itu, George justru mempererat cengkeramannya. Tidak memperbolehkan gadis itu lolos begitu saja.
"Tadi habis dari mana sama Hans?"
Pertanyaan George langsung menghentikan pergerakan Cecilia. Gadis itu mendongak, tatapannya berubah murka.
George refleks sedikit termundur melihat tatapan berapi-api Cecilia.
"Bukan urusan lo," Cecilia mendengus sinis. "Apa? Lo mau minta nomor handphone Hans? Sorry, enggak bakalan gue kasih."
"Lo bahkan belum punya nomor handphone gue."
"Eh?"
Bukan hanya Cecilia, George juga tampak terkejut mendengar ucapannya sendiri. Selama beberapa saat keduanya hanya diam, saling bertukar pandang.
Kerutan murka di kening Cecilia perlahan hilang, tergantikan dengan tatapan tak percaya.
Namun sedetik kemudian Cecilia tersentak kaget saat George tiba-tiba menggeser tubuh mungilnya menjauh. Pria itu bahkan tidak peduli Cecilia sudah terpental hingga hampir menabrak pagar pembatas rumah orang. George dengan cuek masuk ke dalam mobil.
Cecilia membelalakkan mata melihat George tak acuh mulai menjalankan mobilnya pergi. Cecilia menarik nafas panjang, mengumpulkan sisa-sisa kekuatan di ujung bibirnya sebelum berucap nyaring.
"Dasar cowok enggak ada akhlak!"
🐵🐵🐵
Bab 8
"Tes..tes.."
Cecilia menatap kamera Go-pro yang berada di atas dashboard mobilnya. Memastikan lampu merah di kameranya sudah menyala, Cecilia mulai melambaikan tangan riang.
"Hai guys kembali lagi di Cecilia Yolanda TV," Cecilia tersenyum manis. "Jadi hari ini gue bakalan nge-prank salah satu temen gue yang baru aja diterima kerja. Niatnya mau nge-prank sekaligus kasih kejutan! Lihat gue bawa apa?"
Tangan kanan Cecilia membawa sebuah plastik putih berisi dua box paket ayam geprek dengan cabai tiga dan tangan kirinya membawa dua gelas plastik es kelapa muda.
"Sebentar lagi jam dua belas siang, pas banget sama jadwal makan siang. Rencananya gue mau ngajakin temen gue ini makan bareng di ruangannya," Cecilia membasahi sekilas bibirnya. "Gue harus menyelinap dulu ke dalam. So, stay tune! Gue akan segera kembali!”
Cecilia mendekatkan telapak tangannya, menutup kamera Go-pro. Tujuannya adalah mempermudah jeda untuk proses editing nantinya.
Memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Cecilia mengunci mobilnya. Tangan kanan Cecilia penuh dengan dua plastik berisi box ayam dan es kelapa, sedangkan tangan kirinya membawa kamera.
Tidak ingin membuang waktu, Cecilia segera berlari kecil menuju lift.
Jadi, hari ini Hans memulai masa probation di perusahaan Jack. Masa probation adalah masa percobaan kerja selama beberapa bulan, untuk penyesuaian juga melihat potensi kemampuan karyawan dalam jabatan tertentu. Cukup mengejutkan Jack mempercayakan Hans langsung ambil bagian menjadi calon pengganti Pak Triana, manager administrasi dan keuangan di perusahaan ini.
Semua ini dikarenakan Pak Triana sebentar lagi akan pensiun dan Jack belum mendapatkan kandidat yang memenuhi syarat untuk menggantikan posisi itu. Kebetulan George mempromosikan Hans pada Jack. Tetapi Jack menerima Hans bukan karena hubungan pertemanannya dengan George, melainkan murni karena kemampuan Hans.
Demi memberi semangat pada Hans, Cecilia ingin memberi sedikit dukungan berupa makan siang. Sebagai balas budi karena saat makan siang waktu itu, Hans membayar semua menu pesanannya. Karena Cecilia tidak pernah membuang kesempatan dalam kesempitan, sekalian saja ia membuat rencananya ini menjadi konten youtube. Sekalian meracuni para subscriber-nya agar berhenti meneror kontennya bersama George. Karena Cecilia tahu konten itu tidak akan pernah ada.
Ruangan Hans berada tepat diseberang ruangan George. Sebuah kebetulan yang sangat merepotkan menurut Cecilia. Sudah beberapa hari ini Cecilia malas melihat George karena entah mengapa pria itu menjadi salah satu alasan mood-nya jelek. Cecilia berharap bisa sampai di ruangan Hans tanpa harus bertatapan dengan pria itu.
Sepertinya takdir benar-benar tidak ingin mengabulkan setiap rencana yang sudah Cecilia persiapkan. Tepat saat pintu lift terbuka, wajah yang pertama kali muncul di hadapan Cecilia justru musuh bebuyutannya. Sudah beberapa hari Cecilia tidak mengunjungi perusahaan Jack. Cecilia masih merasa kesal karena sikap George yang hampir membuatnya tersangkut di pagar tetangga. Dan hari ini ekspresi menyebalkan George kembali muncul di hadapannya.
Cecilia berdecih sinis. "Ngapain lo di sini?"
"Enggak kebalik?" George menaikkan sebelah alis. "Ngapain lo ke sini? Mau ngerusuh lagi?"
Dalam hati Cecilia mengutuk pria di hadapannya itu. Sudah cukup lama tidak bertemu, sekalinya bertatapan pria itu justru berhasil menyentil emosi Cecilia. Jika tidak ingat jarak usia yang terpaut tujuh tahun, mungkin sudah dari lama Cecilia mencabuti rambut George hingga petak di beberapa bagian.
"Kok enggak ke luar?" Cecilia menggerakan telapak tangannya mengusir. "Lo mau pergi, kan?"
George menatap Cecilia cukup lama sebelum melangkahkan kaki ke luar lift.
Setelah George meninggalkannya, barulah Cecilia masuk ke dalam lift. Bertepatan dengan sekelompok karyawan yang mulai bermunculan dari ruangan. Mereka berbondong-bondong menuju lift ingin ke cafetaria di lantai dua.
Cecilia mengumpat dalam hati karena jam makan siang datang pada saat yang tidak tepat. Terpaksa Cecilia berdiri di sudut, berharap tubuhnya tidak terlindas oleh para karyawan yang terlihat kelaparan. Cecilia menatap ngeri salah seorang karyawan laki-laki dengan tubuh paling besar memimpin masuk ke dalam lift. Saat karyawan laki-laki itu hendak berdiri di samping Cecilia, seseorang dengan cepat menyalip posisinya. Berdiri tepat di sebelah Cecilia dengan ekspresi tak berdosa membuat karyawan tadi segera mundur dan menempatkan diri di sudut lain.
"Loh?" Cecilia menoleh kaget. "Kok masuk lagi, katanya mau pergi?"
"Kunci mobil gue ketinggalan," jawab George tanpa menoleh.
"Oh," Cecilia tersenyum mengejek, "udah mulai pikun ternyata. Makanya jangan marah-marah mulu om, udah tua. Harus banyak berbuat baik biar masuk surga."
George memutar bola matanya malas.
Satu-persatu karyawan mulai masuk ke dalam lift. Cecilia sedikit tersentak kaget saat karyawan –berperut buncit tadi–hampir menabrak tubuh mungilnya. Sebelum Cecilia benar-benar tergeprek seperti nasib ayam di dalam box, sebuah tangan kokoh dengan sigap terulur.
Kedua mata Cecilia membulat lebar saat melihat George semakin merapatkan diri padanya. Tangan kiri pria itu terulur di depan tubuh Cecilia, seolah berusaha membentenginya.
"Diem."
Hanya satu kata itu yang terucap dari mulut George sebelum kembali diam dengan sebelah tangan membentengi Cecilia. Melindungi gadis itu dari desak-desakan karyawan lainnya.
Berada dalam jarak sedekat ini, Cecilia dapat menghirup harum parfum yang George gunakan. Tanpa sadar tatapannya beralih pada pundak lebar George, juga lengan kekarnya yang tampak sangat menggoda untuk dipeluk. Tiba-tiba Cecilia jadi teringat awal pertemuannya dengan pria itu.
Saat itu Jack sedang sangat gencar kabur dari tanggung jawabnya di perusahaan. Pria itu justru keluyuran menjadi seorang ojek online untuk mengejar gadis pujaannya yang kini sudah resmi menjadi istrinya.
Sejak dulu Cecilia memang sangat dekat dengan Jack. Saat mendengar kabar Jack sementara waktu menempati posisi CEO menggantikan Andreas, Cecilia tanpa pikir panjang langsung ingin menemui kakak sepupunya itu.
Namun hari itu Cecilia justru bertemu dengan George. Dulu George benar-benar sangat ramah dan manis pada Cecilia.Pantas saja Cecilia langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Meski hanya berlangsung sesaat sebelum Cecilia melihat sisi asli George yang super duper menyebalkan.
Lebih menyebalkannya lagi, Cecilia sering melihat George bersikap sangat lembut dan manis pada hampir semua perempuan kecuali dirinya. Apalagi saat menyadari kebanyakan perempuan itu tampak dewasa dan lemah lembut sesuai dengan kriteria perempuan idaman George.
Dan sekarang Cecilia kembali dibuat tertegun karena perlakuan manis George yang berusaha melindunginya dari desakan karyawan lain di dalam lift ini. Cecilia sangat menyukai hal-hal yang berbau romantis. Cecilia juga mudah sekali membawa perasaannya. Cukup aneh, Cecilia sama sekali tidak baper pada setiap rayuan maut Hans dan langsung luluh hanya karena George mengulurkan tangan kirinya seperti ini.
Pintu lift perlahan terbuka, semua karyawan serempak turun. Cecilia berusaha mati-matian tidak terlihat kecewa saat George menggeser tubuhnya menjauh dari Cecilia. Karena sekarang di dalam lift hanya tersisa mereka berdua.
Tiba-tiba suasana jadi sunyi dan sedikit canggung.
Cecilia melirik sekilas George yang kembali tampak tak acuh seolah tidak melakukan apa-apa. Pria itu bahkan bertingkah seperti tidak menyadari kehadiran Cecilia di dalam lift.
"Makasih," cicit Cecilia.
George menoleh, sebelah alisnya terangkat."Untuk?"
Cecilia mengalihkan pandangannya tidak berani balas menatap. "Barusan."
George mengedikkan bahu santai. "Sebagai orang dewasa, udah sepantasnya gue melindungi bocah yang kesulitan."
Tolong tarik kembali batin Cecilia yang mengatakan George sangat keren. George itu benar-benar makhluk paling menyebalkan yang pernah Cecilia kenal di dunia. Cecilia penasaran apakah di dalam kamus otak George ada kata 'Dewasa' tercetak tebal di antara kata lainnya. Sering sekali rasanya pria itu menggunakan kosa kata dewasa setiap kali berbicara dengan Cecilia.
"Iya, makasih banyak Om George."
George memicingkan matanya menatap sinis Cecilia yang berlagak memandanginya dengan ekspresi polos.
"Lain kali anak kecil jangan ke sini," ucap George, "Di sini bukan tempat bermain. Udah bagus beberapa hari ini hidup gue tenang enggak ada lo di sini."
Jika diberi pertanyaan apakah pernah Cecilia sakit hati dengan ucapan orang lain jawabannya adalah pernah. Dan ucapan George barusan menjadi salah satunya.
Alih-alih memperlihatkan perasaan kecewa, Cecilia memilih menonjolkan emosinya yang meledak-ledak.
Cecilia melangkahkan kakinya mendekat, tangannya yang memegang Go-pro teracung tepat di depan wajah George.
"Lo ada masalah hidup apa, sih, sama gue?" Cecilia balas menantang.
George sudah siap membuka mulut ingin menjawab, namun bibirnya terbungkam rapat saat Cecilia kembali berucap.
"Lagian gue ke sini bukan karena lo, gue ada urusan yang jauh lebih penting," Cecilia tertawa sinis. "Jangan kepedean jadi orang."
Cecilia melangkah mundur tepat saat pintu lift terbuka. Cecilia memalingkan wajahnya yang merah padam karena emosi.
"Asal lo tahu aja hidup gue juga tenang banget enggak lihat muka lo selama beberapa hari ini," gumam Cecilia sebelum melangkahkan kaki pergi meninggalkan George yang masih terdiam mematung di tempatnya.
George mengerjap cepat, menyadari kesalahannya. Sejujurnya, George sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mengucapkan kata-kata sejahat itu. Malah sebenarnya George sedikit merasa bosan karena tidak ada sosok Cecilia berkeliaran di kantor. Lagi-lagi otak dan bibirnya tidak sinkron.
Menyadari Cecilia tersinggung dengan ucapannya, George segera menyusul keluar dari lift. Mengurungkan niatnya untuk mengambil flashdisk yang tertinggal di dalam mobilnya.
Namun, langkah George langsung terhenti saat melihat Hans muncul dari ruangan, menyambut Cecilia yang terlihat menunduk lesu.
George tanpa sadar membelalakkan mata saat melihat Hans mengulurkan tangannya, menangkup lembut wajah Cecilia. Dari kejauhan George dapat melihat perlahan Cecilia kembali tersenyum dan tertawa mendengar ucapan Hans.
Melihat pemandangan itu, George mengurungkan niatnya. Ia memilih kembali masuk ke dalam lift, meninggalkan Cecilia bersama dengan Hans.
Bayangan Cecilia tersenyum karena Hans masih terbayang di benak George. Bahkan bayangannya masih mengikuti hingga George sampai di parkiran.
George merogoh kantung celananya mengambil kunci mobil. Benar, kunci mobil George tidak pernah tertinggal di ruangannya. Itu hanya menjadi alasan karena khawatir membayangkan Cecilia terlindas di lift tadi.
"Gila, ya?" George menertawakan dirinya sendiri. "George, lo itu bukan bapaknya. Kenapa bertingkah seolah gue enggak rela ngelepasin anak gadis ke tangan cowok playboy?"
George menggelengkan kepala, tidak habis pikir. Sekarang pria itu sadar sudah bertindak terlalu jauh. Jika Cecilia memang senang bersama Hans, maka George tidak perlu khawatir berlebihan. Jika memang suatu saat Hans memang menyakiti Cecilia, tentu itu bukan menjadi kesalahan sepihak.
"Jangan berlebihan karena ini udah terlalu jauh. Jack aja santai banget, kenapa gue harus heboh sendiri?" George mengusap pelan keningnya. Masih merasa geli dengan sikapnya yang berlebihan. Terlalu protektif pada gadis yang bahkan tidak ada hubungan saudara dengannya.
George membuka laci dashboards, meraih flashdisk yang ia simpan di sana. Kening George berkerut saat melihat sebuah kalung berbentuk hati menyangkut di flashdisk-nya. Sudah lama sekali George tidak menyentuh kalung berwarna perak itu. Dengan hati-hati George melepaskan lilitan kalung itu.
Bibir George tanpa sadar tersenyum tipis saat melihat sebuah foto terpasang di balik liontin itu. Ada foto dirinya dan Gina mantan pacarnya dulu. Di dalam foto itu, George tampak tersenyum lebar begitu juga Gina. Keduanya tampak sangat serasi. George masih ingat foto itu diambil saat anniversary tahun pertama mereka jadian. Masa-masa hubungannya masih terasa sangat manis.
George menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.
"Apa udah saatnya gue punya pacar lagi, ya?"
🐵🐵🐵
Bab 9
Ting..ting..
Cecilia mengetuk gelas kacanya dengan sendok. Ulahnya itu langsung dihadiahi tatapan menegur dari Clarissa.
"Jangan berisik, Cecil."
Bibir Cecilia mengerucut kecil, benar-benar membosankan. Sudah satu jam ia hanya duduk di samping Clarissa bersama ibu-ibu lainnya sambil menandangi para tamu undangan yang berlalu lalang. Ada yang asik membentuk lingkaran sendiri untuk mengobrol, ada juga yang sibuk menikmati hidangan.
Hari ini adalah hari perayaan anniversary pernikahan kedua orangtua Jack yang ke 35. Selain mengundang pihak keluarga, beberapa teman dan juga rekan bisnis di undang dalam pesta ini. Pesta diadakan di hotel bintang lima milik perusahaan Jack.
Dulu jika ada pesta seperti ini, pasti Cecilia sedang sibuk mendampingi Jack. Ia selalu bertugas menempel di sisi Jack dengan tujuan membantu pria itu terhindar dari para gadis yang ingin mendekatinya. Cecilia sendiri tidak keberatan, karena mengusir gadis-gadis genit jauh lebih menyenangkan dari pada harus duduk bersama Clarissa dan teman-temannya yang sering membanggakan anaknya masing-masing.
Namun sekarang, Cecilia harus berakhir pada pilihan kedua. Duduk bersama Clarissa sambil menghabiskan ice cream strawberry-nya. Jelas saja karena sekarang Jack sudah tidak membutuhkan bantuannya. Ada sosok Adel yang sejak tadi terus menempel di sisi Jack. Adel benar-benar sangat cantik dalam balutan long dress berwarna merah maroon yang sedikit memperlihatkan jenjang lehernya yang indah. Hanya sedikit karena Cecilia yakin Jack tidak memperbolehkan istrinya mengenakan pakaian terlalu terbuka.
Sebenarnya bisa saja Cecilia bergabung dengan Jack, hanya saja ia terlalu malas. Cecilia tidak ingin bertemu dengan salah satu sahabat baik kakak sepupunya itu. Jujur saja, Cecilia masih sakit hati mengingat ucapan George saat terakhir kali mereka bertemu di kantor. Apalagi di sana ada Hans yang sedang asik berbicara dengan banyak perempuan cantik. Cecilia sendiri heran entah bagaimana ceritanya Hans bisa ikut datang di acara ini padahal pria itu tidak ada hubungan dengan kedua orangtua Jack.
Cecilia mengerutkan kening saat merasakan ponselnya bergetar. Cecilia segera meraih ponsel dari dalam clutch silver-nya, membuka satu pesan yang baru saja masuk.
Hans
Cantik-cantik kok cemberut?
(19.30)
Sini, main sama om.
(19.30)
Jari-jari Cecilia bergerak lincah di atas layar, mengetik sebuah balasan.
Cecilia
Enggak mau,
males sama om-om genit.
(19.30)
Sana lanjut ganjen sama
tante-tante aja.
(19.31)
Cecilia mengulum senyum melihat ke arah meja arah pintu masuk. Di sana Hans yang tampak mengerutkan kening dengan tatapan tertuju padanya. Cecilia sengaja mengedikkan dagu ke arah perempuan cantik berambut pirang panjang yang sedang berusaha menarik perhatian Hans.
Hans mendengus. Tanpa mempedulikan gadis berambut pirang yang Cecilia maksud, Hans melangkahkan kaki pergi. Hans sempat pamit pada George meski tidak menyebutkan ke mana ia akan pergi. Hans sudah tahu permasalahan antara George dan Cecilia tempo hari. Meski terkesan memihak Cecilia, Hans tidak ingin mengusik George. Mencari jalan aman, Hans memilih menjadi pihak netral saja.
"Sini," ucap Hans tanpa suara.
Saat ini Hans sedang menduduki sebuah kursi kosong, sebelah tangannya melambai ke arah Cecilia.
Hans tertawa melihat Cecilia dengan sangat bersemangat langsung pamit pada ibunya. Cecilia bahkan sampai berlari-lari kecil seolah sudah tidak tahan berada di antara para ibu-ibu itu.
Diam-diam Hans mengagumi penampilan Cecilia malam ini. Gadis itu mengenakan fairy gauze dress sepanjang lutut dengan lengan panjang berbahan renda tembus pandang. Pada bagian lehernya bermodel turtle neck dengan pita hitam melingkar di sisi tengkuk lehernya.
Untuk alas kaki, Cecilia mengenakan boots putih semata kaki dengan tinggi hak tujuh senti. Pada bagian atasnya terdapat hiasan renda yang terlihat senada dengan dress-nya. Seperti biasa gadis itu hanya memoleskan make up natural.
"Akhirnya," Cecilia menarik kursi dan duduk di samping Hans. "Gue bebas!"
"Sebosen itu?" Hans terkekeh geli. "Kenapa enggak chat gue dari tadi?"
"Lo, kan, tadi lagi asik sama tante-tante bareng kakak sepupu lo itu," Cecilia berdecih sinis. "Gue tebak lo maksa ikut dateng ke sini karena mau kenalan sama anak perempuan rekan bisnis om sama tante gue, kan?"
"Astaga, Ce.." Hans menatap Cecilia dengan ekspresi terluka. "Tau banget, deh. Jadi sayang."
"Dasar kelinci darat," cibir Cecilia.
"Kok kelinci?" Hans mengulurkan tangan meraih gelas wine yang baru saja ditawarkan oleh seorang pelayan. "Lo mau enggak?"
Cecilia menggeleng. "Lambang playboy, kan, kelinci."
"Iya, tapi kenapa lo tambahin darat?" Hans menyesap wine-nya. "Memang ada kelinci bisa hidup di laut?"
"Enggak ada," Cecilia mengedikkan bahu. "Kelinci kalau di laut bakalan mati. Sama kayak lo, sehari aja enggak ganjen ke cewek kayaknya lo bisa sekarat."
Ucapan Cecilia nyaris membuat Hans menyemburkan cairan wine di dalam mulutnya. Hans cepat-cepat menelannya sebelum melanjutkan tawanya yang sempat tertahan.
"Parah banget lo nuduhnya," Hans meletakkan gelas wine-nya yang sudah kosong, beralih meraih lagi gelas keduanya.
"Lo minum terus," tegur Cecilia. "Mabok mampus."
Hans tersenyum. "Segini, mah, cuma buat basahin tenggorokan doang."
Cecilia terdiam memandangi Hans dan gelas wine di tangan pria itu. Sebenarnya Cecilia juga ingin minum wine walau hanya segelas. Terakhir kali Cecilia minum alkohol itu saat merayakan wisudanya dulu. Laila dan Elsa tiba-tiba datang ke rumahnya dan membawa sebotol soju. Padahal Cecilia hanya meminum dua gelas kecil, tapi kesadarannya langsung hilang dan berakhir tidak sadarkan diri selama seharian. Sejak saat itu Cecilia sangat berhati-hati jika meminum alkohol di tempat umum.
"Mau?" tanya Hans menyadari tatapan Cecilia tertuju ke gelas wine-nya. "Lo enggak bisa minum alkohol, Ce?"
"Bisa," Cecilia membasahi sekilas bibirnya. "Tapi langsung mabuk."
"Kalau cuma satu teguk enggak bakalan mabuk," Hans menyodorkan gelasnya pada Cecilia. "Paruhan aja sama gue."
Cecilia menatap ragu gelas wine di tangan Hans. Tanpa sadar meneguk ludahnya sedikit gergiur dengan tawaran Hans. Apalagi selama ini Cecilia belum pernah mencicipi rasa wine. Kapan lagi ada kesempatan seperti ini?
Saat Cecilia hendak meraih gelas itu, sebuah tangan tiba-tiba memukul tangannya.
"Jangan aneh-aneh."
Cecilia dan Hans kompak menoleh ke arah pemilik tangan itu. Keduanya tersentak kaget melihat sosok George sudah berdiri tepat di belakang kursi yang mereka duduki.
"Sejak kapan Kak George ada di sini?" Hans menaikkan sebelah alis. "Heran, suka banget muncul dadakan."
George tidak mengindahkan ucapan Hans, tatapannya tertuju lurus pada Cecilia yang juga sedang balas menatapnya tajam.
"Gue enggak lagi aneh-aneh," balas Cecilia, "Umur dua puluh tiga tahun legal kali buat minum ginian."
"Bukan masalah legal atau enggak, tapi lo--"
Ucapan George terputus saat Hans tiba-tiba menyahut. "Ada gue."
Tatapan George langsung beralih pada Hans.
Hans melirik sekilas Cecilia. "Bentar, ya."
Setelah mengucapkan itu Hans memberi tanda pada George untuk menjauh dari keramaian. Hans menghentikan langkahnya tepat di belokan dekat kamar mandi di samping ballroom. George mengikuti Hans dalam diam. Mendadak tercipta suasana tegang di antara mereka.
Setelah merasa suasana cukup kondusif untuk berbicara serius, Hans mengulang ucapannya. "Ada gue."
George menaikkan sebelah alis, menunggu Hans melanjutkan ucapannya.
"Gue yang bakalan jagain Cecil malam ini. Kak George enggak perlu ikut campur," lanjut Hans dengan ekspresi berubah serius.
George menaikkan kedua alis tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Berani sekali Hans berbicara seperti itu padanya, terlebih saat menyadari nada bicara adik sepupunya sedikit mengancam.
"Kak George tenang aja, gue enggak mungkin aneh-aneh. Percaya sama gue," jelas Hans kali ini lebih melunakkan nada bicaranya. "Apalagi ada orangtua Cecil di sini, mana mungkin gue berani macem-macem?"
"Lo bisa apa, sih?" George menatap Hans tanpa ekspresi. "Kalau dia kenapa-napa, lo bisa apa? Bilang ke orangtuanya kalau anaknya mabuk? Lo tahu, kan, dia anak tunggal. Udah pasti orangtuanya khawatir kalau anaknya kenapa-napa. Dan lagi, gue kenal baik orangtuanya. Mau taruh di mana muka gue kalau nanti mereka lihat anaknya mabuk karena adik sepupu gue sendiri?"
"Kayaknya lo salah paham. Cecil tadi cuma mau minum sedikit, cuma nyoba doang. Segitu enggak bakalan mabuk kali," jelas Hans.
George sudah siap membuka mulut lagi untuk membantah, namun ucapannya terhenti saat Hans menyeletuk pelan.
"Khawatir banget, ya?" tatapan Hans berubah jahil, ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian. "Khawatir sebagai apa? Sahabat baik dari kakak sepupu Cecil, sosok kakak yang baik, atau--"
Hans sengaja menggantungkan ucapannya, menunggu reaksi George. Namun melihat George tidak merubah ekspresinya, Hans menghela nafas gusar.
"Bodo amat, deh."
Tanpa menunggu balasan George, Hans lebih dulu melangkah pergi hendak menyusul Cecilia. Berlama-lama dengan George justru membuat Hans emosi. Padahal Hans sudah berusaha memancing agar George lebih jujur dan terbuka padanya, tapi pria itu terlalu pandai menguasai emosinya. Antara pandai atau memang pria itu tidak memiliki emosi lebih pada Cecilia seperti yang ia duga selama ini. Akan tetapi jika melihat betapa protektif George pada Cecilia, rasanya mustahil tidak ada sesuatu yang lebih.
Langkah Hans terhenti saat melihat bangku yang semula di duduki Cecilia kosong, meninggalkan tiga gelas kaca di atas meja. Hans segera meraih gelas itu, mengendusnya.
Wine.
Jika satu gelas adalah miliknya, maka dua gelas itu..
"Bukan lo yang minum, kan?" batin Hans mulai panik.
Hans mengeluarkan ponselnya berusaha menghubungi Cecilia. Selagi menunggu sambungan telefon, Hans menatap sekelilingnya. Mencari-cari sosok bertubuh mungil itu.
"Kenapa lo?" tanya George yang sudah menyusulnya.
"Kak," Hans berubah memucat saat nomor Cecilia tidak dapat dihubungi. "Cecil.."
George mengerutkan kening dalam, tatapannya tertuju pada gelas di tangan kiri Hans. George segera meraihnya dan mengendus gelas itu.
"Bukan dia, kan?" tanya George sama paniknya dengan Hans.
Hans menggeleng. "Gue enggak tahu, anaknya tiba-tiba hilang dan enggak bisa dihubungi."
Rasanya tiba-tiba ada petir menyambar tepat di kepala George. Rasanya George benar-benar ingin mencabuti rambut cokelat Hans sampai botak.
George melirik sekilas ke arah Clarissa dan John yang untungnya masih asik mengobrol. Tatapan George beralih pada Jack dan juga Adel yang terlihat bersama Vanessa dan Andreas, hendak mengambil foto bersama.
Sesaat George memejamkan matanya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berusaha menenangkan diri meski sekarang ia benar-benar merasa gugup membayangkan sosok Cecilia setengah mabuk berjalan-jalan di hotel sendirian.
"Kak–"
"Kita berpencar," George meraih pundak Hans. "Cari dia sampai ketemu, secepatnya."
🧸🐵🧸
Bab 10
"I'm bad girl, wooh. Bila kau tak pernah buat dosa silahkan hinaku sepuasnya. Kalian semua suci, aku penuh dosa~"
Cecilia melangkahkan kakinya melewati lorong hotel sambil bersenandung kecil menyanyikan lirik lagu Young Lex feat AwKarin berjudul Bad. Cecilia beberapa kali menghentikan langkahnya, merasa tubuhnya sedikit oleng. Sambil menyentuh dinding untuk mengembalikan keseimbangan, Cecilia kembali bernyanyi.
"Mereka bilang aku penuh drama, tak punya bakat, aku vlogger biasa. Gak niat tuk kenal iseng aja tapi fenomenal, kini ku mulai berkarya~"
Cecilia langsung menegakkan tubuhnya, memberi senyuman ramah pada karyawan hotel yang berpapasan dengannya.
Karyawan itu sempat menatap curiga Cecilia, merasa ada yang aneh dengan gadis itu. Bagaimana tidak? Malam-malam begini ada orang menyanyi sendirian di lorong hotel. Mana lagunya fenomenal begitu.
"Gue matre yang bayarin dia padahal bukan itu faktanya. Dasar loe banci, potong aja itunya~ ugh.."
Sebelah tangan Cecilia menutup bibirnya, tiba-tiba merasa mual. Cecilia mengarahkan pandangannya, mencari-cari ruangan bertuliskan toilet. Percuma, Cecilia bahkan tidak tahu sekarang ada di lantai berapa. Jangankan mencari toilet, pandangannya saja sudah mulai kabur.
Cecilia menjatuhkan pantatnya di atas kursi panjang terdekat. Menyandarkan kepalanya di dinding dengan kedua mata terpejam. Jika duduk seperti ini kepalanya tidak terlalu terasa pusing, namun rasa kantuk justru datang menggantikannya.
Sungguh Cecilia menyesal lebih mendengarkan egonya dari pada otaknya sendiri. Sudah tahu tidak bisa minum alkohol, Cecilia malah nekat minum dua gelas wine saat Hans dan George pergi tadi. Cecilia hanya kesal mengapa George melarangnya minum dan menuduhnya macam-macam. Apa pria itu benar-benar memandang Cecilia seperti anak kecil yang merepotkan?
"Gue bukan anak kecil lagi!" geram Cecilia.
"Siapa bilang kamu anak kecil? Cantik begini."
Suara bariton itu membuat Cecilia segera membuka matanya. Sayup-sayup terlihat bayangan seorang pria ke luar dari kamar hotel yang berada tepat di depannya. Pria itu terlihat berusia sekitar empat puluh tahun dengan perut sedikit buncit dan jambang tebal membingkai wajahnya.
Cecilia menggeser duduknya sedikit menjauh saat pria itu duduk di sampingnya. Meski setengah sadar, Cecilia sangat yakin tidak pernah melihat pria ini sebelumnya. Cecilia hendak bangkit dari kursi, namun kepalanya pusing sekali.
"Kamu sendirian?" tanya pria itu.
"Enggak," jawab Cecilia cepat.
Terlalu cepat.
Pria itu tersenyum tenang, memperhatikan Cecilia dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kayaknya kamu sakit, mau istirahat di kamar om?"
Mendengar tawaran itu Cecilia hanya bisa mengumpat dalam hati. Seperti ini ternyata bentukan Asam Daddy. Bukan Sugar Daddy karena pria itu sama sekali tidak ada manis-manisnya. Hanya dengan memandangi senyuman genit pria tua itu, sepertinya asam lambung Cecilia langsung kambuh karena rasa mualnya semakin menjadi-jadi.
"Mual, ya?" tanya pria asam itu saat melihat Cecilia menutup bibirnya dengan telapak tangan. "Udah, istirahat aja di kamar. Sini, om bantu kamu berdiri."
Cecilia refleks bangkit berdiri saat kedua tangan pria itu sudah berani menyentuh lengannya. Karena gerakan tiba-tiba, pandangan Cecilia langsung berubah menggelap. Tubuhnya terhuyung ke belakang saat pijakan tangannya gagal meraih dinding.
Sebelum benar-benar terjatuh, seseorang berhasil menangkap tubuhnya. Cecilia sudah sangat pasrah membayangkan pria asam tadi ternyata tidak sendirian. Cecilia sudah ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi ia menelan kembali niatnya saat menghirup harum parfum yang sangat familiar untuknya. Terlebih posisi ini, benar-benar membuat Cecilia de javu.
Cecilia mengerjapkan matanya berulang kali, berusaha melihat siapa pria yang berdiri tepat di belakangnya itu. Cecilia masih belum dapat melihat dengan jelas, namun entah mengapa Cecilia merasa aman dalam pelukan pria itu. Bukan sepenuhnya pelukan, tangan pria itu hanya melingkari pinggang Cecilia. Anehnya, Cecilia sama sekali tidak merasa takut, justru sebaliknya. Cecilia justru merasa sangat nyaman?
"Anda siapa?" tanya pria asam. "Jangan mencampuri urusan--"
"Justru saya yang seharusnya bertanya."
Suara bariton itu langsung menyentak Cecilia sadar. Cecilia membelalakkan mata lebar menyadari siapa pria yang saat ini sedang mengeratkan pelukan di pinggangnya.
Curious George.
Pria itu terlihat menyeramkan tidak seperti yang biasa Cecilia lihat. George itu memang ketus dan bermulut pedas, tetapi wajahnya sangat ramah. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa pria itu memiliki bakat baku hantam dan adu debat. Baru kali ini Cecilia melihat ekspresi George begitu murka. Terlihat jelas dari rahangnya yang mengeras, juga urat yang menonjol di pelipisnya.
Pria asam tertawa. "Perempuan ini duluan mengetuk pintu kamar saya."
"Gue enggak--"
"Diam," bisik George langsung membungkam bibir Cecilia.
"Maaf kalau memang gadis ini mengetuk pintu ruangan anda. Tapi sudah jelas dia sedang dalam keadaan mabuk bukan?" George tersenyum datar. "Maaf jika mengganggu, anggap saja gadis ini tidak melakukan apapun, maka saya juga akan berusaha berpura-pura tidak tahu dengan niat buruk anda."
Cecilia meneguk ludahnya gugup. Bukan karena takut pada perdebatan itu, Cecilia lebih fokus pada tangan George yang melingkar di pinggangnya. Bagaimana Cecilia bisa tenang jika dipeluk dari belakang seperti ini oleh George?
"Kami permisi," ucap George seraya merangkul pundak Cecilia, hendak membawanya pergi.
Namun langkah Cecilia terhenti saat pria asam meraih lengannya. Cecilia berteriak tertahan saat bayangan tubuh George langsung menghambur ke depan, mendaratkan pukulan keras tepat di wajah pria asam.
Pria asam itu semakin terlihat asam saat darah segar mengalir dari hidungnya. Sepertinya satu hantaman dari George cukup membuat hidungnya patah.
George mencengkeram erat kaus pria asam, menatapnya tajam. George dengan geram mengayunkan kembali tinjuannya, membuat pria asam refleks memejamkan mata takut.
Saat tidak merasakan apa-apa, pria asam perlahan membuka kedua matanya. Tubuhnya tersentak kaget melihat lantai keramik di sisi wajahnya sedikit retak akibat pukulan George yang nyaris menghancurkannya.
"Ini akibatnya kalau berani coba-coba menyentuh milik saya."
Perlahan George bangkit berdiri meninggalkan pria asam yang masih bergetar takut di tempatnya.
Tolong jangan tanyakan bagaimana keadaan Cecilia sekarang. Sepertinya roh gadis itu sudah terbang menembus cakrawala. Tubuh Cecilia yang semula sudah terasa panas karena alkohol semakin memanas saat melihat George dengan sangat keren berjalan menghampirinya.
Tunggu, tadi George bilang apa? Miliknya? Cecilia?
Sudah gila, rasanya Cecilia ingin merekam ucapan George beberapa detik yang lalu. Meskipun Cecilia tahu George hanya ingin menggertak pria asam tadi tanpa benar-benar serius mengucapkannya. Tetapi seperti itu saja Cecilia sudah sangat senang. Kelewat senang sampai rasanya kedua kaki Cecilia tidak lagi menyentuh tanah. Mungkin ini yang dinamakan terbang dalam pesona asmara?
Cecilia tanpa sadar menahan nafas melihat George berjalan mendekat ke arahnya. Ujung kemeja George keluar berantakan dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, dasi dikerahnya sudah dilonggarkan asal. Rambut George yang semula tersisir rapi ke belakang terlihat berantakan, menambah kesan liar yang membuat Cecilia susah payah meneguk ludahnya.
Gila ganteng banget! batin Cecilia.
Tiba-tiba Cecilia lupa jika pria di hadapannya ini adalah musuh bebuyutannya sendiri.
Kening Cecilia berkerut dalam saat George berjalan melewatinya. Pria itu sempat diam beberapa detik sebelum kemudian mengubah posisinya jadi berjongkok membelakangi Cecilia.
"Naik."
"Eh?" Cecilia mengerjap cepat. "Gue?"
George menghela nafas, tanpa menoleh. "Memang ada orang lain di sini selain lo?"
Cecilia menoleh ke belakang, melihat ke arah pria asam yang tampak susah payah bangun dan berjalan masuk ke kamarnya.
"Dia bukan manusia," ucap George seolah mengerti jalan pikiran Cecilia. "Cepetan, asam urat gue keburu kambuh."
Cecilia masih menatap ragu punggung George. Tiba-tiba merasa tidak enak merepotkan pria itu. Tapi kepala Cecilia masih sakit, keseimbangannya juga belum pulih sepenuhnya.
"Lo yakin?" Cecilia mencicit pelan, "Dosa gue berat, loh?"
"Gue tahu," balas George.
Walau masih ragu, perlahan Cecilia mengulurkan tangannya memeluk leher George. Membiarkan pria itu menggendong tubuhnya.
Hanya dalam sekali sentakan George kembali berdiri dan melangkahkan kakinya pergi. Pria itu sama sekali tidak terlihat keberatan, malah sepertinya ada dan tidak ada Cecilia hanya sedikit perbedaannya.
Berada dalam jarak sedekat ini Cecilia dapat melihat jelas bulir-bulir keringat yang membasahi pening dan leher George. Sepertinya sebelum bertemu dengannya, pria itu sempat berlari mengusuri hotel. Apakah itu artinya keringat George terbuang hanya untuknya?
Cecilia tidak dapat menahan diri, sebelah tangannya terulur menghapus bulir keringat di pelipis George dengan menggunakan lengan dress-nya.
"Lo keringetan."
Perbuatan tiba-tiba Cecilia sempat membuat George tertegun. Hanya sesaat sebelum pria itu kembali menyadarkan dirinya. Meski begitu, George tidak menegur Cecilia. Membiarkan gadis itu mengusap pelan pelipisnya.
"Gue memang orangnya gampang keringetan," ucap George, "jangan salah paham."
"Iya Kak George," balas Cecilia membuat George refleks menoleh.
"Mabok beneran lo?" George terkekeh. "Biasanya juga panggil om."
"Setelah ketemu asam daddy yang sesungguhnya, kayaknya gue trauma. Jangan-jangan kualat sering panggil lo om-om," jelas Cecilia.
"Asam daddy?" George tertawa, kali ini lebih lepas dari pada sebelumnya. "Gue baru denger."
Selama beberapa saat tidak ada pembicaraan di antara keduanya. George terus menggendongnya pergi menuju ballroom, sedangkan Cecilia menyandarkan dagunya di pundak George dengan kedua mata terpejam. Tiba-tiba rasa kantuknya datang lagi.
"Maaf."
Gumaman George membuat Cecilia membuka sebelah matanya. "Hah?"
"Gue minta maaf, hari itu gue memang udah keterlaluan."
Cecilia mengusap sekilas kedua matanya. Memperhatikan George yang terlihat salah tingkah saat mengakui kesalahannya tempo hari.
"Udah dimaafin," Cecilia tersenyum. "Gue juga minta maaf karena selalu ngerepotin lo."
"Untuk yang satu ini enggak terbantahkan, sih.." George terkekeh. "Heran, cuma ditinggal bentar aja udah hilang. Kalau memang enggak bisa minum alkohol kenapa harus memaksakan diri?"
Cecilia mengerucutkan bibir. "Biar gue enggak dianggap anak kecil lagi."
Sebelah alis George terangkat. "Apa hubungannya alkohol dengan pandangan orang-orang terkait lo udah dewasa atau masih anak-anak? Orang seumuran gue aja ada kok yang enggak bisa minum alkohol."
George menghentikan langkahnya, sedikit menolehkan kepala. "Lagian handphone lo kenapa enggak bisa dihubungi? Kalau seandainya gue telat tadi gimana?"
"Handphone gue lagi di mode pesawat," jawab Cecilia.
"Biar apa, sih?" George berdecak tidak habis pikir dengan ulah Cecilia. Karena gadis itu tidak bisa dihubungi, alhasil George harus berlari-lari menelusuri hotel tanpa arah. Untung saja ia datang diwaktu yang sangat tepat.
"Biar bisa terbang," jawab Cecilia langsung mendapat pelototan George. Cecilia terkekeh, "Handphone gue low batt. Biar hemat sengaja dimode pesawat."
"Dasar," George menggelengkan kepala. "Besok-besok jangan gitu lagi."
"Iya-iya," Cecilia mengerucutkan bibir. "Memangnya lo telefon gue tadi?"
"Hans," jawab George.
"Lah, sekarang dia di mana?" Cecilia mengerjap bingung. "Lo enggak hubungi dia dulu kalau gue udah ketemu?"
George menggeleng. "Enggak, nanti aja."
Cecilia menatap bingung. "Kenapa?"
"Sengaja biar dia repot," jawab George tak acuh.
"Dasar kakak sepupu jahanam," Cecilia tersenyum geli.
Benar, seperti itulah George yang Cecilia kenal. Bermulut pedas, ketus, tidak ada akhlak, hobi memancing keributan sampai baku hantam. Tetapi George sebenarnya memiliki hati yang baik. Meski lebih banyak berkelahi, beberapa kali George sering memberinya nasihat jika perbuatannya salah. Bukankah itu bentuk sebuah kepedulian?
"Tapi aneh," gumam Cecilia, "kenapa asam daddy tadi tertarik sama gue, ya?"
George memutar bola matanya malas. "Jangan mulai."
"Wajar, sih, kalau dia sampai tertarik. Gue cantiknya kayak bidadari gini," ucap Cecilia tanpa peduli teguran George, "kayaknya cuma lo doang yang lihat gue anak kecil. Pasti di mata asam daddy tadi gue sexy banget. Enggak kalah sama model victoria secret."
Saat langkahnya sudah dekat dengan lorong menuju ballroom, George justru berbalik arah. Perbuatannya itu membuat Cecilia mengerutkan kening dalam.
"Loh, mau ke mana?" tanya Cecilia tidak langsung dijawab oleh George.
George terus berjalan mendekati sebuah tong sampah yang berada di belokan dekat toilet. George memutar tubuhnya, memposisikan Cecilia tepat berada di atas tong sampah itu.
"Ngomong sekali lagi gue buang lo ke tong sampah."
Cecilia langsung merapatkan bibir, tidak berani berucap sepatah katapun.
🐵🐵🐵
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
