Suddenly We Got Married [BAB 3]

0
0
Deskripsi

Karelyn hidup bersama Leo, papanya. Karena mamanya telah tiada, setelah melahirkannya ke dunia. Sikap papanya tak seperti kebanyakan seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya. Leo terkesan menuntut, banyak aturan tapi tidak memberikan sebuah kasih sayang.

Terbiasa bersama sedari kecil, membuat Karel benar-benar merasa bergantung pada sosok Aziel yang merupakan anak dari sahabat orang tuanya. Ketika sedih, bermasalah … pelariannya adalah Ziel. Rasa nyaman seorang adik terhadap kakaknya, seolah membuat...

“Ponsel gue ambilin dong, Ja,” pinta Karel pada Puja.

Segera menelepon seseorang.

“Lo mau nelpon siapa?” tanya Giska. Tapi pertanyaannya malah tak dijawab oleh sobatnya itu.

“Hallo.”         

“Kakak dimana?” tanyanya langsung saat panggilan teleponnya dijawab oleh yang bersangkutan.

“Rel, ini udah tengah malam, loh. Masih belum tidur,” balasnya dengan nada lembut.

“Jemput aku,” pintanya langsung.

“Kamu di luar?”

“Jemput aku ... kepalaku pusing, Kak,” ujarnya.

“Kirim alamat, ya.”

“Hmm.”

Menutup percakapan dan langsung mengirimkan alamatnya lewat chat.

“Kamu minta siapa yang jemput, Rel?” tanya Arga. “Sudah ku bilang, kan, biar aku saja yang mengantarmu pulang. Masalah dengan papamu, biar aku yang hadapi. Beliau pasti paham, kok,” jelasnya kukuh.

Karel tak menanggapi perkataan Arga. Ia hanya fokus pada rasa pusing dan tak nyaman di kepalanya. Seakan-akan mau pingsan saja. Siapa coba yang dengan sengaja mengganti gelasnya, hingga malah mabuk begini. Padahal jelas-jelas tadi minumannya bukanlah yang itu.

“Kak Arga, udah deh. Jangan berlagak seolah olah jadi pahlawan kemalaman. Enggak bakalan mampu ngelawan papanya Karel. Memangnya kakak punya modal apa?”

Arga menatap Puja dengan raut kesal. Ya, kesal karena bukan Karel yang heboh akan dirinya, tapi dua gadis ini yang seakan menentang dirinya untuk dekat dengan Karel.

“Udah udah, kenapa malah berdebat gitu, sih. Aku nggak kenapa-kenapa, cuman pusing aja.” Mengarahkan pandangannya pada Arga. “Maaf, Kak ... aku udah ada yang jemput, kok.”

Karel beranjak dari kursinya, menyambar tas dan berlalu pergi dari sana. Rasanya seperti melayang saat berjalan dengan kepala yang terasa pusing.

Puja dan Giska segera mengekori Karel yang lebih dulu berjalan gontai keluar dari tempat acara. Begitupun dengan Arga yang ternyata juga ikut menyusul.

Sampai di depan, ia memilih duduk di sebuah kursi dekat taman. Ponselnya berdering, tapi Giska dengan cepat mengambil alih benda itu dan menjawab panggilan dari si penelepon.

“Hallo, Kak ...  ini Giska.”

“Karel mana, Gis. Dia baik baik saja, kan?” 

“Iya, Kak ... hanya pusing. Ini udah nungguin di depan.”

“Aku bentar lagi sampai, temenin dia, ya.”

“Iya, Kak.”

“Dari siapa? Siapa yang menjemput Karel?” tanya Arga memberondongi Giska dengan rasa penasarannya akan sosok yang akan menjemput Karel.

Lagi lagi pertanyaan Arga seakan tak diperdulikan oleh Giska. Keduanya entah kenapa memiliki rasa yang sama akan cowok ini. Yap, rasa kesal akut.

Tak lama, sebuah mobil berwarna putih memasuki area gedung. Lebih tepatnya berhenti tepat di dekat Karel dan yang lainnya sedang menunggu.

Si pemilik mobil turun dan dengan sedikit bergegas menghampiri Karel yang masih duduk di kursi. Sosok cowok berperwakan tinggi dengan kulit bersih, dan pakaian casual yang dia kenakan, seakan menimbukan pesona adem saat melihat.

“Rel, kamu kenapa?” tanyanya menyentuh wajah Karel.

“Kepalaku pusing,” jawabnya.

Tak banyak bertanya, ia langsung saja mengenakan sebuah sweater pada Karel dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobil. Tapi saat akan masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi, tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang menyebut namanya.

Pandangannya mengarah pada orang tersebut.

“Pak Aziel, kan?”

“Ya,” sahutnya.

“Bapak nggak mengenal saya?”

“Maaf, saya nggak kenal. Permisi,” pamitnya langsung berlalu pergi. 

Sementara Puja dan Giska seakan dibuat membeku akan sosok cowok bernama Ziel itu. Ya, dilihat dari sudut manapun dia memang tampan dan baik.

“Ada hubungan apa mereka berdua?” tanya Arga pada dua gadis yang masih senyam senyum nggak jelas menatap kepergian Ziel.

“Kak Ziel dan Karel?” tanya Puja balik.

“Ya.”

“Hubungan yang ... hmm, memiliki rasa yang sama. Pokoknya Karel itu segalanya bagi Kak Ziel, begitupun dengan Karel. Apapun masalah yang dia hadapi, pasti Kak Ziel bakalan beresin. Jadi, menurut Kak Arga mereka punya hubungan apa, ya?” 

Sebenarnya Puja bukan sedang bertanya, tapi justru membuat Arga berpikir sendiri tentang klu-klu yang ia sebutkan itu.

“Mereka pacaran?”

“Bukan,” jawab Giska cepat.

Jawaban Giska malah membuat Puja kaget saat sobatnya tak bisa diajak kerjasama perihal hubungan Karel dan Aziel.

 “Sebenarnya Kak Ziel dan Karel itu punya hubungan yang lebih dari sekadar pacaran.”

Arga seakan gregetan sendiri dengan perkataan perkataan Giska dan Puja.

“Sepupu?”

“Yakali sepupu,” tawa Giska. “Mereka itu sebentar lagi mau nikah, jadi Kakak udah deh jangan back back gangguin Karel lagi.”

“Apa?!”

Puja dan Giska puas sekali melihat ekspressi kesal di wajah Arga. Seakan akan gunung merapi akan segera meletus, hingga membuat keduanya memilih berlalu dari sana. Biar, cowok nyebelin ini berpikir satu malam dengan apa yang dilihat dan keduanya jelaskan barusan.

Sementara itu di perjalanan, Ziel menghentikan laju mobilnya di depan sebuah toko. 

“Kemana?” tanya Karel ketika Ziel malah turun dari mobil.

“Beli minum,” jawabnya segera turun.

Karel membentur benturkan kepalanya ke belakang kursi mobil agar rasa pusing ini segera menghilang. Bisa dicakar ia sama Ziel kalau tahu dirinya minum minuman beralkohol.

Selang beberapa menit, Ziel kembali dengan beberapa botol air mineral di tangannya, tapi tak langsung memberikan pada Karel.

“Aku butuh penjelasan dulu,” ujarnya menatap gadis yang duduk di sampingnya.

“Penjelasan apa, sih, Kak? Aku mau pulang, mau tidur ... kepala ku pusing,” balasnya.

“Sudah berapa kali ku bilang ... jangan keluar malam. Kamu ini cewek, Rel. Di luaran itu banyak kejahatan, aku nggak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama kamu.”

Tuh, kan ... apa yang ia pikirkan tadi terjadi. Ziel pasti bakalan mengomelinya dengan omelan yang panjang. Ini baru satu perkara, belum yang lainnya.

“Aku udah minta ijin sama Papa secara baik baik, tapi selalu saja dilarang. Aku juga butuh hiburan, aku punya teman. Saat temanku mengadakan apapun acaranya, papa nggak pernah ngijinin,” terangnya dengan kedua mata terpenjam, karena menahan pusing.

“Tapi bukan kabur kaburan begini.”

“Lalu, aku harus apa? Aku itu berasa jadi sesuatu yang seolah harus disembunyikan dari dunia luar.”

Ziel Paham maksud dan kemana arah pembicaraan Karel, tapi untuk masalah sampai harus kabur di malam hari tanpa ijin, ia tak setuju.

Karena memutar pandangannya dan menatap ke arah Ziel. “Tapi kalau aku kabur begini, otomatis Papa pasti ngomel dan banyak bicara padaku.” Menghela napasnya berat. “Setidaknya itu lebih baik daripada aku didiamkan layaknya sebuah patung hidup, kan.”

“Caramu salah, Karel. Itu bukan cara mengambil hati papamu. Justru malah membuat kamu malah semakin dilihat salah sama Om Leo.”

“Aku haus, Kak,” ujarnya menghindari pembicaraan Ziel yang tak akan ada habisnya kalau didengarkan.

“Satu penjelasan lagi.”

Karel memberengut saat balasan cowok ini selalu berhasil bikin kesal. “Apalagi, sih, Kak?”

“Kamu minum minuman beralkohol, ya.”

Karel merasa kepergok. “Enggak,” jawabnya.

“Aku nggak bertanya. Itu pernyataan yang ku yakinkan padamu.”

“Aku nggak minum, Kak Ziel. Aku cuman ...”

“Nggak sengaja? Atau, hanya mencoba sedikit?” Ziel langsung saja menimpal alasan-alasan pasaran yang akan diberikan Karel padanya.

“Serius, aku benar benar nggak minum, Kak.” berusaha meyakinkan Ziel. 

Ziel malah menarik Karel ke arahnya, kemudian mendekatkan wajahnya pada gadis yang terpaut usia sekitar 7 tahun di bawahnya. 

Mata Karel sedikit membola saat mendapati sikap Ziel yang tak biasa. Apa yang akan dilakukan cowok ini padanya? Jangan bilang kalau dia akan melakukan sesuatu yang bikin jantungnya tak karuan.

Hanya beberapa centi, bahkan Karel bisa merasakan napas Ziel terasa menerpa wajahnya. Saking deg deg’an, tangannya bahkan sampai mencengkeram ujung bajunya sendiri.

“Benar, kan ... kamu minum tadi,” ujar Ziel seketika menjauh dari Karel.

“A-apa?”

“Ada aroma alkohol di bibirmu. Kamu nggak bisa bohong lagi,” ungkap Ziel.

Karel lagi-lagi merasa dirinya seakan dipermainkan oleh Ziel. Apa apaan sikap cowok ini, apa memberikannya harapan palsu. 

Astaga! Maafkan otak dan hatinya yang tiba-tiba jadi aneh saat berdekatan dengan Ziel. Sungguh, ia tak bermaksud merasa begini. Tapi tak tahu kenapa jika sikap Ziek tak biasa padanya, justru malah membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.

“Kalau Kakak nggak percaya, boleh tanya sama Giska atau Puja. Aku nggak memesan minuman, tapi saat aku minum gelasku sudah berganti dengan minuman beralkohol.”

“Bohong.”

“Aku kesal padamu! Kenapa, sih ... nggak percaya padaku. Apa aku pernah berbohong padamu, Kak? Katakan.”

Ziel diam dengan tatapan fokus pada gadis yang ada di sampingnya. 

“Antarkan aku pulang,” ujar Karel menyenderkan badannya dan mengalihkan pandangan dari Ziel.

Ziel mengambil sebotol air mineral dan membuka tutupnya. Kemudian menyodorkan pada Karel.

“Minum dulu.”

“Percaya padaku atau tidak?” tanya Karel menatap fokus pada Ziel.

“Hmm,” angguknya. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah Karel menerima minuman yang ia sodorkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suddenly We Got Married [BAB 4]
0
0
Karelyn hidup bersama Leo, papanya. Karena mamanya telah tiada, setelah melahirkannya ke dunia. Sikap papanya tak seperti kebanyakan seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya. Leo terkesan menuntut, banyak aturan tapi tidak memberikan sebuah kasih sayang.Terbiasa bersama sedari kecil, membuat Karel benar-benar merasa bergantung pada sosok Aziel yang merupakan anak dari sahabat orang tuanya. Ketika sedih, bermasalah … pelariannya adalah Ziel. Rasa nyaman seorang adik terhadap kakaknya, seolah membuat dirinya salah ketika semuanya terasa berubah. Iya, ada cinta di hatinya untuk Ziel. [Karelyn]Semua Rasa tak perlu diungkap dengan kata-kata. Jadi, meskipun tak mengungkapkan sekalipun, setidaknya sikapnya selama ini bisa mencerminkan rasa seperti apa yang ia berikan pada Karel. [Ziel] BAB 1-4 bisa dibaca gratis, ya. Kalau suka, silakan baca bab selanjutnya. tengkyuuuu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan