
Perjuangan Dewita dalam mempertahankan pernikahan ternyata sia-sia. Sikap baiknya, penerimaannya terhadap laki-laki seperti Gibran tak berbalas sebaliknya. Ia justru menerima ajakan berpisah dari Gibran.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya?
OKE, MARI BERCERAI
Bab 1
"Sepertinya aku enggak bisa melanjutkan pernikahan kita, Wi."
"Loh, kenapa, Mas? Ada masalah apa? Aku ada salah apa?" Dewi yang sejak tadi fokus dengan laptopnya langsung menoleh begitu mendengar ucapan suaminya.
Gibran sama sekali tidak berani menatap wajah Dewi. Ia terus menunduk sembari memandangi kedua jemarinya yang saling bertaut di antara kedua lututnya.
"Kamu enggak salah apa-apa, Wi. Kamu sempurna. Justru aku yang bermasalah."
"Maksud kamu?" Dewi menggeser kursinya. Kini ia menatap lurus suaminya yang masih menunduk di sofa.
"Kamu ... terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku, Wi. Aku ...."
"Jangan bercanda, Mas!" potong Dewi. "Ini enggak lucu. Jangan sampai ucapan kamu itu menjadi talak. Hati-hati kalau bicara, Mas!"
Dewi masih menepis berbagai prasangka yang menyerbu rongga dadanya. Ia yakin kalau pernikahannya dengan Gibran baik-baik saja. Tidak ada masalah sama sekali. Bahkan selama ini mereka jarang sekali bertengkar karena Gibran lebih sering memilih diam dan mengalah.
Bisa saja saat ini Gibran sedang mengerjainya. Bisa saja laki-laki itu ingin memberi kejutan sehingga ingin membuatnya menangis terlebih dahulu. Begitu yang Dewi tanamkan di kepala.
"Aku enggak lagi bercanda, Wi. Aku serius." Gibran menatap mata Dewi.
Pada saat itu Dewi baru menyadari kalau suaminya tidak sedang bercanda atau ingin mengerjainya.
"Tapi kenapa, Mas? Aku salah apa? Bukankah selama ini kita baik-baik aja?" Mata Dewi mulai memanas. Ia sama sekali tidak pernah berpikir suaminya akan mengatakan hal semengerikan ini kepadanya.
"Sekali lagi, kamu enggak salah apa-apa, Wi. Aku yang punya banyak salah."
"Emang kamu ngelakuin apa, Mas? Kamu selingkuh?"
Gibran menggeleng. "Enggak. Aku cuma ngerasa kamu itu terlalu sempurna untuk laki-laki sepertiku yang banyak sekali kekurangannya, Wi. Kamu shalihah, kamu independen, urusan rumah tangga pun kamu sempurna. Kamu enggak punya celah kekurangan sedikit pun, Wi. Dan itu buat aku jadi ngerasa enggak ada apa-apanya di depan kamu."
"Aku enggak ngerti maksud kamu, Mas. Jadi, aku harus kayak gimana? Aku harus jadi istri yang kayak gimana biar kamu enggak merasa kaya gitu?"
"Aku enggak ingin kamu berubah jadi gimana-gimana, Wi. Kamu sempurna sebagai seorang perempuan. Hanya saja, sepertinya lelaki seperti aku enggak sebanding sama kamu. Aku yakin, di luar sana kamu akan bertemu dengan lelaki yang sepadan sama kamu. Bukan lelaki yang seperti aku."
Dewi menghela napas. Berusaha mengelola emosi yang datang laksana ombak yang bergulung di dadanya. "Sebenarnya ada masalah apa? Apa kamu punya wanita lain yang ingin kamu nikahi?"
"Enggak, Wi! Enggak! Aku cuma ngerasa capek harus terus berusaha ngejar level kamu, nyamain posisi kamu. Aku capek, Wi. Aku juga capek, setiap saat aku yang harus mengalah saat kita berdebat. Aku kayak enggak punya ... sesuatu yang bisa membuat aku kayak untuk ada di atas kamu. Kamu selalu merasa kalau kamu itu paling benar, kamu paling pintar, kamu paling ngerti segalanya. Aku laki-laki, Wi. Aku enggak bisa terus-menerus mengalah dan ada di bawah kendali kamu."
"Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Mas. Enggak harus bercerai!"
"Enggak, Wi. Itu sudah jadi watak kamu. Dan aku yakin, watak itu akan sulit sekali diubah."
Dewi menatap Gibran tidak percaya. Dari sorot mata Gibran Dewi bisa melihat kalau lelaki itu sudah sangat yakin untuk bercerai dengan dirinya.
"Aku udah mikirin ini matang-matang. Besok pagi, aku yang akan pergi dari rumah ini. Rumah, mobil, silakan kamu pakai. Untuk tabungan lain, nanti kita bahas di persidangan sebagai harta gono-gini."
Gibran bangkit, berjalan menuju ranjang mengambil bantal dan selimut. Kemudian ia memilih tidur di ruang keluarga.
Sementara Dewi masih duduk di tempat semula. Ia benar-benar tidak menyangka dengan apa yang terjadi dalam pernikahannya yang selama ini ia pikir sempurna.
Semalaman Dewi tidak bisa tidur. Ia terus berpikir harus melakukan apa agar Gibran mau mengubah keputusannya. Dewi benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya jika akhirnya pernikahannya dengan Gibran berakhir. Sementara keberadaan Gibran benar-benar seperti penyempurna hidupnya.
Dewi ingin bercerita dengan ibunya, tetapi takut membuat wanita itu jadi kepikiran, stress, dan akhirnya sakit. Ingin menelepon ibu mertuanya, tetapi ia merasa lebih baik besok pagi datang langsung ke sana. Sementara kalau harus menghubungi sahabatnya, Dewi merasa belum sanggup karena ia memang ingin semua orang jangan sampai melihat permasalahan yang sedang dihadapinya.
Keesokan paginya saat keluar kamar, Dewi sudah tidak melihat Gibran. Hanya selimut dan bantal yang semalam dipakai Gibran tidur kini teronggok di sofa. Di ruangan rumah yang lainnya pun lelaki itu tidak ada.
"Mas Gibran benar-benar sudah pergi?" tanya Dewi pada dirinya sendiri. Sakit sekali rasanya menyadari kalau ternyata selama ini Gibran telah merencanakan perceraian mereka. Padahal dulu Gibranlah yang memintanya untuk menikah, Gibran yang meyakinkannya kalau dirinya akan menjadi suami yang baik untuk Dewi. Namun, ternyata ... lelaki itu juga yang mengakhiri tanpa alasan yang pasti.
"Ya Allah, aku sebenarnya salah apa?" Tubuh Dewi luruh. Ia bersimpuh di atas karpet ruang keluarga. Rasanya sakit sekali harus bercerai di saat ia menganggap semua baik-baik saja. Bahkan pagi hari sebelum malamnya Gibran minta bercerai pun, mereka masih sarapan bersama seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda sama sekali Gibran akan meminta cerai dengannya.
"Aku salah apa sebenarnya?" Air mata Dewi luruh. Ia puas-puaskan menangis lagi itu sebelum akhirnya berangkat kerja.
Setelah puas menangis, Dewi bersiap untuk berangkat kerja. Pagi ini ia tak sarapan, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia belum sanggup jika harus sarapan sendiri sementara tiga tahun terakhir ini ia selalu sarapan bersama Gibran.
Sebelum ke kantor, Dewi memutuskan untuk ke rumah ibu mertuanya terlebih dahulu. Ia ingin meminta ibu mertuanya untuk menasehati Gibran agar suaminya itu mau membatalkan niatnya untuk bercerai.
Tiba di rumah ibu mertuanya, Dewi agak heran karena sepagi ini sudah ada mobil yang terparkir di halaman rumah.
"Siapa tamu sepagi ini?" gumam Dewi. Namun, ia tidak begitu memikirkan hal itu. Ia hanya ingin bertemu ibu mertuanya dan memintanya untuk menasehati Gibran.
Pintu ruang tamu tidak terkunci, jadi setelah mengucap salam, Dewi langsung masuk. Ruang tamu tampak kosong, Dewi kemudian masuk ke ruang keluarga yang di ruangan itu juga terdapat meja makan.
Mata Dewi melebar seketika saat memasuki ruang keluarga. Pasalnya di sana ia melihat suaminya sedang disuapi seorang wanita sembari terkikik begitu asyiknya.
Dada Dewi terbakar melihat itu. Kontan ia langsung berkata dengan suara keras nyaris menggelegar. "Oh, jadi dia perempuan yang kamu anggap sepadan dengan kamu, Mas? Dasar pengkhianat!"
OKE, MARI BERCERAI
Bab 2
"De-Dewi?" Mata Gibran melebar melihat wanita yang masih berstatus istrinya itu berdiri di ruang keluarga. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Dewi akan datang ke rumah ibunya pagi-pagi begini. Sesuatu yang di luar kebiasaannya.
"Iya, Mas. Ini aku." Dewi menatap Gibran tanpa gentar. Meski sebenarnya hatinya tak sepenuhnya tegar. Wanita itu bahkan berusaha tersenyum. Meski senyumnya terlihat getir dan menyedihkan. Setidaknya Dewi sedang berusaha meredam hatinya yang sedang membara.
"Kenapa kamu enggak bilang yang sebenarnya, Mas? Kalau kamu bilang semalam, aku enggak akan repot-repot ke sini dan memergoki kalian seperti ini." Senyum masih tersungging di bibir Dewi. "Maaf, ya, aku jadi ganggu acara suap-suapan kalian."
Gibran beranjak dari kursi. "Wi, Wi, ini ... enggak seperti yang kamu pikirkan." Gibran berusaha menjangkau Dewi, tetapi wanita itu mundur selangkah.
"Enggak apa-apa, Mas. Aku malah lega. Sekarang aku tahu alasan kamu tidak bisa meneruskan pernikahan kita."
"Wi, aku ...." Gibran justru tidak bisa berkata-kata melihat senyum dan ketenangan yang ditunjukkan Dewi. Karena Gibran tahu, saat ini Dewi sedang sangat terluka. Gibran tahu betul seapik apa Dewi bisa menyembunyikan setiap luka yang diterima. "Ini ... enggak seperti yang kamu kira, Wi."
"Udah, Mas. Enggak apa-apa. Silakan lanjutin lagi suap-suapannya. Sudah siang, aku harus ke kantor."
"Wi ...."
"Oh, ya, mana Ibu?" Dewi menyapukan pandangan ke seluruh ruangan karena sejak tadi ia tidak melihat ibu mertuanya. Ia benar-benar bersikap biasa seolah-olah tidak ada masalah apa-apa.
"Ibu ke warung, Wi."
"Ya udah, salam aja buat Ibu. Sampaiin kalau aku mampir ke sini."
Gibran benar-benar tidak tahu harus menanggapi Dewi bagaimana. Ia mati kutu di depan wanita itu.
"Oh, ya, Rin." Dewi beralih pada perempuan yang masih terpaku di kursinya. Ia tahu betul dia siapa. "Sabar dikit, ya! Bentar lagi kami cerai, kok. Enggak usah kegatelan gitu jadi perempuan. Jijik diliat orang."
Dewi kemudian meninggalkan rumah mertuanya. Ia tidak peduli dengan panggilan Gibran. Hingga akhirnya Gibran berhasil mengejarnya dan menghalanginya membuka pintu mobil.
"Wi, dengarkan aku dulu!" pinta Gibran.
"Dengarkan apalagi, Mas? Bukannya semua udah selesai? Semalam udah kamu jelasin dan pagi ini aku udah liat langsung. Jadi, mau bicara apalagi?" Sebenarnya Dewi sudah tidak sanggup berlama-lama berpura-pura baik-baik saja. Dadanya sudah teramat sesak dan ingin segera ditumpahkan melalui air mata. Namun, ia tidak ingin terlihat lemah di depan calon mantan suaminya itu.
"Kamu salah paham, Wi. Ini enggak seperti yang kamu duga. Aku sama Rindu enggak ada hubungan apa-apa," jelas Gibran. Awalnya ia memang ingin bercerai dengan Dewi, tetapi ia tidak ingin dengan cara seperti ini. Ia tidak mau jadi pihak yang salah. Jadi, ia harus menjelaskan kalau antara dirinya dan Rindu tidak ada hubungan apa-apa. Meski kenyataannya ada.
"Itu udah enggak penting lagi buat aku, Mas. Kamu ingin kita cerai, kan? Oke, mari bercerai!"
Gibran justru hanya terpaku melihat Dewi yang begitu mantap berpisah. Dan kini, justru dirinyalah yang ragu untuk melepas Dewi. Keinginannya untuk bercerai entah menghilang kemana. Yang ia tahu, saat ini ia tidak ingin kehilangan Dewi, kehilangan istri yang sedingin Dewi.
"Kenapa malah diam, Mas?" tanya Dewi karena Gibran hanya terpaku menatapnya. "Silakan jatuhkan talak kamu! Aku udah siap."
Bukannya menjatuhkan talaknya, Gibran justru langsung merengkuh tubuh Dewi dengan erat. Sangat erat. "Enggak, Wi. Semalam aku cuma emosi. Aku cuma kebawa emosi. Enggak, Wi. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!"
Dewi yang sudah terlanjur sakit hati langsung mendorong tubuh Gibran menjauh. "Kenapa jadi berubah pikiran?"
"Semalam aku cuma kebawa emosi, Wi. Enggak! Aku enggak mau kita cerai."
"Terus Rindu mau kamu apain?"
"Dia .... Aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia, Wi."
"Bohong!" teriak Rindu yang sudah berdiri di teras. "Kamu harus tahu, Wi. Kami udah nikah. Dan sekarang aku hamil anak Gibran!"
Dunia Dewi runtuh mendengar itu. Baginya belum ada kesakitan yang melebihi kesakitan yang oleh pengkhianatan Gibran saat ini. Dewi kemudian menoleh ke arah Gibran yang saat ini menunduk pasrah, meraup udara dengan rakus karena rongga dadanya seperti tersumbat saling sesaknya. Berkali-kali ia menghela napas, sampai akhirnya ia kembali memiliki kekuatan.
"Jatuhkan talakmu sekarang!" titah Dewi dengan suara lirih dan tenang, tetapi terdengar seperti ular yang mendesis.
Gibran tidak menanggapi. Ia masih menunduk tanpa berani mantap wajah terluka Dewi.
Dewi memejamkan mata beberapa saat. Kesabarannya telah habis. Ia kemudian berteriak. "Mas! Jatuhkan talakmu sekarang!"
.
OKE, MARI BERCERAI
BAB 3
Bukannya menuruti perintah Dewi untuk menjatuhkan talak, Gibran justru bersimpuh memegangi lutut Dewi. "Wi, aku semalam cuma kebawa emosi. Tolong, jangan begini!"
"Jangan begini kamu bilang?" Dewi membuang muka. Muak dan jengah sekali dengan Gibran. "Dia hamil, Mas! Dia hamil!"
"Iya, Wi, tapi ...."
"Tapi apa? Kamu pikir aku akan bertahan jadi istri kamu bersama-sama dengan dia?" Dewi menunjuk ke arah Rindu. "Kamu lupa dia siapa, Mas? Kamu lupa?"
"Wi, aku ...."
"Apa kamu enggak tahu kalau pernikahan kalian ini enggak sah? Apa kamu enggak tahu, Mas!?"
Gibran tidak bisa berkata-kata.
"Dan kalau pernikahan kalian enggak sah, itu artinya yang kalian lakukan, sampai Rindu akhirnya hamil, itu adalah Zina! Dan aku, aku enggak akan pernah bisa menerima itu! Aku enggak mau punya suami seorang pezina! Aku enggak mau punya anak dari laki-laki pezina!"
"Wi, aku ...."
"Cukup, Mas! Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau enggak bisa meneruskan pernikahan kita lagi? Iya, kan? Kamu masih ingat, kan?"
Gibran hanya menunduk di depan lutut Dewi dengan penyesalan yang begitu besar. Ia sampai tidak mampu mengangkat kepala saking besarnya penyesalan itu.
"Aku setuju, Mas. Aku juga enggak bisa lagi meneruskan pernikahan kita. Oke, mari bercerai!"
"Wi ...."
Tanpa memedulikan Gibran dan Rindu lagi, Dewi langsung menaiki mobilnya. Meninggalkan rumah ibu mertuanya dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Dada Dewi teramat sakit. Sangat sakit, tetapi ia tidak bisa menangis.
Rasanya jantungnya kini seperti ditusuk kembali oleh sebuah pedang yang sama yang dulu pernah menghunusnya, hanya saja kali ini pedang itu telah berkarat. Sehingga jauh lebih sakit daripada sebelumnya.
"Ibu ...." Baru setelah memanggil sang Ibu, air mata Dewi luruh. Bayang wajah sang Ibu, senyum penuh ketegarannya, kini terbayang di depan mata. Ingin sekali ia mendatangi ibunya, memeluk wanita kuat itu, hanya saja saat ini Dewi tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Banyak sekali agenda yang harus ia lakukan hari ini.
"Ya, seharusnya hidupku memang begini, Bu. Fokus kerja, sampai enggak perlu memikirkan apa-apa."
Tiba di kantor, Dewi langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mempersiapkan materi untuk meeting, mengecek laporan anak buahnya, dan setumpuk pekerjaan yang lainnya.
Dewi hanya fokus di dalam ruangannya tanpa ingin keluar sama sekali kecuali nanti saat ia harus meeting. Sekretaris sekaligus orang yang selama ini menjadi sahabat Dewi sampai masuk ke ruangan perempuan itu karena tidak biasanya Dewi seperti itu.
Dewi biasanya akan keliling memberikan sedikit arahan kepada anak buahnya untuk tugas-tugas mereka hari ini. Apalagi kalau ada karyawan baru. Ya, Dewi adalah sosok seorang pemimpin yang sangat baik. Dia manager yang dicintai anak buahnya. Karena Dewi tidak hanya menyalahkan saat anak buahnya melakukan kesalahan, tetapi juga memberi tahu cara mengerjakan yang benar.
"Bu Bos!" panggil Wina begitu membuka pintu ruangan Dewi. "Tumben dari tadi betah banget di ruangan?"
"Lagi nyiapin presentasi," jawab Dewi tanpa menatap wajah Wina.
"Kenapa enggak minta aku buat ngerjain?"
"Enggak apa-apa, aku nganggur juga, kok."
Wina menatap tumpukan berkas di meja Dewi. "Ini apa?" Wina mengangkat tumpukan berkas itu lalu menjatuhkannya lagi.
"Itu bisa nanti. Ada apa?"
Wina mengernyit karena tidak biasanya Dewi begitu. "Ada apa?"
Dewi kemudian menyingkirkan laptopnya. Ia tahu kalau Wina pasti mengendus sesuatu yang tidak beres pada dirinya. "Nanti kalau udah siap aku cerita."
Wina mengangguk. "Kalian marahan?" tanya Wina karena tahu Dewi tidak berangkat bersama Gibran. Biasanya sepasang suami istri beda jabatan itu akan berangkat bersama. Namun, pagi itu Gibran berangkat lebih siang dari Dewi.
"Bisa dibilang gitu."
"Oh, oke. Semoga segera baikan, ya? Kantor enggak enak kalau kalian marahan. Suasana jadi tegang."
Dewi tersenyum simpul. Membenarkan apa yang dikatakan Wina. Karena saat ini Dewi belum siap untuk bertemu dan bersikap biasa dengan Gibran. Tentu akan sangat tidak nyaman bersikap seolah-olah tidak ada masalah apa-apa jika berpapasan dengan lelaki itu. Padahal mereka berada di kantor yang sama, hanya sekat ruangan Dewi yang memisahkan keduanya.
"Ya udah kalau enggak mau aku bantuin, aku keluar dulu," ucap Wina lagi.
"Iya. Kerjain aja kerjaan kamu yang belum beres."
"Siap, Bu Bos!"
Dewi kembali fokus pada laptopnya. Ia bahkan sampai lupa mengaktifkan nada dering ponselnya yang telah ia simpan di laci. Pukul 10 nanti dia ada meeting dan ia tidak mau melakukan kesalahan sekecil apapun. Ia mau tampil sempurna di depan kliennya. Sesuai julukannya, Dewita si perfeksionis.
Sekitar setengah jam setelah Wina keluar dari ruangan Dewi, pintu ruangan Dewi kembali diketuk.
"Masuk!" seru Dewi tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
Pada saat pintu dibuka dan seseorang memasuki ruangannya, Dewi langsung tahu itu siapa tanpa perlu melihat orangnya. Aroma parfum Gibran, sangat Dewi kenal. Apalagi parfum itu adalah pilihannya.
"Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Dewi tanpa melepas tatapan dari laptop. Ia masih sangat enggan berurusan dengan laki-laki itu jika bukan masalah pekerjaan.
"Wi, hp kamu dimana?"
Jari-jari Dewi yang sebelumnya sibuk menekan keyboard terhenti. Ia terusik dengan pertanyaan Gibran. Karena bukan menyangkut pekerjaan.
"Kalau enggak ada urusan kerjaan, jangan masuk ke ruangan saya!" Dewi memasang wajah dingin.
"Mbak Marni telpon aku, katanya telpon kamu enggak diangkat."
Dewi kemudian membuka laci dan membuka ponselnya. Ia baru menyadari kalau ponselnya masih di-setting silent. Di situ tertera panggilan telepon dari nomor Mbak Marni, orang yang ia percaya untuk menemani dan mengurus ibunya.
Saat Dewi hendak mengubungi nomor Mbak Marni, Gibran langsung berkata, "Ibu masuk rumah sakit. Kata Mbak Marni, Ibu mendapat serangan jantung dan sekarang kondisinya kritis."
"Apa?" Dewi langsung bangkit dan menyambar kontak mobilnya. Namun, pada saat hendak melangkah, lulutnya terasa begitu lemas dan tubuh Dewi ambruk seketika.
"Bu, kenapa Ibu harus sakit saat aku butuh kekuatan darimu? Aku butuh kamu, Bu. Jangan sakit .... Cukup aku kehilangan Mas Gibran saja, jangan pergi juga dariku, Bu ...."
Gibran hendak meraih tubuh Dewi saat Dewi terjatuh. Namun, dengan kasar Dewi menghempas uluran tangan Gibran. "Aku bisa sendiri!"
.
OKE, MARI BERCERAI
BAB 4
"Mana Gibran?" tanya Bu Rasti, ibunda Dewi. "Marni bilang dia tadi telpon Gibran, kenapa kamu malah datang sama Wina?" Suara Bu Rasti sangat lemah. Meski sudah lolos dari masa kritis, kondisinya masih sangat lemah. Diabetes yang diderita Bu Rasti, membuat jantung wanita itu bermasalah juga.
"Mas Gibran ...."
"Gibran di sini, Bu." Gibran menyela ucapan Dewi begitu memasuki kamar rawat ibu mertuanya dan mendengar ibu mertuanya menanyakan keberadaannya. "Tadi Gibran parkir mobil dulu, jadi Dewi dan Wina ke sini duluan," dusta Gibran.
"Oh, syukurlah. Sini, Nak ...." Bu Rasti melambaikan tangannya pada sang menantu.
Sementara Dewi memilih menjauh, mengambil apel dan mengupasnya untuk sang ibu. Duduk di sofa bersama Mbak Marni. Sungguh, hati Dewi belum sebesar itu untuk bisa berdekatan dengan laki-laki yang telah mengkhianati pernikahan mereka.
Wina pun mengikuti sahabatnya. Menatap wanita yang kini wajahnya tampak mendung padahal biasanya wajah Dewi secerah matahari. Wina tak berani bertanya, hanya memperhatikan gelagat sepasang suami istri itu. Toh, kalau nanti Dewi merasa sudah bisa mengatasi masalahnya, dia pasti tanpa ditanya akan bercerita.
"Gimana kabar Ibu?" tanya Gibran sembari meraih jemari keriput ibu mertuanya dan menciumnya dengan takzim. Gibran memang seperhatian dan selembut itu. Itu salah satu hal yang dulu membuat Dewi akhirnya luluh dan mau menikah.
"Ibu sudah membaik," ucap Bu Rasti dengan suara lirih. "Tapi, Ibu tidak tahu, sampai kapan Ibu bisa bertahan."
"Sstt, Ibu enggak boleh bicara begitu. Ibu harus sehat. Harus panjang umur. Bukankah Ibu ingin melihat cucu Ibu nanti?"
Bu Rasti menghela napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Dadanya masih sesak jika harus berbicara. "Bilang sama Dewita, untuk tidak terlalu sibuk. Agar kalian, bisa segera punya anak."
"Iya, Bu, pasti. Kami akan usahakan biar Ibu bisa segera menimang cucu."
Dewi tersenyum sinis. Sungguh ia baru tahu kalau ternyata lelaki yang ia yakini untuk dinikahi ternyata selihai itu bersandiwara. Itu artinya, selama ini kemungkinan sikap baiknya itu hanya sekadar sandiwara. Tidak benar-benar tulus dari hatinya.
Dewi mencuri pandang ke arah ibunya yang masih bersama dengan Gibran.
"Ibu titip Dewita, Nak," ucap Bu Rasti lagi. Masih dengan suara yang sama. Lemah dan lirih meski masih bisa terdengar.
Gibran mengangguk. "Iya, Bu."
"Walaupun Dewita keras, tegas, mandiri, dan selalu terlihat ceria, sebenarnya hatinya itu sangat lembut .... Sangat sensitif, hanya saja ... dia sangat pandai menyimpannya. Kadang Ibu sendiri terkecoh dan menganggap dia kuat dan baik-baik saja. Padahal dia sangat terluka."
Mendengar itu mata Dewi terasa panas. Terlebih mengingat apa yang telah dilakukan Gibran dan Rindu. Rasanya ia ingin memeluk sang ibu, menangis di pangkuannya dan menceritakan segalanya. Seperti saat ia kecil dulu, saat teman-temannya mengolok-oloknya tidak punya ayah. Walaupun dengan teman-temannya ia akan melawan bahkan menghajar mereka, tetapi terkadang ia tidak sanggup juga menahannya sendiri dan akhirnya lari ke pelukan sang ibu.
"Bu, Mas Gibran udah nikah lagi ...." Ingin rasanya Dewi mengatakan itu. Namun, kalimat itu hanya menggema di rongga dadanya.
Sementara Bu Rasti yang tidak tahu apa-apa, masih menaruh harapan besar pada menantunya itu. Kedua jemari Bu Rasti menggenggam jemari Gibran. "Jangan sakiti Dewita, ya, Nak .... Hidupnya sudah terlalu sakit dan pahit. Kamu tahu sendiri seperti apa dia. Tolong ... bahagiakan dia. Dia sudah mempercayakan hidupnya sama Nak Gibran. Jangan sampai Nak Gibran mengecewakan dia. Ibu takut dia kembali hancur dan tidak akan bisa bangkit lagi."
Kontan mata Gibran dipenuhi dengan cairan hangat. Ia sangat merasa bersalah kepada Dewi. Ia telah terbuai dengan kelembutan dan sikap manja Rindu yang tidak pernah ia dapatkan dari Dewi.
"Kenapa diam, Nak? Nak Gibran mau berjanji, kan?"
"Bu, sudah," sela Dewi. "Ibu belum boleh bicara banyak-banyak. Mas Gibran juga pasti bakal jaga Dewi, kok. Kalau pun enggak, Dewi ini udah besar. Udah bisa jaga diri Dewi sendiri. Ibu tenang aja. Yang penting sekarang, Ibu harus sehat dulu, ya?"
Bu Rasti tersenyum dan mengangguk menatap putrinya yang berjalan mendekatinya. Lalu menyuapi apel yang telah ia kupas dan potong dadu.
"Ya udah, Mas, sana kamu ke kantor duluan! Kerjaan kamu masih banyak, kan? Nanti aku balik sama Wina aja enggak apa-apa," usir Dewi yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan Gibran.
Lelaki itu menatap Dewi beberapa saat sebelum akhirnya menuruti perintahnya. "Ya udah, Bu. Gibran balik ke kantor dulu, ya? Nanti pulang kerja, Gibran ke sini lagi sama Dewi."
"Iya, Nak. Hati-hati, ya!"
Setelah mencium takzim punggung tangan ibu mertuanya, Gibran mengusap-usap puncak kepala Dewi kemudian mengecupnya. Seolah-olah mereka sedang tidak ada masalah apa-apa.
"Aku duluan, ya, Wi."
Dengan jengah Dewi menjawab, "Iya, hati-hati."
"Sama suami yang lembut, loh, Wi ...." Nasehat Bu Rasti melihat sikap putrinya saat berbicara dengan Gibran barusan.
"Kalau Dewi lembut, nanti orang-orang enggak bisa bedain mana Dewi mana Rindu!" ucap Dewi asal. Ia masih terbawa rasa kesalnya terhadap Gibran.
Bu Rasti hanya menghela napas melihat sikap putrinya itu. Memang bukan salah Dewi tumbuh menjadi wanita yang keras seperti itu. Karena sejak kecil, ia telah dihadapkan pada keadaan sulit orang tuanya.
"Mbak Dewi," panggil Mbak Marni.
"Iya, Mbak?"
"Sebenarnya tadi sebelum Ibu jatuh sakit, saya ... mau minta izin sama Mbak Dewi."
"Izin?"
"Iya, Mbak. Anak saya di kampung juga masuk rumah sakit. Kena DB. Dia minta saya buat pulang secepatnya."
Dewi memandang ibunya sekilas. Kemudian kembali menatap Mbak Marni yang duduk di sofa.
"Oh, ya udah, Mbak, enggak apa-apa. Silakan kalau Mbak Marni mau pulang dulu. Ibu biar aku yang jaga."
"Iya, Mbak. Terima kasih."
"Sama-sama, Mbak. Aku yang banyak terima kasih sama Mbak Marni sudah jaga ibu. Tapi Mbak Marni pulang sorean enggak apa-apa, ya? Nanti aku pesankan shuttle. Habis ini aku ada meeting soalnya."
"Iya, Mbak. Enggak apa-apa, kok."
Bu Rasti kemudian menyahut. "Jadi, nanti pulang dari rumah sakit, sementara Ibu tinggal di rumah kamu, Wi? Kamu sama Gibran apa enggak keganggu?"
"Ah, Ibu. Ya enggak, lah. Masa keganggu, sih?" sahut Dewi sembari tersenyum lebar. Meski sebenarnya ia pusing karena ibunya belum memungkinkan untuk mengetahui kondisi pernikahannya yang sebenarnya.
.
OKE, MARI BERCERAI
BAB 5
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Dewi dengan nada dingin kepada Gibran saat mereka berpapasan di lobi rumah sakit. Sore itu Dewi baru selesai meeting dan Gibran baru pulang dari kantor.
"Ngapain?" Gibran justru balik bertanya. "Ya jelas aku mau besuk Ibu, Wi."
"Makasih buat perhatiannya. Tapi, enggak usah repot-repot! Dia bukan ibu mertua kamu lagi!"
"Wi, Ibu lagi sakit, enggak baik kita kayak gini. Gimana kalau sampai ibu tahu?"
"Dengarkan aku baik-baik, Mas Gibran!" Dewi menatap Gibran dengan tajam. "Pertama, bukan aku yang meminta perceraian kita, tapi kamu. Aku cuma menyetujui. Yang kedua, Rindu udah hamil anak kamu, terlepas pernikahan kalian sah atau enggak, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku enggak mau punya suami yang sudah menghamili perempuan lain. Yang ketiga, aku enggak akan jadikan kondisi ibu yang sakit, sebagai alasan untuk menunda apalagi membatalkan perceraian kita!"
"Tapi, Wi, gimana kalau Ibu sampai tahu? Kondisinya pasti akan memburuk!"
"Kamu tenang aja, Mas. Tugasmu cuma satu. Tutup mulut kamu rapat-rapat! Itu aja. Enggak usah ikut pusing-pusing mikirin ibuku. Pikirin aja istri baru kamu yang lagi hamil. Biar lancar dan sehat sampai lahiran. Urusan Ibu, itu urusanku!"
"Tapi, Wi ...."
"Udah, kamu pergi aja! Enggak usah repot-repot buat besuk ibuku!"
"Wi ...."
Tanpa memedulikan Gibran lagi, Dewi melanjutkan langkah menuju kamar dimana ibunya dirawat.
"Kesini sama siapa, Wi?" tanya Bu Rasti saat putri semata wayangnya masuk ke kamar rawatnya.
"Sendiri, Bu. Dewi selesai meeting langsung ke sini." Dewi mendekati ibunya dan mencium tangan wanita yang kini terbaring lemah itu. "Ibu udah makan?"
Bu Rasti mengangguk. "Harusnya kamu pulang dulu, mandi, istirahat, baru ke sini."
"Enggak apa-apa, Bu. Kasihan Mbak Marni belum siap-siap buat pulang." Dewi kemudian menyerahkan paper bag berisi makanan yang tadi ia beli saat di restoran.
"Mbak Marni makan dulu, habis itu aku antar pulang," titah Dewi.
"Saya pulang pakai angkot aja enggak apa-apa, Mbak. Kasihan ibu kalau ditinggal sendiri," tolak Marni.
"Gibran enggak ke sini, Wi?" tanya Bu Rasti.
"Mas Gibran lembur, Bu. Nanti aku minta tolong sama Wina buat jaga Ibu pas aku antar Mbak Marni." Dewi kembali menoleh ke arah Mbak Marni. "Ya udah, Mbak Marni makan dulu, aku telpon Wina dulu."
Dewi langsung mengambil ponselnya di tas, kemudian menghubungi Wina.
"Win, aku mau minta tolong," ucap Dewi begitu Wina mengangkat teleponnya.
"Yes?"
"Kamu ke rumah sakit, ya! Terus tolong beliin aku baju ganti buat di sini."
"Oke. Apalagi?"
"Sementara itu dulu."
"Oke, habis mandi dan makan aku langsung ke situ."
"Sip." Dewi langsung mematikan sambungan teleponnya.
Dewi memang selalu berbicara langsung pada intinya. Tidak terbiasa berbasa-basi dengan siapapun. Sangat berbeda dengan Gibran yang pandai berbicara panjang kali lebar.
"Setelah Wina ke sini, aku antar Mbak Marni, ya?" ucap Dewi.
"Iya, Mbak. Makasih."
"Ibu mau makan apa?" tawar Dewi pada ibunya.
Bu Rasti menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya udah, ibu istirahat dulu."
Dewi langsung duduk di sofa, membuka tas kerjanya dan mengeluarkan laptop. Segera ia membuat laporan hasil meeting-nya hari ini dan menyelesaikan beberapa hal yang harus ia kerjakan.
Bagi Dewi pekerjaan adalah segalanya. Dulu ia bahkan sudah bertekad untuk tidak akan menikah karena trauma atas pernikahan orang tuanya.
Hidup susah bersama sang ibu yang membesarkannya seorang diri, membuat Dewi tumbuh menjadi perempuan mandiri dan tangguh. Ia selalu ingat pesan ibunya kalau jadi perempuan itu harus kuat, harus mandiri, agar tidak 100% bergantung kepada laki-laki.
Bu Rasti berpesan demikian karena pengalaman hidup yang mengajarkannya. Dulu Bu Rasti seorang ibu rumah tangga yang hanya tahu dicukupi segala kebutuhannya oleh suami. Menjadi nyonya seorang kontraktor besar, membuat hidup Bu Rasti berkecukupan tanpa harus ikut bekerja.
Namun, seiring berjalannya waktu semua berubah. Hidupnya yang tadinya bergelimang harta, menjadi tak punya apa-apa. Ia tersingkir oleh seorang wanita muda yang digandrungi oleh suaminya. Bu Rasti terusir dengan membawa pergi buah hatinya dengan bekal harga gono-gini yang tak seberapa.
Itu sebabnya Bu Rasti selalu berpesan kepada Dewi agar menjadi perempuan yang mandiri. Namun, ternyata apa yang terjadi pada Dewi di luar dugaan Bu Rasti.
Dewi, gadis pendiam itu menyimpan trauma besar dan mendalam atas perceraian orang tuanya. Dewi tidak mau menjalin hubungan asmara dengan laki-laki. Menganggap semua laki-laki sama seperti sang ayah yang mencampakkan istri dan juga anaknya. Dewi tidak mau menikah.
Berkali-kali Bu Rasti berusaha menjodohkan Dewi dengan anak kenalannya, tak satu pun yang berhasil. Semua hanya satu kali kencan, setelahnya Dewi tidak mau bertemu lagi. Sampai Bu Rasti putus asa dan lelah sendiri. Ia pasrah dan hanya bisa melangitkan doa untuk putrinya tercinta. Hingga kabar kalau Dewi dekat dengan seorang laki-laki sampai di telinganya.
Perjuangan Gibran dalam mendekati Dewi pun bukan sesuatu yang mudah. Dewi dengan segala luka dan traumanya, nyaris tidak memiliki rasa percaya kepada semua orang yang ditemuinya. Pintu hatinya tertutup rapat, nyaris tidak akan bisa terbuka. Hingga butuh waktu cukup lama bagi Gibran untuk bisa meyakinkannya. Tak hanya dalam hitungan bulan, tetapi tahun. Tiga tahun lebih, baru Gibran bisa berhasil meruntuhkan kerasnya pertahanan Dewi. Dewi mau menerima cintanya dan menikah dengannya.
Bahkan saat itu Gibran harus mempertaruhkan pekerjaannya. Karena jika menikah dengan Dewi, maka salah satu di antara keduanya harus mutasi ke kantor cabang lain, atau keluar dari perusahaan. Sementara tidak akan mungkin bagi Dewi untuk melepas pekerjaannya. Jadi, mau tidak mau Gibranlah yang harus mengalah.
Untungnya pada saat mereka menikah, kantor cabang baru yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka tengah dibangun. Sehingga Dewi meminta pada atasannya agar Gibran dimutasi ke kantor baru itu saja menunggu selesai pembangunannya. Karena Dewi merupakan karyawan yang masuk dalam perhitungan, maka permintaannya disetujui.
Untuk sementara Gibran masih satu kantor dengan Dewi sampai kantor cabang baru siap beroperasi. Seharusnya akhir tahun ini Gibran menempati kantor barunya. Namun, pernikahan mereka malah kemungkinan besar berakhir.
Menjelang maghrib Wina tiba di rumah sakit sembari membawakan pesanan Dewi. Dewi pun langsung mandi dan berganti pakaian. Setelahnya ia mengantar Marni ke rumah Bu Rasti. Karena Marni sudah Dewi pesankan shuttle, jadi Dewi langsung pamit. Ia pulang terlebih dahulu untuk mengambil keperluannya seperti charger, sikat gigi, skincare, dan lain sebagainya.
Saat Dewi tiba di rumah, pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Begitu ia membuka pintu, ruangan luas ruang tamunya terlihat lengang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di dalamnya.
"Mas Gibran enggak pulang," gumam Dewi. Menyadari hal itu, ada bagian di dalam rongga dadanya yang berdenyut nyeri. Dadanya sesak. Ada sesuatu yang seperti tercabut paksa dari dalam sana. Sehingga meninggalkan bekas yang dalam dan menganga.
Dewi memukul-mukul dadanya. "Kenapa sesesak ini?" Berkali-kali ia meraup udara dengan rakus. Hingga akhirnya satu per satu buliran bening berjatuhan dari pelupuk matanya.
Kilas masa lalu kembali terbayang di depan mata Dewi. Bagaimana ia harus berjuang untuk bisa sekolah, mengejar beasiswa agar bisa terus kuliah. Karena pernah sebelum itu, pada saat Dewi SMA dan harus membayar uang gedung yang baginya dan sang ibu cukup besar, ia mendatangi rumah megah ayahnya.
Namun, apa yang terjadi? Dewi bahkan tidak dipersilakan masuk sama sekali oleh sang ayah. Ia hanya dipersilakan duduk di kursi teras. Jangan ditanya apakah istri baru ayahnya keluar menemuinya, karena sudah pasti jawabannya tidak.
Pada saat Pak Wisnu masuk, Dewi termenung memandangi rumah yang besarnya mungkin sekitar lima kali lipat dari rumah petak yang ditempatinya bersama sang ibu. Ada dua mobil mewah terparkir di halaman. Sementara ia dan ibunya kemana-mana menggunakan angkutan umum.
Dulu Dewi berpikir, bukankah ada haknya di rumah besar itu? Meski ia dan sang ibu telah bertahun-tahun pergi dari sana, bukankah ia juga anak ayahnya? Anak yang seharusnya juga mendapatkan hak yang sama dengan anak ayahnya dari istri barunya? Sayangnya, Dewi tidak mendapatkan itu sama sekali. Ia seperti orang asing bagi sang ayah, bagi laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertamanya.
Pak Wisnu, lelaki yang Dewi panggil ayah itu keluar dengan membawa dua air putih dalam kemasan gelas di tangan besarnya. Ia mengangsurkan satu untuk Dewi dan satu lagi ia minum sendiri. Lalu setelahnya, laki-laki yang duduk di kursi sebelah Dewi itu berkata, "Maaf, Wi, Ayah saat ini belum bisa ngasih kamu uang. Adik kamu juga sedang banyak butuh biaya. Kamu masuk sekolah lain saja yang biayanya lebih murah. Bukankah di sekolah negeri itu gratis?"
Lalu Pak Wisnu mengangsurkan selembar uang lima puluh ribu rupiah ke depan Dewi. "Pulanglah naik taksi, bayar dengan ini!"
Dewi hanya tertegun memandang wajah sang ayah. Tidak menerima ataupun menolak uang itu. Membiarkan tangan sang ayah terkatung di depannya. Baru saat terdengar deru mobil memasuki halaman luas rumah megah sang ayah, Dewi menoleh dan memandang mobil berwarna merah menyala itu. Tampak seorang gadis dengan usia seumuran dirinya turun dari dalamnya.
Dewi tahu, gadis itu bernama Rindu. Ia pernah sekali dua kali bertemu. Putri sang ayah dengan istri barunya. Gadis beruntung yang mendapatkan segalanya dari laki-laki yang seharusnya juga memberikan segalanya untuknya. Laki-laki yang Dewi panggil dengan sebutan Ayah.
Dewi memejamkan mata rapat-rapat. Dadanya semakin sesak saat mengingat itu semua.
"Kenapa harus Rindu, Mas? Kenapa harus Rindu? Kenapa harus anak dari perempuan yang telah merebut suami ibuku?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
