(Encounter) 1. Bertemu Teguh

9
2
Deskripsi

Enam tahun lalu, Lyra masih berstatus sebagai mahasiswi dengan nilai pas-pasan dan kehidupan yang tergolong sangat biasa-biasa saja. 

Kemudian Teguh datang ke kehidupannya. Cowok itu tidak hanya membawa sebuah cita-cita besar, tetapi juga kebahagiaan bagi Lyra.

Bersama Teguh, Lyra merasa disayangi. 

Bersama Teguh, Lyra merasa bahagia. 

Sayangnya kesempatan mereka tidak datang di waktu yang tepat sehingga mereka bahkan tidak berkesempatan memulai sebuah kisah. 

Kemudian mereka kembali dipertemukan.

Teguh...

Lyra berjalan mondar mandir di depan pintu kelasnya yang tertutup rapat. Kelasnya sudah dimulai sejak lima belas menit yang lalu. Kalau bukan karena Arka--kembarannya--memakai motornya pagi ini tanpa izin dan berujung membuat Lyra harus naik angkot, tentu Lyra tidak akan terlambat. Lyra berjanji begitu pulang nanti, dia akan membuat perhitungan pada Arka. Sekarang dia harus memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu kelasnya.

Kalau saja dosennya bukan Bu Marsya yang terkenal killer, Lyra pasti sudah mengetuk sejak tadi. Tapi Bu Marsya tidak akan meloloskan mahasiswa yang terlambat begitu saja. Bolos juga bukan pilihan. Lyra butuh IPK yang bagus untuk bisa mendaftarkan beasiswa prestasi di semester tiga nanti dan Lyra cukup sadar diri bahwa dirinya tidak begitu pintar sehingga dia membutuhkan usaha ekstra.

Lyra menarik nafas beberapa kali sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk.

Tok tok tok

Perlahan, Lyra menarik kenop pintu dan membuka pintu dengan hati-hati. "Selamat pagi, Bu. Maaf, saya terlambat."

Bu Marsya yang sedari tadi tengah sibuk memperhatikan slide power point kelompok yang sedang presentasi menoleh pada Lyra dengan tampang datar. "Ya?"

Lyra tahu 'Ya?' barusan sengaja diucapkan Bu Marsya agar Lyra mengulangi lagi permohonan maafnya. "Maaf, Bu. Saya terlambat."

"Then?" tanya Bu Marsya terdengar santai tapi sukses membuat tubuh Lyra panas dingin. "Kamu menginterupsi presentasi. Ini alasan kenapa saya tidak menyukai keterlambatan. Pasti mengganggu aktivitas kelas."

Nilai tanya jawab presentasi sangat berpengaruh karena Bu Marsya sudah menekankan sejak awal bahwa nilai terbesar diperoleh dari keaktifan saat presentasi kelompok. Kalau bukan karena nilai, sekarang juga Lyra akan memilih untuk undur diri saja dari pada dipermalukan di depan teman-teman angkatannya dan beberapa senior yang mengulang.

"Sampai kapan mau berdiri di sana? AC-nya gak dingin kalau pintu terbuka lama," ucap Bu Marsya tak sabar.

"Saya boleh masuk, Bu?" tanya Lyra hati-hati.

Bu Marsya mengedikkan dagunya ke arah deretan kursi mahasiswa. "Take a seat. Saya tidak mau melihat kamu terlambat lagi."

Sekarang barulah Lyra bisa benar-benar bernafas. "Terima kasih, Bu," ucapnya lalu buru-buru menutup pintu dan duduk di tempat yang kosong.

Begitu mendapatkan tempat duduk, Lyra segera mengeluarkan binder dan pulpen. Ia mengedarkan pandangannya sesaat dan mengeluarkan ponselnya di bawah meja. Dibukanya aplikasi Line dan mencari kontak Arka di sana.

To: Arka
Liat aja. Ntar ketemu, aku habisin kamu.

Lyra hendak mengunci layar ponselnya, tetapi tanpa diduga, Arka langsung membalas chatnya.

Arka: Hehe... sorry, sister. Aku ke bandara pagi-pagi jemput temen.

Lyra: Sorry matamu. Aku telat ngampus gara-gara kamu. Lagian temen siapa sih?

Arka: Adek kelas pas di Jogja dulu.

Lyra: Mau liburan di Makassar?

Arka: Gak. Mau daftar Akmil juga.

Lyra: Daftar di sini?

Arka: Sama kayak kita. Dia juga lahir di sini terus pindah ke Jogja pas SMA.

Lyra: Siapa?

Arka: Kamu gak kenal. Gak pernah ke rumah. Jangan naksir ya. Dia cakep soalnya.

Lyra memutuskan untuk mengabaikan chat terakhir Arka sebelum dia dibuat semakin kesal. Arka sering mengejek Lyra karena terakhir kali semenjak putus dengan mantan pacarnya saat kelas dua SMA, Lyra tidak pernah berpacaran sampai saat ini. Lyra selalu berharap dia bisa membangun kembali kehidupan romansanya ketika kuliah. Sayangnya, kuliah tidak seindah yang selama ini ia tonton di sinetron.

Lyra bukan tipe orang yang susah bergaul, hanya saja dia masih harus melakukan penyesuaian dengan lingkungan barunya. Padahal Lyra sudah merasa nyaman dengan kehidupan serta teman-temannya di Jogja, tetapi dia harus kembali ke kota ini karena neneknya meninggal tepat setelah Lyra lulus SMA dua tahun lalu. Rumah peninggalan nenek kosong dan Ibu tidak tega untuk menjual rumah itu.

"Demikian presentasi dari kelompok kami. Kami membuka sesi tanya jawab untuk teman-teman sekalian."

Ucapan moderator membuyarkan lamunan Lyra. Ia melirik teman-temannya yang tak bergeming. Lyra tersenyum kecil. Barangkali ini salah satu alasan Bu Marsya mengizinkannya untuk masuk meskipun terlambat. Mahasiswa di kelas ini tidak begitu aktif tiap kali presentasi. Hanya Lyra yang tidak pernah melewatkan kesempatan bertanya walaupun hal itu membuatnya sering mendapatkan lirikan tajam dari anggota kelompok yang sedang presentasi. Mau bagaimana lagi? Dia butuh skor.

Lyra segera mengacungkan tangannya. Dia tidak begitu memperhatikan materi, tapi tadi malam dia sudah membaca-baca soal tema presentasi kelompok ini. Lyra sudah menyiapkan beberapa pertanyaan.

Terdengar decakan kecil dari salah satu anggota kelompok yang bernama Dina. Cewek mungil itu berbisik pada temannya yang duduk di sampingnya kemudian dengan kompak mereka melemparkan tatapan sinis pada Lyra.

"Ya, silahkan. Sebutkan nama kemudian pertanyaannya."

"Baik, terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Nama saya Enlyra Mahardini."

Lyra menunggu hingga Bu Marsya selesai menemukan namanya pada daftar nilainya kemudian barulah dia meluncurkan pertanyaan-pertanyaannya. Dia berusaha tidak memedulikan kedongkolan teman-temannya. Menurut Lyra, seharusnya mereka berterima kasih pada Lyra yang sudah mau bertanya. Kalau kelas sunyi dan tidak ada yang aktif, itu bisa mengundang murka Bu Marsya.

***

Lyra berjalan gontai memasuki kompleks perumahannya. Sesekali ia tersenyum ramah dan menyapa beberapa tetangga perumahan yang ia temui di jalan dan begitu suasana kembali sepi, ekspresi Lyra merengut lagi. Arka membuatnya semakin kesal karena berkali-kali Lyra menelepon, cowok itu tidak mengangkat telepon Lyra. Padahal Lyra sudah desak-desakan naik angkot pagi tadi, dengan terpaksa dia harus melalui keadaan yang sama ketika pulang karena Arka tidak menjemputnya.

"Arka kampret!" umpat Lyra seraya menendang sebuah botol air mineral kosong yang tergeletak di pinggir jalan. Jarang-jarang ada sampah di jalanan kompleks, tapi kali ini sampah itu cukup membantu sebagai pelampiasan kekesalan Lyra. Botol itu terlempar ke seberang jalan.

"Weh! Udah ngumpat, buang sampah sembarangan pula."

Sebuah suara muncul dari arah belakang, membuat Lyra segera berbalik. Dia sangat mengenali suara menyebalkan itu. Suara Arka. Lyra sudah menyiapkan segala omelannya, tetapi mulutnya batal terbuka begitu mendapati Arka sedang tidak sendirian.

Di sebelah Arka ada seorang cowok yang tingginya melebihi Arka. Dalam hati Lyra kagum, padahal Azka saja tingginya seratus tujuh puluh enam sentimeter dan cowok itu lebih tinggi sekitar lima sentimeter. Rambut cowok hitam berkilau ditimpa sinar matahari sore, beberapa helai rambutnya terjatuh menutupi dahinya. Baik Azka maupun cowok itu mengenakan kaus tanpa lengan, celana training pendek, dan sepatu lari.

"Bukan sampahku. Kebetulan aja ada di situ," ucap Lyra membela diri. "Kenapa gak jemput aku dulu sebelum lari sore?"

Arka terkekeh sambil berjalan mendekati Lyra. "Sorry, aku tadi start lari jam dua. Sesekali naik angkot gak apa-apa lah."

"Matamu gak pa-pa!" semprot Lyra. "Motor kamu kapan benernya sih? Lama banget di bengkel."

"Udah bisa diambil tadi pagi, tapi gak sempat. Ntar deh abis ini kuambil, mumpung ada Teguh yang boncengin ke sana."

Lyra melirik cowok yang bersama Arka. Kini Lyra tahu bahwa cowok itu bernama Teguh Teguh berjalan ke seberang jalan dan mengambil botol yang tadi ditendang Lyra kemudian memasukkan benda itu ke tempat sampah. Setelahnya, dia kembali ke tempat Arka dan Lyra berdiri.

"Nih temenku yang bakal tinggal bareng kita. Namanya Teguh," ujar Arka pada Lyra. Dia kemudian menatap Teguh. "Guh, ini Lyra, kembaranku."

Teguh tersenyum sopan dan menyodorkan tangan kanannya pada Lyra. "Teguh, Kak."

Lyra balas tersenyum dan menyambut tangan Teguh. "Lyra."

"Nah, komplit. Kamu udah kenalan sama semua orang rumah." Arka berucap pada Teguh. "Yuk, pulang."

Lyra berjalan lebih dulu sementara Arka dan Teguh berada di belakangnya. Sesekali Lyra berbalik ketika mereka mengajak Lyra berbicara. Kesempatan inilah yang digunakan Lyra untuk memperhatikan Teguh. Kalau saja tadi pagi Arka tidak memberitahunya melalui chat bahwa Teguh juga berencana mendaftarkan dirinya di AKMIL, Lyra pasti tidak akan menyangka. Meski tubuhnya tegap pertanda bahwa cowok itu rajin berolahraga, tapi kulit Teguh tidak seperti Arka yang kecokelatan akibat matahari.

"Kamu ini beneran mau daftar AKMIL juga?" Lyra akirnya memutuskan untuk bertanya.

Teguh mengangguk. "Iya, Kak."

"Masa?" tanya Lyra sangsi, memperhatikan Teguh dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Kenapa ngeliatin Teguh kayak gitu? Dia ini mantan paskib loh," ujar Arka.

"Abisnya Teguh glowing banget kayak jarang kena matahari."

Teguh tertawa mendengar komentar Lyra. Sesaat, Lyra terpaku melihat tawa Teguh. Cowok itu ternyata punya lesung di kedua sudut bibirnya. Lyra buru-buru berbalik agar Arka maupun Teguh tidak melihat tatapan kagum yang Lyra arahkan pada Teguh.

"Aku tiap hari pasti olahraga di luar. Lari, main sepak bola, basket. Tapi Mamaku cerewet kalau soal sunscreen. Bukan karena takut item, tapi katanya biar gak kena kanker kulit," jelas Teguh akhirnya.

Lyra mengangguk-angguk. "Sekarang udah LDR sama Mama, gak ada yang cerewet soal sunscreen lagi dong ya?"

"Terakhir masih dengar ocehan Mama soal sunscreen dua bulan lalu. Sekarang udah terbiasa pakai sunscreen tanpa diomelin."

"Dua bulan lalu?" tanya Lyra memastikan.

"Ra, Mamanya Teguh udah meninggal dua bulan lalu," ujar Arka.

Lyra segera membekap mulutnya sendiri kemudian berbalik menatap Teguh. "Maaf, Guh. Aku gak tau."

Teguh tersenyum. "Santai aja."

Di sisa perjalanan, Lyra memilih untuk diam. Hanya Teguh dan Arka yang sesekali mengobrol. Diam-diam Lyra memikirkan Teguh. Kalau Mamanya baru saja meninggal dua bulan yang lalu, itu berarti kepergian Mamanya belum lama ini. Kasihan juga Teguh, pikir Lyra.

***

"Makan yang banyak, Teguh." Ibu meletakkan piring di hadapan Teguh.

"Terima kasih, Bu."

"Sama-sama. Jangan sungkan-sungkan ya di sini. Anggap aja rumah sendiri," ujar Ibu seraya membagi piring pada anggota keluarga yang lain. "Di rumah yang sering masak ya Lyra soalnya Ibu kadang pulang telat kalau banyak kerjaan di sekolah. Bapak juga pulangnya menyesuaikan sama Ibu biar bisa barengan."

"Iya, Bu," ujar Teguh sopan.

Bapak menepuk-nepuk pundak Teguh dan Arka yang duduk di sisi kiri dan kanannya. "Semangat latihannya."

"Harus semangat. Udah ketolak satu kali nih," gerutu Arka.

"Baru juga sekali, Kak," celetuk Teguh sambil nyengir.

Arka balas nyengir. "Belum rejeki. Siapa tau rejekinya tahun ini."

"Kalau gak lulus lagi, join sama bapak-bapak siskamling aja, Kak," celetuk Lana, adik bungsu mereka.

Lyra terkekeh mendengar ejekan Lana. "Cocok sih," timpal Lyra.

Arka merengut. "Kamu semenjak masuk SMP kok makin pinter ngejek, Lan?"

Lana mengedikkan bahunya lalu ikut menyendokkan nasi ke piringnya. "Karena makin pinter kali."

Sesi saling ejek antar Lana dan Arka mulai terdengar. Seakan sudah menjadi hal yang lumrah, Ibu dan Bapak terlihat tidak begitu peduli. Nanti juga diam kalau sudah capek.

Teguh melirik Lyra yang sedang mendinginkan nasinya. "Kak Lyra sama Kak Arka berarti seangkatan ya?"

Lyra mengalihkan pandangannya dari nasinya untuk menatap Teguh. "Iya, tapi kami beda sekolah. Bosen bareng Arka mulu dari kecil."

Arka yang ternyata mendengar sontak mencibir. "Bilang aja nilaimu dulu gak cukup untuk masuk sekolahku dan Teguh."

Lyra mendelik pada Arka. "Gak jelek nilaiku. Malas aja di rumah harus ketemu kamu, eh di sekolah juga."

"Berarti Papamu tinggal sendiri di Jogja, Guh?" Bapak yang sudah lelah akan acara ejek-ejekan langsung mengalihkan topik pembicaraan.

Teguh mengangguk. "Iya, Pak. Tapi di sana banyak ponakan Papa yang sering main di rumah, jadi gak terlalu sepi."

"Selama tinggal di sini, maklum aja ya kalau berisik." Ibu berujar sambil melirik ketiga anaknya bergantian.

"Gak apa-apa, Bu. Malah saya senang di sini ramai."

"Kak Teguh belum lihat sih kalau Kak Lyra sama Kak Arka perang besar-besaran. Pasti Kak Teguh langsung pengen pulang," celetuk Lana.

"Lana," tegur Ibu.

"Udah, sekarang mulai makan." Bapak mulai menikmati makan malamnya diikuti dengan yang lain.

***

(Masa sekarang)

"Kak!"

Lyra tersentak dari lamunannya. "Apa sih, Lan? Ngagetin aja."

Lana menatap Lyra tak terima. "Yeee... jadi ke bandara gak nih? Melamun aja dari tadi ngelihatin HP." Lana mencondongkan tubuhnya agar bisa mengintip ponsel Lyra. Lyra refleks mengunci layar ponselnya, tapi terlambat karena Lana sudah terlanjur melihat. Cewek itu menghela nafas. "Kak, udah deh. Move aja napa sih? Aku aja dikit lagi udah dua puluh tahun dan Kakak belum juga bisa lupain Kak Teguh."

Raut Lyra berubah muram. "Easy for you to say."

Lana memutar bola matanya dengan malas. "Kak, udah enam tahun berlalu. Kak Arka aja udah punya cewek, aku yakin Kak Teguh juga udah."

"Bukan cuma soal itu, Lan. Aku masih mikirin perasaan Teguh waktu itu. Aku bahkan belum sempat minta maaf secara langsung."

"Kakak mau minta maaf atas apa? Bukan Kakak yang nyakitin Kak Teguh. Lagian kan kondisi saat itu emang gak memungkinkan untuk kalian pacaran kan? Nilai Kakak banyak yang jelek, Kak Teguh harus fokus belajar dan latihan."

"Justru itu. Biarpun nilaiku waktu itu banyak yang jelek, tapi Teguh selalu nyemangatin aku. Giliran Teguh yang lagi down, aku gak bisa melakukan apa-apa karena dia keburu pergi dari rumah."

Lana menepuk pundak Lyra. "Udah, Kak. Itu semua udah lewat. Kalau memang Kak Teguh udah gak pernah hubungin Kakak, itu berarti Kakak udah harus ikhlas. Fokus aja sama diri Kakak, jangan kelamaan mikir masa lalu. Lagian nih bentar lagi Kakak pasti sibuk sama kerjaan baru."

Lyra tersenyum dan mengangguk. "Kadang aku lupa kalau kamu udah dewasa, Lan."

Lana nyengir. "Yuk, ke bandara. Keburu Ibu sama Bapak tiba duluan di sana."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Encounter
Selanjutnya (Encounter) 2. Kala Itu
7
2
Enam tahun lalu, Lyra masih berstatus sebagai mahasiswi dengan nilai pas-pasan dan kehidupan yang tergolong sangat biasa-biasa saja. Kemudian Teguh datang ke kehidupannya. Cowok itu tidak hanya membawa sebuah cita-cita besar, tetapi juga kebahagiaan bagi Lyra.Bersama Teguh, Lyra merasa disayangi. Bersama Teguh, Lyra merasa bahagia. Sayangnya kesempatan mereka tidak datang di waktu yang tepat sehingga mereka bahkan tidak berkesempatan memulai sebuah kisah. Kemudian mereka kembali dipertemukan.Teguh telah meraih cita-citanya sebagai seorang perwira TNI. Dan Lyra sudah bisa melakukan hal yang benar-benar ia cintai. Namun Lyra tak tahu apakah pertemuan itu merupakan awal kisah mereka, ataukah hanya sebuah kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal dengan lebih layak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan