
Berawal dari tidak sengaja mengotori sepatu senior paling galak di kampus, kehidupan Nabilla sebagai mahasiswi tidak pernah sedamai dulu lagi.
Perdebatan
"Cepet banget larinya, tuh, bocah satu?" Nabilla menajamkan matanya, mencari sosok Chandra di antara mahasiswa lain. “Apa dia lewat tangga yang deket lapangan indoor, ya? Yah, tahu gitu kita lewat sana tadi.”
Nabilla sedikit kecewa tidak bisa membalaskan dendamnya tempo lalu, saat Chandra dengan kurangajar mempermalukannya di depan para senior yang ternyata adalah teman bocah tengil itu.
"Trauma pernah lo jambak rambutnya sampai rontok lima helai kali," Fani terkekeh, “Dia sampe rela duduk di kursi paling depan demi bisa kabur dari lo.”
"Dih, padahal waktu itu gue enggak pake tenaga jambaknya. Memang akar rambut dia aja yang lemah karena kebanyakan makan micin," Nabilla mengelak.
Nabilla masih belum menyerah mencari sosok Chandra. Mustahil Chandra bisa menghilang secepat itu. Nabilla curiga Chandra diam-diam menggunakan lift demi bisa kabur darinya. Padahal hal itu melanggar peraturan kampus, jika ketahuan Chandra bisa memperoleh denda lima puluh ribu.
"Masih kesel banget, ya?" Fani mendengus geli. “Gue malahan seneng karena bisa lihat Kak Jaeffry kemarin. Apalagi Kak Jaeffry ternyata deket sama Chandra. Bisa, tuh, minta dikenalin.”
Nabilla berdecih sinis. “Gue justru jadi curiga sama Kak Jaeffry. Jangan-jangan sifatnya sebelas dua belas sama Chandra. Mirip-mirip Jeno sama Nana, cakep-cakep hadeh bikin gue ngumpat mulu. Walau tetep Chandra yang paling parah, sih.”
"Tapi kayaknya enggak, deh. Selama ini kita lihat para senior kalem-kalem aja. Enggak ada yang kayak Chandra," Fani mengerutkan kening. “Agak bingung juga kenapa Chandra bisa masuk circle mereka. Gue enggak bisa bayangin Chandra lagi melucu di depan Kak Theo. Kira-kira Kak Theo bisa ketawa enggak, ya?”
"Pertanyaan lo bego banget, Fan." Nabilla memutar bola matanya malas. "Sampe males jawabnya gue. Masa manusia enggak bisa ketawa? Lo kata dia fosil?"
Fani mengerucutkan bibir. “Enggak segitunya juga. Gue cuma penasaran aja.”
"Demen kali lo, mah." Nabilla tersenyum menggoda.
"Dih, mana ada!" Fani menepuk lengan Nabilla. "Gue demennya sama yang manis-manis kayak Kak Jaeffry bukan yang nyeremin. Ngebayangin gue punya pacar Kak Theo aja gue ogah. Batin gue lemah soalnya."
"Ganteng gitu dibilang nyeremin," Nabilla memeluk lengan Fani. “Kalau gue, mah, tetep hayuk aja. Lo suka sama gue? Hayuk Bang! Lo enggak suka? Coba pikir lagi Bang, takutnya nyesel.”
"Dasar, baru halu aja udah enggak bisa setia lo!" Fani mendorong pelan kening Nabilla dengan jari telunjuk. “Kemarin Kak Bagas, terus Kak Jaeffry. Lah, kenapa tiba-tiba sekarang jadi Kak Theo?”
Nabilla meringis kecil. "Habis kemarin di Chick Chicken Kak Theo pakai kemeja putih polosan ganteng banget anjir!"
"Yaelah, kelihatannya aja ngambek sama Chandra. Mata lo masih sempet ke mana-mana ternyata!" cibir Fani.
"Itu namanya refleks, Bund." elak Nabilla.
"Eh, hampir lupa!" Fani menepuk keningnya. "Temenin ke TU bentar dong? Gue lupa disuruh bokap cek uang SPP udah masuk atau belum."
Nabilla menepuk keras keningnya. "Ohiya gue jadi inget belum chat bokap bayar SPP!"
"Tenggangnya dua minggu lagi, loh. Kalau telat lo enggak bisa dapet kartu buat ujian," kata Fani.
"Gue chat bokap sekarang, deh." Nabilla meraih ponselnya dari dalam tas bertepatan dengan pintu lift yang terbuka.
"Udah mau sampe TU, Billa. Chat-nya nanti aja jangan sambil jalan," tegur Fani saat melihat Nabilla berjalan sambil memainkan ponsel.
Nabilla hanya mengangguk mengiyakan, namun kepalanya masih menunduk dengan jari mengetik lincah di atas layar. "Duluan aja, Fan. Nanti gue susul ke TU."
"Oke," Fani mengacungkan ibu jari. “Ketemu di gazebo deket ruang kelas satu kosong delapan aja.”
Sekali lagi Nabilla hanya mengangguk tanpa benar-benar peduli pada ucapan Fani. Kejelekan Nabilla memang seperti itu. Susah diajak bicara kalau sedang serius chatting.
"Tenggang waktunya dua minggu lagi, kalau terlambat Billa enggak bisa ikut ujian..." mulut Nabilla bergumam tanpa sadar mengikuti isi pesan yang baru ia ketik.
"Nanti kalau udah dikirim kasih tahu Bi—eh?"
Langkah Nabilla terhenti saat merasakan kakinya seperti menginjak sesuatu. Nabilla refleks menundukkan kepala melihat benda apa yang berada di bawah kakinya.
Nabilla meneguk ludahnya susah payah saat menyadari benda yang ia pijak adalah sepatu sneakers berwarna putih. Jika dilihat dari warnanya yang masih sangat bersih, sepertinya itu sepatu baru. Parahnya, saat Nabilla menyingkirkan kakinya, terlihat jelas bekas tanah kotor dari sepatunya tertinggal di sana.
Anjir, mampus gue! Mana lagi bokek! batin Nabilla.
Melihat dari ukuran dan model sepatu, sepertinya itu milik cowok. Mengetahui fakta itu, Nabilla dengan cepat mengatur strategi andalan. Jika biasanya Nabilla paling malas bersikap manis di depan cowok, kali ini dia memilih menjatuhkan sedikit harga dirinya. Perlahan Nabilla mendongakkan wajah, bibirnya memberikan senyuman paling manis dengan mata memancarkan tatapan memelas.
Namun, Nabilla seketika melupakan strateginya saat melihat siapa pemilik sepatu itu.
Dominic Radyta.
Cowok dingin yang sangat populer di kampusnya itu kini berdiri tepat di hadapannya dengan jarak yang terbilang sangat dekat. Baru kali ini Nabilla berhadapan secara langsung dengan Dominic. Nabilla tidak menyangka seniornya itu ternyata sangat tampan.
Dalam jarak sedekat ini, Nabilla dapat melihat jelas lekuk wajah Dominic yang terpahat nyaris sempurna. Dagu runcing, hidung mancung, mata yang tajam, juga bibir merah alami. Kulit putih Dominic terlihat sangat kontras dengan rambut hitamnya yang disisir ke atas menyisakan beberapa helai di kening. Kancing kemeja bermotif garis-garis yang dibiarkan terbuka dengan kaus hitam sebagai dalamannya membuat ketampanan Dominic di mata Nabilla meningkat pesat.
Ditambah harum parfum maskulin yang tercium dari tubuh Dominic seolah menusuk indra pernapasan Nabilla. Benar-benar memabukkan sampai-sampai Nabilla hanya bisa berdiri diam dengan ekspresi cengo yang pasti akan dia sesali nanti saat sudah berhasil menyadarkan diri dari pesona seorang Dominic.
"Gue enggak punya banyak waktu buat nungguin lo bengong doang," ketus Dominic langsung menyentak Nabilla.
"Hah?"
Nabilla yang masih dalam keadaan setengah sadar melangkahkan kaki mundur, memberi jarak.
Dominic mendengus kasar. "Cepet minta maaf."
Nabilla membelalakkan mata tidak percaya mendengar nada ketus keluar dari mulut cowok yang baru saja berhasil membuatnya terpesona. Meski hanya beberapa detik karena sekarang Nabilla dibuat heran apakah cowok yang berdiri di hadapannya saat ini sama dengan yang tadi sempat membuatnya kagum.
Wajah Dominic yang awalnya terlihat sangat tampan kini tampak menyebalkan di mata Nabilla.
Sejujurnya Nabilla bukan tipe orang yang gengsi untuk meminta maaf jika memang melakukan kesalahan. Tetapi, Nabilla tidak suka dengan cara Dominic yang seolah memaksanya untuk minta maaf. Apalagi nada suara cowok itu seperti sedang memerintahnya. Nabilla yang semula merasa bersalah, malah jadi menyesal kenapa tidak sekalian mengotori sepatu Dominic yang sebelah kiri.
Sebelah alis Dominic terangkat naik saat melihat Nabilla memberanikan diri mendongak dengan ekspresi menantang.
"Gue minta maaf?" Nabilla tersenyum sinis. "Kenapa bukan kakak aja yang minta maaf?"
Kening Dominic berkerut. “Kenapa jadi gue? Udah jelas lo yang nginjek sepatu gue.”
Nabilla menghela napas berat. "Manusia lebih sering fokus sama kesalahan orang lain sampai lupa kalau dirinya juga belum sempurna, ya?"
Melihat ekspresi bingung Dominic, Nabilla diam-diam tersenyum puas. Nabilla mengarahkan tangannya ke samping. “Lihat lorong kampus kita masih luas banget jaraknya dari posisi gue berdiri. Kalau kakak mau, bisa aja melipir ke samping, kan?”
Dominic mengerjapkan mata tidak percaya. "Jadi lo nuduh gue yang salah? Padahal jelas lo yang jalan sambil main handphone dan berakhir ngotorin sepatu gue."
"Loh? Kalau kakak lewat lorong yang masih kosong ini," Nabilla kembali menunjuk jalan lebar di sampingnya. “Mau gue lagi main handphone kek, lagi split atau kayang sambil roll depan kek. Sepatu kakak juga enggak bakalan mungkin keinjak kali!”
Sepertinya Dominic sedikit terkejut saat Nabilla menaikkan nada suaranya. Karena sudah terlanjur kesal, Nabilla tidak lagi peduli dengan etika baik junior kepada seniornya. Mungkin selama ini Dominic belum pernah dibentak oleh juniornya. Cowok itu terlihat cukup terpukul.
"Intinya kita sama-sama salah. Biar adil, kalau kakak mau gue minta maaf, berarti kakak juga harus minta maaf sama gue," lanjut Nabilla.
"Lo sinting, ya?" Dominic menaikkan kedua alisnya. “Buat apa gue minta maaf kalau lo yang salah?”
Nabilla tertawa. "Gue juga bisa ngomong gitu. Gue enggak merasa salah, jadi buat apa gue minta maaf?"
Dominic menepuk telinganya, berlagak tidak dengar. "Excuse me?"
Bukan Nabilla namanya jika menyerah di tengah pertengkaran. Nabila menatap tenang Dominic, seolah menunggu jawabannya.
"Minta maaf atau enggak?" Nabila mengedikkan bahu. "Jangan kelamaan mikirnya, Kak. Gue sibuk soalnya."
Baru saja Dominic membuka mulutnya hendak membalas, sebuah panggilan menghentikan tindakannya.
"Do!" Dari kejauhan terlihat sosok Juan melambaikan tangan ke arah mereka. "Makan enggak?"
Tatapan Juan beralih pada Nabilla. Terlihat jelas ada kebingungan terpancar dari bola matanya yang menyorot polos. “Eh, sorry. Gue ganggu, ya?”
Dominic mendengus kasar. "Keras kepala."
Dominic masih sempat memberinya tatapan mengancam sebelum berakhir pergi meninggalkannya.
Nabilla masih berdiri tegak di tempatnya, mempertahankan ekspresi menantang. Setelah memastikan sosok Dominic tidak lagi terlihat, barulah Nabilla dapat bernapas lega.
Dengan sisa tenaga, Nabilla menyandarkan punggungnya di dinding. Tiba-tiba kedua kakinya terasa lemas karena aura Dominic cukup mengintimidasinya. Sekarang Nabilla tahu alasan kenapa Dominic dijuluki pangeran es.
"Dia, mah, lebih mirip Yeti dari pada pangeran." gerutu Nabilla.
Masih dengan suasana hati yang buruk, Nabilla berjalan ke arah gazebo, mencari tempat duduk selagi menunggu Fani kembali. Namun, tak sengaja tatapannya bertemu mata dengan Chandra yang juga sedang ingin ke gazebo dari arah seberang. Chandra langsung menegakkan tubuhnya, memasang kuda-kuda untuk berlari secepat kilat.
Karena sudah kehabisan tenaga, Nabilla memilih bersikap tak acuh. Saat ini yang gadis itu butuhkan hanya duduk, bukan Chandra. Walau sebenarnya menyiksa Chandra dalam suasana hati buruk seperti ini terdengar cukup menyenangkan.
Chandra yang merasa tidak dipedulikan jadi terdiam di tempatnya. Bingung melihat Nabilla hanya duduk di gazebo, sama sekali tidak berniat mengejarnya. Bagi Chandra hal ini adalah sebuah fenomena yang wajib diabadikan.
Chandra segera mengeluarkan ponselnya, mengambil selfie wajah dirinya dengan sosok Nabilla yang sedang duduk jauh di belakangnya. Dengan iseng Chandra menambah tulisan 'Sudah Jinak' di foto itu sebelum mengunggahnya ke sosial media.
Setelah puas mengabadikan momen itu, Chandra dengan berani berjalan mendekati Nabilla. Meski sangat yakin Nabilla tidak akan menyerangnya saat ini, Chandra tetap saja waspada. Takut-takut ternyata ini hanya jebakan saja.
"Bodoh amat, ya, Chan." Nabilla memutar bola matanya malas melihat Chandra menirukan jurus pencak silat.
Chandra tersenyum lebar. “Oh, bukan jebakan ternyata.”
Tanpa ragu Chandra duduk di gazebo yang sama dengan Nabilla. “Kenapa lemes gitu, Bun?”
Nabilla menyandarkan wajahnya di lipatan tangan. "Capek kenapa kehidupan perkuliahan gue dikelilingi orang-orang aneh kayak lo."
"Gue aneh juga berarti?" Fani yang baru saja datang langsung mengambil posisi di samping Nabilla.
"Hmm.." gumam Nabilla tanpa menoleh.
Kening Fani berkerut bingung melihat temannya lesu. Tanpa ragu Fani langsung menatap tajam Chandra, menuduhnya.
Chandra menggeleng panik. “Sebelum gue dateng dia udah gini!”
Meski masih ragu, Fani tidak lagi membahas hal itu. Firasat Fani, sahabatnya itu hanya sedang tidak ingin diajak bicara. Untung saja ada Chandra di sini, setidaknya Fani tidak harus mati kutu sendirian.
"Memang bener ya kalau Organisasi BEM cuma nerima orang dalem, Chan?" tanya Fani.
"Hah? Gue malah baru denger kabar itu," Chandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue tahunya mereka memang cuma nerima mahasiswa yang udah pernah punya pengalaman jadi panitia organisasi minimal sekali.”
"Ih, iya gitu?" Fani berdecak kesal, "Pantesan gue sama Nabilla enggak keterima kemarin."
Chandra terkejut. "Memangnya kalian belum pernah jadi panitia sekali pun?"
Fani menggeleng. “Kita berdua terlalu fokus pingin masuk BEM jadinya enggak coba daftar organisasi lain. Agak bego juga, sih, kalau diinget-inget lagi.”
"Gue coba daftar yang lain, ya.." sahut Nabilla lemas.
"Iya PERMABA." Fani menunjuk Nabilla. "Pinter banget dia, Chan. Bisa-bisanya pede banget daftar PERMABA. Udah tahu enggak ada keturunan batak, masih aja memaksakan diri."
Chandra tertawa. “Enggak perlu wawancara juga udah auto ketolak. Buang-buang tenaga Billa, mah.”
"Namanya juga usaha," jawab Nabilla.
"Kesel banget gue enggak bisa masuk BEM. Mana udah jalan setengah bulan kuliah tapi belum punya sertifikat jadi panitia," Fani mengerucutkan bibir kecil. “Besok awal semester mereka bakalan buka pendaftaran kedua. Alamat enggak diterima lagi.”
Nabilla menyandarkan pungunggnya di sandaran kursi. "Yaudah nanti kita cari organisasi yang lagi buka pendaftaran aja, Fan. Masih ada waktu tiga bulan sebelum masuk ke semester dua."
"Itu belum kepotong UTS sama UAS, loh." ucap Fani membuat Nabilla mengumpat dalam hati.
"Lo jangan buat gue kepikiran ujian, plis. Setidaknya gue masih punya dua minggu lagi buat bernapas sebelum berperang," kata Nabilla membuat Fani mendengus geli.
Chandra yang tadinya sibuk membalas pesan masuk di ponselnya jadi menoleh. "Kalian lagi cari organisasi? Gue ada satu, nih. Bentar lagi buka pendaftaran anggota."
"Organisasi apa?" Fani menatap bingung Chandra. "Kok gue enggak ada denger. Biasanya di-share sama grup angkatan."
"Belum di-share memang. Kalian orang luar pertama yang tahu!" Chandra tersenyum bangga.
"Dih," Nabilla berdecih. "Pasti ada lo di organisasinya, ya? Jadi enggak yakin gue."
"Enak aja! Nih, gue jelasin visi dan misi organisasinya. Lo berdua pasti enggak bakalan nyesel satu organisasi sama gue!" balas Chandra tidak terima.
Dalam versi singkat, Chandra mulai menjelaskan visi dan misi organisasinya.
"Visi dan misinya bagus, sih." Fani mengakui. “Tapi, ini organisasi baru banget, ya?”
"Enggak dapet poin SPAMA, dong?" Protes Nabilla.
"Heh, jangan dilihat poin SPAMA-nya! Lihat visi dan misinya," Chandra membela diri. “Lagian walau enggak dapet poin SPAMA, kalian tetep bakalan dapet sertifikat. Dan sertifikat itu bisa dipakai buat daftar Organsiasi BEM. Bukti kalian udah punya pengalaman berorganisasi.”
"Daripada pusing cari-cari organisasi lagi mendingan daftar yang udah pasti aja. Gue rasa peluang kalian diterima di organisasi ini cukup besar,"Chandra menaik turunkan alisnya. “Dapet sertifikat lagi. Semester depan bisa daftar BEM.”
Chandra tersenyum bangga karena sepertinya kata-katanya berhasil mempengaruhi Fani dan Nabilla. Kedua cewek itu terlihat tertarik.
"Memangnya ini bukan pendaftaran anggota tetap, Chan?" tanya Nabilla.
"Enggak kok. Cuma anggota sementara untuk project ini aja. Setelah project selesai kalian bisa tentuin mau jadi anggota tetap atau enggak," jelas Chandra.
Nabilla dan Fani kembali bertukar pandang.
"Menarik," jujur Fani.
Nabilla mengangguk setuju.
Chandra tersenyum puas. “Besok udah mulai buka stan pendaftarannya di lobi. Kalau kalian tertarik, nanti gue ambilin formulir pendaftarannya biar gue anterin juga ke kos kalian, deh. Biar besok bisa langsung kasih formulirnya.”
"Loh, cepet banget?" Nabilla menaikkan sebelah alis. "Memang sesi wawancaranya kapan?"
Chandra menatap Nabilla dan Fani bergantian. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Minggu depan."
⚖️⚖️⚖️
Mala Petaka
Dominic mengusap sepatunya dengan tisu basah. Berusaha membersihkan noda di ujung sepatu kanannya. Sepertinya hari ini benar-benar bukan hari baik bagi Dominic. Tadi pagi sebelum berangkat ke kampus, motornya mendadak mogok di pertengahan jalan. Akibatnya, Dominic harus terlambat masuk kelas Pak Haru.
Pak Haru adalah dosen Hukum Pertanahan yang terkenal sangat disiplin. Jika mahasiswa terlambat lima menit saja, mereka tidak bisa mengikuti pelajaran lantaran Pak Haru sudah mengunci pintu kelas dan tidak membiarkan siapa pun masuk. Alhasil, Dominic terpaksa harus merelakan kelasnya karena terlanjur terkunci di depan kelas.
Kesialan yang terjadi padanya tidak berhenti di situ. Saat Dominic baru saja keluar dari perpustakaan, diperjalanan dia bertemu dengan seorang cewek berkepala batu yang dia kenali sebagai teman Chandra.
Cewek itulah yang meninggalkan noda kotor di sepatu putihnya. Padahal baru kemarin diambil dari laundry. Belum ada beberapa jam dipakai, sepatunya sudah kotor lagi. Parahnya, dia bahkan tidak mendapatkan permintaan maaf.
"Kayaknya bakalan susah hilang kalau cuma dilap pake tisu gitu doang, Bang." Jeno ikut menunduk memperhatikan sepatu Dominic.
Rendi mencabut selembar tisu basah yang keempat, memberikannya pada Dominic. "Mana ada bekas lumpurnya lagi. Yang nginjak kayaknya jarang cuci sepatu."
Dominic menghela napas panjang. “Bukan kayaknya lagi. Sekali lihat aja gue udah yakin banget orangnya serampangan.”
"Siapa yang serampangan?" tanya Chandra yang tiba-tiba muncul dari pintu kantin bersama Markus, Johnatan dan Veronica.
Melihat wajah Chandra, tiba-tiba emosi Dominic naik lagi.
“Anjing.”
Ucapan Dominic membuat Chandra refleks termundur. Sedangkan Johnatan, Jeno, Markus, dan Rendi serempak menoleh kaget.
"Loh, kok ngamuk?" Veronica menarik kursi di samping Dominic. "Santai bos."
Chandra diam-diam berjalan menjauh dari Dominic, menghampiri Jeno dan Rendi. Perlahan berbisik, “Bang Dominic lagi kesel sama gue?”
"Enggak kayaknya," Rendi mengedikkan bahu. “Sebelum lo dateng mood-nya udah enggak bagus.”
"Tapi tadi Bang Do masih kalem-kalem aja sebelum lo dateng, Chan." Kompor Jeno.
Chandra yang baru saja menghela napas lega kembali bungkam usai mendengar ucapan Jeno.
Markus—yang diam-diam mendengarkan percakapan antara Jeno, Rendi, dan Chandra—mengunggingkan senyuman geli, dengan akrab merangkul pundak Chandra yang terlihat pucat.
"Tenang aja. Bang Do kalau lagi bad mood memang kayak gitu. Suka nge-gas ke siapa aja yang berani muncul di depannya," Markus mencondongkan tubuh mendekat ke arah Jeno dan juga Rendi. Perlahan berbisik, "Kuncinya biar enggak kena semprot kalau dia lagi kayak gini, mendingan diem aja. Kalau lo lawan dianya makin-makin, dah."
Chandra, Rendi, dan Jeno kompak mengangguk patuh usai mendengar tips dari Markus.
Veronica meletakkan map hijau ke atas meja. “Ini formulir pendaftaran, udah gue cetak lima puluh lembar.”
"Besok yang tugas jaga stan siapa?" tanya Johnatan.
"Juan, Yudha, sama Theo kalau enggak salah." Veronica mengeluarkan beberapa lembar formulir dari dalam map, mengeceknya sekali lagi.
"Yudha sama Theo lagi kelas. Kayaknya bentar lagi kelar," Johnatan menoleh ke kanan dan ke kiri. “Lah, Juan di mana?”
"Lagi ke toilet, Bang." Jawab Rendi.
Johnatan menaikkan sebelah alis. "Dari tadi?"
Rendi mengangguk. “Kayaknya banyak yang harus disetor gara-gara nekat makan mie cabe lima belas.”
"Buset!" Markus yang tidak bisa makan pedas langsung berteriak heboh. “Itu mie pake cabe atau cabe pake mie?”
"Gue biasa makan mie cabe dua aja udah kepedesan," sahut Rendi.
"Padahal burjo Mas Berkat katanya selalu pake cabe rawit hasil panen sendiri. Sepedes apa, tuh." Chandra mengernyitkan kening membayangkan.
"Tapi mie merconnya memang nagih, sih." Johnatan mengakui.
"Dih, percuma nagih kalau endingnya sakit perut. Penyakit kok dibuat sendiri," gerutu Veronica.
"Manusia memang gitu, kan? Semakin sakit justru semakin nagih," Johnatan menimpali, “Enggak ada bedanya sama cinta. Udah tahu nyakitin, masih aja bertahan.”
"Wadidaw! Dari hati banget nih, John?"
Suara cempreng itu membuat Johnatan menoleh. Tatapannya langsung bertemu dengan Juan yang baru saja muncul dari gerbang belakang parkiran motor yang terletak di samping kantin.
"Ngapain lo lewat parkiran belakang? Bukanya habis dari toilet?" Johnatan mengerutkan kening bingung.
Juan menarik kursi duduk di samping Dominic."Gue muter lewat gerbang samping. Males lewat lobi, lagi rame antek-anteknya Si Gangga."
Veronica mendengus sinis. “Ngapain lagi, tuh, sampah masyarakat?”
Jeno, Rendi, dan Chandra yang notabene mahasiswa baru hanya bisa bungkam, menatap bingung para seniornya yang mendadak terlihat kesal.
"Ngapain mereka di lobi, Bang Ju?" Tadi perasaan gue waktu lewat lobi masih sepi-sepi aja?" tanya Markus.
"Buka stan pendaftaran Organisasi Debat. Lagi cari anggota baru mereka," jawab Juan.
Dominic yang sejak tadi hanya menyimak langsung menegakkan punggung, ekspresinya berubah tegang. “Baru aja buka? Berarti kemungkinan besok mereka bakalan buka stan lagi?”
Ucapan Dominic berhasil membuat Johnatan, Juan, Veronica, dan Markus menegang.
"Sorry, Bang ganggu bentar." Chandra memberanikan diri buka suara mewakili Jeno dan Rendi. “Memangnya Organisasi Debat kenapa?”
Markus menepuk keningnya pelan. “Ohiya kalian belum tahu cerita suram di kampus kita, ya.”
Markus segera menarik kursi, mengajak Jeno, Rendi, dan Chandra duduk melingkar. Tanpa membuang waktu, Markus segera menceritakan rahasia gelap yang dia maksud tadi.
Jadi, di Universitas Pemuda Indonesia selain Organisasi BEM, ada satu Organisasi yang sangat dijunjung tinggi oleh kampus karena selalu berhasil mengharumkan nama kampus dengan kemenangannya dalam setiap kompetisi. Organisasi itu adalah Organisasi Debat.
Sebenarnya tidak ada masalah terkait organisasi itu, yang bermasalah adalah beberapa anggotanya saja. Karena merasa dijunjung tinggi oleh kampus, mereka menjadi mahasiswa yang tinggi hati dan merasa dianak emaskan. Tak jarang mereka sering merendahkan organisasi lain. Jumlah anggota yang meresahkan itu semakin memuncak sejak organisasinya dipimpin oleh Gangga Sahaja.
Namun, konflik yang terjadi di antara Organisasi Debat dengan squad mereka bukan karena masalah itu. Karena sejujurnya mereka bukan tipe orang yang peduli dengan sikap buruk orang lain selama tidak menimbulkan kerugian. Sampai akhirnya, Gangga dengan kurangajar menyenggol harga diri mereka.
Semua itu bermula dari Gangga yang berusaha membawa Theo masuk ke dalam organisasinya. Sebagai dua mahasiswa dengan nilai sempurna, Gangga merasa Theo sangat cocok menjadi partner-nya dalam mengikuti lomba debat.
Mungkin Gangga sudah sangat berekspektasi tinggi untuk bisa memenangkan banyak penghargaan jika Theo menyetujui tawarannya. Namun, Theo justru menolak ajakannya dengan alasan kurang tertarik. Hal itu membuat Gangga merasa tersinggung. Selama ini tidak ada mahasiswa yang menolak tawaran masuk ke Organisasi Debat. Tak sedikit mahasiswa yang rela memohon demi bisa menjadi anggota tetap organisasi itu.
Entah karena tersinggung atau kecewa, Gangga jadi sering mencari gara-gara pada Theo. Gangga bahkan tidak segan menyebarkan fitnah tentang Theo kepada mahasiswa lainnya. Berharap Theo akan meminta maaf padanya dan bersedia masuk ke organisasinya.
Sayangnya, fitnah Gangga sama sekali tidak mempan. Lebih banyak orang yang percaya pada Theo dari pada rumor yang dia sebarkan. Meski tetap saja ada segelintir orang yang termakan ucapannya dan memandang Theo sebelah mata. Namun, jumlahnya tidak sebanyak yang Gangga harapkan. Kekalahannya itu semakin membuat Gangga tidak terima dan selalu mencari masalah dengan Theo setiap kali ada kesempatan.
"Segitunya?" Rendi menutup bibirnya dengan tangan. “Bang Gangga itu yang kemarin pidato mewakili Organisasi Debat waktu kita inisiasi, kan?”
Markus mengangguk.
"Padahal gue sempet kagum sama dia." Chandra masih tidak percaya.
Jeno mendengus sinis. “Jurusan doang hukum, wataknya sebelas dua belas sama nara pidana.”
"Dulu gue juga sempet kagum sama dia, bahkan hampir daftar Organisasi Debat juga. Tapi setelah tahu tingkahnya kayak gitu, gue jadi enggak minat lagi. Enggak sudi gue masuk organisasi tapi pemimpinnya kayak setan gitu," ucap Markus.
Chandra menolehkan kepala ke arah Johnatan, Juan, Dominic, dan Veronica yang sedang berbincang serius. "Terus besok gimana, Bang? Lobi utama yang bisa dipake buat buka stan, kan, cuma ada satu. Masa kita sebelahan sama mereka?"
"Itu dia!" Juan menepuk lengan Dominic. "Apa diundur aja kali, ya? Daripada ribut."
Dominic menggeleng. “Kalau diundur kemungkinan besar kita baru bisa buka stan minggu depan padahal minggu depannya lagi udah ujian. Tahap seleksi, wawancara, dan pembagian divisi baru bisa dua minggu setelah ujian. Takut mepet waktunya.”
"Apa kita percepat aja? Tiga hari jaga stan, besoknya langsung wawancara?" Usul Veronica.
"Kenapa harus diundur?"
Dominic langsung menoleh saat mengenali suara Theo. Cowok itu datang bersama Yudha.
"Lo ke sini lewat lobi depan, kan?" Tanya Dominic.
Theo mengangguk tenang. “Iya.”
"Si Gangga lagi buka stan. Baru hari ini," ucap Juan. Ekspresi khawatir tercetak jelas di wajahnya.
"Iya, gue lihat anggota debat jaga stan tadi. Tapi enggak ada Gangga kok," Theo tersenyum. "Jadi karena ini kalian mau mundurin rencana buka stan?"
Melihat teman-temannya hanya diam, Theo melanjutkan ucapannya.
"Tenang, menurut gue Gangga enggak bakalan mau repot-repot jaga stan. Dia pasti minta anak buahnya buat turun tangan. Kalian tahu sendiri mereka enggak berani macem-macem kalau enggak ada Gangga."
"Kalau tiba-tiba dia muncul gimana?" Veronica menatap khawatir Theo. "Apalagi besok lo yang kebagian jaga stan. Atau mau tukeran sama gue aja?"
Theo menggeleng. “Justru kalau enggak ada gue, kalian bakalan diganggu.”
"Bener kata Theo," Juan buka suara, “Kalau enggak ada Theo, kemungkinan besar Si Gangga malah bakalan merusuh. Sengaja biar Theo emosi dan turun tangan buat berhadapan langsung sama dia. Kalau ada Theo kemungkinan terburuknya paling cuma adu mulut. Nyali Gangga enggak segede omongannya.”
"Atau besok Bang John ikut jaga stan juga?" Markus mengedikkan bahu. "Jaga-jaga kalau mereka nekat main fisik."
"Yakin Gangga berani buat keributan sebesar itu?" Johnatan tertawa sinis. “Dia aja rela jatuhin temen se-tim waktu kalah lomba debat demi bersihin nama baik sendiri. Padahal yang gue denger sebenernya malah Si Gangga yang enggak paham materinya dan bikin tim mereka kalah.”
"Bersih banget mainnya, ya." Jeno sengaja menekan kata bersih.
Chandra menepuk dadanya. "Gue mungkin memang enggak sepinter Bang Gangga. Tapi setidaknya gue enggak jatuhin temen sendiri demi angka doang."
Ucapan Chandra membuat Yudha tersenyum. Dengan gemas Yudha mengulurkan tangannya mengacak rambut Chandra. "Good. Memang lebih baik kita enggak menjadi siapa-siapa dari pada menjadi sesuatu tapi hasil menginjak orang lain. Lo mungkin bakalan dipandang dan dikagumi banyak orang, tapi lo enggak akan bisa nyingkirin fakta kalau lo itu sebenernya sampah."
Theo menepuk pundak Dominic, berusaha menenangkan. "Tenang, gue bisa jamin Gangga enggak akan cari masalah karena dia pasti juga lagi jaga image supaya banyak mahasiswa baru masuk organisasinya."
"Bener juga. Paling dia cuma berani gertak-gertak kecil. Mulutnya, kan, lemes banget kayak tetangga," celetuk Veronica.
Dominic mendongak, membalas tatapan Theo. Melihat tidak ada keraguan dalam sorotan mata Theo, Dominic baru bisa bernapas lega.
"Bang, gue ambil dua lembar formulirnya, ya? Mau gue kasih ke temen gue," kata Chandra.
"Temen?" Yudha menaikkan sebelah alis. "Memangnya lo punya temen selain kita, Chan?"
"Ngejek bener lo, Bang!" Chandra mengerucutkan bibir. "Gini-gini banyak yang mau temenan sama gue. Soalnya gue lucu, manis, dan menggemaskan."
Yudha memeluk tubuhnya, berlagak merinding.
Mendengar kata teman terucap dari bibir Chandra, Dominic langsung terpanggil. “Plis, Chan jangan bawa temen lo yang aneh lagi.”
"Aneh?" Jeno mengerutkan kening.
"Lagi?" Rendi menaikkan kedua alisnya. "Maksudnya kita-kita, nih, Bang?"
Dominic cepat-cepat menggeleng. Takut Rendi dan Jeno salah paham. “Bukan kalian. Tapi temen dia yang lain. Siapa tahu ada yang aneh, kan. Bisa repot.”
Veronica merangkul leher Dominic. "Santai aja, Do. Kita, kan kebagian tugas wawancarain calon anggota yang daftar. Yang sok kecantikan atau menye-menye langsung tolak aja. Ini organisasi bukan tempat cari jodoh."
Johnatan mendorong pelan kepala Veronica dengan jari telunjuk. “Bilang aja lo takut dapet saingan.”
Chadra tertawa. "Tenang Kak Ve, temen gue orangnya kebanyakan pemalu. Kalau pun tujuan masuknya karena naksir Bang Jaeffry, paling juga enggak berani deketin."
Mendengar nama Jaeffry, Veronica langsung terdiam. Berusaha menampilkan ekspresi tak acuh, padahal mereka semua sudah tahu perasaannya pada Jaeffry.
"Oke, jadinya besok kita tetep buka stan?"Johnatan mengganti topik.
Theo mengangguk. "Jam sepuluh pagi kita udah harus stay di lobi."
Dominic diam-diam memperhatikan Theo yang sedang berbicara dengan Juan dan Yudha. Entah mengapa firsatnya berkata akan ada hal buruk terjadi besok.
⚖️⚖️⚖️
Pendaftaran
Nabilla serius membaca lembar formulir yang diberikan oleh Chandra sebelum pergantian kelas tadi. Nabilla kembali meneliti tulisan tangannya di lembar formilir itu. Memastikan tidak ada kesalahan.
Tatapan Nabilla beralih pada teman-temannya yang duduk di depan bangkunya. Yoan dan Syerin terlihat sama sibuknya dengan Nabilla. Keduanya tampak fokus mengisi formulir pendaftaran organisasi.
Penasaran, Nabilla mencolek pundak Yoan hingga membuatnya menoleh. “Eh, lo mau daftar Organisasi PERMAMSA juga?”
Yoan membulatkan matanya bingung. “Hah? Organisasi PERMAMSA? PERMABA kali?”
"PERMAMSA bukan PERMABA," koreksi Nabilla.
Syerin yang duduk di samping Yoan ikut menoleh. “Organisasi baru atau gimana? Gue soalnya belum pernah denger juga.”
Ucapan Syerin membuat Nabilla teringat bualan Chandra tentang berita eksklusif yang baru diberitahukan pada dirinya dan Fani. Sepertinya Chandra tidak berbohong waktu bilang Nabilla dan Fani adalah orang pertama yang tahu info tentang pendaftaran Organisasi PERMAMSA.
"Lah, terus itu formulir apa?" Nabilla mengedikkan dagu ke arah meja Yoan dan Syerin.
"Organisasi Debat," jawab Yoan, “Lagi buka pendaftaran dari kemarin. Ikutan, yuk, Billa? Coba daftar dulu siapa tahu keterima. Biar nanti kalau gue keterima setidaknya ada yang udah kenal gitu, jadi enggak canggung.”
"Hah? Organisasi Debat buka pendaftaran?" Nabilla menyikut lengan Fani. “Tahu gitu kita coba daftar Organisasi Debat aja! Udah dapet sertifikat, dapet poin SPAMA juga.”
Fani mengerutkan kening. “Ih, tapi gue udah minder duluan. Pasti yang daftar banyak banget, tuh. Dan hampir semuanya pinter bicara. Gue yang presentasi di depan kelas aja sering tremor enggak bakalan bisa keterima, dah.”
Syerin menepuk tangan Fani. "Fan, lo pikir gue enggak gitu juga? Asli gue juga enggak jago debat. Tapi siapa tahu ada mujizat gue bisa masuk jadi anggotanya. Enggak ada salahnya coba."
"Masalahnya bukan keterima atau enggaknya," Fani menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gue sama Nabilla butuh sertifikat pernah jadi panitia organisasi sebelum masuk semester depan. Soalnya awal semester BEM buka pendaftaran, kan. Gue denger syaratnya harus punya minimal satu kali pengalaman jadi panitia organisasi.”
"Gue juga belum pernah jadi panitia," Yoan meringis. "Tapi bedanya gue enggak minat juga masuk BEM. Jadi, ya, santai aja gitu. Yang penting besok sebelum skripsian poin SPAMA udah harus penuh."
"Atau kalau enggak lo tetep daftar juga di Organisasi PER—" Syerin mengetuk jarinya tidak sabar, "—apa tadi?"
"PERMAMSA," koreksi Nabilla.
"Nah, iya itu!" Syerin mengangguk cepat. "Lo daftar aja. Nanti kalau keterima di Debat, yah, lo jangan dateng waktu wawancaranya. Biar masuk ke Debat aja. Kan, pendaftar dinyatakan gugur kalau enggak dateng waktu wawancara."
"Memangnya pengumuman diterima atau enggaknya duluan Debat dari pada PERMAMSA?" Tanya Nabilla.
Fani menggeleng. “Feeling gue enggak, deh. Malah menurut gue Debat bakalan buka stan lebih lama dari pada PERMAMSA. Soalnya banyak peminat.”
"Kalau enggak yaudah daftar dua-duanya aja. Kalau keterima lo cukup merangkap masuk di dua organisasi," saran Syerin.
Nabilla membelalakkan mata. "Memang bisa?"
"Bisa kok," Yoan mengangguk. “Banyak mahasiswa angkatan tua yang daftar langsung ke banyak organisasi demi kumpulin SPAMA. Tapi risikonya paling tabrakan waktu rapat. Selama jadwalnya aman, kayaknya enggak ada masalah.”
Nabilla dan Fani mendadak ragu.
Pertama, Nabilla dan Fani bukan tipe mahasiswa aktif di kampus. Mereka lebih suka menghabiskan waktu di kamar kos untuk streaming youtube. Kedua, mereka takut tidak bisa membagi waktu antara organisasi yang satu dengan yang lainnya jika ternyata diterima di kedua organisasi sekaligus. Ada sedikit perasaan bersalah juga pada Chandra, karena cowok itu sudah sangat bersemangat memperkenalkan organisasinya.
"Bentar, tadi lo bilang Organisasi PERMAMSA, ya?"
Sabrina—yang duduk di belakang kursi Nabilla—ternyata sejak tadi diam-diam menguping pembicaraan. Dia bahkan tidak malu mengakui tindakan tercelanya itu.
"Iya," jawab Fani.
"Kalian berdua udah tahu kabar kalau ketua di organisasi itu katanya suka bully temennya waktu masih SMA?" Tanya Sabrina.
"Bully?" Yoan menatap tak percaya. "Memang siapa ketuanya?"
"Kak Theo."
"Hah?"
Nabilla dan Fani sontak langsung bertukar pandang.
"Gue baru tahu Kak Theo ketua organisasinya. Tapi kalau kabar itu, sih. Udah denger dari lama," kata Syerin.
"Hah? Lo tahu juga, Syer?" Nabilla menaikkan kedua alisnya. “Kok gue bisa enggak denger sama sekali?”
"Gue juga," sambung Fani.
"Masa, sih?" Syerin menatap tak percaya. “Padahal rumornya kesebar luas di kampus, loh. Kalian kurang bergaul sama kakak tingkat kali. Soalnya tipik ini udah hot banget.”
"Baru rumor atau beneran?" Tanya Fani.
"Kalau itu gue enggak tahu," Sabrina mengedikkan bahu. “Tapi kalau gue pribadi percaya. Soalnya Kak Theo memang rada serem, kan. Enggak ramah juga mukanya.”
"Lo jangan asal judge orang cuma dari mukanya juga," tegur Nabilla.
Fani mengangguk. “Gue punya saudara sepupu punya muka super jutek tapi aslinya lembut banget.”
"Gue sebenernya enggak nuduh tanpa dasar. Soalnya rumor ini gue denger langsung dari Kak Bisma dan dia bilang dapet infonya langsung dari Kak Gangga," ucap Sabrina membuat Nabilla, Fani, Yoan, dan Syerin sontak bertukar pandang.
Nama Gangga cukup terkenal di kampus ini. Gangga dikenal sebagai ketua Organisasi Debat yang berprestasi dan dikabarkan memiliki IPK sempurna.
Sebenarnya bukan nama Gangga yang membuat Nabilla terkejut. Dia lebih terkejut mengetahui cowok berkharisma dan terlihat dewasa itu ternyata suka gossip juga.
"Bebas mau percaya atau enggak. Tapi, gue setuju sama Billa. Sebagai orang yang enggak tahu bener atau salahnya, mendingan jangan ikut-ikutan sebarin rumor orang lain. Kalau memang lo dapet infonya dari Kak Bisma. Ya, usahain infonya berhenti di lo aja. Enggak perlu disebar-sebarin lagi. Jatuhnya pencemaran nama baik," saran Yoan.
"Belum lagi kalau ternyata Kak Bisma cuma asal nuduh pake nama Kak Gangga. Makin ribet urusannya," kata Syerin.
Sabrina seketika bungkam. Dari ekspresinya sepertinya cewek itu merasa tersinggung dengan ucapan Yoan dan Syerin. Nabilla sama sekali tidak berniat menghibur Sabrina karena memang tindakan cewek itu tercela.
"Apa mau coba ambil formulir Debat dulu aja? Formulir PERMAMSA kita kumpulin besok. Biar semaleman ini kita bisa mikir dulu sebelum ambil keputusan," usul Fani mengalihkan topik.
"Iya gitu dulu aja," setuju Nabilla.
Saat Bu Maria mengakhiri kelasnya, mereka langsung menuju ke lobi. Hendak menghampiri stan Organisasi debat untuk mengambil formulir pendaftaran.
Namun, langkah mereka terhalang oleh beberapa mahasiswa yang mengerumuni lobi. Mulanya, mereka mengira semua mahasiswa berkumpul karena ingin mendaftar Organisasi Debat. Ketenaran organisasi itu memang sudah bukan rahasia lagi.
Belakangan mereka baru tahu ada keributan terjadi di sana. Pihak yang terlibat adalah Yudha, Theo, Juan, Gangga, dan Raka.
Theo dan Juan terlihat berusaha menahan Yudha yang sudah terbakar emosi. Sedangkan Gangga masih sangat tenang seolah tidak sedang terlibat dalam perkelahian.
BRAK!
Bunyi hantaman keras itu membuat beberapa orang di sekitar lobi termundur kaget, termasuk Nabilla yang refleks langsung memeluk Fani.
Suasana berubah semakin tegang. Juan di sampingnya terlihat kualahan menahan Yudha yang hendak mendekati Gangga.
Theo menggerakkan tangannya seolah memberi perintah pada teman-temannya untuk tidak bertindak gegabah.
"Tersinggung?" Gangga menaikkan kedua alis tenang. “Gue cuma bicara kenyataan. Kalau boleh jujur, lo sebenernya bahkan enggak berhak tersinggung.”
"Lo cuma berurusan sama gue, Ga." Theo menatap tajam Gangga. "Jangan bawa-bawa organisasi."
"Organisasi?" Gangga mendengus geli. “Oh, ini organisasi yang lagaknya punya misi membantu sesama padahal haus pujian?”
Meski Nabilla masih belum paham betul apa permasalahan yang terjadi di antara para seniornya itu, entah mengapa dia sedikit kesal dengan ucapan Gangga. Nabilla mengakui pencapaian Gangga sebagai pemimpin Organisasi Debat memang patut diakui. Akan tetapi, sifatnya yang sombong dan memandang rendah orang lain membuat Nabilla hilang respect.
"Lo berhak berpendapat, tapi lo enggak berhak ikut campur," Theo mengeraskan rahang. "Gue saranin lo berhenti buat keributan. Kalau memang ada masalah, kita bisa selesaikan di luar kampus."
Gangga menatap prihatin Theo. “Lo pikir gue punya banyak waktu? Gue speak up kayak gini karena prihatin sama lo. Daripada bangun organisasi yang masa depannya enggak menjamin, mendingan lo gabung organisasi gue. Kita berdua pasti bisa membawa nama baik kampus.”
"HAHAHAHA!"
Suara tawa Yudha yang menggelegar membuat semua tatapan tertuju padanya. Termasuk Gangga yang terlihat tersinggung karena panggungnya direbut paksa oleh cowok itu.
Yudha meraih selembar tisu. Sekilas mengusap air mata palsunya sebelum akhirnya meremas tisu itu.
Kejadian selanjutnya berhasil membuat semua orang terpaku diam. Nabilla bahkan tanpa sadar mengumpat kaget saat melihat Yudha dengan lancang melemparkan tisu itu tepat mengenai wajah Gangga.
"Bener kata orang," Yudha menyeringai. “Percuma IPK sempurna kalau enggak punya etika. Enggak ada bedanya sama koruptor. Gelar tinggi mental miskin.”
Rahang Gangga mengeras, tersinggung dengan perkataan Yudha. Tangan kanan Gangga terkepal kuat, sudah siap maju membalas perbuatan Yudha. Tetapi pergerakannya langsung dihentikan oleh Raka, wakil ketua Organisasi Debat. Raka sempat membisikkan sesuatu pada Gangga.
Nabilla menaikkan sebelah alisnya, sedikit curiga saat melihat Gangga tiba-tiba kembali tenang usai mendengar bisikan Raka. Gangga bahkan bisa kembali tersenyum padahal beberapa waktu lalu harga dirinya sudah dijatuhkan oleh Yudha.
Gangga sempat melirik ke kanan dan ke kiri memperhatikan sekelilingnya sebelum membungkukkan punggungnya. “Gue tadinya cuma berusaha menyapa. Enggak tahunya kalian justru terpancing emosi. Maaf kalau ucapan gue menyinggung.”
Aneh, padahal jelas Gangga tadi terlihat sangat emosi. Nabilla jadi penasaran apa yang Raka bisikkan di telinga Gangga hingga mampu membuatnya kembali tenang. Nabilla ikut memperhatikan sekelilingnya, ternyata di sekitar lobi ada Pak Hengky dekan di kampus mereka. Pak Hengky terlihat tenang memperhatikan tanpa berniat menegur.
Namun, dari tatapannya yang tegas sepertinya beliau ingin agar mahasiswanya menyelesaikan masalahnya sendiri. Mungkin menurutnya mahasiswa sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan urusannya tidak perlu ada campur tangan dari dosen selayaknya murid SMA.
Nabilla curiga Raka menyadari keberadaan Pak Hengky dan memberitahu Gangga untuk menghentikan keributan ini.
Setelah Gangga meminta maaf, Raka segera membubarkan mahasiswa yang tidak memiliki kepentingan mendaftar organisasi.
Mahasiswa yang tidak berkepentingan segera pergi meninggalkan lobi. Dari wajahnya, sepertinya mereka kecewa karena tontonan sudah selesai.
Sejak mendengar ucapan Gangga entah kenapa Nabilla langsung hilang respect. Tidak peduli siapa yang memulai keributan ini, yang jelas tindakan Gangga kekanakan sekali. Sudah mahasiswa masih saja hobi mencari keributan. Padahal seharusnya dia lebih menjaga sikap sebagai ketua Organisasi Debat. Bukannya membuat masalah dengan organisasi lain.
Herannya setelah keributan itu masih saja banyak mahasiswa angkatannya yang berlomba-lomba berbaris ingin mendaftar Organisasi Debat. Yoan dan Syerin termasuk di dalamnya. Mungkin beberapa orang memilih untuk tidak ambil pusing dengan sikap Gangga dan tetap fokus masuk organisasi yang memang dijunjung tinggi di kampus mereka.
Nabilla tidak bisa menghakimi mahasiswa lain yang tetap bersedia mendaftar di Organisasi Debat. Karena yang salah itu hanya ketuanya bukan organisasinya.
Di sisi lain, stan Organisasi PERMAMSA masih sepi sekali. Tidak ada seorang pun yang berniat mendaftar.
Perhatian Nabilla kembali tertuju pada Gangga yang sedang melangkahkan kakinya mendekat, berdiri di depan stan Organisasi PERMAMSA. Berhadapan langsung dengan Theo yang sudah kembali bergabung bersama kedua temannya. Terlihat sangat serius berbicara dengan Theo.
"Fan, gue enggak jadi daftar Organisasi Debat. Kalau lo mau daftar enggak papa. Gue mau daftar Organisasi PERMAMSA aja," kata Nabilla.
"Gue juga kok," Fani mengedikkan bahu. "Tiba-tiba gue males daftar Organisasi Debat. Lagian gue orangnya enggak suka berdebat juga. Mendingan beramal aja, deh. Dosa gue banyak soalnya," ujar Fani membuat Nabilla tertawa.
Saat mahasiswa lain mengantri di stan Organisasi Debat, Nabilla dan Fani justru menghampiri stan yang berada di sampingnya. Stan itu masih sangat sepi. Sepertinya mereka berdua akan menjadi pendaftar pertama organisasi itu.
Dengan langkah pasti, Nabilla dan Fani berjalan melewati puluhan mahasiswa yang berbaris di depan stan Organisasi Debat.
Beberapa teman-teman angkatannya secara terang-terangan memberi mereka tatapan aneh karena alih-alih ikut mengantri, mereka justru menghampiri stan organisasi yang belum ada peminatnya.
Berawal dari perasaan ragu mendaftar di organisasi baru yang bahkan tidak menyediakan poin SPAMA dalam setiap kegiatannya, kini Nabilla dan Fani justru bertekad ingin membuktikan kepada semua orang bahwa Organisasi PERMAMSA suatu saat dapat mengharumkan nama kampus.
Nabilla dan Fani berhenti tepat di belakang tubuh Gangga. Cowok itu sejak tadi masih berdiri di depan stan Organisasi PERMAMSA. Diam-diam menguping ucapan Bagas.
"Bisa dilihat? Ada atau enggaknya keributan tadi, semua orang tahu mana organisasi yang berkualitas dan mana yang enggak? Mendingan sekarang kalian balik aja?" Gangga tersenyum tipis. “Buang-buang tenaga. Udah terbukti enggak ada mahasiswa yang tertarik masuk organisasi lo—”
"Permisi, Kak. Bisa geser dikit enggak?" Tanya Nabilla sengaja memotong ucapan Gangga.
Tindakan Nabilla mendapatkan perhatian dari semua orang di tempat itu. Mulai dari panitia Debat sampai teman-teman seangkatannya. Theo, Yudha, dan Juan yang mengenali sosok Nabilla sebagai teman Chandra juga ikut mematung kaget.
Gangga yang merasa tersinggung karena ucapannya dipotong langsung memberikan tatapan tajam pada Nabilla.
Bukannya takut, Nabilla justru mendongak balas menatap polos Gangga. "Kenapa melotot gitu, Kak? Salah, ya, kalau saya minta geseran dikit? Kak Gangga menghalangi stan soalnya. Saya yang mau daftar jadi kesulitan."
"Jangan gitu, Billa." Fani menarik lengan Nabilla. “Budayakan mengantri.”
"Loh?" Nabilla kembali mendongak, kali ini ekspresinya berubah bingung. “Kak Gangga mau daftar juga? Oh, yaudah maaf kakak duluan aja kalau gitu.”
Nabilla dan Fani mati-matian menahan tawa melihat wajah Gangga berubah merah. Mereka berusaha tetap memperlihatkan ekspresi polos tanpa dosa membalas tatapan tajam Gangga.
Meski terlihat tersinggung, Gangga sama sekali tidak menanggapi tindakan Nabilla dan Fani. Mungkin cowok itu tidak ingin merusak image-nya yang sudah membaik karena permintaan maafnya beberapa menit yang lalu. Alhasil, Gangga hanya bisa memberi tatapan kesal sebelum beranjak pergi meninggalkan lobi.
Sejak kejadian itu, Nabilla dan Fani yakin namanya akan di-blacklist dari Organisasi Debat. Meski begitu, mereka berdua sama sekali tidak menyesalinya karena tidak sudi masuk organisasi yang dipimpin oleh orang seperti Gangga.
⚖️⚖️⚖️
Sikap seorang pempimpin adalah cermin anggota. Pemimpin yang baik dapat mencapai hal-hal luar biasa dari orang-orang biasa tanpa perlu menjatuhkan untuk terlihat tinggi.
⚖️⚖️⚖️
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
