
"Aku tahu aku sedang dalam masalah ketika semua mimpiku entah tentang kematian atau menciummu."
Aura Angela Febiola, seorang selebgram dengan jumlah followers jutaan. Orang-orang di sekitarnya menilai kehidupan Angel sangat sempurna. Angel terlahir cantik, tubuh bak model majalah, uang endorse mengalir, dan memiliki banyak fans.
Karena suatu kejadian, Angel terpaksa terlibat lagi dengan mantannya Hans Archangel Nestorio. Playboy yang memiliki jumlah mantan segudang, sama sepertinya. Dulu mereka...
One; He’s Back
"Beberapa masalah tercipta dari
perasaan bahagia. Menjadi candu yang
berujung penyesalan."
***
—at Sugar Rush Night Club, Senopati, Jakarta Selatan.
DUNIA MALAM.
Konotasi negatif yang sering dikaitkan dengan; diskotik, alkohol, dan prostitusi. Waktu orang-orang nokturnal berkumpul di suatu tempat sekadar untuk melepas penat maupun mencari kenikmatan duniawi. Bentuk pelampiasan bagi mereka yang ingin melarikan diri dari beban hidup dalam sekejap mata.
Sugar Rush berani menjanjikan kebahagiaan semu itu. Berbeda dengan klub malam pada umumnya, Sugar Rush hanya menerima orang-orang terpilih. Entah dari kalangan atas maupun mereka yang memiliki pamor dan cukup terkenal di dunia maya. Selain dari dua golongan itu, pintu Sugar Rush tertutup rapat.
Akan tetapi syarat tersebut tidak berlaku untuknya, Hans Archangel Nestorio. Laki-laki blasteran Indonesia-Amerika yang tahun ini genap berusia dua puluh tujuh tahun itu adalah sebuah pengecualian bagi Sugar Rush.
Hans bukan berasal dari kalangan atas, bukan juga seseorang yang aktif di dunia maya. Namun, tidak ada satupun pengunjung Sugar Rush yang tidak mengenalnya. Bahkan setelah dua tahun hiatus, namanya masih sering disinggung. Tidak sedikit pula yang mengaku datang setiap minggu hanya karena berharap bisa melihat Hans.
Banyak orang menjuluki Hans sebagai Dewa Merkurius. Selain wajahnya yang tampan, laki-laki itu diakui sebagai penakhluk hati para kaum hawa. Tidak ada seorangpun gadis yang mampu menolak pesonanya. Kehadiran Hans selalu berhasil membuat setiap sudut ruangan Sugar Rush penuh. Sebuah keuntungan yang tidak akan bisa mereka peroleh tanpa bantuannya. Karena alasan itulah pintu Sugar Rush selalu terbuka lebar untuk Hans.
Dan hari ini sang legenda telah kembali.
Ujung bibir Hans sedikit tertarik ke atas membentuk seulas senyuman, menyapa sekelompok gadis yang kebetulan sedang berkumpul di dekat pintu masuk. Malam ini, Hans hanya mengenakan kemeja hitam—yang melekat pas ditubuhnya—dengan dua kancing teratas terbuka dan lengan digulung seadanya. Penampilan formal yang anehnya sama sekali tidak mengurangi pesonanya.
Hans menyigar rambut pirangnya—yang dipotong cepak—dengan jari, sembari berlagak tidak memedulikan tatapan para pengunjung yang jelas-jelas menjadikannya pusat perhatian. Dengan penuh percaya diri, Hans melangkahkan kakinya mendekati meja nomor sepuluh.
"Hei," sapa Hans. Mati-matian menahan tawa melihat ekspresi terkejut teman-teman lamanya; Anthony, Alex, Nathalie, dan Yoan.
Anthony mengumpat. Laki-laki itu langsung merangkul Nathalie, kekasihnya. "Babe, kamu yang undang dia ke sini?"
"Kenal aja nggak," balas Nathalie tak acuh.
Seperti halnya Anthony dan Nathalie, Alex dan Yoan pun tidak menyambut ramah Hans. Alih-alih menyapa, keduanya malah berlagak sibuk menghitung jumlah es batu yang tersisa di dalam bucket.
Bukannya tersinggung melihat reaksi teman-temannya, Hans justru tertawa lepas. Wajar sekali jika temannya kesal. Sudah dua tahun Hans menghilang tanpa kabar. Hans bahkan mengganti nomor ponselnya dan tidak menghubungi mereka.
Dua tahun kemarin Hans memang memutuskan fokus dengan karirnya. Namun sekarang, setelah berhasil menjabat sebagai direktur di perusahaan tekstil milik kenalan kakak sepupunya, Hans dapat sedikit bernapas lega. Ia ingin menghibur dirinya dengan cara kembali ke masa-masa itu, saat kebebasan masih berada dalam genggaman tangannya.
Tanpa meminta izin, Hans duduk di samping Yoan. "Tumben kalian cuma berempat?"
"Eh, ngapain lo deket-deket cewek gue?" protes Alex.
"Cewek lo?" Hans menaikkan kedua alisnya. "Sejak kapan? Terakhir bukannya masih backburner?"
"Udah dari lama kali," gerutu Yoan.
"Ngapain lo di sini?" Anthony mendengus sinis. "Pergi nggak pamit, pindah apartemen seenaknya. Belum lagi chat nggak pernah bales. Eh, sekarang main balik aja."
"Kirain udah wafat," Alex berdecak. "Bangsat. Baru kali ini gue di-ghosting cowok."
"Sorry," Hans terkekeh geli. "Gue sibuk mengadu nasib. Banting tulang untuk masa depan."
"Terus gimana? Berhasil nggak?" tanya Nathalie.
Hans mengeluarkan dompetnya, mengambil empat lembar kartu nama seraya memberikannya pada Anthony, Alex, Nathalie, dan Yoan.
Yoan mengamati kartu nama Hans. "Syukurlah. Setidaknya sekarang lo bukan playboy pengangguran lagi," komentarnya, yang mengundang tawa Nathalie, Anthony dan Alex.
"Yoi," ujar Hans membenarkan, sama sekali tidak tersinggung dengan sindiran Yoan. "By the way, selama gue hiatus ada hot news apa?"
"Nggak tau. Gue udah nggak hobi ngegosip," jawab Anthony.
"Kalau lo tanya soal hot news, gue nggak tahu, " Alex menjentikkan jari. "Tapi kalau lo tanya soal hot yang lain, nah, lo tanya ke orang yang tepat."
Hans tersenyum sumringah. "Ada?"
"Coba ke Bar," ujar Nathalie mendahului Alex.
"Are you serious, Babe?" Anthony menatap tak percaya.
"Why not? Dia juga lagi jomblo, kan?" Nathalie menanggapi. "Siapa tahu kalau punya pacar dia nggak sensian lagi."
"Problem solve," Alex mengangguk setuju. "Capek gue lihat dia moody tiap hari. Mana gue sama Yoan pula sasarannya."
Hans mengerutkan kening bingung. Tidak paham oknum yang sedang teman-temannya bicarakan.
"Tapi dia agak hard to get, sih..." pancing Yoan.
"Dua tahun hiatus nggak bikin taring lo tumpul, kan?" Nathalie tersenyum menantang. "Kalau gagal malu, nih."
Ucapan Yoan dan Nathalie membangkitkan semangat Hans. Sudah lama ia tidak bermain-main seperti ini. Sesuatu dalam dadanya bergejolak, membara. Hans sangat menyukai tantangan.
"Anak baru?" tanya Hans.
Bibir Alex sudah terbuka, hendak menjawab Hans. Tetapi, Yoan lebih cepat menyumpal bibir laki-laki itu dengan beberapa potong kentang goreng.
"Baru," jawab Yoan.
Nathalie menyandarkan kepalanya di pundak Anthony. "Mulai dari nol. Bisa nggak?"
Hans menyeringai. "Watch me."
Setelah mengucapkan itu, Hans segera berlalu pergi menghampiri Lounge Bar. Mengabaikan celetukkan mengejek dari keempat temannya.
Beberapa gadis terang-terangan mendekatinya, berusaha mencuri perhatian. Hans hanya menanggapi mereka dengan senyuman tipis, tidak benar-benar berniat terlibat pembicaraan. Ada hal lebih penting yang menunggunya.
Manik mata Hans menelusuri area Bar dengan teliti. Menurut Nathalie hanya sekali melihat saja ia dapat langsung menemukan gadis yang dimaksud. Itu berarti gadis ini sangat menarik, mustahil melihatnya duduk sendirian. Pasti banyak kuman di sekitarnya.
Sebenarnya banyak gadis cantik di Bar, namun hanya ada satu yang mampu mencuri perhatian Hans. Membuatnya tidak mampu mengalihkan pandangan sedikit pun.
Gadis itu duduk sendirian di kursi Bar paling ujung. Gaun satin berwarna merah maroon tanpa lengan melekat pas di tubuhnya, menonjolkan lekukan sempurna. Warna merah maroon benar-benar cocok untuk kulitnya yang seputih susu. Rambutnya dipotong bob sedagu, memperlihatkan keindahan jenjang lehernya.
Selama ini Hans selalu merasa perempuan lebih attractive jika berambut panjang. Tetapi, sejak melihat gadis itu sepertinya standarnya berubah.
"Hard to get, ya?" Hans memasukkan tangannya ke dalam kantung celana. Fokusnya masih belum berpaling.
Hans sudah memikirkan strategi untuk memulai aksinya. Biasanya perempuan cantik yang duduk sendirian di bar pasti memiliki standar tinggi. Tidak mudah didekati, apalagi dirayu. Berhasil mengajaknya bicara tanpa diusir saja sudah point plus.
Tidak ingin bertindak ceroboh dan mengacaukan suasana, Hans memilih bergerak pelan namun pasti. Perlahan Hans menarik kursi, duduk di samping gadis itu. Ia masih bungkam di tempatnya. Enggan menegur. Menurutnya berlagak tidak peduli adalah kunci paling jitu untuk menarik perhatian kaum hawa.
"Hello, good night, Sir. What can I get for you?" tanya bartender.
"I want to order same as her," jawab Hans. Tatapannya sesekali melirik gadis di sampingnya. Ingin melihat reaksi gadis itu.
Bartender mengerutkan kening, ragu. "Mineral Water?"
Hans terkejut. Tidak menyangka dengan jawaban itu. Jarang sekali ia menemukan seseorang duduk di Bar hanya untuk meminum segelas air. Hans tidak menyadarinya karena yang ia lihat cairan dalam gelas gadis itu berwarna orange.
Belum sempat Hans memikirkan rencana lain untuk memperbaiki suasana canggung—yang ia ciptakan sendiri—perhatiannya teralihkan saat gadis di sampingnya memberikan satu sachet bubuk minuman pada bartender. Hans nyaris tersedak ludahnya sendiri usai membaca tulisan bercetak tebal di sachet itu.
JAMU HERBAL PEREDA NYERI
DATANG BULAN.
"Agak pahit tapi ampuh khasiatnya."
Pundak Hans menegang, suara gadis itu terdengar familiar di telinganya. Keheranannya terjawab saat melihat gadis itu perlahan memutar kursi, menghadap ke arahnya.
"Angel?" Hans semakin kehilangan kata saat mengenali siapa sosok gadis yang sejak tadi berusaha ia rayu.
Angel tersenyum manis. "Long time no see?"
Orang lain mungkin akan langsung luluh melihat senyuman Angel. Tapi sebagai teman yang sudah cukup lama mengenalnya, Hans justru merasa gadis itu sedang mengejeknya sekarang.
Aura Angela Febiola. Teman baik sekaligus mantan kekasihnya selama dua minggu.
Terakhir kali bertemu dengannya kurang lebih sekitar satu setengah tahun yang lalu. Tepatnya saat mereka terlibat masalah dengan seorang yutuber. Setelah masalah terselesaikan, Hans tidak lagi berhubungan dengan Angel. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sekian lama tidak bertemu, Hans benar-benar dibuat speechless melihat perubahan penampilan Angel. Bahkan ia hampir gagal mengenali gadis itu. Terutama karena rambut bob pendeknya. Padahal dulu Angel selalu dikenal dengan rambut panjang hitamnya yang idah. Image yang melekat padanya selama bertahun-tahun akhirnya dipatahkan juga.
"Lo kelihatan," Hans memerhatikan Angel dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Beda."
"Gendutan, ya? Berat badan gue memang lagi naik lima kilogram. Ini baru mau mulai program diet."
"Maksud gue rambut lo yang beda," Hans menaikkan sebelah alis. "Ngapain diet? You look good, kok."
"Really?" Angel menopang dagu, matanya berkilat jahil. "Selera lo sekarang yang montok?"
"Yang sehat," koreksi Hans. Tatapnya beralih pada bartender. "One bloody mary please?"
"Loh, tadi katanya mau pesen minuman yang sama kayak gue?" Angel menggeser sachet minuman yang sempat ia berikan pada bartender. "Nih, gue kasih gratis."
"Nggak jadi, makasih." Hans menatap ngeri jamu pemberian Angel. "Langsung jatuh image gue kalau minum itu."
Angel mendengus. "Dasar jaim."
"Harus dong," jawab Hans tak acuh. "Tadi gue ketemu Alex, Anthony, Nathalie, sama Yoan. Lo udah nggak bareng mereka lagi?"
"Males, pada asik pacaran. Gue dicuekin mulu," mimik wajah Angel berubah kesal. "Dulu, sih, masih ada Yoan. Eh, sekarang dia bucin juga sama Alex."
"Halah tinggal ajak aja cowok lo nongkrong juga bareng mereka—eh?" Hans melirik sekitarnya. "Gue baru sadar nggak ada kuman nempelin lo."
"Ada," Angel mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan wajah Hans. "Nih, kuman."
"Selain gue maksudnya." Hans meraih tangan Angel—yang semula menunjuknya—membawanya ke atas pangkuan.
Sebelah alis Angel terangkat naik, menatap tenang tangan Hans yang sedang membelai lembut punggung tangannya. "Aktif, ya?"
Hans tersenyum geli. Di antara semua gadis yang pernah ia rayu, tanggapan Angel paling di luar ekspektasinya. Kebanyakan gadis akan langsung luluh jika ia perlakukan seperti ini. Mereka akan percaya pada apa pun yang Hans ucapkan. Sayangnya, pesona Hans tidak mampu meluluhkan Angel. Jangankan luluh, tersipu pun tidak.
Angel menggeser ponselnya—di atas meja— dengan tangannya yang terbebas. Membaca satu notifikasi pesan yang baru saja masuk.
Selagi fokus Angel teralihkan, Hans diam-diam memerhatikan gadis itu. Lama tidak bertemu, Angel benar-benar berubah. Hans sampai hampir tidak bisa mengenalinya. Angel terlihat jauh lebih cantik, elegant, dan dewasa.Sampai-sampai ia tidak sanggup mengalihkan pandangan dari gadis itu.
Tidak dapat dipungkiri Angel adalah salah satu perempuan paling cantik yang pernah Hans temui sepanjang hidupnya. Banyak perempuan cantik, namun tidak ada yang semenarik Angel.
Selain Hans, Angel juga mendapat julukan unik karena pesonanya. Afrodit, dewi kecantikan yang mampu menciptakan perpecahan di antara para dewa.
Dulu kabar Hans dan Angel pacaran pernah sangat menghebohkan. Bagaimana tidak? Dua orang pembuat onar memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari sekadar teman. Saat Dewa Merkurius bersatu dengan Dewi Afrodit merupakan kejadian yang langka dan masih dikenang hingga detik ini.
Banyak sekali sepasang mata yang sejak tadi memerhatikan Hans dan Angel. Bahkan dari kejauhan Hans dapat melihat Anthony, Nathalie, Yoan, dan Alex terang-terangan mengarahkan ponselnya. Sengaja merekam momen ini.
Kurangajar.
Hans tahu teman-temannya itu pasti sengaja menjebaknya hingga bertemu dengan Angel. Tetapi bukan Hans namanya jika berhasil ditipu begitu saja. Alih-alih melawan, Hans justru ingin melanjutkan permainannya. Mengabulkan harapan keempat temannya itu.
"Angel," panggil Hans.
"Hmm?" Gumam Angel tanpa menoleh.
"Lo lagi free nggak?"
Angel melirik sekilas Hans. "Kenapa?"
"Jalan, yuk?" Hans tersenyum lebar, memamerkan lesung pipinya. "Kalau mau, besok jam lima sore gue jemput. Entar kita nonton, dinner, terus... balikan?"
"Sorry, nggak dulu. Gue terlanjur jadian sama Thomas," Angel menyodorkan ponselnya pada Hans. Menunjukkan percakapannya dengan laki-laki yang resmi menjadi kekasihnya beberapa detik yang lalu. "Sementara cari yang lain, deh. Kalau mau, yah, tunggu sampai gue free."
Hans mendengus. "Kapan?"
"Belum tahu. Tapi kayaknya nggak lama."
"Iya," Hans berdecak tak sabar. "Nggak lama itu kira-kira berapa hari?"
"Ehm..." Angel mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jari-jarinya yang lentik. "Paling minggu depan?"
🍸🍸🍸
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
