
Pertemuan pertama Nabilla dan Dominic
Fakultas Hukum
"You have slain an enemy!"
"Nyampah terus aja, Ju!" gerutu Yudha tanpa menoleh. Tatapannya fokus pada layar ponsel.
Juan terkekeh. "Sorry, gue khilaf."
"Bantu gue hancurin turet atas dong, Bang!" sahut Chandra.
"Bentar otw, mana gue habis."
Johnatan yang duduk di antara Juan dan Chandra hanya bisa menghela napas sabar. "Main game doang berasa nonton bola hebohnya."
"Lo wasitnya," goda Dominic membuat Johnatan tertawa.
Posisi Johnatan memang terlihat sangat tidak nyaman. Diapit oleh dua orang manusia super heboh bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dominic merasa beruntung memilih duduk di kursi gazebo yang terpisah dengan Juan dan Chandra. Setidaknya ia bisa menikmati ketenangan meski hanya sebentar sebelum kelas berikutnya.
"Lo enggak ada kelas lagi, Chan?" tanya Johnatan.
"Enggak ada, Bang." jawab Chandra.
"Nikmatnya mahasiswa semester satu," seru Yudha. Nada iri terdengar jelas dari pita suaranya.
"Jangan sirik, Bang. Udah kelewat masanya. Sekarang Bang Yudha juga udah tua," celetuk Chandra membuat Johnatan, Juan, dan Dominic tertawa.
Di antara mereka berempat, Chandra memang yang paling muda. Saat Yudha, Dominic, Johnatan, dan Juan sudah menginjak semester lima tahun ini, Chandra justru baru saja resmi menjadi mahasiswa di kampus. Karakternya yang santai dan sedikit kurangajar malah membuat Chandra cepat akrab dengan para seniornya.
Termasuk Yudha. Padahal seharusnya Chandra segan pada Yudha karena dia adalah salah satu panitia inisiasi tahun ini. Yudha juga yang memperkenalkan Chandra pada teman-teman angkatannya karena merasa cocok dan satu frekuensi meski terkadang anak itu sering membuatnya darah tinggi.
Saat awal pertemuan, Yudha sempat berpikir Chandra akan segan dan malu-malu bertemu dengan circle pertemanannya. Tapi dugaan Yudha langsung sirna saat melihat Chandra datang bersama dengan teman-temannya yang lain. Untungnya teman-teman Chandra mudah berbaur. Alhasil circle pertemanan mereka semakin ramai. Yang semula hanya ada delapan orang, sekarang bertambah jadi empat belas orang.
"Chandra memang enggak ada matinya, ya?" Dominic melirik Theo yang duduk di sampingnya.
Kening Dominic berkerut dalam mengamati ekspresi kelam yang tercetak jelas di wajah Theo. Sejak tadi cowok itu memang lebih banyak diam dan tidak ikut bercanda bersama teman-temannya yang lain.
"Theo?"
Panggilan Dominic membuat Theo tersentak kaget. "Iya?"
"Kenapa lo?" Dominic menaikkan sebelah alis. "Lagi ada masalah?"
Theo menggeleng. "Enggak ada, gue cuma lagi mikirin sesuatu."
"Mikirin apa?" tanya Johnatan yang entah sejak kapan sudah berpindah ke meja gazebonya.
"Mikirin kuliah," Theo tersenyum masam. "Gue lagi di titik merasa sia-sia masuk jurusan hukum."
Mendengar ucapan Theo, Dominic dan Johnatan sontak bertukar pandang. Terkejut dengan ungkapan Theo. Jika mendengarnya dari orang yang terlihat malas-malasan kuliah, mungkin ucapan Theo akan lebih masuk akal. Masalahnya orang yang mengaku sia-sia masuk jurusan hukum adalah mahasiswa dengan nilai sempurna dan tertinggi di angkatannya.
"Atas dasar apa lo tiba-tiba mikir gitu?" tanya Johnatan sedikit menurunkan intonasi, takut menyinggung. "Lagi jenuh?"
"Atau karena ini?" Dominic mengambil alih ponsel di tangan Theo. Membaca artikel berita yang sempat membuat temannya itu terlihat suram.
Karena penasaran, Johnatan mengubah posisi duduknya di samping Dominic. Bersama membaca artikel itu.
"Ekploitasi anak, ya?" Dominic menggelengkan kepala. "Masih banyak banget memang kasus kayak gini. Setiap kota pasti ada."
"Gue baru aja kemarin lihat juga anak kecil pakai kostum boneka mampang di perempatan Jalan Parangtritis," sahut Johnatan.
"Sebenernya udah ada rehabilitasi untuk membina para gelandangan, dan anak-anak yang terlanjur hidup di jalanan," Dominic menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Tapi percuma juga karena enggak dipraktekin setelah keluar dari rehabilitasi."
Johnatan menggeleng tidak setuju. "Tapi menurut gue pribadi mereka enggak bisa disalahin juga. Realistis aja, mungkin mereka terpaksa ngamen di jalanan demi bisa makan dan bertahan hidup. Kalau mau kerja yang bener juga lowongan terbatas. Jarang banget ada yang mau mempekerjakan orang yang enggak berpendidikan tinggi. Udah sarjana aja masih banyak yang nganggur."
"Itu dia yang gue pikirin dari tadi," Theo mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Gue merasa hukum enggak sepenuhnya bisa mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Oke, hukum menetapkan orang pinggiran untuk direhabilitasi, tapi percuma karena akar masalahnya bukan di situ. Mereka butuh lowongan pekerjaan bukan nasihat."
"Hukum negara kita terlalu fokus pada kasus besar, namun sering melupakan jeritan rakyat kecil," lanjut Theo.
Dominic dan Johnatan langsung terdiam, merenungkan ucapan Theo. Tidak dapat dipungkiri, pendapat Theo ada benarnya. Permasalahan utama di dalam suatu negara adalah masalah perekonomian. Masih banyak anak yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena alasan ekonomi, padahal masa depan negara bergantung pada kualitas masyarakatnya.
Theo menghela napas berat. "Sebagai mahasiswa fakultas hukum, gue merasa belum bisa berbuat apa-apa selama lima semester kuliah. Iya gue dapet ilmu, tapi mana prakteknya? Masa harus nungguin lulus dulu? Itu juga belum tentu bisa berbuat banyak."
Johnatan mengangguk setuju. "Setelah lulus biasanya kita lebih fokus untuk cari lowongan pekerjaan atau lanjut pendidikan. Semakin tua bakalan lebih banyak hal rumit yang harus dipikirin. Sebenernya waktu paling tepat dan efektif untuk membuat perubahan, yah, sekarang ini."
Dominic mengangguk. "Gimana kalau kita bikin project semacam Bakti Sosial? Tujuannya untuk bantu sesama kita yang membutuhkan. Yah, walau pasti cuma project kecil-kecilan karena kita cuma mahasiswa yang bahkan belum berpenghasilan sendiri."
"Yang paling penting itu niatnya bukan besar kecilnya. Karena bantuan kecil dari kita bisa berarti besar untuk orang lain."
Suara bariton itu membuat Dominic, Theo, dan Johnatan menoleh. Sosok Tama yang tiba-tiba muncul di belakang kursi membuat mereka terkejut.
"Sejak kapan lo di situ?" tanya Johnatan.
Tama mengedikkan bahu santai. "Waktu kalian lagi asik-asiknya diskusi tentang perubahan. Gue sebenernya mau nimbrung, tapi takut ganggu. Pembahasan kalian terlalu menarik soalnya. Sayang kalau lenyap gitu aja cuma karena ke–distrack gue."
"Jadi gimana? Mau bikin project Bakti Sosial?" tanya Tama.
"Rencananya gitu," Dominic menatap Theo. "Menurut lo gimana?"
"Gue malah mikirnya kita mendirikan suatu wadah untuk menampung orang-orang yang punya visi dan misi yang sama," Theo mengerutkan kening. "Semacam organisasi."
"Organisasi bertajuk kegiatan sosial maksudnya?" sambung Yudha. Di sampingnya Chandra dan Juan ikut menyimak.
Theo mengangguk membenarkan.
"Kampus kita udah punya organisasi debat, perkumpulan mahasiswa hukum, persatuan suku, tapi semuanya lebih fokus kegiatan untuk mahasiswa. Bakti sosial cuma sebagai kegiatan sampingan," kata Juan.
Dominic merangkul akrab Theo. "Gue enggak kebayang lo mikirin rencana besar kayak gini sendirian. Lain kali dibicarain aja. Lo tahu, kan, kita bakalan selalu dukung selama tujuannya itu baik?"
Theo tersenyum tipis. "Gue bukannya enggak mau cerita atau minta pendapat kalian. Karena sebenarnya gue sendiri masih ragu apa bisa terealisasi. Apa masuk akal? Karena gue yakin enggak banyak mahasiswa yang mau masuk organisasi enggak resmi. Karena tujuan mereka itu poin SPAMA. Kalian tahu sendiri di kampus kita kalau organisasi belum resmi enggak bisa dapet poin SPAMA."
Poin SPAMA adalah poin yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan. Poin itu didapatkan dari kegiatan berorganisasi. Mahasiswa harus mencapai jumlah point yang telah ditetapkan oleh kampus. Jika belum tecapai sampai semester akhir, mahasiswa tidak dapat wisuda meski syarat lainnya telah terpenuhi.
"Sorry, tapi gue justru mikir sebaliknya."
Yudha berdeham sejenak. "Menurut gue banyak sedikitnya anggota itu enggak penting. Sedikit anggota bukan masalah selama dalam kelompok itu punya visi dan misi yang sama. Selayaknya circle pertemanan, gue enggak butuh banyak teman di hidup gue. Gue lebih seneng punya satu teman yang beneran ngertiin gue daripada banyak tapi hobinya ngomongin di belakang."
"Widih, mantap kali Abangku yang satu ini," Chandra dengan lancang merangkul Yudha. "Iya, Chandra akan berusaha jadi teman yang baik biar bisa stay di samping Bang Yudha selamanya."
Yudha berusaha mendorong tubuh Chandra menjauh darinya. Melihat itu, Juan tidak tahan merentangkan tangannya, memeluk tubuh Yudha dan Chandra dengan kekuatan penuh. Alhasil keduanya hanya bisa pasrah di dalam pelukan Juan.
Satu fakta misterius yang masing sulit sekali dipercaya, meski badan Juan terlihat kurus sebenarnya cowok itu menyembunyikan tenaga sapi.
Dominic menepuk pelan pundak Theo. "Bener kata Yudha, kita enggak perlu banyak anggota untuk bisa membuat perubahan. Anggep aja gini, kita udah tahu bakalan sedikit mahasiswa yang mau sukarela sosialisasi tanpa Poin Spama. Bahkan bisa jadi enggak ada. Terus kalau bukan kita yang membuat perubahan, siapa lagi?"
"Setuju!" Tama mengangguk antusias. "Justru karena enggak ada makanya ini kesempatan kita untuk memulai. Siapa tahu dengan adanya organisasi ini semakin banyak mahasiwa yang sadar pentingnya berbagi bukan cuma cari ilmu aja."
"Because your greatness is not what you have,
it's what you give," celetuk Johnatan membuat mereka semua kompak berseru.
"Kejayaan bukan tentang apa yang kamu miliki, tetapi apa yang kamu berikan," Chandra tersenyum, tatapannya tertuju pada Yudha. "Nih, Bang, udah adek terjemahin. Takut-takut Bang Yudha enggak paham maksud ucapan Bang John."
Yudha membelalakkan mata tidak terima. Satu jitakan keras langsung mendarat di kepala Chandra.
"Jadi gimana? Masih ragu dengan isi pikiran lo?" tanya Dominic.
Semua tatapan kini tertuju pada Theo, menunggu jawabannya.
Theo diam sejak tadi bukan karena tidak excited. Theo tidak sanggup berkata-kata karena masih terkejut dengan respon teman-temannya yang mendukung idenya. Bahkan mereka terlihat sangat bersemangat melebihi dirinya sendiri.
"Jangan terharu gitu," Tama berlagak menghapus air matanya. "Gue orangnya gampang nangis loh."
"Gue beneran hampir nangis padahal," Theo tertawa. "Mungkin ada baiknya kita kasih tahu anggota squad kita yang lain dulu. Kalau mereka setuju, nanti kita atur waktu ketemuan untuk bahas ini. Perlu digaris bawahi, project ini bukan pemaksaan. Jadi kalau pun salah satu temen kita enggak bersedia ikut, ya, bukan masalah."
Juan mengangguk. "Gue, kan, satu kos sama Jaeffry. Nanti gue aja yang kasih tahu dia."
"Jeno, Rendi, Leo, Jisabian, sama Najendra biar gue aja, Bang!" ucap Chandra.
"Markus sama Veronica gue yang urus," sambung Johnatan.
"Ketemuannya mau di mana?" tanya Dominic.
"Jangan di kampus yang jelas," jawab Yudha, "Inget dinding kampus itu punya telinga. Semua informasi diserap habis."
Theo mengangguk. "Selagi organisasi ini belum resmi terbentuk, jangan sampai orang di luar circle kita tahu."
Dominic menjentikkan jari. "Oke, soal tempat gue aja yang urus gimana? Nanti kita bikin grup chat dulu buat nentuin jam ketemu. Jangan sampai enggak lengkap karena tabrakan sama jam kelas."
"Untuk nama organisasinya udah lo pikirin?" tanya Tama pada Theo.
"Ada satu nama terbesit di otak gue, tapi nanti aja kita bahas dipertemuan selanjutnya. Karena ini organisasi, lebih enak pakai cara musyawarah buat nentuin segala sesuatunya," jawab Theo.
"Udah beres, kan?" Tama melirik jam di layar ponselnya. "Yud, bukanya lo ada kelas jam dua ini?"
Yudha terlonjak kaget. "Yaampun gue lupa! Sekarang jam berapa?"
"Kurang lima menit lagi kelas."
"Oh, santai~" Yudha tersenyum tenang. "Bu Maria datengnya paling lima belas menit lagi. Dia suka telat masuk."
"Masa? Barusan gue lihat Bu Maria masuk lift, tuh?" kata Johnatan membuat Yudha kembali panik.
"Serius lo? Anjir! Bye gue mau menuntut ilmu dulu biar enggak jadi beban keluarga!" Yudha segera meraih tas ransenya dan berlari cepat menuju tangga.
Fakta menyebalkan di kampus mereka, mahasiswa hanya boleh menggunakan tangga. Lift hanya digunakan untuk orang-orang berkebutuhan khusus atau dosen yang sudah lanjut usia.
Tama tertawa."Gue bohong padahal."
"Bakalan jadi pemandangan lucu kalau ternyata kelas Bu Maria kosong hari ini," canda Johnatan.
Namun tak berapa lama ponsel mereka kompak bergetar. Satu pesan masuk dari Grup Chat Tata Usaha kampus.
PENGUMUMAN
Kuliah Hukum Sarana Pemerintahan kelas A (sesi 3) Bu Maria : KOSONG, mahasiswa diminta mengerjakan tugas melalui Situs Kuliah. Terima kasih.
Theo, Tama, Dominic, Johnatan, Juan, dan Chandra kompak saling bertukar pandang.
⚖️⚖️⚖️
Kakak Tingkat
"Istilah hukum perdata di Negara Indonesia mulanya dari Bahasa Belanda Burgerlik Recht yang sumbernya pada Burgerlik Wetboek atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata biasa disingkat KUH Perdata," jelas Pak Untung.
Pak Untung adalah dosen Hukum Perdata yang terkenal di kalangan mahasiswa Universitas Pemuda Indonesia. Pak Untung dikenal dengan sebutan dosen kesayangan mahasiswa caper alias cari perhatian. Dosen dengan wajah tegas dan kacamata bulat itu sangat hobi memberi nilai baik kepada mahasiswa yang ia hapal saja. Hapal dalam artian mahasiswa yang aktif di kelas dan selalu memperhatikannya.
Tak heran banyak mahasiswa berlomba-lomba aktif di kelasnya. Sebenarnya mahasiswa aktif memang bagus, tetapi jika aktifnya tidak masuk akal lama-kelamaan jadi mengganggu. Seperti yang terjadi saat ini, beberapa mahasiswa yang duduk di bangku depan tampak sibuk mencatat apa saja yang Pak Untung ucapkan. Padahal, semua yang disampaikan sudah ada di buku cetak.
Seperti halnya kelas pada umumnya, mahasiswa yang duduk di depan adalah mahasiswa teladan dengan niat belajar yang tinggi. Sementara bangku belakang lebih banyak dihuni oleh mereka yang berprinsip; Paham ya syukur, enggak ya nasib.
Tetapi, teori itu tidak berlaku pada semua mahasiswa yang duduk di bangku belakang. Beberapa ada yang masih sibuk mencatat meski tidak paham, dan beberapa lainnya tampak khusyuk mengheningkan cipta dengan kepala menunduk fokus melihat buku—dengan ponsel di atasnya.
Nabilla Xaverina adalah salah satu mahasiswa yang sejak tadi khusyuk mengheningkan cipta. Gadis berambut hitam panjang itu tampak sibuk men-scrolling layar ponselnya dengan jari telunjuk. Membaca satu-persatu nama di tabel yang baru saja diposting oleh salah satu organisasi di kampusnya. Nabilla sudah dua kali mengecek tabel itu, takut namanya terlewat. Namun, tetap saja tidak ada namanya tertulis di sana.
"What the—"
Nabilla segera mengatupkan bibirnya saat tatapan Pak Untung tertuju padanya. Gadis itu cepat-cepat berlagak mencatat.
Fani yang duduk di samping Nabilla ikut panik. "Udah sinting, yah?"
Nabilla melirik sekilas teman sebangkunya itu. Namanya Fani Aurellia, satu-satunya sahabat yang dia miliki di kampus ini. Usia pertemanan mereka memang baru terjalin dua bulan, tetapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Mungkin karena mereka tinggal di kos-kosan yang sama.
Nabilla dan Fani sama-sama mahasiswa perantau, Nabilla dari Bali sedangkan Fani dari Magelang. Sebagai anak perantau, bisa langsung mendapatkan teman yang satu frekuensi adalah hal paling membahagiakan. Mungkin hal itu yang membuat Nabilla dan Fani seperti saling terikat satu sama lain. Keduanya saling melengkapi.
Jika Nabilla adalah mahasiswa yang ikut mengheningkan cipta, Fani adalah mahasiswa yang rajin mendengarkan dan mencatat meski tidak paham. Setidaknya catatan Fani selalu lengkap untuk disalin oleh Nabilla. Dan Fani tidak akan pernah jadi mahasiswa yang ketinggalan berita di kampus karena selalu mendapat gossip up to date dari Nabilla.
"Gue ditolak PERMABA!" bisik Nabilla geram.
"Hah, lo daftar PERMABA?" Fani membelalakkan mata kaget. "Jelas ditolak, lah, bego. Dari namanya aja udah kelihatan. PERMABA, Persatuan Mahasiswa Batak. Lo orang Bali, pe'a!"
Nabilla mengerutkan kening kesal. "Lah, apa gunanya toleransi di negeri ini?"
"Dih, segala bawa toleransi. Bilang aja lo pingin masuk PERMABA karena ada Kak Bagas," sindir Fani langsung membuat Nabilla tersipu malu.
"Kasep pisan euy."
"Masih kasepan Kak Jaeffry kali," bantah Fani.
Bukannya balas membantah, Nabilla justru mengangguk setuju. "Kak Jae juga cakep pisan. Kak Theo sama Kak Juan juga mantep. Pokoknya angkatan mereka bibit unggul semua, dah. Termasuk Kak Bagas."
"Maruk juga lo," Fani menggelengkan kepala. "Gue, mah, setia sama Kak Jaeffry aja. Kalau Kak Theo jujur aja gue agak takut. Mukanya galak banget, terus auranya macem vampir."
"Kalau vampirnya Kak Theo, gue rela sumbang darah cuma-cuma!" Nabilla tertawa. "Lagian lo ngapain setia? Prinsip gue, nih, kalau bisa semuanya kenapa harus satu?"
"Lahiya bener," Fani mengedikkan bahu. "Masalahnya, semuanya enggak minat sama lo. Jangankan memiliki, tahu lo hidup di dunia ini aja udah syukur!"
Nabilla mengumpat tanpa suara. "Heh, gue bukannya enggak bisa memiliki, tapi memang gue segan buat kenalan langsung sama cowok yang kasepnya udah enggak manusiawi lagi. Lebih nikmat mengagumi dalam diam."
"Loh, memangnya kalau udah kenal langsung lo bisa jamin mereka mau sama lo?"
Mengenali suara tengil itu, Nabilla dan Fani kompak menoleh ke belakang, menatap malas cowok yang duduk tepat di belakang mereka.
Chandra Bashra. Cowok tengil itu mendapat julukan mood maker karena karakternya yang ceria meski lebih condong ke menyebalkan menurut Nabilla. Chandra memiliki warna kulit eksotis dan senyuman yang manis. Tidak heran baru dua bulan resmi menjadi mahasiswa, Chandra sudah memiliki cukup banyak pengagum dan juga teman baik dari kalangan kakak tingkat maupun satu angkatan.
Tetapi, bagi Nabilla dan Fani— yang kebetulan hampir setiap hari bertemu cowok itu di kelas yang sama— sosok Chandra sama sekali tidak menarik. Karena pesona Chandra di mata mereka berdua sudah tertutup oleh sikap tengil cowok itu.
"Lo diem, ya. Jangan sampe ini mendarat di mata lo." Nabilla mengangkat tinggi pulpen di tangannya.
Chandra tersenyum jahil. "Sebelum mendarat gue udah teriak duluan biar Pak Untung langsung luncurin bom ke IPK lo."
"Idih, merasa anak teladan lo?" Nabilla mencebikkan bibir. "Paling lo kena bom juga. Bahaya Chan, belum di bom aja IPK lo mungkin udah sekarat."
Fani terkekeh geli melihat ekspresi tidak terima Chandra. "Inget Chan, yang direndahin itu hati bukan IPK."
"Wah, lo ngeremehin gue?" Chandra tertawa sumbang, "Kalian belum tahu aja kecerdasan gue yang sesungguhnya. Belum keluar soalnya otak gue masih ketinggalan di laci—"
"Kelas sampai di sini dulu. Jangan lupa baca buku cetak halaman seratus dua puluh sampai seratus dua puluh lima sebelum kelas saya minggu depan," kata Pak Untung mengakhiri kelasnya.
Nabilla dan Fani langsung fokus memasukkan buku ke dalam tas, mengabaikan Chandra.
"Bye Chan, gue dengan baik hati enggak dengerin haluan lo. Biar nanti-nanti kalau IPK lo beneran serendah hati gue, lo enggak terlalu malu." Nabilla menaik turunkan kedua alis dengan senyuman mengejek.
Chandra sudah siap membalas ucapan Nabilla, namun kalah cepat dengan Fani yang lebih dulu menarik gadis itu keluar kelas.
Lorong kampus tampak padat dipenuhi oleh mahasiswa. Gedung Universitas Pemuda Indonesia memang terbilang cukup luas dengan empat tingkat lantai untuk satu jurusan. Namun terlihat padat lantaran gedung S2 gabung dengan S1.
"Mau makan di mana?" tanya Fani.
Nabilla melirik jam tangannya. "Jam dua belas, burjo rame banget pasti. Males gue kalau banyak cowoknya."
"Iya, jam makan siang soalnya. Gue bukan masalahin ramenya, tapi asep rokoknya. Berasa lagi di atas panggung gue ada asep-asepnya," celetuk Fani membuat Nabilla tertawa.
"Chick Chicken aja mau?" Usul Nabilla.
"Boleh," Fani mengangguk setuju.
Chick Chicken adalah restoran fast food yang letaknya hanya berjarang empat bangunan dari kampus. Selain tempatnya yang strategis, pelayanannya juga cepat. Chick Chicken dapat diandalkan pada saat jam terjepit sebelum pergantian kelas. Hanya sisa waktu setengah jam saja masih sempat menikmati satu ayam goreng tepung dengan nasi dan es teh refill sepuasnya.
"Gue mau pesen ayam geprek cabai tiga, ah~" Nabilla tersenyum senang. Rasanya setiap kali membicarakan makanan moodnya jadi bagus.
Fani mengangguk. "Kalau gitu gue juga ayam geprek, cabainya bekas koretan lo aja."
"Dih, cupu bener."
Fani dan Nabilla kompak saling bertukar pandang dengan tatapan malas. Terlebih saat melihat sosok Chandra kembali muncul di antara mereka. Chandra dengan lancang merentangkan tangannya, merangkul pundak kedua gadis itu.
Nabilla menghela napas sabar. "Lo enggak ada temen main ya, Chan?"
"Punya." Chandra tersenyum.
"Terus ngapain lo nguntit kita?" Fani berusaha menyingkirkan tangan Chandra dari pundaknya.
"Buset siapa yang nguntit?" Chandra tertawa. "Kalian mau ke Chick Chicken, kan? Yaudah gue ikut sekalian. Temen main gue lagi di sana."
Nabilla sudah siap membalas ucapan Chandra, namun rasa lapar membuatnya tidak bertenaga untuk adu debat dengan cowok itu. Alhasil Nabilla dan Fani memilih diam pasrah berjalan menuju restoran dengan Chandra.
"E-yo! Holla my brother!"
Teriakan Chandra membuat Nabilla dan Fani kompak berjengit kaget. Jelas saja mereka terkejut melihat Chandra tiba-tiba berteriak heboh seperti itu padahal mereka baru saja menginjakkan kaki di restoran. Sialnya lagi, restoran sedang dalam keadaan cukup ramai pengunjung. Semua tatapan otomatis langsung tertuju pada mereka.
"Sok kenal banget lo najis!" Nabilla segera menepis tangan Chandra yang masih merangkulnya.
Chandra tidak mempedulikan ucapan Nabilla. Cowok itu dengan santai menghampiri meja nomor sepuluh.
Fani membulatkan matanya kaget melihat Chandra tampak akrab dengan sekumpulan cowok yang sedang duduk di meja itu. Jelas saja kaget, Chandra baru saja sengaja memamerkan teman-temannya. Parahnya lagi, teman-teman Chandra terdiri dari kakak tingkat hitz dan tampan di kampus.
Kelompok itu terdiri dari Jaeffry cowok bertubuh atletis dengan lesung di kedua pipinya yang sangat populer di kalangan mahasiswi. Theodor cowok berwajah anime dan berkharisma. Johnatan blasteran Indonesia-Chicago. Tama kakak tingkat yang sangat friendly. Markus cowok berwajah baby face yang mudah sekali tertawa. Juga Dominic, cowok yang dijuluki pangeran es karena karakternya sangat cuek dan jarang sekali tersenyum.
Tidak sampai di situ saja, masih ada Yudha cowok blasteran Indonesia-Jepang sangat hobi menguncir rambutnya yang sedikit gondong. Juga Juan cowok yang dirumorkan hampir menjadi model brand terkenal karena proposional tubuhnya yang sempurna.
Mereka adalah sekelompok kakak tingkat hitz di kampusnya. Nabilla sendiri tidak tahu apa yang membuat mereka sangat eksis di kampus. Entah karena prestasi atau hanya karena good looking saja.
"Chandra sejak kapan deket sama Kak Jaeffry?" Fani masih tidak percaya melihat Chandra dengan santai mencomot kentang goreng di piring Jaeffry.
"Itu ngapain tuyul-tuyul ada di sana juga?" Nabilla menaikkan kedua alis saat melihat wajah tak asing ikut bergabung di sana.
Tuyul yang Nabilla maksud adalah Najendra, Jeno, Rendi, Leo, dan Jisabian. Mereka adalah teman seangkatannya yang sempat membuat kakak tingkat gempar karena memiliki adik tingkat super tampan. Tapi menyebalkan.
Serius, kelima cowok itu adalah wujud kloningan Chandra. Tidak heran Nabilla dan Fani sama sekali tidak mengidolakan mereka karena sudah cukup trauma dengan satu Chandra di kehidupan mereka.
"Mau pindah aja?" Tanya Fani.
"Makan di kos aja pesan antar," usul Nabilla dijawab anggukan setuju oleh Fani.
Baru saja Nabilla dan Fani hendak melangkah pergi, sebuah suara cempreng menghentikan langkahnya.
"BILLA, FANI, MAU KE MANA?"
Chandra sialan.
"Pada lihat ke sini anjir.." Fani melirik sekilas ke belakang.
Nabilla mengumpat dalam hati. "Mendingan noleh atau pura-pura enggak denger aja?"
"Kalau enggak denger harusnya kita enggak berhenti oncom," Fani meremas gemas lengan Nabilla. "Ada Kak Jaefrry pula, mana gue lagi lusuh gini. Apa pura-pura pingsan aja?"
"Tambah malu-maluin egok!" Nabilla mendengus sinis. "Pasti Chandra sengaja karena denger ucapan kita tadi pas gibahin Kak Jaeffry di kelas."
"WOI, KE SINI BENTAR DONG CEWEK!" Ucap Chandra dengan suara nyaring.
Nabilla menggeram pelan. Dia bertekad akan menghabisi Chandra di kelas besok.
Fani menolehkan kepala dengan senyuman kaku. "Gue sama Billa balik dulu Chan, lupa ada urusan."
Fani segera menarik tangan Nabilla keluar restoran, tapi Nabilla justru menahannya. Fani hanya bisa menahan napas saat Nabilla perlahan menoleh, menatap lurus ke arah Chandra.
Nabilla tidak mempedulikan tatapan orang-orang di sekitarnya. Fokusnya bahkan tidak terpecah meski sekelompok lelaki tampan yang duduk di meja nomor sepuluh memperhatikannya.
Fokus Nabilla hanya satu, Chandra Bashra.
Nabilla menatap datar Chandra. Perlahan bibirnya menyunggingkan senyuman dengan tatapan tak terbaca.
"Sampai ketemu besok, Chan."
⚖️⚖️⚖️
Perdebatan
"Cepet banget larinya, tuh, bocah satu?" Nabilla menajamkan matanya, mencari sosok Chandra di antara mahasiswa lain. "Apa dia lewat tangga yang deket lapangan indoor, ya? Yah, tahu gitu kita lewat sana tadi."
Nabilla sedikit kecewa tidak bisa membalaskan dendamnya tempo lalu, saat Chandra dengan kurangajar mempermalukannya di depan para senior yang ternyata adalah teman bocah tengil itu.
"Trauma pernah lo jambak rambutnya sampai rontok lima helai kali," Fani terkekeh, "Dia sampe rela duduk di kursi paling depan demi bisa kabur dari lo."
"Dih, padahal waktu itu gue enggak pake tenaga jambaknya. Memang akar rambut dia aja yang lemah karena kebanyakan makan micin," Nabilla mengelak.
Nabilla masih belum menyerah mencari sosok Chandra. Mustahil Chandra bisa menghilang secepat itu. Nabilla curiga Chandra diam-diam menggunakan lift demi bisa kabur darinya. Padahal hal itu melanggar peraturan kampus, jika ketahuan Chandra bisa memperoleh denda lima puluh ribu.
"Masih kesel banget, ya?" Fani mendengus geli. "Gue malahan seneng karena bisa lihat Kak Jaeffry kemarin. Apalagi Kak Jaeffry ternyata deket sama Chandra. Bisa, tuh, minta dikenalin."
Nabilla berdecih sinis. "Gue justru jadi curiga sama Kak Jaeffry. Jangan-jangan sifatnya sebelas dua belas sama Chandra. Mirip-mirip Jeno sama Nana, cakep-cakep hadeh bikin gue ngumpat mulu. Walau tetep Chandra yang paling parah, sih."
"Tapi kayaknya enggak, deh. Selama ini kita lihat para senior kalem-kalem aja. Enggak ada yang kayak Chandra," Fani mengerutkan kening. "Agak bingung juga kenapa Chandra bisa masuk circle mereka. Gue enggak bisa bayangin Chandra lagi melucu di depan Kak Theo. Kira-kira Kak Theo bisa ketawa enggak, ya?"
"Pertanyaan lo bego banget, Fan." Nabilla memutar bola matanya malas. "Sampe males jawabnya gue. Masa manusia enggak bisa ketawa? Lo kata dia fosil?"
Fani mengerucutkan bibir. "Enggak segitunya juga. Gue cuma penasaran aja."
"Demen kali lo, mah." Nabilla tersenyum menggoda.
"Dih, mana ada!" Fani menepuk lengan Nabilla. "Gue demennya sama yang manis-manis kayak Kak Jaeffry bukan yang nyeremin. Ngebayangin gue punya pacar Kak Theo aja gue ogah. Batin gue lemah soalnya."
"Ganteng gitu dibilang nyeremin," Nabilla memeluk lengan Fani. "Kalau gue, mah, tetep hayuk aja. Lo suka sama gue? Hayuk Bang! Lo enggak suka? Coba pikir lagi Bang, takutnya nyesel."
"Dasar, baru halu aja udah enggak bisa setia lo!" Fani mendorong pelan kening Nabilla dengan jari telunjuk. "Kemarin Kak Bagas, terus Kak Jaeffry. Lah, kenapa tiba-tiba sekarang jadi Kak Theo?"
Nabilla meringis kecil. "Habis kemarin di Chick Chicken Kak Theo pakai kemeja putih polosan ganteng banget anjir!"
"Yaelah, kelihatannya aja ngambek sama Chandra. Mata lo masih sempet ke mana-mana ternyata!" cibir Fani.
"Itu namanya refleks, Bund." elak Nabilla.
"Eh, hampir lupa!" Fani menepuk keningnya. "Temenin ke TU bentar dong? Gue lupa disuruh bokap cek uang SPP udah masuk atau belum."
Nabilla menepuk keras keningnya. "Ohiya gue jadi inget belum chat bokap bayar SPP!"
"Tenggangnya dua minggu lagi, loh. Kalau telat lo enggak bisa dapet kartu buat ujian," kata Fani.
"Gue chat bokap sekarang, deh." Nabilla meraih ponselnya dari dalam tas bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.
"Udah mau sampe TU, Billa. Chat-nya nanti aja jangan sambil jalan," tegur Fani saat melihat Nabilla berjalan sambil memainkan ponsel.
Nabilla hanya mengangguk mengiyakan, namun kepalanya masih menunduk dengan jari mengetik lincah di atas layar. "Duluan aja, Fan. Nanti gue susul ke TU."
"Oke," Fani mengacungkan ibu jari. "Ketemu di gazebo deket ruang kelas satu kosong delapan aja."
Sekali lagi Nabilla hanya mengangguk tanpa benar-benar peduli pada ucapan Fani. Kejelekan Nabilla memang seperti itu. Susah diajak bicara kalau sedang serius chatting.
"Tenggang waktunya dua minggu lagi, kalau terlambat Billa enggak bisa ikut ujian..." mulut Nabilla bergumam tanpa sadar mengikuti isi pesan yang baru ia ketik.
"Nanti kalau udah dikirim kasih tahu Bi—eh?"
Langkah Nabilla terhenti saat merasakan kakinya seperti menginjak sesuatu. Nabilla refleks menundukkan kepala melihat benda apa yang berada di bawah kakinya.
Nabilla meneguk ludahnya susah payah saat menyadari benda yang ia pijak adalah sepatu sneakers berwarna putih. Jika dilihat dari warnanya yang masih sangat bersih, sepertinya itu sepatu baru. Parahnya, saat Nabilla menyingkirkan kakinya, terlihat jelas bekas tanah kotor dari sepatunya tertinggal di sana.
Anjir, mampus gue! Mana lagi bokek! batin Nabilla.
Melihat dari ukuran dan model sepatu, sepertinya itu milik cowok. Mengetahui fakta itu, Nabilla dengan cepat mengatur strategi andalan. Jika biasanya Nabilla paling malas bersikap manis di depan cowok, kali ini dia memilih menjatuhkan sedikit harga dirinya. Perlahan Nabilla mendongakkan wajah, bibirnya memberikan senyuman paling manis dengan mata memancarkan tatapan memelas.
Namun, Nabilla seketika melupakan strateginya saat melihat siapa pemilik sepatu itu.
Dominic Radyta.
Cowok dingin yang sangat populer di kampusnya itu kini berdiri tepat di hadapannya dengan jarak yang terbilang sangat dekat. Baru kali ini Nabilla berhadapan secara langsung dengan Dominic. Nabilla tidak menyangka seniornya itu ternyata sangat tampan.
Dalam jarak sedekat ini, Nabilla dapat melihat jelas lekuk wajah Dominic yang terpahat nyaris sempurna. Dagu runcing, hidung mancung, mata yang tajam, juga bibir merah alami. Kulit putih Dominic terlihat sangat kontras dengan rambut hitamnya yang disisir ke atas menyisakan beberapa helai di kening. Kancing kemeja bermotif garis-garis yang dibiarkan terbuka dengan kaus hitam sebagai dalamannya membuat ketampanan Dominic di mata Nabilla meningkat pesat.
Ditambah harum parfum maskulin yang tercium dari tubuh Dominic seolah menusuk indra pernapasan Nabilla. Benar-benar memabukkan sampai-sampai Nabilla hanya bisa berdiri diam dengan ekspresi cengo yang pasti akan dia sesali nanti saat sudah berhasil menyadarkan diri dari pesona seorang Dominic.
"Gue enggak punya banyak waktu buat nungguin lo bengong doang," ketus Dominic langsung menyentak Nabilla.
"Hah?"
Nabilla yang masih dalam keadaan setengah sadar melangkahkan kaki mundur, memberi jarak.
Dominic mendengus kasar. "Cepet minta maaf."
Nabilla membelalakkan mata tidak percaya mendengar nada ketus keluar dari mulut cowok yang baru saja berhasil membuatnya terpesona. Meski hanya beberapa detik karena sekarang Nabilla dibuat heran apakah cowok yang berdiri di hadapannya saat ini sama dengan yang tadi sempat membuatnya kagum.
Wajah Dominic yang awalnya terlihat sangat tampan kini tampak menyebalkan di mata Nabilla.
Sejujurnya Nabilla bukan tipe orang yang gengsi untuk meminta maaf jika memang melakukan kesalahan. Tetapi, Nabilla tidak suka dengan cara Dominic yang seolah memaksanya untuk minta maaf. Apalagi nada suara cowok itu seperti sedang memerintahnya. Nabilla yang semula merasa bersalah, malah jadi menyesal kenapa tidak sekalian mengotori sepatu Dominic yang sebelah kiri.
Sebelah alis Dominic terangkat naik saat melihat Nabilla memberanikan diri mendongak dengan ekspresi menantang.
"Gue minta maaf?" Nabilla tersenyum sinis. "Kenapa bukan kakak aja yang minta maaf?"
Kening Dominic berkerut. "Kenapa jadi gue? Udah jelas lo yang nginjek sepatu gue."
Nabilla menghela napas berat. "Manusia lebih sering fokus sama kesalahan orang lain sampai lupa kalau dirinya juga belum sempurna, ya?"
Melihat ekspresi bingung Dominic, Nabilla diam-diam tersenyum puas. Nabilla mengarahkan tangannya ke samping. "Lihat lorong kampus kita masih luas banget jaraknya dari posisi gue berdiri. Kalau kakak mau, bisa aja melipir ke samping, kan?"
Dominic mengerjapkan mata tidak percaya. "Jadi lo nuduh gue yang salah? Padahal jelas lo yang jalan sambil main handphone dan berakhir ngotorin sepatu gue."
"Loh? Kalau kakak lewat lorong yang masih kosong ini," Nabilla kembali menunjuk jalan lebar di sampingnya. "Mau gue lagi main handphone kek, lagi split atau kayang sambil roll depan kek. Sepatu kakak juga enggak bakalan mungkin keinjak kali!"
Sepertinya Dominic sedikit terkejut saat Nabilla menaikkan nada suaranya. Karena sudah terlanjur kesal, Nabilla tidak lagi peduli dengan etika baik junior kepada seniornya. Mungkin selama ini Dominic belum pernah dibentak oleh juniornya. Cowok itu terlihat cukup terpukul.
"Intinya kita sama-sama salah. Biar adil, kalau kakak mau gue minta maaf, berarti kakak juga harus minta maaf sama gue," lanjut Nabilla.
"Lo sinting, ya?" Dominic menaikkan kedua alisnya. "Buat apa gue minta maaf kalau lo yang salah?"
Nabilla tertawa. "Gue juga bisa ngomong gitu. Gue enggak merasa salah, jadi buat apa gue minta maaf?"
Dominic menepuk telinganya, berlagak tidak dengar. "Excuse me?"
Bukan Nabilla namanya jika menyerah di tengah pertengkaran. Nabila menatap tenang Dominic, seolah menunggu jawabannya.
"Minta maaf atau enggak?" Nabila mengedikkan bahu. "Jangan kelamaan mikirnya, Kak. Gue sibuk soalnya."
Baru saja Dominic membuka mulutnya hendak membalas, sebuah panggilan menghentikan tindakannya.
"Do!" Dari kejauhan terlihat sosok Juan melambaikan tangan ke arah mereka. "Makan enggak?"
Tatapan Juan beralih pada Nabilla. Terlihat jelas ada kebingungan terpancar dari bola matanya yang menyorot polos. "Eh, sorry. Gue ganggu, ya?"
Dominic mendengus kasar. "Keras kepala."
Dominic masih sempat memberinya tatapan mengancam sebelum berakhir pergi meninggalkannya.
Nabilla masih berdiri tegak di tempatnya, mempertahankan ekspresi menantang. Setelah memastikan sosok Dominic tidak lagi terlihat, barulah Nabilla dapat bernapas lega.
Dengan sisa tenaga, Nabilla menyandarkan punggungnya di dinding. Tiba-tiba kedua kakinya terasa lemas karena aura Dominic cukup mengintimidasinya. Sekarang Nabilla tahu alasan kenapa Dominic dijuluki pangeran es.
"Dia, mah, lebih mirip Yeti dari pada pangeran." gerutu Nabilla.
Masih dengan suasana hati yang buruk, Nabilla berjalan ke arah gazebo, mencari tempat duduk selagi menunggu Fani kembali. Namun, tak sengaja tatapannya bertemu mata dengan Chandra yang juga sedang ingin ke gazebo dari arah seberang. Chandra langsung menegakkan tubuhnya, memasang kuda-kuda untuk berlari secepat kilat.
Karena sudah kehabisan tenaga, Nabilla memilih bersikap tak acuh. Saat ini yang gadis itu butuhkan hanya duduk, bukan Chandra. Walau sebenarnya menyiksa Chandra dalam suasana hati buruk seperti ini terdengar cukup menyenangkan.
Chandra yang merasa tidak dipedulikan jadi terdiam di tempatnya. Bingung melihat Nabilla hanya duduk di gazebo, sama sekali tidak berniat mengejarnya. Bagi Chandra hal ini adalah sebuah fenomena yang wajib diabadikan.
Chandra segera mengeluarkan ponselnya, mengambil selfie wajah dirinya dengan sosok Nabilla yang sedang duduk jauh di belakangnya. Dengan iseng Chandra menambah tulisan 'Sudah Jinak' di foto itu sebelum mengunggahnya ke sosial media.
Setelah puas mengabadikan momen itu, Chandra dengan berani berjalan mendekati Nabilla. Meski sangat yakin Nabilla tidak akan menyerangnya saat ini, Chandra tetap saja waspada. Takut-takut ternyata ini hanya jebakan saja.
"Bodoh amat, ya, Chan." Nabilla memutar bola matanya malas melihat Chandra menirukan jurus pencak silat.
Chandra tersenyum lebar. "Oh, bukan jebakan ternyata."
Tanpa ragu Chandra duduk di gazebo yang sama dengan Nabilla. "Kenapa lemes gitu, Bun?"
Nabilla menyandarkan wajahnya di lipatan tangan. "Capek kenapa kehidupan perkuliahan gue dikelilingi orang-orang aneh kayak lo."
"Gue aneh juga berarti?" Fani yang baru saja datang langsung mengambil posisi di samping Nabilla.
"Hmm.." gumam Nabilla tanpa menoleh.
Kening Fani berkerut bingung melihat temannya lesu. Tanpa ragu Fani langsung menatap tajam Chandra, menuduhnya.
Chandra menggeleng panik. "Sebelum gue dateng dia udah gini!"
Meski masih ragu, Fani tidak lagi membahas hal itu. Firasat Fani, sahabatnya itu hanya sedang tidak ingin diajak bicara. Untung saja ada Chandra di sini, setidaknya Fani tidak harus mati kutu sendirian.
"Memang bener ya kalau Organisasi BEM cuma nerima orang dalem, Chan?" tanya Fani.
"Hah? Gue malah baru denger kabar itu," Chandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue tahunya mereka memang cuma nerima mahasiswa yang udah pernah punya pengalaman jadi panitia organisasi minimal sekali."
"Ih, iya gitu?" Fani berdecak kesal, "Pantesan gue sama Nabilla enggak keterima kemarin."
Chandra terkejut. "Memangnya kalian belum pernah jadi panitia sekali pun?"
Fani menggeleng. "Kita berdua terlalu fokus pingin masuk BEM jadinya enggak coba daftar organisasi lain. Agak bego juga, sih, kalau diinget-inget lagi."
"Gue coba daftar yang lain, ya.." sahut Nabilla lemas.
"Iya PERMABA." Fani menunjuk Nabilla. "Pinter banget dia, Chan. Bisa-bisanya pede banget daftar PERMABA. Udah tahu enggak ada keturunan batak, masih aja memaksakan diri."
Chandra tertawa. "Enggak perlu wawancara juga udah auto ketolak. Buang-buang tenaga Billa, mah."
"Namanya juga usaha," jawab Nabilla.
"Kesel banget gue enggak bisa masuk BEM. Mana udah jalan setengah bulan kuliah tapi belum punya sertifikat jadi panitia," Fani mengerucutkan bibir kecil. "Besok awal semester mereka bakalan buka pendaftaran kedua. Alamat enggak diterima lagi."
Nabilla menyandarkan pungunggnya di sandaran kursi. "Yaudah nanti kita cari organisasi yang lagi buka pendaftaran aja, Fan. Masih ada waktu tiga bulan sebelum masuk ke semester dua."
"Itu belum kepotong UTS sama UAS, loh." ucap Fani membuat Nabilla mengumpat dalam hati.
"Lo jangan buat gue kepikiran ujian, plis. Setidaknya gue masih punya dua minggu lagi buat bernapas sebelum berperang," kata Nabilla membuat Fani mendengus geli.
Chandra yang tadinya sibuk membalas pesan masuk di ponselnya jadi menoleh. "Kalian lagi cari organisasi? Gue ada satu, nih. Bentar lagi buka pendaftaran anggota."
"Organisasi apa?" Fani menatap bingung Chandra. "Kok gue enggak ada denger. Biasanya di-share sama grup angkatan."
"Belum di-share memang. Kalian orang luar pertama yang tahu!" Chandra tersenyum bangga.
"Dih," Nabilla berdecih. "Pasti ada lo di organisasinya, ya? Jadi enggak yakin gue."
"Enak aja! Nih, gue jelasin visi dan misi organisasinya. Lo berdua pasti enggak bakalan nyesel satu organisasi sama gue!" balas Chandra tidak terima.
Dalam versi singkat, Chandra mulai menjelaskan visi dan misi organisasinya.
"Visi dan misinya bagus, sih." Fani mengakui. "Tapi, ini organisasi baru banget, ya?"
"Enggak dapet poin SPAMA, dong?" Protes Nabilla.
"Heh, jangan dilihat poin SPAMA-nya! Lihat visi dan misinya," Chandra membela diri. "Lagian walau enggak dapet poin SPAMA, kalian tetep bakalan dapet sertifikat. Dan sertifikat itu bisa dipakai buat daftar Organsiasi BEM. Bukti kalian udah punya pengalaman berorganisasi."
"Daripada pusing cari-cari organisasi lagi mendingan daftar yang udah pasti aja. Gue rasa peluang kalian diterima di organisasi ini cukup besar,"Chandra menaik turunkan alisnya. "Dapet sertifikat lagi. Semester depan bisa daftar BEM."
Chandra tersenyum bangga karena sepertinya kata-katanya berhasil mempengaruhi Fani dan Nabilla. Kedua cewek itu terlihat tertarik.
"Memangnya ini bukan pendaftaran anggota tetap, Chan?" tanya Nabilla.
"Enggak kok. Cuma anggota sementara untuk project ini aja. Setelah project selesai kalian bisa tentuin mau jadi anggota tetap atau enggak," jelas Chandra.
Nabilla dan Fani kembali bertukar pandang.
"Menarik," jujur Fani.
Nabilla mengangguk setuju.
Chandra tersenyum puas. "Besok udah mulai buka stan pendaftarannya di lobi. Kalau kalian tertarik, nanti gue ambilin formulir pendaftarannya biar gue anterin juga ke kos kalian, deh. Biar besok bisa langsung kasih formulirnya."
"Loh, cepet banget?" Nabilla menaikkan sebelah alis. "Memang sesi wawancaranya kapan?"
Chandra menatap Nabilla dan Fani bergantian. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Minggu depan."
⚖️⚖️⚖️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
