
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, dan Tuhan tentunya, apa salahku pada mereka? Aku tidak pernah membantah. Mengapa perlakuan kami berbeda? .
… … …
Mengubur Rahasia
Aku Kim Yeo-Won dan kakakku Kim Ji-Han. Dia selalu dikagumi banyak orang terutama para laki-laki. Sosoknya yang lembut, baik hati, ramah, cerdas, penampilan feminin dan berparas ayu membuatnya seringkali dibanjiri pujian. Tapi, yang lebih membuat orang merasa iri adalah kasih sayang orangtua berlebih dan serba kecukupan. Sungguh sempurna ‘kan. Berbeda dariku yang pendiam namun sekali bicara sedikit kasar dan penampilan seadanya ditambah wajah pas-pasan membuatku terlihat seperti bodyguard daripada seorang adik. Tapi, nyatanya aku selalu berjalan dibelakang Ji-Han kemanapun dia pergi. Mengikutinya.
Meskipun berasal dari keluarga berada dan orangtua yang sama bukan berarti kami mendapat perlakuan yang sama pula. Mama dan papa selalu melebih-lebihkan Ji-Han, membebaskannya melakukan hal yang diinginkan, memberikan apapun yang dia mau meskipun barang mahal dan mewah sekalipun. Bagaimana denganku? Iya, Ji-Han akan memilihkan barang sama mahal dengan miliknya tanpa syarat dan jika mama tahu, mama akan memintanya kembali tanpa sepengetahuan Ji-Han, katanya barang mahal tidak pantas jika kukenakan. Aku selalu harus mengikuti keinginan mereka, dilarang ini dan itu, bahkan berjalan berdampingan pun dilarang, mereka bilang itu hanya akan membuat Ji-Han malu. Malu seperti apa yang mama maksud?
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, dan Tuhan tentunya, apa salahku pada mereka? Aku tidak pernah membantah. Mengapa perlakuan kami berbeda? Aku juga anak mama dan papa 'kan,tidak bolehkah berharap perhatian barang sedikit saja. Tapi, kurasa belum mendapatkannya. Satu-satunya yang menjadi keberuntungan adalah aku selalu peringkat teratas dan mendapatkan beasiswa selama bersekolah sehingga aku tidak meminta sepeserpun biaya sekolah pada mama dan papa, meski begitu mereka masih menganggapku anak yang merepotkan. Mereka pernah berkata “bersyukurlah kau punya otak sehingga kami tidak perlu menghamburkan uang untukmu”. Lalu, barang-barang mewah nan mahal untuk Ji-Han apa itu bukan menghamburkan uang?. Itu berlebihan sampai membuatku ingin menangis. Bukan harta yang mereka miliki yang kuinginkan, hanya sedikit saja kasih sayang. Saat nenek masih hidup aku tidak pernah diperlakukan seperti itu meskipun mama dan papa memang hampir tak pernah mengajakku bicara. Hanya seperlunya. Tapi, sepeninggal nenek perlakuan padaku menjadi berubah.
Dulu. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah aku selalu memakan bekal yang dibawakan oleh nenek, meskipun diberi uang saku aku memilih memasukkan uangnya ke dalam celengan. Beliau membelikan sama untukku dan Ji-Han. Di sekolah menengah pertama, nenek mengajari membuat permen jelly dan macam-macam kue. Tanpa sepengetahuan beliau aku terbangun tengah malam untuk membuat permen kemudian menjualnya pada teman-teman sekolah agar mendapatkan uang karena aku mengingat saat di sekolah dasar mama-papa hanya memberikan uang saku pada Ji-Han padahal aku sudah mengantre dibelakangnya supaya diberi uang saku juga sembari mengadahkan telapak tangan, papa hanya mengatakan “sudah sana berangkat” tanpa memberi sepeserpun jadi, ya sudahlah aku tidak melakukan hal itu lagi. Padahal anak sekolah dasar sepolos itu suka sekali diberi uang saku.
Di SMP aku memiki banyak teman karena pintar sehingga mereka memanfaatkan keadaan. Tidak peduli asalkan mereka mau berteman denganku. Aku juga berpikir jika aku pintar pasti orang tuaku menjadi baik dan pasti akan memberi pujian. Namun, walaupun begitu belum bisa kuambil hati mereka. Jujur saja, sangat sulit mendapatkan barang hanya pujian saja. Ji-Han juga tidak satu sekolah denganku.
Orang bilang masa remaja adalah masa terindah. Iya, benar. Itu hanya berlaku untuk Ji-Han. Kami berada dalam satu sekolah. Ji-Han begitu populer di kalangan para siswa-siswi, tidak ada yang tidak tahu. Untukku. Di sinilah masa terburuk sebab aku tidak memiliki banyak teman, hanya ada Yeon-Woo dan Ye-Jun, keduanya laki-laki, sedangkan teman-teman lain, mereka baik jika menginginkan sesuatu saja, seperti contekan misalnya. Awalnya, iya-iya saja tetapi, semakin lama tidak kuhiraukan. Orang-orang mulai menjulukiku sebagai bodyguard Ji-Han sebab memang sering mengekor di belakangnya. Sesungguhnya mereka tahu bahwa aku adiknya.
Menyukai seseorang atau mungkin bisa disebut ‘jatuh cinta’, iya. Tak hanya teman-teman saja yang merasakannya, gadis berhati dingin sepertiku pun juga pernah merasakan hal tersebut. Bermula dari sebuah pesan singkat dari orang yang kusukai bernama Je-Han. Sekilas mirip dengan nama kakak, Ji-Han. Tidak sampai satu bulan kami dekat hingga lelaki itu berhasil mencairkan dinginnya sifatku. Saat itupun terpikir olehku apakah ia membalas perasaanku. Ternyata, semuanya membuatku salah mengartikan kedekatannya karena pada kenyataannya, dia meluluhkanku supaya mudah mendekati Ji-Han, kakak yang kuanggap sekaligus sahabatku dan membela dari mama-papa. Meskipun kecewa, apa yang bisa kulakukan selain berpura-pura tidak tahu apapun.
Karena tahu aku dan Je-Han dekat, papa-mama meminta supaya aku menjauhi Je-Han lalu membuat Ji-Han dekat dengan lelaki itu sebab keduanya saling menyukai, dengan ancaman tidak mengakuiku sebagai anak. Aku yang dibodohi dengan perkataan mereka tentu saja merasa takut, pada akhirnya menurut.
Kedekatan Ji-Han dan Je-Han pun banyak yang tahu, membuat para gadis di sekolah iri sehingga banyak yang membenci kakak. Tidak hanya itu, kakak yang begitu populernya kerap digoda oleh para siswa hingga menyebabkan kesalahpahaman antara kakak dan teman-teman perempuan seangkatannya. Ia pun dibully hingga mengalami trauma selama hampir dua bulan lamanya. Walaupun, saat itu aku juga merasa iri pada Ji-Han akan tetapi, melihatnya diperlakukan buruk oleh teman-temannya membuatku tidak tega sampai-sampai terlibat perkelahian dengan mereka. Menghajar siapapun yang telah menyakiti kakak tanpa tading aling-aling.
Perkelahian itu membuat orang tuaku dipanggil ke sekolah. Mereka benar-benar sungguh sangat amat murka padaku, ditambah keadaan Ji-Han saat itu tidak bisa melakukan apa-apa. Berkat murka mereka pula aku terkena serangan jantung secara mendadak, jika dipikir-pikir bisa saja nyawaku hilang ditempat, ajaibnya aku bisa bertahan. Puji Tuhan. Saat-saat trauma Ji-Han, dia memiliki dukungan orang tua, Je-Han selaku kekasih, juga banyak orang-orang dari relasi papa turut mendo'akan kebaikan, sedangkan aku kesakitan sendirian dengan vonis aritmia ventrikel oleh dokter. Hanya ada Yeon-Woo dan Ye-Jun selalu memberi dukungan, kedua teman lelakiku. Akan tetapi, bagiku itu tidaklah cukup karena pada dasarnya dukungan orang tua sangat kuinginkan.
Rahasia lain terungkap. Firasat selama ini ternyata memang benar. Aku bukanlah anak dari mama-papa melainkan hanya anak pungut mendiang nenek, bahkan namaku tidak ada dalam catatan kartu keluarga mereka. Penuturan itu mereka nyatakan sendiri dengan amarah dan kata-kata pedas yang sungguh menyakitkan. Meskipun terpukul namun, rasanya lega karena pernyataan itu menjawab semua pertanyaan atas perlakuan berbeda mereka padaku.
Di akhir SMA. Kabar baik menghampiri kala tengah merasa putus asa membuat senang bukan kepalang. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di salah satu universitas terbaik di Jepang. Tentu saja kesempatan ini kumanfaatkan untuk membebaskan diri, mengutamakan ego dan obsesi akan kebebasan.
Malam sebelum keberangkatan. Aku mengubur kotak besi berisi buku harian dan apapun yang telah Ji-Han berikan di taman belakang rumah, menindihnya dibawah banyaknya pot bunga sebagai harapan tidak akan ada yang menemukanya. Banyak rahasia terpendam termasuk kepindahanku ke negeri sakura.
Di Jepang. Ada banyak hal yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Kedamaian. Mengapa? Karena banyak orang-orang baik mengelilingi, bahkan ada, bukan keluarga namun menganggapku bagian dari keluarga. Pun tak banyak masalah kuhadapi saat di bangku kuliah. Semua mengalir sebagaimana mestinya. Sampai akhirnya aku jatuh hati pada seorang lelaki tulus bernama Hiro, bermarga Kawamura. Merupakan seorang teman di perkuliahan walaupun kami di jurusan berbeda. Dia juga merupakan seorang dokter yang menangani penyakitku, selalu menguatkanku,selalu mengusahakan yang terbaik untuk kesehatanku yang semakin hari semakin buruk. Kesabarannya membuatku terpukau. Berkat kedekatan kami, dibantu takdir Tuhan pastinya. Kamipun menikah, margaku berganti begitu pula dengan identitas. Aku merasa bahagia meski kesehatan mengkhawatirkan.
Tidak terbesit di benakku untuk kembali ke tempat asal meski telah bertahun-tahun tinggal. Lalu, ingatanku kembali pada ratusan email dikirim oleh Ji-Han, dia mencariku, bertahun-tahun sudah kuabaikan. Akan tetapi, sebuah email membuatku berubah pikiran, dalam email itu Ji-Han menyatakan bahwa dia ingin aku datang di pernikahannya dengan Je-Han, cinta pertamaku saat di SMA, juga pernyataan jika orangtuanya merindukanku lah yang membuatku tersentuh. Tidak peduli meski hari pernikahan Ji-Han bertepatan dengan hari dimana aku akan mendapatkan donor jantung. Tak apa meski jadwal operasi harus diundur. “Tak apa, tak apa, tak apa”, hanya itu di pikiranku sebab ini demi mengobati kerinduan mereka padaku.
Akhirnya, aku kembali untuk hadir di pernikahan Ji-Han sebagai tamu undangan. Berharap banyak pada mama-papa. Tetapi, ternyata keputusanku salah. Kehadiranku disana memang diharapkan oleh Ji-Han, tapi tidak dengan kedua orangtuanya, justru kejadian lama terulang kembali yang mana aku mendapatkan penyakit pula rasa sakit. Lebih menyakitkan dari sebelumnya, hinaan, caci maki, sumpah serapah dilontarkan oleh orangtua Ji-Han didepan banyaknya tamu undangan, meskipun Ji-Han membela, ia tetap kalah dengan suara orangtuanya. Rasa sesak yang menguasai dada membuatku tidak tahan mendengarkan setiap perkataan buruk mereka. Pesta pernikahan yang seharusnya penuh kebahagiaan pun menjadi kacau. Bukan. Bukan karena aku bertindak brutal disana. Hanya saja, semua perkataan yang dulu tidak bisa terungkapkan meluncur begitu saja membuat orangtua Ji-Han seolah terkena tamparan sangat keras. Bahkan hal-hal berkaitan dengan Ji-Han dan Je-Han juga tak luput dari tuduhanku. Katakanlah aku pendendam atau apalah, pada kenyataannya di situasi itu apakah orang ingin terus direndahkan dan difitnah dengan hal yang tidak pernah dilakukan? Tentu saja tidak.
Di situasi setelahnya, rasa sakit lain muncul. Iya. Detakan itu lebih gila dari biasanya. Saat itu semua orang terlihat panik melihatku termasuk suamiku yang saat itu terlambat datang ke acara. Sebelum kesadaran sepenuhnya menghilang, sempat kudengar kata-kata tulus terucap dari seseorang yang kuyakini adalah suamiku.
“Demi melihat kakaknya bahagia, dia memaksa datang kemari, mengabaikan jantungnya yang setengah rusak. Begitu bahagia ketika kakaknya mengatakan orangtuanya merindukannya, padahal kenyataannya...kalian sungguh berdosa.
Beberapa bulan setelah kacaunya pesta pernikahan malam itu. Ji-Han dan keluarganya terus mencari keberadaanku. Kabar itu dari pesan teman lamaku, Ye-Jun. Sampai akhirnya mereka menemukanku. Apakah mereka menyesal? Ya. Bahkan demi mendapatkan maafku sampai harus menyusul ke Jepang. Saat itupun masa kritis pasca operasi jantung baru telah lewat dan dinyatakan sembuh total. Sungguh keajaiban dari Tuhan. Awalnya aku tidak ingin bertemu ataupun memaafkan mereka, tapi demi suami yang telah memberikan nasehat membuatku luluh. Akan tetapi, untuk kembali pada keluarga itu, aku bersumpah untuk tidak memiliki hubungan lagi. Biarkan aku egois untuk kali ini. Biarlah sumpah itu menjadi rahasiaku dengan Tuhan yang harus dikubur dalam.
Kini, aku bahagia bersama keluarga kecil yang telah Tuhan ciptakan.
*** SELESAI ***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰