
Pernikahan Viona dan Ibram yang selama ini baik-baik saja, ternyata tak lebih hanya dijadikan Ibram sebagai cara untuk bisa membahagiakan anak dan istrinya di pernikahannya yang pertama.
Bagaimana Viona menyikapi kesalahan fatal yang telah Ibram lakukan?
Bab 1
"Ma, ini di foto Papa gendong siapa, sih?" seru Cahaya, putriku. Anak enam tahun itu berlari ke arahku yang sedang memakai krim malam.
"Mana?" tanyaku santai tanpa mengalihkan pandangan dari cermin. Paling itu foto Mas Ibram menggendong Cahaya saat masih bayi. Bukankah anak seusia Cahaya sering tak mengenali foto dirinya saat masih bayi?
"Ini, loh, Ma!" Cahaya mengangsurkan selembar kertas foto kepadaku. Setelah menepuk lembut kedua pipiku, aku menerima foto yang diberikan Cahaya.
Dahiku mengernyit menatap foto itu. Foto itu tampak sudah cukup lama. Warnanya juga sudah agak pudar. Mas Ibram tampak menggendong anak kisaran usia tiga tahun. Aku bisa pastikan itu bukan foto Cahaya. Juga wanita yang berdiri di samping Mas Ibram bukan aku.
"Siapa, Ma?" tanya Cahaya masih sambil berdiri menunggu jawabanku. Karena biasanya dengan telaten aku menjelaskan apa saja kepadanya.
"Emh, mungkin ini keponakan papa di kampung, Ya," jelasku pada Cahaya. Sekaligus mensugesti pikiranku sendiri agar tak berpikir macam-macam.
Karena setahuku Mas Ibram itu dulunya memang duda. Namun, ia duda tanpa anak, karena istrinya meninggal saat melahirkan anak mereka. Itu sebabnya Mas Ibram merantau ke sini dan akhirnya menikah denganku delapan tahun lalu.
"Oh." Bibir mungil Cahaya membulat mendengar penjelasanku.
"Aya dapat foto itu dari mana?" selidikku.
"Di laci Papa," jawabnya.
"Laci?" ulangku sembari menautkan kedua alis.
"Iya, Ma. Aya mau pinjam pulpen Papa buat gambar ikan, terus cari di laci enggak ada. Malah nemu foto ini," jelasnya.
"Emang pulpen Aya kemana?"
"Pensil Aya patah," jawabnya.
"Ya, sudah. Ayo, temani Mama balikin foto ini!" ajakku.
Anak perempuan berpiama pink itu menurut. Kami bergandengan tangan menuju ruang kerja Mas Ibram. Anak itu tampak ceria, berbeda denganku yang sibuk dengan berbagai pikiran buruk.
Siapa wanita dan anak itu? Mungkinkah mereka anak istri Mas Ibram sebelumnya? Lalu kenapa Mas Ibram mengatakan kalau istrinya sudah meninggal sehingga ia duda tanpa anak?
Kalau itu benar, lalu siapa perempuan dan anak itu? Jika hanya sekedar saudara, tak mungkin Mas Ibram sampai menyimpannya.
"Di laci ini, Ma!" Cahaya menunjuk laci meja kerja Mas Ibram. "Aya dapat foto itu di sini."
Aku segera membuka laci tersebut. Selama ini aku terlalu percaya pada Mas Ibram, sehingga tak pernah mengecek ruang kerjanya. Di mataku selama ini ia sosok suami dan ayah yang lurus-lurus saja, tak pernah macam-macam.
"Di sini Aya nemunya?" tanyaku pada anak bermata bulat yang berdiri di sampingku.
"Iya, di bawah buku-buku itu, Ma," jelasnya.
"Ya, sudah. Kita balikin di sini, ya? Takut Papa nyariin," ucapku sembari meletakkan kembali foto itu di bawah buku sesuai dengan yang dikatakan Cahaya.
Anak itu mengangguk. Sejurus kemudian, ia menguap. "Aya ngantuk, Ma."
"Ya, sudah. Bobo sama Mbak Susi dulu, ya? Mama ada yang mau dikerjain."
Cahaya menurut. Anak itu melangkah keluar menuju kamar pengasuhnya, Mbak Susi.
Sementara aku mencari-cari hal lain di ruang kerja Mas Ibram. Aku ingin menemukan hal lain yang sekiranya bisa memberiku petunjuk tentang foto itu. Kalau tidak, mungkin ada hal lain yang Mas Ibram lakukan di belakangku.
Aku membuka buku yang menumpuk foto tadi. Itu hanya buku agenda. Tak ada tulisan yang aneh-aneh. Semua tampak biasa. Aku tak menemukan sesuatu yang ganjil di ruang kerja Mas Ibram selain foto tadi.
Kuputuskan mengambil foto itu dan akan kutanyakan nanti pada Mas Ibram langsung kalau dia pulang. Aku tak suka ada rahasia di antara kami. Apalagi selama ini, aku juga tak pernah menyimpan apapun dari dia.
Aku berjalan kembali ke kamar sembari memandangi foto itu. Kepalaku sibuk menerka, siapa wanita dan anak dalam foto bersama Mas Ibram itu. Mungkinkah lelaki yang selama ini tak banyak tingkah itu mengkhianatiku?
Saat aku duduk di bibir ranjang, ponsel di sampingku bergetar. Tampak Tania menelepon.
"Ya, Tan!" sapaku.
"Vi, lu lagi dimana?" tanyanya.
"Di rumah. Kenapa? Mau ajak kemana malam-malam gini?"
"Suamimu?" Bukannya menjawab, ia balik bertanya lagi.
"Di kantor paling. Biasa akhir bulan," jelasku percaya diri. Karena aku tahu kesibukan Mas Ibram saat akhir bulan.
"Aku punya tetangga baru," ucap Tania. Tidak nyambung dengan pertanyaan-pertanyaannya tadi.
"Terus?" tanyaku.
"Aku pikir dia saudara kamu, Vi," ucapnya.
"Kok, bisa?" tanyaku penasaran.
"Soalnya sejak pagi, suamimu sibuk bantu dia pindahan," jelas Tania.
"Masa, sih? Kamu ketemu Ibram?" tanyaku tak percaya.
"Ketemu langsung, sih, enggak. Tapi aku liatin mereka dari lantai dua. Kan, rumahnya persis di depan rumahku," jelasnya. "Tuh, mobil Ibram juga masih di situ."
"Yang benar, Tan?" kejarku. Dadaku tiba-tiba saja panas mendengar itu. Meski aku tak bertanya pada Mas Ibram keberadaanya, tetapi di pikiranku lelaki itu masih di kantor.
"Benar, Vi. Nanti aku fotoin."
"Enggak usah, aku ke tempat kamu sekarang aja!"
Bergegas aku mengganti pakaian, lalu menyambar kunci mobil dan melaju ke perumahan baru Tania, sahabatku. Perjalanan yang harusnya memakan waktu setengah jam, aku tempuh hanya dalam waktu 20 menit.
Mobil langsung aku parkir di depan pagar rumah Tania. Kemudian menelepon wanita itu mengabari kalau aku sudah di depan. Sejurus kemudian, Tania keluar.
"Itu, mobil suamimu masih di situ!" ujar Tania sembari menunjuk rumah yang berseberangan dengan rumah barunya itu menggunakan dagu.
"Kita langsung ke sana aja, ya!" pintaku.
Tania mengangguk setuju. Tanpa aba-aba kami memasuki pagar rumah yang tidak dikunci itu. Setelah melewati halaman yang tidak begitu luas, kami berdiri di depan pintu.
Setelah menghela napas, aku mengetuk pintu rumah itu. Aku dan Tania saling berpandangan saat mendengar suara kunci rumah diputar.
Sejurus kemudian tampak anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dari balik pintu. Dia memandangiku dan Tania dengan tatapan bingung. Tentu saja karena kami memang tak saling mengenal.
"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.
Anak itu mengangguk.
"Ayah, ada tamu!" seru anak itu
"Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu.
"Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.
Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku.
"Viona?"
Bab 2
"Mama sama papanya ada, Dek?" tanya Tania.
Anak itu mengangguk.
"Ayah, ada tamu!" seru anak itu.
"Siapa, Bi?" Jantungku seperti mau meloncat saat mendengar bariton yang menyahut anak itu.
"Enggak tahu, Yah," jawab anak itu.
Wajahku pasti sudah berubah merah saat ini. Terlebih saat lelaki yang sangat aku kenali muncul menemui kami. Seketika mata lelaki itu melotot melihat keberadaanku.
"Viona?"
"Ya, sedang apa kamu di sini?" Aku mengangkat wajah sembari menatap tajam pada Mas Ibram.
"E ... itu ... anu ...." Mas Ibram gagap. Tangan kanannya mengusap-usap tengkuknya.
"Anu apa? Siapa dia?" tanyaku lagi sembari menunjuk anak laki-laki di samping Mas Ibram dengan daguku.
Belum juga Mas Ibram menjawab, terlihat seorang wanita menuntun balita--mungkin berusia dua tahunan-- berjalan menuju pintu tempat kami berdiri.
"Siapa, Mas?" tanya wanita dengan riasan cukup tebal sembari mendekati Mas Ibram. Suaranya mendayu membuat telingaku gatal.
Kedua alisku bertaut melihat wajah wanita itu. Satu kata yang pas, kampungan!
Alisnya sangat kentara buatan tangan tak profesional. Sangat hitam dan tebal seperti ulat bulu menempel di atas matanya. Dia juga menggunakan softlens warna cokelat. Kontras sekali dengan alisnya. Bulu matanya juga terlihat kaku. Kalaupun ia memasang bulu mata, tentu itu yang murahan. Kemudian bibirnya, bibir tebal itu berwarna pink magenta.
Siapapun yang melihatnya, pasti akan menahan tawa.
Tuhan, kenal dimana Mas Ibram dengan ondel-ondel seperti ini?
Begitu memandangku, wajah wanita itu langsung berubah pias. Kepercayaan diri yang tadi memancar darinya sirna seketika. Kini wanita itu menunduk tampak salah tingkah.
Apakah dia mengenalku?
"Siapa mereka?" tanyaku pada Mas Ibram.
"Bi, kamu masuk dulu, ajak Sabrina juga, ya!" titah Mas Ibram pada bocah laki-laki yang tadi membukakan pintu.
Anak itu mengangguk, kemudian mengambil alih tangan bocah perempuan yang tadi digandeng ondel-ondel itu. Sejurus kemudian anak itu melesat ke dalam.
"Ma, masuk dulu, yuk!" pinta Mas Ibram.
"Enggak perlu!" tolakku tegas. "Jelaskan saja, siapa mereka?"
"Mereka ... saudaraku, Ma," jelas Mas Ibram.
Saudara? Apa Mas Ibram bercanda?
"Saudara?" tanyaku sembari menyipitkan mata.
"I-iya, Ma. Tadinya ... mereka tinggal di Kalimantan. Tapi ... suami Rena meninggal, jadi ... aku ... bantu dia cari rumah di sini," jelasnya.
"Kamu pikir aku tuli?" sinisku.
"M-maksud kamu apa, Ma?" tanya Mas Ibram. Aku yakin dia tahu apa yang aku maksud.
"Heh! Saudara yang gimana, sampai panggil kamu ayah?" cibirku.
"Emh, itu ...."
"Apa?" bentakku. "Tolong jujur! Siapa mereka?" Kali ini aku tak bisa menahan diri lagi. Beraninya Mas Ibram berbohong kepadaku!
"Aku ... memang meminta Fabian dan Sabrina untuk panggil aku ayah, Ma. Kasihan, ayah mereka sudah meninggal," jelasnya.
"Oh, ya? Benarkah kamu sebaik itu?" tanyaku tak percaya.
"Maksud Mama?" Mas Ibram tampak tersinggung dengan perkataanku.
"Ya, gitu. Emang dia saudaramu dari siapa? Kenapa aku enggak pernah lihat?" desakku.
"Sudah Papa bilang, Ma. Tadinya mereka di luar pulau. Dia ... sepupu Papa. Emh, anaknya adik ibu, tapi sejak dulu mereka di Kalimantan," jelas Mas Ibram.
Benarkah? Namun, aku merasa tak bisa percaya begitu saja.
"I-iya, Mbak. Yang Mas Ibram bilang semua benar," timpal Rena si ondel-ondel. "Saya ... sepupu Mas Ibram," akunya.
Aku hanya menaikkan kedua alis. Semoga yang mereka katakan benar. Kalau sampai ketahuan bohong, aku tidak segan untuk menendang Mas Ibram ke neraka.
"Terus, kenapa pindah ke sini?" tanyaku lagi. Aku masih tak puas dengan penjelasan mereka.
"Di Kalimantan, saya udah enggak punya siapa-siapa, Mbak. Orang tua saya sudah meninggal. Begitu juga suami saya," jelasnya.
"Kenapa enggak pindah ke kampung aja? Kenapa pilih di sini?" cecarku.
"Ma! Kamu berlebihan!" tegur Mas Ibram.
"Berlebihan?" tanyaku tak percaya. "Kamu bilang aku berlebihan? Kamu sendiri? Apa yang sudah kamu lakukan? Kamu minta anak orang buat panggil kamu ayah tanpa meminta persetujuanku? Atau jangan-jangan .... mereka memang anakmu?"
"Ma! Jangan sembarangan kalau ngomong!" bentak Mas Ibram. Tampak sekali laki-laki itu tersinggung dengan ucapanku. "Mereka itu baru saja kehilangan, Ma! Mereka baru kehilangan sosok ayah dan suami. Enggak bisakah kamu berempati?"
Dadaku rasanya seperti terbakar. Mas Ibram menyalahkanku di depan orang lain? Lelaki yang selama ini sangat patuh padaku berani membentakku di depan sepupu dan sahabatku?
"Kalau caramu enggak begini, aku enggak mungkin seperti ini juga! Kalau sampai kamu ketahuan bohong, aku enggak akan segan menendangmu ke neraka!" ancamku.
"Mbak! Tolong jangan salah paham!" pinta Rena mengiba. "Aku minta Mas Ibram carikan rumah di sini, karena di kampung, tanah orang tuaku sudah dijual. Makanya aku beli di sini. Aku juga mau buka usaha atau cari kerja. Dan itu sulit aku lakukan kalau di kampung."
Oh, punya banyak uang rupanya wanita ini. Oke, kita lihat. Benarkah yang mereka katakan?
Tania yang sejak tadi diam hanya menyaksikan, mengelus lembut lenganku. Dia pasti tahu, kalau aku sudah marah, aku bisa tak peduli apa-apa lagi. Tanganku cukup dingin untuk menyakiti orang lain.
"Terserah! Kalau sampai aku tahu kalian bohong, tunggu saja!" ancamku dengan menyipitkan mata.
Tampak kedua manusia itu menelan salivanya dengan susah payah. Berkali-kali mata ondel-ondel itu mengerjap seperti orang ketakutan.
"Mas, sudah! Tolong kamu segera pulang saja! Kami berterima kasih sekali sudah dibantu seperti ini!" ucap Rena pada Mas Ibram.
Mas Ibram mengangguk, lalu memegang tangan Rena yang memegangi lengannya. "Ya, sudah. Aku pulang dulu. Sampaikan pada Fabian dan Sabrina!"
Tanpa mempedulikanku, Mas Ibram pergi begitu saja ke mobilnya. Rasanya baru kali ini aku melihat Mas Ibram semarah ini.
Apa aku benar-benar sudah keterlaluan? Namun, apa aku salah sudah curiga pada suamiku yang tertangkap basah sedang di rumah wanita lain?
Ah, sial!
Tanpa pamit pada Rena, aku dan Tania juga meninggalkan rumah itu. Dengan dada yang masih panas juga sesak atas sikap Mas Ibram, aku menuju rumah Tania.
"Menurutmu gimana, Tan?" tanyaku saat kami sampai di pagar rumah baru Tania.
"Gimana, ya, Vi? Aku enggak mau bikin kamu tambah parno, tapi kalau emang mereka saudara Ibram dan mereka sedekat itu, kenapa Ibram enggak cerita sama kamu sebelumnya tentang kedatangan mereka?"
Tania benar. Kalau begitu, siapa sebenarnya mereka? Kenapa Mas Ibram seolah berusaha menyembunyikannya dariku.
"Tan, besok temani aku ke kampung halaman Ibram, ya!"
Aku harus menyelidikinya.
.
Bab 3
Aku menyetir ugal-ugalan saat pulang dari rumah baru Tania. Aku yakin ada yang tidak beres pada Mas Ibram. Aku tak bisa percaya begitu saja kalau mereka itu sepupunya.
"Aku harus mencari tahu!" tekadku.
Tiba di halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram terparkir asal. Sehingga mobilku tak bisa masuk ke garasi.
Apakah dia ingin menunjukkan padaku kalau dia sedang marah?Siapa yang harusnya lebih marah di sini?
Aku tentunya. Ayah dari anakku dipanggil Ayah oleh anak wanita lain. Benar-benar tak bisa dipercaya.
Kuparkir asal juga mobilku di belakang Mas Ibram. Biar nanti Pak Tejo yang memasukkan ke garasi. Ubun-ubunku seperti mendidih. Aku harus melampiaskan pada Mas Ibram.
Lampu-lampu taman menerangi halaman menyamarkan pekatnya malam. Lampu mobilku terpantul pada body mobil samping Mas Ibram. Kubanting pintu mobil dengan keras. Kemudian melangkah dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.
Tiba di kamar, tampak Mas Ibram sudah berbaring dengan memejamkan mata. Lengan kirinya berada di keningnya. Aku yakin laki-laki ini pasti belum tidur. Dia hanya ingin menghindariku.
"Aku masih menunggu penjelasanmu!" ucapku sembari berdiri di sisi ranjang menatapnya marah.
"Penjelasan apalagi, Ma?" Lelaki itu menurunkan tangannya yang tadi di kening kemudian beringsut duduk.
"Aku enggak percaya kalau Rena sepupumu."
"Terus aku harus gimana?" tanya Mas Ibram sembari menatapku malas. "Aku harus bilang Rena itu siapa? Heh?"
Aku tak bisa menjawab. Karena aku pun ragu kalau Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Lihat saja penampilannya. Ia persis ondel-ondel yang diarak keliling kampung. Berbeda 180 derajat denganku.
Apa mungkin Mas Ibram yang sudah punya segalanya dengan menikahiku dengan bodoh berselingkuh dengan wanita seperti itu?
Secara fisik, bukannya sombong, tapi aku memang perfect. Aku rajin perawatan, diet ketat untuk menjaga penampilan.
Secara pendidikan, aku di atas Mas Ibram. Dia lulus sarjana saja setelah menikah denganku. Sebelumnya dia lulusan SMA yang bekerja jadi pramuniaga di salah satu cabang mini market papaku.
Lelaki itu jadi karyawan kesayangan Papa. Karena ia rajin bekerja, rajin ibadah, jujur, dan patuh sekali dengan semua titah Papa. Sehingga dengan mantap Papa mengenalkannya padaku.
"Papa merasa menemukan penerus Papa dijiwa Ibram," ucap Papa saat itu.
Aku yang sejak kecil terbiasa apapun dipilihkan oleh Papa, menurut saja saat Papa mengenalkan pada Mas Ibram. Kebetulan saat itu aku sudah putus dengan Rian. Dia bekerja di perusahaan asing di Singapore, dan hubungan LDR kami tak berjalan mulus.
Sehingga aku dengan mudah membuka hati saat dikenalkan dengan Mas Ibram. Meskipun dia duda, secara fisik dia masuk kriteria. Dia lelaki rapi, bertingkah laku baik, dan ... penurut. Itu poin paling penting. Usia kami juga tak terpaut jauh. Mas Ibram saat itu 33 tahun, aku 28 tahun.
"Ma!"
Aku tersentak ketika Mas Ibram memanggil dan menyentuh jemariku. Aku menatap lelaki yang kini menatapku.
"Udah, kamu enggak usah mikir yang aneh-aneh!" pintanya. "Kalau kamu enggak setuju anak-anak Rena panggil aku ayah, besok aku bilang ke mereka," ucapnya lagi sembari menarikku ke tempat tidur.
"Kalau memang dia sepupumu, kenapa kamu enggak pernah cerita ke aku?" Kutatap matanya dengan tajam. Lelaki yang kini duduk di hadapanku mengalihkan pandangannya.
"Aku pikir ... itu enggak penting buat kamu. Mereka hanya saudaraku dari kampung. Bukankah selama ini kamu tak terlalu peduli dengan saudara-saudaraku?"
Mas Ibram benar. Aku jarang sekali mau diajaknya saat pulang ke kampung. Selain karena orang tuanya sudah meninggal, dia pulangnya ke rumah adik dari ibunya. Jadi aku merasa tak nyaman di sana.
Rumah orang tuanya, dia bilang sudah dijual. Jadi bisa dibilang Mas Ibram sudah tidak punya tempat pulang lagi.
"Apa aku tak sepeduli itu?" Aku masih tak mau kalah.
"Ya!" tegas Mas Ibram.
"Tapi tetap saja, harusnya kamu bilang!"
"Kalau aku bilang, apa kamu bakal peduli? Apa kamu bakal datang ke rumah Rena dan bantu-bantu dia? Tangan kamu terlalu halus untuk melakukan hal seperti itu."
Entah Mas Ibram menyindirku atau bagaimana. Yang jelas, semua yang dia katakan memang benar. Aku tak mungkin mau bantu-bantu di rumah baru Rena, sedang di rumah saja aku selalu dilayani.
"Tapi seenggaknya kamu harus bilang sama aku kalau hari ini kamu enggak kerja tapi bantuin dia!" Aku masih berusaha mencari kesalahannya.
"Iya, aku salah. Aku minta maaf. Besok-besok aku bakal bilang sama kamu. Ya, sudah. Ayo, kita tidur!" ajaknya. Kemudian lelaki itu menarik selimut untuk menutupi tubuhku.
Aku mengerjapkan mata yang masih berat saat merasakan pipiku dicium dan dibelai dengan lembut. Cara Mas Ibram membangunkanku sejak kami awal menikah.
"Selamat pagi, Sayang. Assalamualaikum," ucapnya saat mataku akhirnya terbuka.
"Jam berapa ini?" tanyaku malas.
"Jam lima bentar lagi. Ayo, buruan bangun terus solat subuh!" titahnya.
Meski berat, aku menurut saja. Aku mulai melaksanakan solat sejak menikah dengan Mas Ibram. Meski awalnya itu berat sekali untuk kulakukan, tetapi lama-lama aku terbiasa. Meskipun aku masih buka tutup jilbab. Karena lingkunganku memang kurang mendukung.
Aktivitas pagi, kami lakukan seperti biasa. Setelah Mas Ibram berangkat ke kantornya dan Cahaya berangkat ke sekolah, aku segera menghubungi Tania untuk menemaniku ke kampung Mas Ibram.
Setelah Tania siap, aku langsung memacu mobil ke rumahnya. 30 menit kemudian, aku sampai di rumah Tania. Kuparkir mobil di depan pagar rumahnya.
Aku tak langsung turun. Sengaja aku ingin mengamati rumah Rena. Siapa tahu Mas Ibram mampir ke sana tanpa izin kepadaku. Cukup lama aku mengamatinya, tetapi tak ada tanda-tanda apa-apa. Rumah itu tampak sepi-sepi saja.
"Vi!" Aku terkejut saat tiba-tiba Tania mengetuk kaca pintu mobilku. "Ngapain kamu? Kok enggak langsung masuk?"
Kulepas sabuk pengaman, kemudian turun dari mobil. "Lagi liatin rumah tetangga baru kamu," jelasku setelah berdiri di depan pemilik beberapa butik ini.
"Ngapain?" ucapnya sembari tersenyum lebar. "Tenang aja, aku siap jadi CCTV kamu."
"Oke, deh! Aku percaya sama kamu."
"Ya, udah, yuk langsung berangkat aja!" ajak Tania sembari memutari kap mobilku menuju pintu sebelah.
Segera saja aku masuk kembali ke mobil. Memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin.
"Gimana Ibram?" tanya wanita yang mengenakan dress selutut berbahan jeans yang kini duduk di sampingku.
Aku menoleh sekilas, kemudian kembali fokus ke jalanan. "Sama. Dia tetap bilang kalau Rena sepupunya."
Dari sudut mata tampak Tania mendecih tak percaya. Aku hanya tersenyum getir mengingatnya.
Perjalanan yang kami tempuh memakan waktu cukup lama. Hampir lima jam. Kampung Mas Ibram berada di pelosok. Untung sekarang jalannya sudah bagus. Dulu pertama kali aku datang, jalannya rusak parah. Itu salah satu sebab aku malas saat diajaknya ke kampung ini.
Suasana asri cukup memanjakan mata. Kanan kiri jalan penuh dengan rumpun bambu. Kemudian kebun dan sawah. Saat tiba di kampung, mataku di suguhi pemandangan beberapa rumah yang terbuat dari papan. Meskipun ada juga rumah gedong berlantai dua.
"Yang mana rumah bibinya Mas Ibram, ya?"
Aku bingung dengan suasana kampung yang sudah banyak berubah. Meskipun masih banyak unggas-unggas berkeliaran. Suara kambing dan sapi pun tak ketinggalan.
Namun, kampung ini sudah banyak berubah. Jalan ini menjadi lebar dan muat dilalui mobil, padahal dulu saat aku terakhir ke sini masih jalan setapak yang berbatu.
"Tanya aja, Vi!" usul Tania.
"Oke."
Kutepikan mobil kemudian berjalan ke arah segerombolan wanita yang sedang duduk di teras.
"Maaf, Bu, numpang tanya. Rumahnya Bu Lasmi sebelah mana, ya?"
"Lasmi istri Pak Samin?" tanya salah seorang dari mereka.
"Saudaranya Mas Ibram," jelasku. Karena aku lupa nama suami bibi Mas Ibram.
"Owh, Mas Ibram yang sukses itu?" sahut beberapa wanita itu. "Itu, lurus aja terus sampai mentok baru belok kiri. Rumahnya tembok warna kuning."
"Makasih, Bu."
Segera aku kembali ke mobil dan mengikuti petunjuk ibu-ibu tadi. Mobil terparkir di pinggir jalan. Karena rumah bibi Mas Ibram halamannya sempit.
"Ini rumahnya?" tanya Tania.
"Iya, yuk!"
Saat kami turun dari mobil, aku sangat terkejut. Tiba-tiba Tania menjerit ketakutan.
"Auw! Viona! Tolong!"
Bergegas aku berlari ke arah Tania. "Ada apa?"
Tania yang berlari tak langsung menjawab. Setelah sampai di teras rumah bibi Mas Ibram, dia mengusap-usap kakinya.
"Aku dipatok ayam!" teriaknya manja.
Mataku langsung melebar dan mencari keberadaan ayam yang dimaksud Tania. Ternyata ada induk ayam beserta anak-anaknya. Tampak salah satu anak ayam itu berjalan pincang.
"Kamu injak anaknya, ya?" tebakku.
"Iya, aku enggak tahu. Aduh!" Tania masih mengusap-usap kakinya.
Tak berselang lama pintu rumah bibi Mas Ibram terbuka. Muncul wanita yang wajahnya masih kukenali. Dia menatap bingung pada Tania. Kemudian dahinya mengernyit saat menatapaku.
"Bi Lasmi!" seruku. Mas Ibram yang mengajariku memanggilnya Bibi.
Wanita itu menautkan kedua alisnya sembari masih menatapku. Mungkin dia tak mengenaliku.
"Aku Viona, Bi!" Aku mendekat, menjabat tangannya dan memeluk wanita yang masih mematung itu.
"Viona istri Ibram?" Ia tampak masih berpikir. Kedua tangannya memegang bahuku dan memandang wajahku lekat. "Ya Allah!" serunya. "Istri Ibrahim?"
Aku mengangguk sembari tersenyum lebar. Nama Mas Ibram memang Ibrahim, Ibrahim Husein lengkapnya. Namun, ia biasa dipanggil Ibram. Lebih simpel juga.
"Ya Allah, mimpi apa aku semalam?" ucap Bibi Lasti. "Ayo, ayo, masuk!"
Aku dan Tania memasuki rumah Bibi Lasmi. Rumah ini juga sudah banyak berubah. Lantainya sekarang keramik. Dulu terakhir aku ke sini masih lantai berwarna hitam. Isi rumahnya juga lebih lengkap. Ada televisi tabung, kipas angin dan barang-barang lainnya. Ternyata aku sudah cukup lama tidak ke sini.
"Gimana kabar Ibrahim dan Cahaya?" tanya Bi Lasmi tanpa melepaskan tangannya dari lenganku. "Kenapa enggak ikut?"
"Mas Ibram dan Aya baik, Bi. Mas Ibram kerja, Aya sekolah," jelasku.
Kami berbasa basi cukup lama. Bi Lasmi membuatkan kami teh panas. Kalau di sini tehnya tidak pakai gula. Mereka membuat teh ini dari tanaman teh langsung. Jadi aromanya lebih wangi. Bi Lasmi sudah menyediakan gula di meja. Untuk tamu yang sukanya teh manis sepertiku dan Tania.
"Ada apa, Mbak Viona, kok, kayanya ada sesuatu ini? Enggak biasanya Mbak Viona ke sini. Enggak sama Ibrahim lagi," tanya Bi Lasmi setelah saudara-saudara lain yang menemuiku pergi. Bi Lasmi penasaran dengan maksud kedatanganku jauh-jauh ke sini.
"Aku ingin tahu, Bi. Apa ada Bibi lain yang belum aku kenal?" tanyaku. "Maksudku adiknya ibu Mas Ibram."
"Loh, ya enggak ada, to, Mbak. Kami cuma tiga bersaudara. Almarhum Mbak Sumi, aku, sama Lik Parjan," jelasnya.
Waow! Mas Ibram sudah bohong. Lalu siapa Rena?
"Apa ada saudara yang bernama Rena?" tanyaku lagi.
"Rena ... Rena ... Rena ...," lirih Bi Lasmi sembari mengingat-ingat. "Enggak ada, Mbak."
Awas Mas Ibram!
"Lalu gimana dengan almarhum istri Mas Ibram? Dimana makamnya?" tanyaku.
Bi Lasmi kemudian bercerita tentang Mas Ibram dan almarhum istrinya, Maharani. Kata Bi Lasmi, dulu Mas Ibram kawin lari karena orang tua Mas Ibram tak setuju dia menikah dengan Maharani.
Maharani terkenal sebagai gadis badung. Ia sering menjual barang-barang milik orang tuanya. Entah uangnya untuk apa. Namun, Mas Ibram sepertinya cinta mati sama Maharani. Sampai mereka nekat kawin lari.
Lima tahun tahun kemudian Mas Ibram pulang. Dia bilang Maharani yang biasa dipanggil Rani meninggal saat melahirkan. Dan dia minta restu untuk menikah denganku.
"Jadi, almarhum enggak dimakamkan di sini?" tanyaku.
"Enggak. Ibrahim bilang di Kalimantan. Tapi, Kalimantan mana Bibi enggak tahu."
"Kalimantan?" lirihku.
Kenapa aku jadi teringat dengan Rena? Mungkinkah sebenarnya Rani belum meninggal dan dia itu Rena?
Jantungku seperti mau meloncat memikirkan itu. Segera kuambil foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Kemudian menanyakannya pada Bi Lasmi.
"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"
.
Bab 4
"Bibi tahu siapa wanita dan anak di foto ini?"
Kuangsurkan foto yang kemarin ditunjukkan Cahaya. Bi Lasmi menerima foto itu. Kedua alisnya bertaut memandangi foto tersebut. Cukup lama. Karena memang gambar di kertas foto tersebut sudah cukup pudar. Tinggal menyisakan warna hitam keabuan dan putih kekuningan.
"Ini Ibrahim," ucapnya sembari menunjuk gambar Mas Ibram. "Yang ini Rani kayanya. Dulu anak itu rambutnya ikal dan ngembang begini," jelasnya saat menunjuk gambar wanita yang berdiri di samping Mas Ibram. "Tapi anak ini, Bibi belum pernah lihat."
"Oke, Bi. Makasih, ya."
Kuambil kembali foto tersebut. Akan kutunjukkan ini pada Mas Ibram nanti ketika bukti yang kukumpulkan sudah cukup. Berbicara tanpa bukti akan sangat mudah membuat Mas Ibram mengelak. Tak mungkin maling akan mudah mengaku ketika masih ada celah untuk berbohong.
Kutanyakan juga perihal rumah orang tua Mas Ibram. Ternyata memang benar. Rumah dan sawah peninggalan orang tuanya telah habis terjual sesaat setelah orang tua Mas Ibram meninggal.
Kata Bi Lasmi, ibu Mas Ibram meninggal tak lama setelah Mas Ibram kawin lari dengan Rani. Setelahnya, ayahnya sakit-sakitan. Bi Lasmi yang mengurus sampai lelaki malang itu akhirnya menyusul sang istri.
Mengetahui orang tuanya meninggal, Mas Ibram pulang sendiri tanpa Rani. Kemudian rumah dan sawah peninggalan orang tuanya dia jual. Karena Mas Ibram anak tunggal, maka hasil penjualan itu semua diambilnya.
Bahkan Bi Lasmi yang merawat ayahnya saja tak diberi sedikit uang itu. Padahal hubungan ayah Mas Ibram dengan Bi Lasmi itu ipar.
Setelah menjual semua tanahnya di kampung ini Mas Ibram kembali ke Kalimantan. Baru pulang lagi ketika mengabari akan menikah denganku. Lima tahun setelah kawin larinya itu.
Aku tak menyangka Mas Ibram sepelit itu pada saudaranya. Delapan tahun berumah tangga, ternyata masih ada sisi lain yang belum aku mengerti sepenuhnya.
Setelah banyak berbincang-bincang, aku dan Tania pamit untuk pulang. Bi Lasmi hendak membawakan oleh-oleh, tetapi aku tak mau. Nanti Mas Ibram bisa tahu kalau aku habis dari sini.
"Coba kamu lihat foto itu, Tan! Mirip enggak sama Rena?" Aku mengangsurkan foto itu pada Tania saat masuk ke mobil.
Tania tampak mengamati foto itu. Sementara aku mulai melajukan mobil.
"Udah enggak jelas gini, sih, ya, fotonya. Jadi susah ngenalinnya. Tapi kayaknya enggak mirip, sih. Rena kemarin rambutnya lurus gitu. Badannya juga berisi beda dengan wanita di foto ini," ucap Tania.
"Jadi Rani dan Rena bukan orang yang sama, ya, Tan?" tanyaku sembari fokus ke jalanan.
"Menurutku kalau dilihat dari foto ini, sih, gitu. Tapi bisa jadi mereka satu orang. Kan, foto ini udah lama juga. Penampilan, kan, mudah diubah."
"Masuk akal."
Lima jam perjalanan kami habiskan dengan mengobrol tentang Rani, Rena, dan Mas Ibram. Sampai akhirnya kami sampai di rumah Tania.
Aku kembali mengamati rumah baru Rena. Sama seperti tadi pagi. Petang ini, rumah itu cukup sepi. Tak terlihat aktifitas di dalam rumah dari luar. Karena semua kaca tertutup.
"Tenang! Kalau nanti aku lihat Ibram ke sini, aku laporin ke kamu," ucap Tania seolah mengerti kegundahanku.
"Makasih, ya!" ucapku sembari tersenyum pada Tania. "Aku langsung pulang aja, ya! Bentar lagi Ibram pulang."
"Iya, hati-hati, ya! Kamu harus main cantik. Jangan gegabah dari pada Ibram lebih rapat menyembunyikan kebusukannya itu!" pesan Tania.
"Sip!" Kuacungkan jempol kananku.
Tania turun dari mobil dan melambaikan tangannya padaku. Segera kupacu kembali mobil menuju rumah. Badanku sangat lelah. Aku ingin segera bertemu ranjang dan beristirahat.
Saat mobilku memasuki halaman rumah, tampak mobil Mas Ibram sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih cepat dari biasanya.
Saat aku memasuki rumah, Mas Ibram terlihat sedang bermain dengan Cahaya. Mereka asyik bercanda di ruang keluarga.
Semanis itu hubungan kami. Aku sama sekali tak menyangka kalau Mas Ibram bisa membohongiku. Kupikir dia lelaki yang terbaik untukku dan Cahaya. Namun, kenyataannya dia sudah berbohong kepadaku.
"Mama!" seru Cahaya saat menyadari kehadiranku. Anak itu langsung berlari menghambur dalam pelukanku.
"Udah makan?" tanyaku.
"Udah, tadi disuapin Papa," jawab Cahaya.
Mas Ibram memang sangat memanjakan putrinya. Ah, bagaimana nanti kalau lelaki itu terbukti melakukan kesalahan besar kepadaku? Tegakah aku memisahkan Cahaya dari cinta pertamanya?
"Ya, udah. Mama mandi dulu, ya? Lengket banget badan Mama," pamitku pada Cahaya. Kemudian beranjak ke kamar.
Tiba di kamar, aku menghubungi Alvin, manager keuangan di kantor Mas Ibram. Aku ingin tahu dengan detail keuangan di minimarket yang dikelola oleh Mas Ibram.
Dulu awal menikah denganku, Papa mempercayakan dua minimarketnya pada Mas Ibram. Dan sekarang Mas Ibram sudah bisa mengembangkannya menjadi delapan. Itu sebabnya Papa sangat bangga pada menantu pilihannya itu.
[Vin, aku mau data real! Awas kalau kamu sampai ketahuan memanipulasi! Meskipun Pak Ibram yang mengelola, usaha ini milikku. Aku yang punya wewenang bukan Pak Ibram!] Kukirim pesan itu pada Alvin.
Sengaja aku berkata begitu, karena aku yakin di antara Mas Ibram dengan Alvin, pasti ada hal-hal yang tidak kuketahui. Sekali Mas Ibram ketahuan berbohong, sangat sulit untuk aku bisa percaya kepadanya lagi. Bahkan sepertinya tak bisa.
Tak berselang lama balasan dari Alvin kudapat.
[Baik, Bu. Tunggu sebentar!]
Tak sampai lima menit kemudian, Alvin mengirimkan dokumen melalui emailku. Segera saja kubuka dokumen tersebut. Kucari posisi nyaman dengan duduk di sofa kamar. Butuh konsentrasi penuh untuk melihat hal yang janggal pada data seperti ini.
"Ma, kok, belum mandi?" Bariton yang begitu kukenal membuatku terkejut.
"Oh, iya. Sebentar lagi," jawabku setelah menoleh sekilas pada Mas Ibram.
"Habis darimana sampai jam segini?" tanyanya sembari berjalan mendekatiku.
Segera saja kututup email dari Alvin. Aku tak mau Mas Ibram mengetahui kalau aku sedang menyelidikinya.
"Jalan sama Tania," jawabku sembari mematikan layar ponselku.
"Oh, ya, sudah, sana mandi dulu!" pintanya.
"Hm." Aku segera beranjak. Memasukkan kembali ponselku ke tas. Aku juga sudah mengubah sandi ponselku. Karena sebelumnya antara aku dan Mas Ibram saling terbuka masalah ponsel.
Aku mandi cukup lama. Sengaja. Karena aku ingin Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Aku ingin fokus melihat data yang Alvin kirim.
Perkiraanku tepat. Mas Ibram sudah tertidur saat aku keluar dari kamar mandi. Melihat itu, aku melangkah dengan berhati-hati. Karena aku tak ingin Mas Ibram sampai terbangun.
Segera saja aku mengambil ponsel dan kembali ke sofa. Tak peduli aku masih mengenakan handuk kimono ini. Aku ingin segera mengecek data keuangan kantor.
Kuamati tiap kolomnya. Taka ada pengeluaran yang tak wajar. Semua tampak normal. Sampai gaji karyawan. Iseng kubaca satu persatu nama karyawan di delapan minimarket kami. Mulai dari pramuniaga, kasir, sampai supervisor.
Dahiku mengernyit saat melihat ada yang beda dengan minimarket cabang ke lima. Ada dua orang supervisor. Padahal semua minimarket hanya ada satu supervisor.
Kenapa ini ada dua?
Segera saja kucari daftar nama supervisor. Ketemu. Kuurut satu persatu. Dan, ya, aku menemukan sebuah nama.
Rena Andini.
Supervisor bermana Rena Andini itu tak punya biodata dan kelengkapan lainnya. Hanya sebuah nama.
Mungkinkah dia Rena yang Mas Ibram akui sebagai sepupunya? Kalau benar, apa sebenarnya hubungan mereka? Apakah Maharani dan Rena Andini adalah orang yang sama?
Bab 5
Dadaku serasa terbakar memikirkan Mas Ibram ada main di belakangku. Entah Rena itu Maharani, atau Rena sebenarnya adalah selingkuhan Mas Ibram. Walaupun penampilan Rena seperti ondel-ondel begitu, tak menutup kemungkinan mereka berselingkuh.
Bukankah syarat menjadi selingkuhan itu tak harus cantik? Cukup menjadi murah saja. Itu sudah cukup.
Besok pagi aku akan menemui ondel-ondel itu di minimarket. Akan kubongkar topeng yang ia pasang kemarin di hadapanku.
Dia bilang pindah dari Kalimantan? Lalu pindah ke sini karena mau kerja atau buka usaha? Pintar sekali ia mengarang cerita. Tak tahunya selama ini ia bekerja di mini marketku. Benar-benar pembohong besar mereka berdua.
"Ma!"
Aku tersentak saat terdengar Mas Ibram memanggilku. Lelaki itu mengakat kepalanya sembari masih berbaring.
"Lagi ngapain? Kok, belum tidur?" tanyanya.
"Ini lagi balas pesan," dustaku.
"Udah malam ini, lanjut besok aja!" titahnya.
Aku beranjak dari sofa, kemudian mengganti handuk kimono dengan baju tidur. Setelahnya kurebahkan badan di samping Mas Ibram.
Lelaki yang baru saja terbangun itu menunjukkan gelagatnya ingin menyentuhku. Namun, karena sekarang aku tahu ada yang tak beres dengannya, terpaksa aku berdusta. Aku bilang sedang berhalangan. Aku tak mau disentuhnya dulu, sebelum Mas Ibram terbukti setia dan Rena benar-benar bukan siapa-siapa.
Mas Ibram menghela napas berat. Tampak ia kecewa, malam ini hasratnya tak bisa tersalurkan. Sementara aku langsung memejamkan mata, pura-pura langsung tertidur.
Pagi hari berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Cahaya berpamitan untuk ke sekolah bersama pengasuhnya, Mbak Susi. Mereka berdua diantar oleh Pak Udin, supir keluarga kami.
Beberapa saat setelah Cayaha berangkat, Mas Ibram belum juga keluar dari ruang kerjanya. Penasaran, aku naik ke lantai dua untuk menyusulnya. Aku tak langsung masuk. Kuamati dulu lelaki itu dari kaca lebar yang membentang sebagai dinding ruang kerjanya.
Terlihat lelaki itu sedang sibuk mencari-cari sesuatu. Mengangkat-angkat tumpukan berkas. Bolak-balik membuka laci. Menghentak-hentakkan buku agenda yang kemarin dia pakai menutup foto yang telah kuamankan. Bahkan ia sampai menunduk mencari-cari di kolong meja.
"Sedang cari apa, Pa?" tanyaku begitu membuka pintu ruang kerjanya.
Mas Ibram tampak terkejut melihat kedatanganku. "Ehm, ini, Ma. Ehm, ada berkas laporan yang terselip," jawabnya sembari merapikan berkas dan buku-buku yang berserak di mejanya.
Benarkah berkas laporan yang kamu cari, Pa? Atau selembar foto yang kini ada padaku? Baru tahu aku. Ternyata selama ini kamu pandai sekali berdusta!
"Laporan apa?" tanyaku pura-pura percaya. Padahal aku yakin, lelaki itu sedang mencari fotonya bersama Rani. "Aku bantu cari, ya?"
"Enggak usah!" serunya seketika. Wajah itu tampak terperangah.
Aku sampai terkejut dengan reaksinya. Dalam hati aku tersenyum jahat. Pasti Mas Ibram takut sekali kalau aku yang menemukan apa yang sedang dicarinya.
"Loh, kenapa?" tanyaku pura-pura bingung.
Kita lihat, Pa! Siapa yang akan menjadi juara dalam sandiwara ini? Kamu pikir aku tak bisa?
"Ehm, itu, Ma. Nanti biar aku cari di kantor aja. Kayaknya kemarin tertinggal di sana," kilahnya.
"Ya, sudah. Kamu cari di kantor, aku cari di sini. Siapa tahu terselip di sini," ucapku sok peduli.
"Enggak, Ma! Enggak usah! Aku sudah ingat. Kemarin sudah kukasihkan ke Mona buat direvisi," ucapnya.
"Oh." Bibirku membulat cukup lama.
"Ya, sudah. Yuk, Ma! Aku mau berangkat!" ajak Mas Ibram sembari merangkulku berjalan keluar dari ruangan ini. Setelah sampai di depan pintu, lelaki itu menutup dan mengunci pintu ruang kerjanya.
"Kenapa dikunci, Pa?" protesku. Karena selama ini tak pernah Mas Ibram mengunci ruangan ini.
"Takut Mbok Sar atau Mbok Inul masuk, Ma. Nanti malah ada yang hilang," ujarnya.
"Biasanya juga mereka bersih-bersih, semuanya aman, Pa!" Sengaja aku tak setuju dengan perkataannya.
"Udah, aku mau berangkat dulu, ya!" pamitnya tampa peduli argumenku. Diciumnya keningku dengan terburu-buru kemudian tanpa kata ia berjalan cepat menuruni anak tangga.
Aku sampai melongo melihatnya. Padahal biasanya aku mengantarnya sampai teras. Baru ia mencium keningku. Kemudian aku mencium tangannya dan ia berangkat.
Meskipun Mas Ibram meninggalkanku, aku menyusulnya sampai teras. Aku ingin memastikan lelaki itu sudah pergi dari rumah. Karena hari ini aku akan mengunjungi mini market tempat Rena bekerja.
Setelah melihat pintu gerbang ditutup Pak Sarno, aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap. Kupandangi pantulan diri di cermin. Aku mengenakan tunik polos warna navy dipadukan celana kulot berbahan jeans. Hari ini aku juga mengenakan pasmina warna hitam.
Terlihat di cermin, kulitku yang putih begitu kontras dengan pakaian yang kukenakan. Meskipun usiaku sudah tak muda, namun tubuh dan wajahku tak ikut tua. Mataku masih sebening dulu, tanpa kerutan di sekitarnya. Hidungku juga runcing berpadu dengan bibir tipis warisan Mama. Dulu waktu gadis Mama selalu bilang aku mirip artis Fairus A. Rafiq.
Benar-benar bodoh dan buta kalau sampai Mas Ibram berselingkuh dengan Rena. Kami seperti langit dengan bumi. Bukannya aku sombong, tetapi itu memang fakta setelah pertemuan kami kemarin.
Setelah merasa puas cukup melihat penampilanku, segera aku mengambil kontak mobil dan keluar menuju garasi. Sebelumnya juga sudah kupastikan bahwa Mas Ibram hari ini tak ada jadwal berkunjung ke mini market tempat Rena bekerja.
Kupacu mobil dengan bersemangat. Ingin kupermalukan ondel-ondel itu di depan umum. Berani sekali dia menipuku. Sedang ia ternyata bekerja di mini marketku. Dia pikir bisa bersembunyi di ketiak Mas Ibram.
Oh, ya. Rumah itu. Darimana dia punya uang sebanyak itu untuk membeli rumah di perumahan yang cukup elit? Meskipun cuma satu lantai, tak seperti rumah Tania, tetapi harga tanah dan rumah di perumahan itu cukup tinggi. Tania saja sampai menjual dua kapling tanahnya untuk menambah kekurangan uang tabungannya.
Lalu Rena? Dia cuma supervisor di mini marketku. Aku tahu gajinya berapa. Butuh waktu puluhan tahun untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak harga rumah itu.
Jangan-jangan ...?
Awas saja Mas Ibram kalau sampai dia ketahuan membelikan Rena rumah itu. Akan kutendang mereka ke asalnya.
Tak sampai satu jam perjalanan, mobilku sudah terparkir di area parkir mini Market. Begitu turun dari mobil, salah seorang pramuniaga yang sedang mengecek barang dari mobil box mengangguk hormat kepadaku. Persis seperti Mas Ibram dulu.
Aku melangkah menuju pintu masuk setelah tersenyum simpul pada pramuniaga tersebut. Kudorong pintu kaca. Sambutan serupa kuterima dari dua kasir dan dua orang pramuniaga lainnya.
Setelah tersenyum simpul pada mereka, kulanjutkan langkah menuju pintu yang ada di pojok. Ruangan itu tempat supervisor mengolah laporan harian toko.
Setelah mengetuk pintu, aku menekan handelnya. Seketika pintu terbuka. Ada seorang supervisor laki-laki duduk di depan komputer. Melihat kedatanganku, laki-laki itu berdiri.
"Selamat pagi, Bu!" sapanya sembari mengangguk hormat.
"Selamat pagi," jawabku. "Dimana temanmu?" tanyaku langsung pada intinya.
"Teman ...?" Supervisor itu tampak bingung.
"Iya, bukannya bukan cuma kamu supervisor di sini?" tegasku.
"Maksud Ibu?"
"Aku mau ketemu sama supervisor yang bernama Rena Andini!" jelasku tegas. Aku tak suka bertele-tele seperti itu.
"Supervisor Rena Andini?" Dia balik bertanya.
"Ya, dimana dia?" tanyaku tegas.
"Di sini supervisornya cuma saya, Bu. Riski Hermawan."
Apa?
Jadi supervisor bernama Rena Andini itu hanya fiktif? Itukah cara yang dilakukan Mas Ibram untuk mengambil uang dari usaha mini marketku?
Tidak bisa dibiarkan! Aku harus secepatnya bertindak!
.
Bab 6
Tak ingin membuang waktu, segera kuhubungi Mona. Memastikan sekali lagi kalau hari ini Mas Ibram hanya di kantor tidak ada kunjungan ke semua mini market kami. Setelah mendapat kepastian, segera kuhubungi Indra, kepala HRD.
Aku meminta Indra untuk mengumpulkan semua karyawan di mini market tempatku berada secepatnya. Aku ingin mencocokkan jumlah real karyawan dengan data yang semalam Alvin kirim.
"Beri saya waktu satu jam, Bu!" pinta Indra.
Aku menyetujuinya. Kutunggu kehadiran mereka di ruangan Riski. Pemuda itu mempersilahkan aku duduk di kursinya. Karena memang tidak ada kursi lain di ruangan ini.
Setelahnya, Riski keluar untuk mempersiapkan ruangan, agar nanti bisa dipakai untuk mengumpulkan semua karyawanku kecuali yang berada di kantor Mas Ibram.
Minimarket kami tutup sampai semua yang ingin kuketahui beres. Aku meminta Indra, agar Mas Ibram jangan sampai tahu soal ini.
Sekitar satu jam kemudian, semua karyawan mini market seluruh cabang berkumpul. Aku lihat, rata-rata jumlah karyawan di satu cabang mini market hanyalah lima orang. Dua kasir, dua pramuniaga, dan satu supervisor. Namun, data yang Alvin kirim berbeda.
Pada empat mini market, karyawan dilebihkan satu. Dan ada satu mini market yang dilebihkan dua. Karena di sana kasirnya tinggal satu orang. Namun, datanya tetap dimasukkan dua.
Aku sekarang mengerti. Jadi begini cara Mas Ibram mengambil uang dari mini market. Dia mengeluarkan gaji untuk karyawan fiktif. Besar kemungkinan, uang itu untuk Rena.
Mungkinkah Rena Indira itu Rena si ondel-ondel? Kalau benar apa sebenarnya hubungan mereka?
Jika uang gaji fiktif ini Mas Ibram berikan ke dia, bukankah itu jumlah yang cukup besar? Sekitar lima belas juta satu bulan, bayangkan! Masuk akal kalau Rena sampai bisa membeli rumah di komplek Tania.
Namun, apa hubungan mereka yang sebenarnya? Apakah Rena simpanan Mas Ibram?
Bodoh sekali Mas Ibram kalau itu benar. Apa yang dia lihat dari wanita seperti Rena? Anaknya dua, fisiknya juga biasa. Apa karena Rena murah? Namun, tidak juga. Bukankah lima belas juta tiap bulan mengalir ke rekeningnya?
Aku harus segera mengungkap ini. Aku tak mau ditipu terlalu lama lagi!
"Oke, terima kasih atas loyalitas dan kerja keras kalian. Tanpa kalian Cahaya Market ini bukan apa-apa." Kututup pertemuan ini.
Setelah karyawan kembali ke mini market masing-masing. Aku putuskan untuk menemui Tania. Aku butuh patner bicara. Kepalaku terlalu penuh untuk memikirkan ini seorang diri.
"Ke sini aja, Vi! Aku di butik pusat," pinta Tania saat aku menghubunginya.
"Oke, aku ke situ sekarang."
Dari mini market cabang ke lima, aku memacu mobil ke butik pusat Tania. Sekitar setengah jam perjalanan, mobilku berhenti di pelataran parkir butik mewah tersebut. Segera saja aku turun kemudian menemui Tania di lantai dua.
"Kopi?" tawar Tania sesaat setelah aku menghempaskan tubuh di sofa.
"Boleh," sahutku.
Wanita dengan dress lengan terbuka itu keluar ruang kerjanya. Sementara aku menghempaskan kepala di sandaran sofa. Kutatap langit-langit ruangan sembari berkali-kali menarik dan menghembuskan napas panjang.
"Ada apa lagi?" tanya Tania ketika kembali sembari kedua tangannya memegangi cup kopi.
"Aku ditipu mentah-mentah," ucapku.
"Maksud kamu?" tanya Tania sembari mengulurkan cup kopi kepadaku.
"Tahu enggak, ternyata Ibram selama ini tiap bulan ambil lima belas juta dari mini market," ujarku sembari memijit pelipis.
"Gimana bisa? Bukannya keuangan kamu ikut kontrol?" Tania mencondongkan badannya ke arahku. "Terus uang itu buat apa? Jangan bilang buat si ... Rena!"
"Aku belum bisa buktiin uang itu larinya kemana. Tapi, ada nama Rena Andini tertera di sana," jelasku.
"Siapa Rena Andini? Apa wanita yang Ibram bilang sepupunya?"
Aku hanya mengedikkan bahu. Rasanya badanku lelah sekali. Jujur aku sangat shock mengetahui ini. Bagaimana bisa selama delapan tahun aku percaya dan bahkan hidup bersama seorang pembohong, atau lebih parah lagi ... pencuri? Bagaiman bisa aku tak menyadari hal ini?
Tuhan!
Bahkan selama ini sikap Mas Ibram begitu baik. Sosok suami dan laki-laki yang tak pernah aneh-aneh. Pekerja keras yang ulet luar biasa. Sehingga delapan tahun ini selalu menjadi kebanggaan Papa.
"Kamu ada kenalan orang yang bisa bantu aku cari informasi mengenai Rena?" tanyaku setelah beberapa saat terdiam. Kusesap kembali kopi pemberian Tania yang tinggal setengah.
"Enggak, sih. Coba nanti aku tanya-tanya temanku. Kalau dapat aku kabari."
Kami berdua kembali sama-sama terdiam. Kepalaku rasanya sangat penuh sampai-sampai seperti tidak bisa berpikir.
Di sisi lain, aku juga sangat kecewa. Kurang apa aku selama ini pada Mas Ibram? Bahkan semua aku percayakan kepadanya. Aku benar-benar tak menyangka dia sejahat ini kepadaku.
"Kamu nemuin sesuatu yang ganjil enggak di ruang pribadinya?" tanya Tania memecah keheningan. "Di ruang kerjanya, mungkin?"
"Foto. Foto yang kemarin itu aku dapat di ruang kerjanya. Selain itu aku tak menemukan apa-apa."
"Kenapa dia masih menyimpan foto mantan istrinya, ya?" selidik Tania.
"Entah. Masih cinta mungkin." Tiba-tiba dadaku terasa teremas saat mengatakan itu. Benarkah Mas Ibram masih mencintai almarhum istrinya? Lalu bagaimana dengan perasaannya kepadaku? Palsukah cintanya selama ini?
"Hei!" Tania mengibaskan tangannya di depan wajahku. "Enggak usah sedih! Ayo, bangkit! Enggak guna kamu menangisi orang yang sudah jahat sama kamu!"
"Sekarang menurutmu aku harus bagaimana lagi?" Aku menatap wajah Tania.
"Geledah ruang kerjanya di kantor!" usul Tania.
Ah, kenapa aku tak kepikiran tentang itu?
"Ide bagus. Oke, nanti begitu dia pulang, aku akan langsung ke kantornya."
"Nah, gitu, dong! Semangat!!"
Aku makan siang bersama Tania. Setelah makan siang, aku minta izin Tania untuk ke rumahnya. Aku ingin mengamati gerak gerik Rena.
Tania dengan senang hati mengizinkan. Diberikannya kunci rumahnya kepadaku. Segera saja aku memacu mobil Tania ke rumahnya. Sengaja aku tukaran mobil dengan Tania.
Tiba di rumah Tania, seperti biasa rumah Rena tampak sepi. Hanya sesekali terlihat dari jendela kaca ia atau anaknya berjalan. Tak ada tanda-tanda Mas Ibram di sana. Tentu saja, lelaki itu sedang di kantornya.
Aku duduk di balkon kamar Tania, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Melihat itu membuatku teringat pada nasib pernikahanku.
Apakah angan-angan untuk terus bersama Mas Ibram sampai kelak kami menua akhirnya harus sirna? Apakah harapanku untuk menikah sekali seumur hidup juga harus pupus? Kenapa takdir kadang sepelik ini?
Aku hanya ingin kehidupanku, anakku, suamiku, serta pernikahanku baik-baik saja. Namun, kenapa kenyataan seperti tak memihak? Aku mencintai Mas Ibram dengan segenap jiwa. Tak pernah aku berpikir untuk bersama lelaki lain selain dia. Namun, kenapa Mas Ibram seperti tak sebaliknya?
Tuhan, kuatkan aku untuk menjalani semua takdir yang telah Kau gariskan!
Getaran ponsel di meja membuatku tersentak. Mas Ibram mengirim pesan.
[Ma, aku pulang telat. Kamu makan malam duluan aja, enggak apa-apa. Aku makan di kantor aja.]
Oh, ya. Ini akhir bulan. Mana mungkin Mas Ibram pulang cepat. Kecuali kemarin tentunya. Rencanaku untuk menggeledah ruang kerja di kantornya gagal malam ini.
Tiba-tiba perhatianku teralihkan saat ada mobil menepi di pintu pagar rumah Rena. Itu bukan mobil Ibram. Namun, tak berselang lama tampak Rena keluar bersama kedua anaknya.
"Mau kemana mereka menjelang maghrib begini?" Aku berkata sendiri.
Segera saja aku turun dan keluar dari rumah Tania. Aku penasaran mereka mau kemana. Sehingga kuputuskan untuk mengikuti mereka.
Sepanjang jalan kujaga jarak dengan mobil yang ditumpangi Rena. Aku tak ingin ia curiga ada yang mengikuti.
Mobil itu berhenti di sebuah pusat perbelanjaan cukup besar. Tampak Rena dan kedua anaknya keluar dari mobil. Mereka tampak antusias sekali memasuki mall tersebut.
Kampungan!
Segera saja kuparkir mobil Tania. Kemudian bergegas mencari mereka di dalam mall. Anak-anak Tania tampak meminta beberapa makanan. Mereka duduk di kursi sebuah gerai ternama.
Aku memilih duduk di situ juga. Tentunya tetap berusaha menjaga jarak agar tak ketahuan.
Mereka terlihat sangat bahagia menikmati minuman dan makanan yang dipesan. Seperti orang yang sudah berhari-hari tidak makan. Apalagi Fabian anak laki-laki Rena. Anak itu menghabiskan banyak sekali makanan.
Sementara Rena asyik makan sembari menyuapi anak bungsunya. Mulutnya sampai penuh saat mengunyah makanan.
Apa tidak ada yang mengajari mereka tata krama? Kenapa bar-bar sekali?
Aku hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala. Melihat pemandangan seperti itu menjadi sedikit hiburan di tengah pikiranku yang sedang seperti benang kusut.
Kusesap kopi yang sejak tadi belum kusentuh. Seketika kopi di tangan hampir tumpah saat terdengar suara Fabian berteriak.
"Ayah!" serunya sembari mengangkat tangan.
Pandanganku mengikuti pandangan anak itu. Tampak Mas Ibram berjalan sembari tersenyum lebar menatap mereka.
Bab 7
Seketika aku berdiri melihat kedatangan Mas Ibram. Darahku serasa mendidih. Wajahku memanas. Kedua tanganku mengepal kuat. Dengan hati membara, aku melangkah hendak menghampiri mereka.
Namun, seketika langkahku terhenti. Aku tak boleh gegabah. Yang ada nanti mereka akan kembali mengelak. Mencari seribu alasan untuk menutupi kebusukannya.
Aku kembali mundur dan duduk di kursi semula. Aku akan mengamati mereka dan mengabadikan momen langka ini. Segera kuambil ponsel, kunyalakan perekam video kemudian mengarahkan ke posisi mereka. Kujaga agar ponselku cukup di meja. Terlalu kentara apabila aku memegangi dengan mengarah ke mereka.
"Sudah dari tadi?" Aku bisa mendengar suara Mas Ibram dari sini. Kebetulan di depan tempat dudukku berdiri tiang cukup besar, sehingga keberadaanku tak terlihat oleh mereka.
"Lumayan," jawab Rena.
Fabian tampak mencium tangan Mas Ibram. Kemudian Mas Ibram mencium kepala anak itu. Setelahnya Rena juga mencium tangan Mas Ibram dan Mas Ibram mencium kening Rena. Sepupu macam apa yang melakukan hal seperti itu?
Darahku semakin mendidih. Kalau tak memikirkan proses yang harus kutempuh ke depan, pasti sudah kulabrak mereka. Ruangan ini bjsa hancur oleh amukanku. Namun, sebisa mungkin aku tahan.
"Tunggu, Vi! Kamu hanya perlu bersabar sebentar lagi!" pintaku pada diriku sendiri.
Mas Ibram tampak menggendong anak yang dipangku Rena. Membiarkan Rena menikmati makanannya kemudian dia melambaikan tangan memanggil pramusaji.
Setelah terlihat memesan makanan, sesekali Rena menyuapkan makanan yang berada di depannya ke mulut Mas Ibram. Lelaki itu tampak begitu semringah. Mereka makan sembari bercanda dengan santainya persis sebuah keluarga bahagia.
"Ini enak sekali, Yah!" seru Fabian dengan antusias. Tanpa ragu Mas Ibram menyomot makanan yang ditunjukkan anak laki-laki itu.
Dia mengunyah sembari mengangguk-anggukan kepala. Setelah menelan makanannya ia tampak tersenyum lebar sembari mengacungkan jempolnya.
"Iya, enak sekali. Kamu habiskan, ya!" pintanya pada Fabia.
Lalu bergantian Rena yang seperti itu. Wanita itu kembali menyuap makanannya ke mulut Mas Ibram. Tanpa sendok! Langsung dengan tangannya.
Hal-hal seperti itu bisa dibilang tak pernah kami lakukan. Meskipun hubunganku dengan Mas Ibram sangat baik sebelumnya, tetapi aku merasa tidak sedekat mereka. Tak pernah kami saling mencomot makanan saat di meja makan ataupun ketika makan di luar.
Mungkin sebenarnya hubungan kami bisa dibilang kaku. Meski hal itu menurutku biasa saja, karena yang aku lihat, kedua orang tuaku pun sama.
Apa ini yang membuat Mas Ibram berselingkuh dengan Rena? Karena lelaki itu merasa lebih nyaman saat bersamanya? Benarkah begitu?
Tak bisa kupungkiri, dadaku sangat nyeri melihat pemandangan ini. Orang yang begitu aku cintai terlihat lebih bahagia bersama wanita lain. Bahkan dengan anak-anak wanita itu juga.
Kutarik tarik napas panjang untuk mengusir rasa sakit yang menguasai dada. Aku tak boleh lemah. Aku harus ungkap hubungan mereka yang sebenarnya. Akan kutunjukkan pada Mas Ibram, dimana tempatnya yang sebenarnya.
Makanan yang dipesan Mas Ibram datang. Rena mencuci tangannya kemudian mengambil kembali anaknya yang dipangku Mas Ibram. Sementara lelaki itu mulai menyantap makanannya. Sesekali Mas Ibram juga menyuapkan makanannya ke mulut Rena dan Fabian. Mereka tampak sangat bahagia.
Oke, cukup! Aku tak bisa lagi mendiamkan kelakuan mereka. Apalagi ini di tempat umum. Bagaimana kalau kenalanku atau Papa melihatnya? Bisa hancur relutasiku.
Dengan mantap aku berdiri kemudian melangkah ke meja mereka. Awalnya mereka tak menyadari kedatanganku. Sampai aku berhenti dan berdiri persis di belakang kursi Mas Ibram.
Rena dan Fabian yang pertama kali melihatku langsung terperangah. Mulut mereka terbuka dengan mata melebar selama beberapa saat. Tanpa suara.
"Ada apa?" tanya Mas Ibram kepada Rena dan Fabian. Menyadari pandangan Rena dan Fabian yang terpaku kepadaku, Mas Ibram pun menoleh. Wajah lelaki itu langsung pucat pasi.
"Vi-Vi-Viona?" serunya tergagap.
Aku tersenyum menatapnya. "Wah, dari tadi seru sekali, ya, makan malamnya?"
"A-aku ... a-aku tadi ... kebetulan lewat sini, Ma," jelas Mas Ibram tak masuk akal.
"Iya, enggak apa-apa. Sengaja makan bersama juga enggak apa-apa. Bukahkah dia sepupumu?" Kutahan sekuat tenaga bara emosi yang sudah mendidih sampai ubun-ubun.
"E-iya, a-yo Mbak Viona ikut makan juga!" ajak Rena salah tingkah.
"Melihat kalian dari tadi makan suap-suapan sudah membuatku kenyang," sahutku.
Mendengar itu Rena langsung mematung. Mulutnya terbuka, tetapi tak mengeluarkan suara.
"Ma, itu ... itu enggak seperti yang kamu kira!" ucap Mas Ibram.
"Ya, sudah, silahkan dilanjut!" titahku tanpa mempedulikan ucapan Mas Ibram.
Kemudian dengan sengaja kusenggol jus naga yang berada di dekatku sehingga tumpah ke baju dan celana Mas Ibram.
"Oh, maaf. Aku sengaja!"
Tanpa melihat reaksi mereka, aku langsung melangkah pergi.
Sungguh sebenarnya hatiku sakit sekali. Entah apa kata yang bisa mengungkapkan kesakitan yang saat ini aku rasakan. Mas Ibram lelaki yang begitu aku percaya. Bahkan seolah hidupku telah kupercayakan padanya, ternyata begitu busuk di belakangku.
"Ma! Tunggu!"
Kudengar Mas Ibram berseru memanggilku. Namun, aku terus melangkah mengabaikan panggilannya.
"Ma!"
Kudengar derap sepatu mendekatiku. Sejurus kemudian Mas Ibram mencekal lenganku.
"Ma, kamu salah paham!" ucapnya dengan wajah memelas.
"Lepas! Aku enggak mau jadi tontonan!" desisku dengan mata mendelik.
Mas Ibram langsung melemahkan cekalannya dan melepas lenganku.
"Aku terlalu berharga untuk berada di lingkaran sampah seperti kalian!" desisku.
"Ma!" panggil Mas Ibram lemah.
Tanpa mempedulikannya lagi, aku meneruskan langkah menuju area parkir.
Jika harus melepas, aku ikhlas. Karena, ketika yang aku genggam adalah duri, hanya dengan melepasnya aku tak lagi tersakiti.
.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
