
Hai, hai pecinta klan Adipramana …
Jumpa lagi di novel keluarga mereka, kali ini mengisahkan tentang percintaan Alex dengan Anindira. Juga kita reunian dulu di novel ini sebelum lanjut ke novel Kenzie yaa …
2 bab inii gratis untuk kalian, semoga syukaaa …
Bab 1 - Alex
Bab 2 - Hardhan dan Anindira
Ada paketan hematnya juga, lebih simple karena tidak harus bayar setiap buka bab barunya. Lebih hemat juga dari beli satuan.
Yuk back to masa muda Alex dan Hardhan sebelum negara api menyerang hehe.
Bab 1 - Alex
Alex terbangun dari tidurnya karena suara mama dan papanya yang sedang bertengkar. Namun ia tetap menutup matanya sambil mendengar apa yang tengah diributkan kedua orangtuanya itu.
Selama ini mereka memang sering berpindah tempat di pagi hari buta, untuk menghindari keluarga mamanya. Atau lebih tepatnya, papanya yang terlalu sakit hati pada keluarga istrinya itu hingga tidak mau bertemu dengan mereka lagi.
Kemarin salah satu kerabat mamanya berhasil menemukan mereka. Pria itu meminta mamanya beserta Alex datang berkunjung ke Seoul, karena oma sedang sakit.
“Kenapa harus terus melarikan diri dari mereka? Selalu saja seperti itu setiap kali Cakra berhasil menemukan keberadaan kita!”
“Sayang, apa kamu mau mereka mengambil Alex kita? Aku tidak mau hidup Alex terkekang seperti yang pernah kamu rasakan dulu. Dan bisa saja mereka langsung mendeportasi kamu!”
Alex tahu papanya begitu mencintai mamanya hingga tidak mau kehilangan mama.
“Tidak bisakah kita bicarakan baik-baik? Kita sudah memiliki Alex sekarang, apa mereka masih tega memisahkan kita? Sebaiknya kita kembali saja ke Korea! Lagipula, sudah saatnya Alex bertemu dengan Mamaku, Omanya.”
“Justru karena sudah ada Alex jadi putra kita itu bisa membayar kesalahan Mama kamu. Alex yang harus membayar kesalahan orangtuamu! Apa kamu mau itu? Kamu mau putra kita di asuh wanita yang tidak memiliki hati itu?”
“Wanita itu Mamaku!”
“Ya benar dia Mamamu, mertuaku! Wanita yang selalu saja menghinaku tiap kali bertemu denganku! Coba kamu jadi aku sebentar saja supaya kamu dapat merasakan, bagaimana rasanya kehilangan apa yang sudah susah payah kamu bangun begitu saja!”
Mamanya pernah menceritakan kehidupan papa sebelum menikah dengannya. Papa berhasil mengembangkan usahanya di Seoul hingga menghasilkan profit yang cukup besar untuknya.
Namun saat Oma Alex mengetahui hubungan putrinya dengan papa, wanita tua itu membuat usaha papa gulung tikar dalam waktu singkat. Hingga mama dan papa harus meninggalkan Seoul dan kembali ke negara asal papa.
“Mungkin Sekarang Oma sudah berubah, buktinya Oma mengundangku ke Seoul.”
“Hanya kamu dan Alex saja, tanpa Aku!” sungut papa.
“Ya karena kamu selalu saja memasang wajah masammu di depan Mama. Kalau kamu melunak sedikit saja, Mama pasti juga akan melunak padamu.”
“Jadi kamu mau tetap bersikeras membawa Alex ke Seoul juga?”
“Ya! Aku tidak mau Alex tumbuh besar tanpa mengenal Omanya!”
“Kamu dan keluargamu itu sama saja, sama-sama keras kepala!”
“Kalau aku tidak keras kepala, maka aku tidak akan bersikeras menikahimu, Sayang. Aku akan menerima begitu saja saat dijodohkan dengan keluarga bangsawan itu! Tapi nyatanya apa? Aku lebih memilih menikah denganmu kan?”
“Dan Sekarang, saat semua usahaku gagal dan ekonomi kita terpuruk, kamu lebih memilih meninggalkan aku dan kembali ke orangtuamu?” sindir Papa.
“Ya Tuhan … Jahat sekali pikiranmu itu! Aku tidak sepicik itu! Aku hanya ingin mengenalkan Alex dengan keluargaku di sana, dan terutama dengan Omanya. Tidak lama, hanya satu minggu saja!”
“Yasudah kalau kamu memang bersikeras ingin ke Seoul, aku akan mengantarmu ke bandara sekarang juga! Kamu bisa beli tiketnya langsung di sana!”
“Ya tidak harus hari ini juga, Sayang.”
Mama dan papa terus bertengkar hingga papa tidak menyadari kalau laju kendaraannya terlalu cepat. Sementara tatapannya lebih sering diarahkan ke mama alih-alih ke jalan di depannya, sampai akhirnya mama berteriak histeris,
“Sayang awas!”
Dengan laju kendaraan secepat itu, papa tidak memiliki waktu lagi untuk menginjak pedal rem saat secara tiba-tiba mobil di depannya mengurangi kecepatannya, hingga tabrakan keras itu pun tak terelakkan lagi.
Alex merasakan mobil yang mereka kendarai terguling entah berapa kali hingga benturan demi benturan tidak hanya menyakiti tubuhnya, tapi juga kepalanya. Mungkin saja ada beberapa tulangnya yang remuk.
“Eomma! Appa!” rintih Alex menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, ia berusaha memanggil mama dan papanya yang telah bersimbah darah di depannya, namun tidak ada satupun dari mereka yang meresponnya.
Alex berusaha menggerakkan anggota tubuhnya untuk menyentuh mama dan papanya, namun jangankan bergerak, bernapas pun ia terasa berat, belum lagi matanya yang mulai terlihat buram, hingga dunianya menjadi gelap bersamaan dengan hilangnya kesadarannya.
Selama dua minggu Alex koma, dan ia masih juga merasa nyeri di hampir seluruh tubuhnya. Tidak ada satupun perawat di dekatnya saat ia sadar, padahal ia ingin meminta minum karena tenggorokannya terasa kering sekali.
“A … Air. Ha … Haus,” lirih Alex saat melihat seorang perawat masuk ke dalam ruangannya.
Untuk sesaat perawat itu terpaku di tempatnya, kedua matanya menatap tidak percaya ke arah Alex, sebelum akhirnya bergegas keluar kamar sambil teriak,
“Dok pasien sudah sadar! Anak itu sudah sadar!”
Tidak membutuhkan waktu lama untuk perawat itu kembali bersama dengan dokter yang sedang bertugas saat itu, yang langsung memeriksa Alex dengan teliti, hingga senyuman lebar menghiasi wajahnya,
“Ya, anak ini sudah kembali. Apa kamu masih merasa kesakitan?” tanyanya.
“Sedikit,” Hanya itu jawaban Alex, Tenggorokannya yang kering terasa sakit tiap kali ia berbicara.
“Ini, minumlah!” seru perawat tadi sambil mengulurkan segelas air putih. Alex pikir perawat itu tidak mendengar permintaanya tadi, namun ternyata ia salah.
“Minumlah, tenggorokanmu pasti sakit!” perintah dokter sambil menaikkan bagian atas bed Alex agar Alex dapat meminumnya Tanpa menumpahkannya.
Hanya beberapa teguk saja Alex sudah menghabiskan airnya dan menyerahkan kembali gelas kosongnya ke perawat,
“Terima kasih,’ ucapnya.
“Adik kecil, apa kamu tahu alamat atau nomor telepon keluargamu?” tanya sang dokter.
“Tidak,” jawab Alex singkat, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang rawat inapnya,
“Di mana Eomma dan Appa?”
“Eomma? Appa?”
“Maksudku Mama dan Papaku.”
Dokter itu berdeham pelan sebelum menjawab, “Mama dan Papamu tidak dapat diselamatkan, Lex. Tuhan lebih sayang pada mereka.”
“Bohong, dokter sedang membohongiku kan?”
“Itu makanya kami menanyakan keluargamu yang lainnya, Lex. Karena ada surat yang harus mereka tandatangani.”
“Jadi Eomma dan Appa benar-benar sudah meninggal?”
Dengan tatapan sendunya dokter itu mengangguk pelan, ia berusaha meraih telapak tangan Alex untuk menenangkannya, namun dengan cepat Alex menepisnya,
“Kalau mereka tidak selamat, kenapa kalian menyelamatkan nyawaku? Kenapa kalian tidak membiarkan aku mati saja bersama dengan orangtuaku? Kenapa kalian tidak membiarkan aku ikut dengan mereka?” raung Alex. Ia ingin mencabut jarum infusnya namun dengan cepat dokter menahan tangannya,
“Lex, sabar Lex.”
“Aku tidak mau hidup sendiri! Hanya Eomma dan Appa saja yang aku punya! Aku tidak mau kehilangan mereka! Aku tidak mau hidup kalau tidak ada mereka!”
Karena terlalu memaksa dirinya menggerakkan tubuhnya, Alex pun kembali merasakan kesakitan dengan kesadarannya yang berangsur menghilang.
Dan saat Alex kembali siuman, ia menerima dompet mama dan papanya, juga barang-barang mereka yang dapat diselamatkan. Tidak banyak, karena mereka hidup berpindah-pindah, jadi yang mereka anggap penting saja yang mereka bawa.
Air mata Alex mengalir deras saat seorang perawat memberikan cincin mamanya, satu-satunya perhiasan yang tersisa karena yang lainnya telah habis terjual. Cincin keluarga mamanya yang selalu diwariskan secara turun-temurun untuk anak pertama di dalam keluarga mereka.
Alex memeluk erat semua peninggalan orangtuanya itu dengan airmata yang tiada hentinya mengalir ke pipinya.
Bab 2 - Hardhan dan Anindira
Sementara itu di saat yang sama, di bagian Selatan Jakarta, Hardhan yang sudah terlihat rapi dengan stelan seragam putih abu-abunya tengah menuruni tangga, namun tidak melalui anak tangga, melainkan merosot melalui raillingnya, hingga mendapatkan jitakan pelan mamanya di kepalanya,
“Anak nakal! Kalau kamu jatuh bagaimana? Kalau Rara melihat bagaimana? Kamu sudah memberikan contoh yang tidak baik untuk adik kamu itu!” keluh mama.
Sambil menyeringai lebar Hardhan mengecup pipi kanan dan kiri mamanya saat menjawab, “Mama tidak perlu khawatir, Rara masih bobo cantik,” kekehnya.
“Bukan kali ini saja kamu seperti itu, Hardhan! Saat ada Rara pun kamu tetap melakukannya.”
“Ok, aku minta maaf. Di mana papa? Aku belum melihatnya.”
“Mama baru saja mau menjemputmu karena Papamu sudah menunggu di meja makan. Papa ada rapat pagi ini jadi kalau kamu mau berangkat sekolah bareng Papa, kamu harus sudah siap sekarang.”
Hardhan merentangkan kedua tangannya, “Mama lihat? Aku sudah siap. Karena semalam Papa sudah memberitahuku untuk berangkat lebih pagi hari ini.”
“Pantes. Yasudah sarapan dulu sana!”
“Siap, komandan!”
Mama menggelengkan kepalanya saat Hardhan memberikan hormat padanya dengan senyumannya yang menggoda. Wanita mana yang tidak akan meleleh saat melihat putranya seperti itu nanti.
“Pagi, Pa!” sapa Hardhan sambil menarik kursinya.
“Sepagi ini kamu sudah kena ceramah Mama saja,” kekeh papa.
“Biasa, Mama. Kalau tidak ngoceh tidak enak. By the way, nanti mungkin aku pulang malam, Pa. Karena ada tanding basket di sekolah lain.”
“Memangnya kamu main basket?”
Papa tahu betul kalau Hardhan tidak ikut ekskul basket, dan Hardhan pun menyeringai lebar karenanya,
“Sam yang bertanding, aku tidak enak kalau tidak datang memberikan support untuknya. Karena setiap aku ikut tournament Taekwondo, Sam selalu datang memberikan aku semangatnya yang luar biasa itu,” elak Hardhan.
“Alasan, paling juga kamu cuma mau lihat cheerleadersnya saja.”
“Itu hanya bonusnya saja Pa,” kekeh Hardhan.
“Yasudah cepat habiskan sarapanmu itu!’ seru papa sambil melirik jam tangannya.
Kurang dari dua menit berikutnya Hardhan sudah menghabiskan makanannya. Ia dan papa baru akan bengkit dari kursi ketika mama dengan raut wajah dongkolnya menarik anindira ke ruang makan,
“Aku masih ngantuk, Ma. Hari ini sekolahku libur, aku mau bangun siang,” keluh Anindira sebelum menguap lebar.
“Mama tidak akan membiarkan anak-anak Mama bangun siang! Rezeki kalian bisa habis dipatok ayam!”
“Mama, sekarang ini sudah zamannya manusia pergi ke bulan, dan Mama masih saja percaya mitos seperti itu. Poor chicken,’ celetuk Hardhan sebelum memberikan kedipan matanya pada Anindira yang langsung menyeringai lebar padanya. Selalu seperti itu tiap kali Hardhan membantunya keluar dari masalah.
“Cukup, Dhan! Kamu selalu saja membenarkan apapun yang Rara lakukan, adikmu itu menjadi semakin manja karenanya!” tegur mama.
Hardhan baru akan menimpali mamanya lagi ketika papanya menarik tangannya,
“Jangan membuat Papa terlambat hanya karena kamu berdebat dengan mamamu, kita tidak akan pernah keluar sebagai pemenangnya,” bisik papa namun mama dapat mendengarnya,
“Papa!” sungut mama dan papa pun tergelak lalu buru-buru mengecup kening Mama dan memeluknya,
“Papa berangkat sekarang. Segera telepon Papa kalau Mama sudah mulai kangen, Papa akan langsung pulang,” godanya. Hobi papa memang menggoda istrinya, sampai wajah mama memerah penuh barulah papa berhenti.
“Ck, ada anak-anak,” keluh mama.
“Aku tidak mendengarnya!” Seru Hardhan.
“Aku juga,” timpal Anindira setengah menahan tawanya.
“Kalian …”
“Daah aku berangkat dulu!” Hardhan mengecup pipi mamanya sebelum rentetan kata panjang lebar keluar dari mulut mamanya itu lalu melangkah keluar rumah.
“Saat aku menikah nanti, Aku ingin wanita penyayang seperti Mama,” gumam Hardhan setelah ia memakai seatbeltnya.
“Kalau saja kamu tidak membuat Keilani takut, kamu sudah mendapatkan wanita impianmu itu, Dhan,” desah papa.
Diingatkan dengan kesalahannya lima tahun yang lalu pada gadis kecil itu membuat rasa bersalah Hardhan kembali mendatanginya. Sikapnya saat itu memang buruk sekali, tapi remaja mana yang tidak akan kalap saat tahu kalau mereka akan dijodohkan dengan anak ingusan.
“Aku tahu alasan yang sebenarnya, Pa. Bukan karena masalah itu Om Hendra tidak membawa Keilani lagi saat berkunjung ke rumah kita. Tapi karena Papa yang sudah tidak sabar menetapkan gadis malang itu sebagai menantu,” ralat Hardhan.
“Hendrawan berasal dari keluarga baik-baik. Dan Keilani, entah kenapa Papa dan Mama langsung jatuh hati pada anak itu saat pertama kali kami melihatnya. Keilani pasti akan menjadi istri yang sempurna untukmu.”
“Tapi sepertinya om Hendra tidak setuju dengan ide Papa itu, ya kan? Itu makanya Om Hendra langsung menyembunyikan Keilani,” kekeh Hardhan.
Ia tidak tahu bagaimana perasaan papa saat Hendrawan menolak permintaannya itu. Selama ini papa selalu mendapatkan apa yang ia mau, dan Hendrawan selalu mematuhi segala permintaan papa tanpa pernah satu kalipun mengeluh. Namun sepertinya akan berbeda jika menyangkut putri sematawayangnya itu.
“Hendra hanya tidak mau persahabatan kami rusak karena masalah kalian nantinya. Sayang sekali, padahal Papa ingin sekali menjadikan Hendra keluarga melalui pernikahan,” desah papa.
“Itu namanya belum jodoh, Pa. Manusia cuma bisa menulis rencana mereka saja, tapi Tuhan yang memiliki wewenang penuh untuk menghapusnya.”
***
Siang harinya …
“Rara, mau sampai kapan kamu memakai baju doktermu itu? Kamu belum mandi loh dari pagi,” keluh mama saat melihat Anindira masuk ke dalam rumah sambil menenteng mainan peralatan dokternya.
“Tanggung, Ma. Aku mau main di taman dulu, biar sekalian kotor,” elak Anindira. Padahal yang sebenarnya anak itu memang tidak suka mandi pagi. Bukan karena takut dingin karena ada pemanas air modern di rumahnya, Anindira hanya malas saja.
“Tidak ada tanggung-tanggungan! Cepat mandi atau Mama telepon Papa biar Papa menahan semua mainan kamu itu,’ ancam mama. Meski ingin terlihat tegas, namun raut wajahnya masih tetap melembut.
“Ck, Mama gak asik nih!” sungut Anindira.
“Kamu tuh, wanita malah malas mandi, tidak seperti kakakmu yang selalu rapi dan wangi.”
“Kak Hardhan kan lagi pedekate sama teman sekolahnya, Ma! Wajar sih kalau harus selalu tampil sempurna.”
Rasa ingin tahu mama pun terpancing karena ucapan Anindira itu, karena selama ini Hardhan tidak pernah membahas satu pun wanita di depan mama.
“Benarkah?” tanyanya.
Anindira pun menyeringai lebar karena tidak ingin berbohong lebih jauh lagi, “Maksud aku, banyak wanita yang mengejar-ngejar kak Hardhan karena dia selalu tampil rapi dan wangi. Nah aku gak mau itu terjadi sama aki juga, Ma. Apa Mama mau melihat banyak pria yang mengikuti Aku kemanapun Aku pergi?”
Mama melipat kedua tangannya di depan dadanya saat menunggu alibi Anindira selanjutnya. Dan seringaian di wajah Anindira pun semakin lebar,
“Jadi, lebih baik aku tidak mandi kan? Kalau Aku bau pasti mereka akan menjauhiku, ya kan Ma?”
Alih-alih menjawab mama Malah bertanya, “ Kamu mau tahu dokter spesialis apa yang cocok untuk titlemu itu?”
Membahas masalah yang apapun yang menyangkut dengan kedokteran membuat kedua mata Anindira terlihat berbinar ceria,
“Apa Ma?”
“M.Vet!”
“Tapi Aku tidak mau jadi dokter hewan, Ma!”
“Kenapa tidak? Pasienmu nantinya tidak akan ada yang mengeluh kalau badan kamu bau kerena tidak mandi,’ ejek mama, ia menunggu reaksi Anindira yang mulai memberengut dengan keningnya yang mengkerut dalam. Anindira pun meletakkan keranjang mainannya di atas meja,
“Yaudah iya aku mandi.”
Mama tersenyum di dalam hatinya, taktiknya berhasil juga.
“Jangan lupa keramas!”
“Jangan marah kalau aku menghabiskan satu botol sampo sehari!” Anindira masih saja terus menggerutu, dan mama menangkup mulutnya untuk menahan tawanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
