
Cinta datang memang tak memandang siapapun. Termasuk memandang kadar otak seseorang. Bahkan, seseorang yang bisa di bilang memiliki kadar otak rendah pun, bisa memiliki cinta seseorang yang pintarnya kelewatan. Tapi, bukan kehidupan namanya, kalau tak ada penghalang. Begitupun yang di alami oleh Axel Leo Dinata dan juga Elvio Nadira.
Apakah mereka berdua bisa dan sanggup menghadapi halangan dan rintangan pada hubungan mereka?
[Ini kisahnya LEO-DIRA]
********
BAB 1-4 Bisa baca gratis ya …
[BAB : 1]
Malam Minggu, adalah malam yang sangat keren bagi Dira. Karena ia bisa bertemu dan kencan dengan Leo, yang saat ini berstatus sebagai kekasihnya.
Ya, mereka memang bisa dikatakan bertemu setiap hari di kampus. Tapi, sikap Leo padanya akan berbeda 400 derajat jika berada di kampus. Luar binasa, bukan. Yang jelas, kalau hanya berdua dengan Dira, sikap manis Leo akan muncul. Tapi, kalau sudah ada orang ketiga, setan didalam dirinyalah yang mendominasi.
"Sekarang kita kemana lagi?" tanya Leo saat keluar dari cafe setelah makan malam berdua dengan Dira.
"Shooping," jawab gadis itu langsung bersemangat.
Leo langsung menghentikan langkah kakinya saat mendengar kalimat itu.
"Kenapa?" tanya Dira yang ikut terhenti.
"Nggak mau nemenin aku?"
"Ada yang lain, nggak? Shooping itu membuang-buang waktu, membuang-buang uang ... mending kita ke toko buku aja. Baca buku, bisa nambah ilmu," jelasnya panjang memberi solusi.
Dira mendengus mendengar pernyataan Leo. Haruskah hidupnya juga ikut bergelut dengan buku seperti cowoknya ini?
"Leo," rengek Dira.
Jujur saja, Leo sedikit tersentak saat Dira menyebut namanya. Pasalnya, biasanya gadis itu pasti akan memanggilnya dengan embel-embel, Bapak, Pak, atau apalah itu.
"Saat ini, di waktu ini ... status kamu itu adalah pacar aku. Jadi, jangan bersikap seperti seorang dosen. Ntar, di kampus nggak apalah bersikap kayak gitu."
"Tapi, Ra ..."
Dira langsung saja menarik tangan Leo untuk pergi dari sana. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja seseorang menabraknya. Gilanya lagi, segelas minuman yang ada di tangan orang tersebut malah mengguyur kepalanya.
"Kyaaaa!!!" teriaknya histeris. Dikira ia belum mandi apa, pake diguyur segala.
"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja," ucap orang tersebut meminta maaf. "Tapi, Mbak juga, sih, yang salah ... jalan nggak lihat-lihat,'' tambahnya lagi dan berlalu pergi begitu saja.
Kutu kupret, ingin rasanya Dira berkata kasar saat itu juga. Awalnya dia minta maaf, tapi ujung-ujungnya malah nyalahin dirinya juga. Andai saja Leo tak ada di sampingnya, mungkin ia akan hajar tu orang habis-habisan. Sampai bayangannyapun nggak bakal balik ke badannya.
"Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Leo memastikan.
"Nggak apa-apa gimana, kamu nggak liat orang aku udah basah kuyup gini?" Dira langsung mengoceh layaknya petasan.
"Lihat," jawab Leo. "Makanya aku nanya keadaan kamu. Ada yang sakit atau gimana?" tanya Leo sambil mengelap wajah Dira yang sudah cemong terkena guyuran segelas capuccino.
Ya, Dira tahu kalau yang mendarat di kepalanya barusan adalah segelas capuccino ... ada yang menetes ke bibirnya dan itu rasa capuccino. Manis.
"Iya, hati aku sakit banget sama tu orang," geram Dira masih belum terima.
"Jadi gimana ... masih mau shooping?" tanya Leo sedikit menahan senyumnya.
"Ya enggaklah, Bapak. Nggak lihat, kekasihmu ini udah kayak gini," dengus Dira kesal. "Bentar, aku ke toilet dulu. Tunggu aja di mobil." Dira berjalan meninggalkan Leo menuju toilet cafe.
Oke, sepertinya ini memang hari sialnya. Karena apa? Si toilet ternyata lagi bermasalah. Jadilah, ia kembali ke mobil masih dengan tampang lepek, kucel dan berlepotan.
"Kok masih jelek aja?" tanya Leo saat Dira kembali dengan wajah dan ekspressi yang masih sama. "Eh, maksud aku bukan gitu ..." Ia segera meralat ucapannya. Sebenarnya ia tak ingin mengatakan itu, tapi tiba-tiba saja bibirnya malah mengucapkannya. Jadi, apalah dayanya.
"Jangan meledek," dengus Dira langsung saja masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan Leo.
Di dalam mobil, Dira terus saja mengumpat karena tak tahan dengan rambut dan wajahnya yang lengket.
"Kenapa nggak dibersihin di toilet tadi?" tanya Leo.
"Toiletnya lagi rusak, Bapak," jawab Dira sambil menekankan kata 'Bapak' pada ucapannya.
Beberapa saat kemudian, Leo menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah hotel. Tentu saja Dira bingung.
''Kenapa berhenti di sini?" tanya Dira dengan kening berkerut.
Leo tak menjawab pertanyaan Dira. Justru ia malah turun dan membukakan pintu mobil buat Dira.
"Ayok," ajaknya sambil mengamit tangan Dira untuk mengikutinya.
Leo menuju ke meja receptionist, sementara Dira cuman bengong sambil celingak-celinguk kiri kanan, serta agak takut-takut. Apalagi melihat pengunjung di hotel ini, yang bisa di bilang tak tahu malu. Masa iya mereka bebas ciuman di depan umum gitu. Ya ampun, ini hotel atau neraka, sih.
"Hei ... kenapa?" tanya Leo mengagetkan Dira yang sedang menjernihkan pandangannya karena takut terkontaminasi.
"Kita ngapain, sih, kesini?" tanya Dira sedikit berdiri mendekat pada Leo.
"Bukannya mau bersihin badan kamu?"
"Tahu nggak. Ini hotel, bukan toilet."
"Aku tahu ini hotel. Di sekitaran sini nggak ada toilet umum. Jadi, mending ke sini aja, lebih aman. Mau mandi sekalian juga bisa kan," terang Leo.
"Tapi, ini hotel apaan, sih. Orang-orang di sini pada gila semua, ya. Masa iya ci ..."
Belum sempat Dira menyelesaikan perkataannya, Leo langsung membekap mulutnya dan menariknya pergi menuju nomer kamar yang terletak di lantai dua.
Hingga sampai di kamar yang dituju pun, Dira sudah merasa panas dingin melihat penampakan-penampakan yang membuat otaknya sedikit bergeser.
"Yakin, nih, aman?" tanya Dira penuh curiga saat sudah berada di depan pintu kamar.
"Maksud kamu, aman dari apa? Dari aku? Aku ini cowok baik-baik. Jadi, jangan berpikiran buruk padaku. Ayo masuk," ajak Leo lagi menarik Dira.
Padahal Dira memikirkan keamanan hotel ini, tapi Leo malah berpikiran lain lagi. Sudahlah, mungkin pikiran orang-orang ber'otak jenius memang begitu kali, ya. Lain yang dikatakan, lain pula yang dibahas.
Mau tidak mau, akhirnya Dira masuk juga mengikuti Leo yang sudah masuk terlebih dahulu.
"Di dalam kamar mandi ada handuk dan lain-lain. Ini, kamu pake kaos ku dulu," terang Leo sambil menyodorkan kaos oblong miliknya yang sengaja ia bawa dari mobil. "Rok kamu nggak kotor kan?"
Dira menggeleng menjawab pertanyaan Leo.
"Ya udah, sana mandi. Aku tunggu disini."
"Tapi, jangan ditinggal, ya?"
"Iya," jawab Leo. "Sana," suruhnya
Dira masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya. Sementara Leo duduk di sofa menunggunya sambil sibuk dengan ponsel.
Baru beberapa menit, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Tentu saja Leo bingung, siapa yang bertamu? Tapi, ia kembali berpikiran positif, mungkin saja pegawai hotel.
Ia membuka pintu kamar. Pintu terbuka dan di saat yang bersamaan juga, ekspresi wajahnya langsung berubah kaget.
'Masalah,' batinnya mengumpat kesal.
[BAB : 2]
Di saat yang bersamaan, Dira juga keluar dari kamar mandi.
"Yok, balik. Aku udah selesai," ajak Dira.
Tapi apa yang ia dapati, ia sedikit terdiam mendapati orang-orang berseragam lengkap sedang berhadapan dengan Leo.
"Ada apa?" tanya Dira bingung sambil menghampiri Leo.
"Kalian berdua sedang apa disini?!"
tanya salah satu dari mereka dengan tampang sangar.
"Kita cuman ..."
"Tunjukkan identitas kalian," pinta salah seorang dari mereka memotong ucapan Dira.
Baik Dira ataupun Leo menurut saja. Mereka menyodorkan tanda pengenal masing-masing.
"Jadi, Anda seorang dosen, dan kamu mahasiswinya?" tanya dia menunjuk Leo dan Dira bergantian. "Begitukah?"
"Iya," jawab Leo, sedangkan Dira memilih untuk mengangguk saja.
"Ck, dasar. Kalian berdua ikut kami!" hardiknya.
"Bentar dulu, ini sebenarnya ada apa, sih. Kenapa kami berdua harus ikut?" tanya Dira dengan wajahnya yang memang sudah terlihat panik.
"Ntar aku jelasin," bisik Leo pada Dira. Ia tak ingin Dira tau kalau mereka di grebek petugas yang lagi razia, gara-gara kedapatan berada di satu kamar tanpa adanya hubungan yang sah. Bisa-bisa Dira malah teriak-teriak jejeritan ntar.
Yap, jadilah mereka berdua menjadi salah satu di antara pengunjung hotel yang pada malam itu ikut terjaring razia. Karena status mereka yang bukan muhrim, tapi berada di satu kamar.
Hingga sampai di kantor polisi, wajah bingung Dira semakin terlihat. Di tambah lagi, ia juga merasa takut kalau sudah berurusan dengan polisi.
"Kalian sedang apa di hotel itu?"
"Kita nggak ngapa-ngapain kok, Pak. Dia cuman nemenin saya buat bersihin badan, karena tadi ketumpahan minuman," jelas Dira.
"Kalian pikir, kami akan percaya dengan alasan murahan seperti itu!”
"Terserah, mau anda percaya atau tidak. Toh, kita udah jujur," balas Leo. Leo tahu, di jelaskan seperti apapun itu, petugas tak akan mungkin percaya gitu aja.
"Sekarang, silahkan hubungi wali kalian agar segera datang kesini," pintanya pada Leo dan Dira.
"Orang tua saya lagi di luar negri, Pak. Masa iya mereka harus pulang kampung cuman gara-gara masalah beginian doang," terang Dira. Mampuslah kalau orang tuanya tahu ia tertangkap di kamar hotel bersama cowok.
"Orang tua saya juga lagi di luar negri," tambah Leo.
"Apa kalian nggak punya keluarga di negara Indonesia ini? Apa kalian disini hidup hanya sebatang kara? Hello, dunia ini sudah sulit, jadi jangan dipersulit lagi. Kalian masih punya anggota keluarga lain, kan?”
Dengan langkah malas, Leo beranjak dari duduknya dan pindah ke kursi tunggu. Dirapun juga mengikutinya.
"Liat kan, ini semua gara-gara kamu," dengus Dira dengan tampang kesalnya pada Leo.
"Jangan nyalahin aku.”
"Memang ini semua salah kamu,” tambahnya mengoceh.
"Sstt ... diem.”
Leo menghubungi seseorang, tapi yang jelas bukanlah orang tuanya. Karena ia jujur, orang tuanya memang berada di luar negri.
"Nelepon siapa?" tanya Dira.
Tapi Leo tak menjawab pertanyaan Dira. Ia lebih fokus pada percakapan di telepon dengan seseorang.
"Arland, lo dimana?" tanya Leo pada sobatnya di telepon.
"Di rumah orang tua gue. Kenapa?"
"Kebetulan. Gue sekarang lagi dalam masalah,"
"Masalah?"
"Iya. Tolong lo bilangin sama Om Alvin, buat datang ke kantor polisi. Sekarang, ya."
"Lo ngapain di kantor polisi?"
"Hhah, gue sama Dira lagi di hotel. Tiba-tiba ada razia, dan kita dituduh berbuat yang enggak-enggak. Gue sama Dira sekarang butuh wali buat bisa bebas," jelas Leo pada sobatnya itu.
"Ya udah, ntar gue bilangin."
"Thank's."
"Jadi?" tanya Dira masih menunggu.
"Kita tunggu Om Alvin dulu," balas Leo.
Ya, Alvin adalah orang tua dari sahabatnya yang bernama Arland, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Itu karena dekatnya ia dengan keluarga Arland.
"Hadeh, benar-benar hari yang sial. Ntar kalau mau ngedate, jangan pake hari minggu," keluh Dira sambil bersandar di bahu Leo.
Kira-kira 20 menitan, sobatnya Arland datang bersama istri dan juga orang tuanya, Alvin dan Kim. Leo merasa ini sangat memalukan ... seperti penjahat saja.
"Om, Tante. Maaf ya, kita ngerepotin kalian," ujar Leo merasa tak enak.
"Iya, nggak apa-apa," balas Alvin.
"Kiran!!! Gue nggak mau disini, gue mau pulang," histeris Dira sambil mewek-mewek pada Kiran, istri dari Arland yang merupakan sahabatnya juga.
"Iya, tenang dulu," balas Kiran menenangkan Dira.
"Kalau gitu, kita temuin petugasnya dulu, ya. Biar kalian bisa cepetan bebas," terang Alvin.
Setelah sedikit perdebatan, perselisihan, negosiasi, akhirnya mereka berdua bisa bebas dan bernapas dengan Lega.
"Gue mau tanya. Kalian berdua yakin nggak ngelakuin apa-apa di hotel?" tanya Arland sesaat setelah keluar dari kantor polisi.
"Eh eh, itu mulut bisa dikondisiin, nggak. Lo kira gue cowok apaan," kesal Leo pada perkataan Arland.
"Ya emang ini semua gara-gara, Bapak," tunjuk Dira ke arah Leo masih dengan kekesalan memuncak. “Ngapain ngajakin aku ke hotel.”
Leo hanya bisa mendengus saat Dira terus menyalahkannya. Ya, ia akui semua ini memang salahnya. Tapi, bisa nggak sih, Dira tak menyalahkannya terus. Haruskah ia membuat konferensi pers, untuk mengakui kalau ini semua adalah salahnya.
"Mau pulang atau enggak? Atau kamu masih betah di sini?" tanya Leo sambil membukakan mobil untuk Dira dengan tampang datarnya.
"Sampai ketemu besok, Ki," ucap Dira pamit pada Kiran.
Sambil mencak-mencak, Dira memasuki mobil Leo. Meskipun ia kesal pada Leo, tapi ia tetap cinta kok. Ia tak akan lupa perjuangannya mendapatkan Leo seperti apa. Butuh kesabaran yang haqiqi guys.
---000---
Di saat sang mentari sudah berkelana setengah hari, Dira masih anteng berada dibalik selimutnya. Bahkan asisten rumah tangganya sudah bolak balik ke kamar untuk membangunkannya, tapi tetap saja tak berhasil. Sepertinya, sebuah ciuman dari sang pangeran lah yang bisa membuatnya langsung melek.
"Non, ayo bangun, Non. Ini udah yang ke 99,9 kalinya Bibik bangunin, Non. Bukannya Non Dira ada kuliah siang," terang Bibik.
Bibik kembali mencoba, siapa tau kali ini ia beruntung dan berhasil membangunkan Dira. Lumayan, bisa dapat hadiah TV LED.
"Non, bangun.” Dan ini yang ke seratus kali.
Dira tetap tak menjawab bahkan merespon ucapan Bibik dengan sahutan kentutpun tidak. Inilah yang dinamakan mati, tapi tetap bernafas.
Saat yang bersamaan, ponsel Dira yang ada di balik bantalnya berdering. Bibik segera mengambil dan melihat nama yang terpampang di layar ponsel.
"Den Leo nelfon," gumam bibik.
Awalnya ia agak ragu untuk menjawab, berasa tidak sopan. Tapi, ini yang telfon adalah Leo. Amukanya lebih menakutkan daripada Dira.
"Hallo, Den Leo. Ini Bibik,"
"Diranya mana, Bik?" tanya Leo.
"Non Dira masih tidur, Den. Bibik udah bangunin dari tadi, tapi tetap saja nggak bangun-bangun," jelas Bibik.
"Speaker-in, dan tarok ponsel di kupingnya, Bik," suruh Leo.
"Tapi, Den ...”
"Tarok, Bik.”
Bibik pun mengaktifkan speaker dan meletakkan ponsel dekat telinga Dira yang masih tertidur pulas. Ia berdoa agar majikannya tak akan mengamuk layaknya seekor macan betina yang tidurnya diganggu.
"Dira," panggil Leo di telfon.
Panggilan pertama masih lembut, tapi tak di respon oleh Dira. Ini sama saja mengiji kesabaran macam jantan.
"Dira! Kalau kamu nggak bangun juga, aku pastiin kamu nggak akan di wisuda tahun ini!"
Dira langsung terlonjak bangun dari tidurnya, saat telinganya mendengar sesuatu yang mengerikan. Apakah ini mimpi buruk? Tidak. Ini nyata. Seseorang seperti bicara tepat di telinganya. Sampai-sampai kupingnya berasa panas. Yakinlah, alat pendengarannya pastilah memerah.
"Non, are you okay?" tanya Bibik.
"Aku mimpi buruk, Bik," ucapnya masih shock.
"Ketemu setan atau sejenisnya kah, Non?" tanya bibik ikut penasaran.
"Bukan,” jawabnya. “Tiba-tiba ada yang bicara di kupingku. Ancamannya nakutin banget. Ini aja masih terngiang-ngiang suaranya di lubang telingaku,"
"Elvio Nadira!"
"Kyaaaa!!! Itu, Bik. Dia manggil lagi," histeris Dira sambil memeluk guling. "Tapi kok mirip suaranya, Leo, ya," herannya.
Bibik hanya bisa tersenyum miris melihat tingkah majikannya. "I-itu memang suaranya Den Leo, Non," ujar Bibik sambil menunjuk ke arah ponsel Dira.
"Hah?" Dahinya berkerut.
Bibik mengangguk. "Ada den Leo, Non," bisik Bibik kembali menunjuk ke arah layar ponsel miliknya.
"Omaigat!" gumam Dira bergidik ngeri sambil tangannya mulai menyambar benda pipih itu dan mendekatkan ke telinganya.
“Haii, Leo,” sapanya.
"Kalau sampai kamu nggak datang, jangan harap kamu menyandang gelar sarjana tahun ini," ulang Leo dengan garang dan langsung menutup telfon.
"Mampus!" seru Dira.
Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan segera lari ngibrit menuju kamar mandi. Ternyata ancaman menakutkan itu bukan mimpi di siang bolong. Ini nyata, Beb.
"Ya ampun, punya majikan kok rada gesrek, ya," gumam Bibik segera keluar dari kamar Dira.
Untung saja itu hanya gumaman si Bibik. Coba kalau bicara langsung pada Dira, bisa-bisa ia bakal langsung di drop out, atau bahkan dimutasi ke segitiga bermuda.
*****
Setibanya di kampus, Dira langsung berlari menuju kelas. Semoga saja ia masih bisa mendahului si dosen es krim itu masuk kelas. Kalau tidak, euh ... habislah ia.
Tapi, saat berjalan di salah satu lorong kampus, ia malah dihadapkan pada sesuatu yang benar-benar membuat hatinya patah. Bahkan, tanpa ia sadari, buku-buku yang tadinya masih ia pegang malah jatuh berserakan begitu saja di lantai.
"Aku salah jalan," gumamnya tersadar dan segera memunguti kembali buku-bukunya yang berserakan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
