Chapter 14—Berhenti Menanti

0
0
Deskripsi

Melihat Johnatan masih diam, Jaeffry mengulurkan tangan meninju dada bidang cowok itu. "Congraduation."

"Hah?" Johnatan menyingkirkan lengannya, balas menatap Jaeffry. 

"Selamat udah lulus dari Jurusan Mencintai Tanpa Dicintai," Jaeffry menyeringai. "IPK lo sempurna. Ini karena kerja keras lo selama ini. Semoga setelah lulus lo makin pinter, ya. Biar pengalaman lo kuliah berguna."

              Berhenti Menanti

 

Johnatan menyesap pelan vodka dalam gelas kaca di tangannya. Cairan bening dengan kadar alkohol tinggi itu membuat kepalanya terasa berat. 

Sudah setengah botol lebih dia habiskan seorang diri. Tindakannya itu membuat Juan dan Yudha memberinya tatapan khawatir sekaligus prihatin. 

Mereka bertiga memang sering mengadakan perjamuan. Menikmati sebotol anggur merah sambil bercerita tentang banyak hal mulai dari kegiatan kampus, masalah hidup, cita-cita, dan cinta. Namun, segelas anggur merah tidak mempan untuk membuat Johnatan tetap berpikir jernih malam ini. 

Dia membutuhkan sesuatu yang lebih keras. Sesuatu yang dapat membuatnya sedikit mengalihkan beban di hatinya. Juga rasa sakit yang sejak tadi terasa menekan dadanya. 

Johnatan menyandarkan kepalanya di pinggir ranjang Juan. Tatapannya menerawang mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Saat Veronica menyebut nama cowok lain di hadapannya. Veronica mengaku akan mencoba membuka hati dengan seorang cowok yang bahkan belum pernah bertemu secara langsung dengannya. 

Bukan salah Veronica. Johnatan tidak pernah sedikit pun menyalahkan Veronica yang lebih melirik cowok lain daripada dirinya. Johnatan hanya benci pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia jadi orang sebodoh ini? 

Bodoh sekali bermimpi suatu saat dia akan mendapatkan panggung untuk tampil. Bisa-bisanya dia berharap naik pangkat dari tokoh sampingan menjadi tokoh pendamping. 

Lucu sekali harapannya. Sampai-sampai Johnatan ingin menertawakan dirinya sendiri. 

Kedua mata Johnatan terpejam erat mengabaikan suara ketukkan pintu kamar Juan. 

Juan segera bangkit berdiri untuk membuka pintu. Sosok Jaeffry langsung muncul dari sana. 

Jaeffry dan Juan memang tinggal di satu atap yang sama. Bedanya kamar Jaeffry ada di lantai atas sedangkan Juan di lantai bawah. 

Kening Jaeffry berkerut dalam melihat kondisi Johnatan. Perlahan dia berbisik, "What happen?"

"Cedera serius," sambung Yudha. 

Hati-hati Jaeffry melangkahkan kaki mendekati Johnatan. Duduk lesehan di sampingnya. Jaeffry mengernyitkan hidung saat menghirup bau alkohol yang menguar kuat dari mulut Johnatan. 

"Kok bisa?" Tanya Jaeffry pada Yudha dan Juan. 

Juan memberikan ponselnya pada Jaeffry. 

"Alexander Wirawan?" Jaeffry membaca nama yang tertera di layar ponsel Juan. Membuka satu-persatu foto di sosial media Alex. "Siapa, nih?"

"Anak kampus dua Jurusan Akutansi seangkatan sama kita," jelas Juan. 

Selama beberapa saat Jaeffry terdiam. Mencerna penjelasan Juan. Jaeffry sempat melihat kembali salah satu foto di ponsel Juan sebelum melirik Johnatan yang masih memejamkan mata di sampingnya. Menidurkan kepalanya di ranjang. 

Jaeffry menghela napas berat. "Sejak kapan?"

"Kemarin malem," Perlahan Johnatan membuka matanya, menatap langit-langit kamar. 

"Masih baru banget," Jaeffry menaikkan sebelah alis. "Kenalnya gimana?"

"Doi reply story Veve," Yudha menyahuti. 

"Belum pernah ketemu langsung berarti?" Jaeffry mengangguk pelan. "Terus masalahnya di mana? Gue rasa Veve bukan tipe yang gampang nerima orang baru buat masuk ke hidup dia."

"Tadinya gue juga mikir gitu," Juan menjentikkan jarinya. "Tapi masalahnya ternyata lebih berat."

Johnatan memperbaiki posisi duduknya. Matanya yang sayu menatap lurus Jaeffry. Bibirnya melengkungkan senyuman. "Heh, Sat. Lo kalau mau mesra-mesraan sama Hera jangan di depan umum. Jadi gini, kan?"

"Gue mesra sama Hera?" Jaeffry mengerjap cepat. "Kapan?"

"Sering bangsat!" Umpat Yudha dan Juan serentak. 

"Anjing, polos banget pula ekspresi lo," Johnatan tertawa. "Kasihan anak orang patah hati lihat lo sama Hera."

Jaeffry mengulum bibirnya. "Memang masih?"

Johnatan memainkan gelas di tangannya. "Jelas masih. Lo itu ibarat first love-nya Veve. Sebelum kenal lo dia enggak pernah segininya suka sama orang."

"Dan Veve itu ibarat first love-nya lo," Yudha berdecak pelan. "Oalah, ribet bener takdir lo berdua."

"Pernah ada yang bilang first love itu nyakitin. Bakalan susah dilupain karena kita belum terbiasa buat merelakan seseorang. Belum tahu cara ngobatinnya. Itu yang bikin kenangan cinta pertama lebih membekas daripada kisah-kisah selanjutnya," ujar Juan. 

"Fuck!" Johnatan mengacungkan jari tengahnya pada Juan. "Lo kalau ngomong tentang ginian memang nusuk banget, Ju. Paham bener apa yang lagi gue rasain." 

Johnatan menghabiskan vodka dalam gelasnya dalam sekali tegukkan. Keningnya berkerut saat merasakan cairan bening itu seperti membakar tenggorokannya. 

"Udah cukup," Yudha mengabil botol vodka, menjauhkannya dari Johnatan. "Lo bakalan lebih sakit kalau habisin sebotol. Iya, malem ini lo bisa lupa. Tapi besok pagi gimana? Hidup lo tetep berlanjut, Njing!"

"Ck.." Johnatan menjulurkan tangannya, berusaha menggapai botol vodka di tangan Yudha. Sedikit kesulitan karena pandangannya mulai kabur. "Segelas lagi."

Juan refleks menarik tangan Johnatan yang hampir tersungkur di lantai. Namun, Johnatan menepisnya. 

"Gue belum mabuk," Johnatan memperbaiki posisi duduknya. "Makanya balikin botolnya."

"Bacot!" Yudha merebut gelas di tangan Johnatan. 

"Alkohol mungkin bisa buat lo bahagia. Tapi alkohol enggak bisa merubah kenyataan," Jaeffry menatap prihatin Johnatan. "Coba ambil sisi positifnya kayak yang lo pernah bilang dulu. Sekarang lo jadi punya alasan untuk berhenti."

"Nah," Juan mengangguk setuju. "Mungkin selama ini lo terlalu keras kepala buat bertahan. Melawan takdir yang bukan milik lo. Ambil pesan baiknya. You learn how to love. Lo udah belajar cara mencintai seseorang dengan apa adanya. Mungkin tanpa kehadiran Veronica, lo enggak bisa ngerasain sedramatis apa cinta di dunia ini." 

"Kalau enggak ambyar itu bukan cinta," sambung Yudha, "memang harus sakit. Bahkan orang yang hubungannya sampai ke tahap pernikahan pun pasti pernah ngerasain sakit juga. Segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta itu enggak ada yang semulus pantat bayi."

Johnatan berusaha meresapi ucapan teman-temannya. Benar juga, selama ini Johnatan tidak pernah menyangka ternyata perasaannya pada Veronica sebesar ini. Sampai-sampai merelakan cewek itu akan membuatnya sehancur ini. Johnatan sangat kacau, berantakan, benar-benar seorang  pecundang. Sia-sia dia melatih ototnya jika hatinya ternyata masih selemah hello kitty.

"Gue masih lebih seneng kalau Veve dapet lo. Selain karena gue udah kenal lo orangnya gimana, gue juga bakalan lebih tenang ngelepasinnya," Johnatan menatap melas Jaeffry. "Beneran enggak bisa, ya?"

Jaeffry tersenyum tipis. "Kalau segampang itu juga gue udah lama jadian sama Veve. Lo kira gue enggak capek terikat dalam hubungan yang bahkan enggak bisa gue jelasin? Gimana mau jelasin kalau masa depannya aja enggak jelas? Mendingan sama orang yang mau sama gue."

"Hadeh," Yudha mengibaskan tangannya. "Pusing gue dengerinnya. Memang paling bener pacaran sama game aja. Cinta ribet."

"Tapi lo enggak bisa selamanya hidup sama game, Bro. Laki-laki dan perempuan kodratnya diciptakan untuk melengkapi satu sama lain. Akan ada waktunya lo haus kasih sayang. Dan game enggak bisa bikin lo lega," celetuk Juan membungkam rapat mulut Yudha. 

Jaeffry meraih gelas kosong di atas meja, mengisinya dengan cairan bening yang tadi sempat dikonsumsi oleh Johnatan. 

"Eh, lo jangan ikut-ikutan kobam," tegur Yudha. 

"Segelas," Jaeffry meringis. "Salahin John, segala bawa-bawa Hera."

Yudha dan Juan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Jaeffry dan Johnatan. 

Johnatan memijat pelan pelipisnya. "Selama ini gue diem aja. Veve suka sama lo gue juga diem. Jahatnya karena gue tahu lo udah punya orang lain. Tapi kalau Alex..."

"Anjing!" Johnatan tertawa terbahak-bahak. "Gue belum bisa kehilangan dia beneran."

"Gue belum siap bangsat." Johnatan menutup matanya dengan lengan, rahangnya mengeras. Mati-matian menahan air mata yang menggenang di sana. 

Perlahan Juan mengulurkan tangan menepuk pundak Johnatan. "Lepasin aja jangan ditahan."

Sial, perbuatan Juan nyaris saja membuat pertahanan Johnatan runtuh. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha mengendalikan emosinya. 

Bukannya gengsi, Johnatan tidak ingin membiarkan dirinya menangis karena itu akan terlihat sangat menyedihkan. Kisah cintanya sudah cukup mengenaskan. 

Sampai detik ini Johnatan tidak ingin menjadikan Veronica sebagai alasannya menangis. Selamanya Johnatan ingin menjadikan Veronica sebagai salah satu alasannya tersenyum di dunia ini. Meski karena alasan itulah dia jadi berantakan seperti ini. Kehilangan salah satu sumber kebahagiaan bukan pengalaman yang mudah bagi siapa pun.

Melihat Johnatan masih diam, Jaeffry mengulurkan tangan meninju dada bidang cowok itu. "Congraduation."

"Hah?" Johnatan menyingkirkan lengannya, balas menatap Jaeffry. 

"Selamat udah lulus dari Jurusan Mencintai Tanpa Dicintai," Jaeffry menyeringai. "IPK lo sempurna. Ini karena kerja keras lo selama ini. Semoga setelah lulus lo makin pinter, ya. Biar pengalaman lo kuliah berguna."

Perkataan Jaeffry membuat Johnatan, Juan, dan Yudha saling bertukar pandang. Cukup lama sebelum tawa mereka terpecah. 

"Jayus banget lo, Jae!" Kata Yudha di sela-sela tawanya.

Juan terkekeh. "Lulusan terbaik enggak, tuh. Bener-bener mahasiswa terbaik di kelasnya."

"It is fucked up that you had to learn about love from those who never love you," Johnatan tersenyum. "Tapi karena dia gue jadi lulusan terbaik sekarang. Orangtua gue pasti bangga."

"Pasti," Jaeffry mengangguk. "Jangan lupa siapin pidatonya. Lulusan terbaik harus kelihatan berwibawa. Doain gue bisa cepetan nyusul, ya."

"Jangan nyusul. Percaya, lulusan terbaik di jurusan ini enggak nyenengin sama sekali. Kalau enggak kepaksa aja, kayaknya gue rela kuliah sampe ratusan semester," ucap Johnatan.

"Tapi lo sekarang free, Bro. Enggak ada lagi yang harus lo tunggu. Cewek di dunia ini masih banyak. Alisa contohnya," celetuk Juan langsung mendapat perhatian Yudha. 

"Hah? Alisa Beatrix?" Yudha membelalakkan mata. "Kenapa jadi dia?"

"Lo belum tahu, ya?" Juan mengedikkan dagunya ke arah Johnatan. "Doi satu kelas MPH sama John. Udah tukar-tukaran nomor juga."

Yudha memukul keras lengan Johnatan. "Muntahin vodka-nya, lo enggak layak mabuk. Hidup lo bahagia banget, Sat!"

"Cakep, tuh." Jaeffry tersenyum. "Kalau gue enggak kepincut Hera juga kayaknya dia cewek yang bakalan gue pepet."

"Kok lo malah pepet Lisa?" Johnatan mendorong tubuh Jaeffry. "Kalau lo enggak kepincut Hera masih ada Veve, Njing. Cakepan dia ke mana-mana."

"Yaelah, baru beberapa menit yang lalu wisuda udah balik lagi nyebut namanya," sindir Yudha. 

"Ohiya, lupa-lupa maap kebiasaan." Johnatan menepuk-nepuk keningnya sendiri.”

Juan terkekeh, dengan akrab merangkul pundak Johnatan. "Selama ini lo selalu memprioritaskan Veve daripada diri lo sendiri. Karena lo udah lulus, coba belajar buat memprioritaskan diri lo dulu. Gue yakin selama ini banyak banget hal yang terlewat. Lakuin hal-hal yang lo suka aja selama itu positif."

"Jangan bales chat dia juga," sambung Jaeffry. "Bales boleh kalau memang lo lagi senggang. Tapi kalau enggak, ya, diemin aja. Balas nanti-nanti kalau inget."

Yudha mengangguk setuju. "Intinya lo harus melakukan semua kegiatan yang bertentangan sama kebiasaan lo selama ini. Biar cepet move on."

"Dengerinnya gampang padahal jalaninnya sampe sesak napas," Johnatan terkekeh. "Eh, bentar tadi katanya gue lulus. Jadi, gelar gue apa?"

"Johnatan Ivander S.R," ucap Yudha.

"Apa, tuh, kepanjangannya?" Tanya Juan. 

"Johnatan Ivander Sudah Rela." 

"Anjrit!" 

Juan, Johnatan, dan Jaeffry tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Yudha. 

Johnatan bersyukur sekali memiliki teman seperti Juan, Yudha, dan Jaeffry. Mereka bisa menenangkannya tanpa perlu membuatnya terlihat lemah. Jika tidak ada mereka, mungkin saat ini Johnatan lebih kacau lagi. 

"Dah, chat Alisa sana. Katanya mau cari sumber MPH bareng?" 

"Hah?" Yudha mengerutkan kening. "Kok lo bisa tahu, Ju? Gue ketinggalan berapa chapter ini."

"Belum ketinggalan jauh, kok," Jaeffry melengkungkan senyuman jahil. "Kan, kisahnya baru mau dimulai."

"Asoy!" Juan dan Yudha bertepuk tangan heboh, kesenangan sendiri melebihi Johnatan. 

"Tapi gue enggak mau jadiin Alisa pelampiasan," Johnatan menggeleng. "Kata nyokap jangan nyakitin hati cewek nanti karmanya ke anak gue kelak."

"Siapa yang suruh lo jadiin Alisa pelampiasan? Kalian cuma pergi bareng ke toko buku," ujar Yudha. 

"Memang salah kalau pergi berdua aja sama temen cewek?" Jaeffry menaikkan sebelah alis. "Gue sering, tuh."

"Tapi ini tiba-tiba banget. Seolah gue ngambil kesempatan ini buat keuntungan gue sendiri karena lagi patah hati. Sebelum-sebelumnya gue bahkan enggak bales chat Alisa," banyah Johnatan masih bersikeras. 

"Karena lo masih mikirin Veve. Dibilang lo, tuh, sering lupa buat prioritasin diri lo sendiri. Bahkan tanpa sadar lo menjauh dari semua cewek yang berusaha deket sama lo karena dia," Juan berdecak. "Kalau gini terus gimana mau move on?"

"Jalan sekali enggak akan buat lo jadi cowok brengsek, kok. Apalagi kalian perginya ke toko buku bukan ke hotel," ucap Jaeffry tanpa dosa. 

Yudha mengangguk. "Pandangannya gini, lo pergi sama Alisa karena pingin cari temen cewek selain Veve. Bukan karena cari pelampiasan. Gila aja cewek secantik Alisa jadi pelampiasan. Mubazir bener."

Johnatan menatap satu-persatu teman-temannya. "Gitu?"

"Iya," jawab Juan. 

"Yakin?"

Yudha mendengus kasar. "Iya."

"Chat sekarang?"

"Besok kalau Veve sama Alex udah jadian," celetuk Jaeffry tanpa dosa langsung mendapat pelototan tajam Johnatan. 

"Udah cepetan!" Tegur Juan. 

Johnatan mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung celana. Membuka room chat-nya dengan Alisa. Dengan lincah jari-jarinya mengetik di atas layar, hendak mengirim satu pesan balasan pada cewek itu. 

Setelah selesai mengetik, Johnatan tidak langsung menekan tombol kirim. Dia kembali mendongak menatap Yudha, Juan, dan Jaeffry yang sedang memerhatikannya. 

"Ehm, tapi ini udah jam tiga pag—"

"SEKARANG!!"
 

⚖️⚖️⚖️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 15—Asing
0
0
Veronica heran seharian ini Johnatan tidak membalas chatnya. Johnatan tiba-tiba menghilang entah ke mana, padahal biasanya cowok itu selalu ada untuknya. Keheranan Veronica semakin memuncak saat mendapati Johnatan sedang berduaan dengan Alisa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan