
Selamat malam… part tiga kembali hadir menemani malam kalian…
Tiga
"Mbak Nila ada yang nyari di depan."
Anila yang tengah mengangkat kue lapis legit dalam kukusan menoleh, dia mengatakan akan menemui tamunya tersebut nanti setelah beberapa loyang lapis dia angkat.
Setelah menempatkan lapis tersebut di tempat dingin agar cepat nge-set, Anila mencuci tangannya yang lengket terkena pinggiran adonan lapis.
"Siapa yang datang?" tanyanya pada Lesta, pegawai kedainya, yang tadi memberitahunya.
"Mas Tirta."
Anila mengangguk mengerti. Wanita itu berjalan kembali ke dapur membuatkan kopi untuk tamunya tersebut. Dia juga mengambil beberapa kue yang berada di etalase yang kemudian dia bawa ke depan di mana Tirta berada.
"Sorry, nunggu lama ya? Baru banget angkatin lapis pesanan nanti sore soalnya," ujarnya setelah tiba di depan lalaki itu.
"Gapapa, banyak?" tanya Tirta sembari mengambil baki dari tangan Anila.
"Lumayan, ada seratus snack yang dipesan. Dari ituloh ibu-ibu yang dulu pernah kamu rekomendasiin ke sini," ucap Anila setelah duduk di depan Tirta.
Tirta yang menyesap kopinya mengernyit, dahinya mengerut menandakan jika lelaki itu tengah berpikir, dan setelah menemukan clue yang diberikan Anila, lelaki itu tersenyum. "Oh ibu-ibu pegawai sipil itu?" Anggukan semangat dari Anila turut mengundang tawa laki-laki itu. "Ambil ke sini terus ibu-ibu itu?"
"Iya. Ini pesanan ibu itu yang keempat kalinya. Jadi ya aku benar-benar nyiapin ini biar gak kecewa dan jadi pelanggan tetap," ungkapnya jujur.
Berkecimpung di dunia bisnis makanan, mendapatkan pelanggan tetap itu sebuah pencapaian. Apalagi kalau orang tersebut memiliki relasi luas yang jika makanan yang kita sajikan pas untuk semua kalangan, bukan tidak mungkin bisnisnya ikut melebar dan relasi orang tersebut akan menggunakan jasa kita.
Tirta mengangguk pelan. Lelaki itu menatap Anila sebentar sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke gelas kopinya.
"Kenapa?" Mendapat pertanyaan seperti itu, akhirnya Tirta menghembuskan nafasnya panjang sebelum bersandar ke belakang. Matanya menerawang ke depan sebisa mungkin menghindari tatapan dengan Anila.
"Kamu bahagia, La? Maksudku... Apa pernikahan ini membuatmu bahagia?"
Sedikit terhenyak, namun Anila tetap mengangguk cepat pun mantap seolah meyakinkan Tirta jika dia bahagia. "Ya iya, memangnya kenapa sih? Kamu aneh banget tanya-tanya begini," ujar Anila keheranan dengan pembawaan sesantai mungkin.
Anila menjawab jujur apa adanya. Dia merasa bahagia selama pernikahannya dengan Bayu, terlepas dari keanehan sikap Bayu, tentu saja. Tapi logikanya tetap ia ajak berfikir waras meski hatinya was-was. Apalagi mengenai penemuan album foto semasa sekolah Bayu dulu. Namun sekali lagi, Anila tetap berusaha berpikir positif meski rongrongan negatif itu kerap menyelinap masuk.
Baginya, jika moodnya buruk akan berimbas pada kue-kue yang dia buat. Entah itu bantat atau paling parah akan gagal berulang-ulang sebelum perasaannya baikan. Anila rasa itu paling merugikan baginya karena berfikir macam-macam yang bahkam pradugnya itu belum tentu benar. Belum lagi beban pikiran yang membuat pusing kepalang. Jadi, sebisa mungkin dia menormalkan semuanya sampai kebenaran dia ketahui nantinya.
"Syukurlah, aku hanya merasa, yah, sedikit gimana gitu," jawabnya sesantai mungkin mengundang kekehan Anila.
"Kamu ini ada-ada saja. Pasti karena bentar lagi Mayra juga mau nikah ya?" tebaknya menyebut nama teman mereka.
"Iya juga. Kalian ini ngebet banget nikahnya. Tinggal aku sama Chandra doang ini yang masih sendiri," gerutunya menampilkan mimik muka yang terlihat jengkel.
Lagi-lagi Anila tertawa. Diantara mereka berempat, memang Anila lah yang sudah menikah. Mayra akan melangsungkan pernikahannya bulan depan, sedangkan Chandra dan Tirta masih betah dengan kesendirian mereka.
"Kalian nikah aja sih, sudah tahu baik buruk masing-masing juga, keluarga kenal semua. Kurang apalagi coba?" kelakarnya yang langsung mendapat decakan kesal Tirta.
"Kurang waras dia. Mana ada gitu cewek lebih suka dunia halu katimbang cowok yang jalas-jelas ada di depan mata. Sinting namanya," omelnya mengingat tingkah Chandra yang lebih suka mengidolakan cowok-cowok boyband Korea.
"Mereka nyata, Ta, mereka itu manusia seperti kita. Hanya saja mereka gak kenal dan gak tahu kalau Chandra itu hidup dan bernafas di dunia ini. Toh, kebahagiaan setiap orang itu beda-beda. Chandra merasa bahagia hanya dengan mengklaim kalau Jimin itu suaminya," ujar Anila tenang sembari mengunyah kue putu ayunya.
"Nah, aku yang gak mampu kalau harus bersaing dengan suami halu Chandra itu. Pulang kerja bukannya waras yang ada aku tambah gila."
Sontak saja Anila dibuat terpingkal-pingkal dengan kalimat yang baru saja Tirta lontarkan. Tirta pamit undur diri setelah mendapatkan panggilan dari omnya mengenai masalah ekpedisi yang mengirim barang ke Jakarta.
"Loh jadi tadi ke sini sekalian antar barang ke butik mbak Rida?" tanyanya usai Tirta menjelaskan sebab omnya mengomelinya tadi.
"Iyalah, mok kira aku sengaja ke sini gitu? Kayak luang banget waktuku," balas Tirta menyebalkan di mata Anila.
Namun meski begitu, Anila merasa lega sekaligus bahagia. Tirta, laki-laki itu baik-baik saja. Meski ini kunjungan pertamanya, atau bahkan kali pertama mereka kembali bertatap muka setelah malam pernikahannya.
Aku harap kamu bisa menemukan orang yang benar-benar tulus mencintaimu, Ta.
*****
Anila sampai di rumahnya saat langit sudah menggelap. Pesanan yang cukup banyak ditambah ada pesanan tiba-tiba dari ibu walikota yang ingin dibuatkan tumpengan dari klepon mengharuskan dia dan karyawannya lembur mengerjakan pesanan itu. Mau ditolak kok ya pelanggan setia, mana kantornya ada di depannya. Jadi, mau tak mau Anila meminta saudara pegawainya untuk ikut membantu mereka menyiapkan pesanan tersebut.
Untungnya, pesanan snack sudah dia selesaikan tepat waktu. Meski saat tiba waktu pengiriman, mobil box yang biasa digunakan untuk mengantar pesanan bermasalah yang membuat Anila harus kembali menyetok kesabarannya. Pada akhirnya, ibu walikota tersebut berbaik hati meminta pekerjanya mengantarkan pesanan snack tersebut ke tempat tujuan. Sebagai permintaan maafnya juga, orang nomor satu di kotanya itu membantu menghias tumpeng klepon tersebut.
"Saya minta maaf ya, mbak Nila, ini si adek mendadak minta tumpengan klepon setelah lihat di chanel YouTube yang biasa dia lihat. Padahal kami sudah membelikan kue kesukaannya," ujar beliau sembari meletakkan satu persatu klepon pada tusukan yang sebelumnya sudah Anila siapkan.
Mau marah pun Anila tidak bisa. Mengingat anak kedua ibu walikota tersebut masih berusia tiga tahun. Mau dijelaskan bagaimanapun juga belum tentu mengerti.
"Assalamu'alaikum," salamnya membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Sudah pasti Bayu sudah pulang melihat motornya sudah lebih dulu berada di garasi tadi.
"Mas ngapain?" tanyanya begitu menemukan Bayu di dapur. Dari penampilannya, lelaki itu mungkin sehabis melaksanakan ibadah atau mungkin baru akan melakukannya.
Anila mengambil tangan kanan Bayu kemudian mengecupnya sebelum menerima gelas dari Bayu.
"Capek?" Anila mengangguk setelah meletakkan gelas di atas meja.
"Banget, aku mau mandi dulu," jawabnya pelan, tak ingin menyangkal karena tubuhnya benar-benar lelah. "Oh iya--- langkah kaki Anila terhenti, baru menyadari kalau dia sudah mengabaikan Bayu, "Mas, bisa pesan makan dulu? Aku beneran gak ada tenaga buat masak, mau langsung makan nanti. Bisa?" Setelah mendapat anggukan dari suaminya, Anila ingin segera merealisasikan keinginannya untuk berendam. Otot serta saraf-saraf di tubuhnya membutuhkan relaksasi setelah seharian ia melakukan banyak atraksi.
Memang kesehariannya membuat aneka kue tradisional maupun modern, toh itu sudah ia lakukan sadari dulu. Tapi untuk saat ini selain lelah seharian membuat pesanan, Anila juga harus kembali menekan perasaannya agar senantiasa berbahagia.
Kunjungan Tirta ke kedainya sedikit banyak menyita pikirannya. Terlebih perasaan lelaki itu yang meski kerap ia abaikan, nyatanya mau ditahan bagaimanapun rasanya tetap ganjal.
Kayak, kamu tahu teman dekatmu menyukaimu tapi kamu tidak menyukainya. Mana sekarang kamu bersama orang lain. Pasti rasanya nano-nano kan?
"Harusnya kamu gak pernah punya rasa itu, Ta, harusnya kamu memperlakukan aku seperti kamu memperlakukan Mayra dan Chandra. Mau bagaimanapun rasaku ke kamu itu hanya sebatas rasa seorang teman kepada temannya. Tidak lebih. Dan saat melihat tatapan terlukamu tadi, rasanya aku ingin menyalahkan diriku sendiri," monolognya pelan saat berada di depan kaca.
Tubuhnya memang sudah relaks, hanya saja Tirta masih menyita sebagian besar pikirannya.
"Gak boleh bawa energi negatif dari luar ke rumah, jangan sampai suasana awkward antara aku dan mas Bayu bertambah," ucapnya mensugesti diri sendiri.
Anila keluar dari kamar mandi menuju lemari dan mengambil pakaiannya. Cukup pejamas lengan panjang serta celana panjang yang sering dia gunakan hingga warnanya pudar. Tapi baginya ini sangatlah nyaman dikenakan. Toh ujungnya dibuat tidur juga.
Saat tengah mengaitkan kaitan bra, Anila dibuat terkejut begitu pintu terbuka. Tubuhnya menegang sewaktu matanya bersitatap dengan manik gelap suaminya yang kini juga menatapnya. Lututnya kian melemas begitu Bayu semakin berjalan mendekatinya.
"M-mas..." cicitnya saat Bayu berdiri persis di depannya. Wajah Anila memerah malu, pun leher dan telinganya yang berwarna serupa.
Anila melengos, tak kuasa menatap ataupun ditatap Bayu sedemikian rupa. Sayangnya, Anila salah melarikan mata. Kini matanya menangkap gerakan jakun Bayu yang bergerak naik turun.
Dan saat sentuhan hangat menimpa punggungnya yang dingin, Anila berjingat terkejut. Ia bahkan harus menahan napasnya begitu tubuh Bayu terasa dekat dengannya.
Wanita itu manut-manut saja saat perlahan lengannya tertutupi kain. Pun saat jemari Bayu dengan telaten mengancingkan pejamasnya.
"Aku kira kamu ketiduran karena kelelahan, jadi aku ke sini. Kalau kamu gak sadar, kamu hampir satu jam berada di sini," jelas Bayu pelan menatap manik matanya. "Anila?" panggil Bayu karena wanita itu masih terdiam kaku.
"Y-ya?" sahut Anila gugup. Pikirannya seolah mereka ulang adegan yang baru saja terjadi. Lagi-lagi hal itu membuat darahnya berdesir pun dengan rona merah di wajahnya.
"Ayo, makan," ujar Bayu pelan merangkum wajah wanita itu pelan.
Seperti terhipnotis, Anila berjalan mengikuti langkah pelan Bayu hingga keduanya duduk di sofa depan televisi.
"Mas beli sup ini di mana?" tanya Anila usai menyuap makanan pertamanya. Dia sebisa mungkin berusaha tak menimbulkan getaran pada nada suaranya. Menjaganya agar tetap aman seperti sikap Bayu yang masih kalem dan seolah tidak terjadi apa-apa.
"Aku buat sendiri. Enak?"
Anila tersedak saking terkejutnya. Rasanya malam ini dia terlalu banyak menunjukan hal yang memalukan di depan Bayu. Meski Bayu suaminya, tetap saja dia merasa malu luar biasa. Apalagi lelaki yang berstatus suaminya itu telah melihat tubuh bagian atasnya. Lalu kini Bayu dengan santainya membersihkan noda makanan yang sempat muncrat keluar dari mulutnya.
'Oh siapapun, tolong bawa kabur dia sekarang! '
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
