"Kakak tuh, ya!! Nggak pernah berubah dari dulu!"
"Iya, aku gini-gini aja dari dulu. Kamu yang berubah?"
Alisku bertaut. "Kok, aku?"
"Status kamu," katanya langsung, singkat padat dan jelas membuat Dhoni mengeram tertahan.
Sandi terus mengajakku bercerita tentang kehidupannya setelah kami berpisah termasuk usahanya di bidang kuliner yang bisa dibilang sukses besar. Meningkatnya kebutuhan variasi makanan baru dan juga suasana resto yang anti mainstream dimanfaatkan oleh Sandi yang notabene memang lulusan ekonomi bisnis. Beruntung sekali pikirku, ia bisa terjun sesuai dengan jurusan yang ia pelajari. Berbeda denganku yang sudah jauh menyimpang.
"Kamu di Palembang masih lama, kan? Nanti aku ajak kamu ke resto yang di Jalan Merdeka, kepiting saus padangnya enak banget. Kamu harus coba!"
Aku tersenyum sambil mengangguk kecil menanggapi tawarannya itu, "yakin? Aku makannya banyak lho, Kak?"
"Nggak masalah. Kamu bisa makan sepuasnya. Kamu mau restonya juga aku bakal kasih. Tapi, ada syaratnya!"
Aku terbahak ketika mendengar omongannya yang berlebihan. Tapi, sungguh Sandi akan benar-benar memberikan resto itu jika aku menyanggupi syarat yang ia ajukan. Semua terlihat mudah baginya, bukan tanpa alasan aku berani bilang seperti itu karena dulu aku pernah iseng saat ia menanyakan keinginanku ketika aku berulang tahun yang ke dua puluh lima, dua tahun lalu dan status kami masih berpacaran saat itu.
Aku bilang kalau aku ingin Honda Jazz keluaran terbaru sebagai hadiah. Tidak seserius itu, aku mengatakan dengan nada candaan. Aku berani bersumpah, saat itu aku hanya mengatakan apa saja yang terlintas di otakku.
Dan benar saja, seminggu kemudian sebuah mobil putih dengan plat profit sudah terparkir di depan rumah pagi-pagi buta. Aku terbelalak ketika tahu harganya yang lebih dari tiga ratus juta.
"Kakak tuh, ya!! Nggak pernah berubah dari dulu!"
"Iya, aku gini-gini aja dari dulu. Kamu yang berubah?"
Alisku bertaut. "Kok, aku?"
"Status kamu," katanya langsung, singkat padat dan jelas membuat Dhoni mengeram tertahan.
Di Palembang, keluarga Sandi sudah punya nama, keluarga pengusaha sukses turun-temurun di segala bidang dan mereka juga terkenal karena sifat yang dermawan. Sandi juga merupakan ahli waris utama kekayaan ayahnya yang takkan habis walau dipakai untuk menghidupi tujuh keturunan di keluarga besar mereka.
Kadang aku berpikir, kenapa Laki-Laki berlatar belakang se-wow Sandi bisa rela mengorbankan sesuatu yang krusial demi bisa menikah denganku, padahal ia bisa saja mendapatkan wanita yang lebih pantas atas cintanya dulu. Tapi, sekarang aku benar-bersyukur itu tak pernah terjadi, bisa-bisa aku bakal menyesal seumur hidup.
Aku dan Sandi masih mengobrol santai membuatku terhanyut hingga tanpa sadar aku terlalu bersemangat menanggapi celotehannya karena kami memang nyambung kalau sudah membicarakan sesuatu. Seperti sudah berbagi sel otak, kami asyik sendiri, seru sendiri, tertawa lepas seperti kawan yang telah lama tak berjumpa, hingga tanpa sadar aku mengabaikan suamiku yang sedang berusaha mengunyah burgernya dengan malas.
Sandi terus membicarakan semua tentangnya, sampai-sampai Laki-Laki itu pamer harta yang ia dapat dari bisnisnya yang sukses itu sambil mencuri pandang ke arah Dhoni. Berharap suamiku ke-trigger mungkin?
Mobil sport, apartemen mewah di Jakarta, saham serta bisnis properti yang sekarang juga mulai ia geluti, tanah berhektar-hektar dan yah, semua ia sebut tanpa ada yang tersisa. Kutanggapi hanya dengan wah sambil tersenyum simpul. Namun, jujur aku mulai risih, Dhoni yang dari tadi terlihat santai pun sudah mulai berdecih beberapa kali.
Aku mengalihkan pembicaraan, menanyakan kabar orang-orang di lingkungan kami yang sudah lama tak kutemui. Sandi pun merespon dan bercerita tentang sahabatnya yang juga kenal baik denganku.
"Va, kamu masih inget sama Riyan? Itu lho, anak basket yang sering gangguin kamu, waktu kamu suka nemenin aku main di lapangan dekat PIM?"
"Ah, Kak Riyan yang rambutnya cepak itu? Iya, iya inget. Kenapa?"
"Tiga hari yang lalu dia kecelakaan, terus meninggal di tempat."
Aku terkejut tak percaya. Riyan, orang terdekat Sandi telah berpulang dengan usia yang tergolong muda. Tubuhnya segar bugar, sehat wal afiat tanpa kurang sedikit pun, tapi Tuhan punya cara lain untuk mengambil nyawanya dengan cepat, sekali lewat. Memang panjangnya umur tak ada yang bisa menebak, kan?
Mimik wajah Sandi berubah sedih dan aku pun mengucap bela sungkawa. Seketika Sandi kembali tersenyum kemudiam suasana yang tadinya sempat hening kini kembali ramai.
"Kakak pasti sedih banget, ya?"
Sandi mengangguk lesu, matanya berkaca-kaca. Matanya yang tadi menatapku, ia alihkan pada minuman cola miliknya, ia tak menyesapnya melainkan hanya mengaduk-aduk pelan sambil seperti memikirkan sesuatu hal.
"Tapi sekarang udah nggak!"
"Hhm, kok bisa?" tanyaku sekenanya.
"Kan ada kamu."
Uhugh...!
Dhoni tersedak, makanan yang belum sempat ia telan kini berhamburan keluar. Aku yang panik segera memberikan sebotol air mineral sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan. Wajahnya merah, masih terbatuk-batuk sambil berusaha meraih botol air mineral yang tadi aku berikan padanya. Setelah berhasil digenggam, Dhoni menghabiskan air dengan sekali tegukan.
Dhoni pun sudah bisa bernapas lega, meski ingusnya masih tertinggal di ujung hidung mancungnya yang lantas langsung kuseka dengan tisu agar wajah tampan suamiku tak terlihat menjijikkan.
"Kamu udah selesai belum? Kalau sudah kita pulang!" Dhoni mendengus sambil membersihkan tangannya yang tadi sempat terkena saus dengan sebuah tisu.
Aku menatap burgernya yang baru digigit sedikit, kentang goreng yang masih penuh serta dada ayam yang masih utuh.
"Tapi, makanan kamu masih banyak."
Netranya semakin menajam. Suasana menjadi horror, aku terkena mental breakdown saat tatapan mata Dhoni berhasil menghunus diriku. Tubuhku seperti menciut dan aku merasa kerdil.
"Aku udah kenyang. Ayo pulang!"
Bodohnya aku karena sudah mengabaikan Dhoni yang pencemburu. Bisa ngambek tujuh hari tujuh malam dia kalau sudah seperti ini.
"Ziva belum selesai, bro. Lo nggak liat dia masih ngunyah, makanan di piringnya juga masih banyak!"
Sandi mencoba memberi pengertian, tapi yang kutangkap lebih tepatnya ia menahan kepergian kami.
Dhoni tak peduli. Masa bodoh pikirnya, ia tak ingin mendengar aku dan Sandi bercerita karena hanya membuatnya terlihat seperti kambing congek. Dhoni yang sudah berdiri kini meraih tanganku lalu menggenggamnya dengan kuat, memberi kode jika aku juga sudah harus selesai.
Ya, seperti inilah Dhoni jika sedang cemburu. Aku memang menyukainya, tapi menurutku ini bukan saat yang tepat.
"I-iya. Aku udah, kok!" Aku pun bangkit dan pamit pada Sandi.
"Kami pulang dulu ya, Kak!"
Raut kecewa terpancar di wajah tampan Sandi, meski bibirnya tersenyum, tapi sorot matanya tak bisa berbohong. Sandi menghela napas kemudian mengangguk tak rela.
Tak berselang lama saat kakiku baru berjalan tujuh langkah, Sandi kembali memanggil namaku.
"Ziva!"
Langkah kakiku terhenti kemudian aku menoleh kembali pada Laki-Laki berkaus hitam itu.
"Aku boleh tahu alamat rumah kamu di Jakarta? Aku sebulan sekali ke sana, kali aja aku bisa main."
Aku bisa merasakan suasana mulai memanas. Dhoni yang mulai gerah kini maju untuk mendekat ke arah Sandi. Aku menahan tubuhnya dengan tanganku, Dhoni berhenti dan saat itu juga telingaku bisa mendengar umpatan kasar yang keluar dari mulut suamiku.
"Bangsat!"
"Maaf, Kak. Kami masih tinggal di rumah orang tua Dhoni. Bukannya nggak boleh, tapi aku nggak enak." Kutolak permintaannya dengan halus dan kuharap Sandi bisa paham.
"Kalau gitu, aku boleh minta nomor hape atau whatsapp kamu? Kita bisa janjian ketemu di luar kalau memang ketemu di rumah nggak memungkinkan?"
Saat itulah tubuhku tak bisa lagi menahan tubuh jangkung Dhoni. Tiba-tiba saja suamiku sudah menarik kerah baju Sandi, membuat Laki-Laki itu terhenyak dan tubuhnya sedikit terangkat.
"Weii... Santai, bro!"
Sepertinya Sandi tak akan gentar walau kakinya agak sedikit berjinjit karena bajunya yang sedang ditarik oleh Dhoni.
"Nggak bisa! Lo dari tadi kayaknya nggak menghargai gue, ya, njing! Lo gue diemin malah ngelunjak! Lo sengaja banget mancing biar gue tersulut kan?"
Kegaduhan suamiku dan Sandi menarik perhatian banyak orang. Beberapa orang yang tadinya hanya berlalu kini berdiri membuat lingkaran dengan kami bertiga sebagai tontonan. Belum lagi dengan manusia-manusia yang berada di dalam restoran cepat saji ini, memandang kami dengan tak berkedip serta wajah yang juga sama tegangnya denganku. Ya, Tuhan. Malunya sampai ke ubun-ubun.
"Dhoni, Kak Sandi, udah!"
Aku berusaha menarik tangan Dhoni yang begitu kuat mencengkram kaus Sandi namun aku gagal. Sulit bagiku untuk melerai keduanya, tenagaku jelas saja kalah dan bodohnya aku yang masih tetap memaksa untuk memisahkan mereka. Sungguh perbuatan yang sia-sia. Tenagaku terbuang percuma, aku perlu menarik napas panjang beberapa kali untuk menghilangkan sesak di dada.
"Kamu minggir, Ziva! Ini urusan Laki-Laki!" Dhoni mendelik ke arahku lalu kembali menatap mata Sandi dengan pandangan menyala.
"Lo harusnya tahu diri, bangsat! Lo nggak denger kalau dia udah jadi istri gue? Lo harusnya tahu batas!"
Bukannya takut, senyum remeh Sandi keluar di sudut bibirnya. Aku tahu Sandi jago berkelahi, tapi Dhoni juga adalah pemegang sabuk hitam karate dan taekwondo. Aku pernah menyaksikan Dhoni menghajar jambret yang membawa lari tasku sampai babak belur, untung saja jambret itu tak mati. Hanya patah di bagian tangan dan kaki. Itu keren menurutku, tapi untuk berduel dengan Sandi aku rasa lebih baik dihindari.
"Gue cuma mau silaturahmi. Apa itu salah?"
"Silaturahmi pala lo! Gue tahu arah pikiran lo kemana. Kita ini sama-sama laki. Lo nggak usah munafik!"
Sandi berdecih tepat di depan wajah Dhoni lalu ia dengan mudah menghempaskan tangan Dhoni yang mencengkram kerah bajunya.
"Ceh, gue nggak sebajingan lo wahai Bapak Dhoni yang terhormat! Kenapa? Lo panas ya ngeliat gue sama Ziva bisa sedekat ini? Gue tahu banyak tentang kebusukan lo waktu pacaran sama Ziva. Menurut gue, Laki-Laki kayak lo enggak pantes dapetin istri sebaik dia. Jadi, yang pantas menyandang gelar bangsat itu gue atau lo?"
What the... Ya Tuhan, Sandi...
Alis tebal Sandi terangkat, matanya memicing menatap Dhoni sembari berdiri pongah dengan tangan yang terlipat di depan dada.
Rahangku seolah jatuh. Jantungku berhenti untuk beberapa saat ketika melihat Dhoni mengernyit bingung kemudian menatapku dengan tatapan penuh berjuta tanya.
"Kamu cerita apa aja ke dia tentang aku?"
Aku mundur selangkah dengan kaki yang bergetar. Aku tak bisa berkata apa-apa saat ini, hanya mampu menjawab dengan isyarat gelengan kepala. Dhoni itu tak suka jika aku menceritakan masalah dalam hubungan kami pada siapa pun, termasuk orang tua dan celakanya dulu aku membeberkan semua masalah hatiku pada Sandi seolah aku tak akan kembali lagi pada Dhoni.
"JAWAB!"
Tanpa belas kasih, Dhoni membentakku di depan puluhan pasang mata yang menonton kami. Aku hanya bisa tertunduk memandang ujung sepatuku yang sedikit kotor.
"Hei, jangan bentak Ziva! Lo kasar sama dia, berarti lo punya urusan sama gue?"
"Oh, mau jadi pahlawan kesiangan lo?"
"Dia bini gue jadi terserah mau gue apain. Lo itu cuma mantan, lo itu masa lalu jadi nggak usah ikut camput. Paham?"
Tak ingin masalah makin runyam, kepalaku juga sudah berputar. Sepertinya fertigoku mulai kambuh lagi setelah masalah datang bertubi-tubi menghantam tubuh yang lemah ini.
Dengan sisa tenaga yang masih ada, aku tertatih mendekat untuk berdiri di antara mereka dengan maksud untuk menjadi pemisah meski itu tak banyak membantu.
"Dhoni, udah. Tolong. Aku malu dilihat orang!" kalimatku terdengar lirih.
Dhoni menatapku intens dengan rahang yang mengeras tak ubahnya seperti saat ia memandang Sandi. Aku tak peduli, yang ada di likiranku sekarang hanya bagaimana menyudahi keributan ini.
"Maaf, Kak. Maafin Dhoni, ya! Dhoni emang lagi sensi, mungkin kecapean. Jangan terlalu diambil hat--"
"Kok kamu jadi nyalahin aku sih, Va? Dia dari tadi yang nyari ribut?" sergah Dhoni tak terima.
"UDAH, DHONI! CUKUP!" Aku mendelik pada suamiku. Dhoni kaget, aku juga. Tanpa sadar aku sudah membentaknya, suatu tindakan yang Dhoni sangat tidak suka.
Ah, gila! Situasi seperti ini benar-benar membuat otakku berhenti berfungsi. Dhoni mengerang frustrasi lalu pergi meninggalkan aku dan menuju area parkir. Ia tak peduli dengan tatapan orang-orang yang juga ikut tegang seolah sedang menonton film action.
"Maaf, Kak. Aku pulang dulu."
Aku melihat Dhoni sudah memakai helm dan menyalakan motor. Ia menungguku untuk segera mendekat kearahnya. Namun, lagi-lagi langkahku tertahan saat Sandi menggenggam pergelangan tanganku.
"Ziva, kayanya aku memang sudah nggak punya tempat di hati kamu, ya?"
Sudah bisa kurasakan, Sandi dan perasaannya untukku mungkin masih ada, namun aku sangat berharap bahwa perkiraanku ini salah.
"Kak, Sandi. Maksud Kaka apa?
Belum sempat menjawab, suara lantang Dhoni memanggil namaku dengan murka.
"BURUAN ZIVA! MAU AKU TINGGAL?"
Dhoni berteriak. Dia sangat marah. Aku merinding sekaligus takut. Aku tak pernah melihat Dhoni seperti ini sebelumnya. Aku mendekat, tapi tak berani menatap wajahnya meski wajah tampannya sudah tertutup helm dengan sempurna.
Setelah naik, Dhoni melajukan motor dengan kecepatan tinggi, mataku terpejam dan lantas aku refleks memeluk erat pinggangnya. Beruntung, lampu merah mengagalkan aksi gilanya saat ini.
Aku selalu jengkel dengan timer pada traffic light yang bergerak begitu lambat, tapi sekarang aku benar-benar bersyukur. Bila perlu waktunya di tambah jadi lima menit karena waktu yang hanya seratus detik itu tak cukup untuk meredam amarah Dhoni.
Bahkan sampai kami pulang pun napas Dhoni masih memburu. Rahangnya masih mengetat, dan Dhoni tak acuh padaku. Aku juga tak berani memanggilnya, lebih baik seperti ini karena aku ingin ia menenangkan diri terlebih dahulu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ