
Gemericik dan deraian air hujan yang turun berhasil membuat tubuh kecilku ini gemetar. Anginnya yang ricuh membuat badan tertusuk dengan dinginnya malam. Gemuruh guntur yang menggetarkan langit malampun juga berhasil menggetarkan jiwa ini.
RUMAH KORAN
Buah Karya: Silfina Rahayu
Awan gelap berhembus dari cakrawala sebelah utara. Menghempaskan cerita pilu yang tak disangka menderaikan air mata. Aku menangis kenapa hal pilu ini terjadi pada diriku. Terlupakan, terbengkalai, sendiri tak berdaya dengan deraian air mata. Membuat pipi yang pucat pasi ini memerah tiada arah hingga aku tak bisa menahannya.
Cukup! Aku bukan boneka, bukan budak yang tak merdeka, bukan pula permainan yang dapat diterka. Aku hanya gadis perempuan yang ingin mewujudkan cita-cita kecilku, namun kenapa dibenci oleh seluruh dunia. Seperti disayat-sayat hati ini yang telah tertutup deraian hujan diawan hingga menutupi air hujan dipipi ini.
“Sedang apa? nangis-nangis seperti anak ayam saja” sinis ucapnya kakak tiriku
“Aku tidak mau melakukannya lagi, aku juga ingin bebas seperti yang lain”
“Diam!!! Dari pada bermimpi terlalu jauh mending kamu mimpikan saja pekerjaan ini selesai, diam dan selesaikan cepat, kau tidak akan selamat kalau aku mendapatimu tidak selesai kali ku kesini lagi” ucap kakak kejamku.
Aku gadis tak berdaya yang terkurung dalam penjara yang berlapiskan kemegahan. Setelah ibuku meninggal waktu aku bayi dan mendapati seorang ibu tiri pada usia 6 tahun, hidupku hanya seperti lapukan kayu yang telah usang, retak. Setelah dia seorang yang aku kagumi dari kecil meninggalkanku sendiri. Kakek, aku sendiri.
Ayah? Hah ayah... dia saja tak memperdulikanku, anak sematawayangnya. Uang, uang, uang, hingga ia tergiur akan rayuan si kertas berwarna angka itu. Rembulan menyapaku setiap malam, namun mentarinya redup ketika terbit, senja yang tak ku idam-idamkan namun sekarang telah ku rindukan. Aku sendiri tanpa ada seorang yang menemani. Bak sebatang kara jiwaku, rapuh.
Derai air mata namun batin yang tersiksa, aku bisa apa. Tiada kasih,senyapnya cinta, aku memimpikan kegembiraan jiwa, namun hanya caci maki kenyataannya. Senyap berliku, sepi yang ditemani decitan tikus-tikus lorong dan kedipan cahaya kunang-kunang.
“Ya ampun...apa ini kenapa masih kotor, ruangan ini harus bersih, aku tidak mau tahu, besok acara ulang tahun ku, kenapa belum selesai, mau ku pukul kau, atau...” celoteh kakak tiriku.
“Cukup!!! aku tidak mau membersihkan ruangan ini lagi, kau pikir-pikir saja pakai otak, bagaimana mau cepat kalau membersihkannya saja pakai sikat gigi, kau hanya ingin nyiksa ku saja kan” marahku memotong ucapannya.
“Kau berani denganku, sekarang aku tak mau tahu, kau harus bersihkan ruangan ini sekarang juga, atau aku tak biarkan kau injakkan kaki dirumah ini” ancamnya keras.
“Lebih baik aku pergi dari sini dari pada kau siksa seperti hewan setiap hari tanpa lelah, kau pikir aku apa? Lembu? Sudahlah aku mau pergi saja dari rumah ini” marahku sambil berjalan keluar rumah.
Api yang berkobar telah tertanam dalam hati terdalamku. Jiwa ini telah tenggelam dalam lautan api kemarahan. Istighfar, satu kata yang teringat. Kalau aku tak ingat tuhan dan ajaran agama, mungkin aku akan gila karena pilu dihati.
Gemericik dan deraian air hujan yang turun berhasil membuat tubuh kecilku ini gemetar. Anginnya yang ricuh membuat badan tertusuk dengan dinginnya malam. Gemuruh guntur yang menggetarkan langit malampun juga berhasil menggetarkan jiwa ini. Aku sendiri, dimalam yang berlinang deraian hujan deras, tapi ini lebih baik dari pada harus setiap hari di caci maki padahal aku sudah meruti semua yang diperintahkan. Baru kakak tiriku, yang kemarahannya tak sebanding dengan si ibu negara bak nenek lampir itu. Aku lelah dicaci maki.
Emperan toko disana, akhirnyaa aku dapat berteduh, sudah tak kuat tubuh ini menahan dinginnya angin malam. Koran, selembar koran bisa kupergunakan untuk melapisi lantai basah ini. Rabun bayangan sudah tak kuat menahan gemetar jari-jemari. Hingga ku tak tau apa yang telah terjadi.
Rabun pandangan yang sedikit demi sedikit semakin jelas mata memandang. Asing sekali tempat ini dengan kagetnya aku terkejut dengan yang kulihat disekitar.
“Dimana aku? Mengapa semua dindingnya aneh sekali? Tempat apa ini?” celotehku heran dengan keadaan saat itu.
“Ternyata anakanda sudah bangun? Kau tertidur dengan pulasnya sambil menggigil sangat pucatnya, aku membawamu kesini bersama gerobak kayuku, maaf ya aku hanya mempunyai sehelai kain tipis untuk menghangatkan badanmu” kata ibu yang sudah beruban beberapa rambutnya.
“Berarti ibu yang telah membawaku kesini, terimakasih bu sudah mau membantu tubuh letih ini” dengan cuilan seyum dipipiku.
“Hidup didunia haruslah saling merangkul dan menjabat tangan, tak harus memandang yang tak bisa tergapai tangan dan tertangkap mata, kitapun perlu berbagi walaupun tak dikasihi, hidup memang keras, namun sekeras-kerasnnya dunia tak mampu menandingi kerasnya kemarahan sang Maha Kuasa. Memang kita mungkin kadang bisa saja berpikiran tak adil pada apa yang kita alami, namun pernahkah kamu membayangkan orang yang mencari sebutir nasi dengan membanting tulang retaknnya dengan sangat keras dan penuh bercucuran air keringat bahkan air mata? adil kah itu?”. Dengan tersenyum ibu itu merangkul pundakku.
Bercucuran air mataku membayangkan apa yang sudah ku lakukan, sungguh tak bersyukurnya aku dibesarkan dengan limpahan harta melimpah ruah tak kekurangan namun aku selalu saja melakukan apapun dengan hati tak ikhlas dan tak bersyukur, Astagfirullahhulazim. Sepi sekali batin ini, entah apa yang ada dihati ini, berbeda saja dengan apa yang telah aku pikirkan selama ini. Ternyata masih ada orang yang peduli pada tubuh pucat pasi ini.
“Ibu benar, kadang manusia bisa saja lupa kalau ia terlahir untuk bisa hidup di kehidupan yang kekal nantinya, namun mengapa menonggakkan ego di kehidupan sementara, aku malu” ucapku setelah ku sadar bahwa yang telah ku lakukan hanya berdasar pada keegoaan pikiran saja.
“Sudahlah jangan terlalu kau pikirkan, lebih baik kau berbaring saja, istirahatlah lemaskan tubuhmu kau pasti sangat lelah, maafkan aku hanya bisa menjamumu dengan sederet koran bekas ini saja, aku tak punya genggaman uang untuk bisa membuatnya dengan kokoh, namun apalah dayaku koran bekaspun bisa melindungi tubuh tua ini dari dinginnya angin malam yang menghujam” sambil berkata ibu itu tetap saja melontarkan senyumannya.
”iya ibu, tak apa, aku sudah bersyukur masih bisa diberikan kesempatan untuk berteduh dari raungan dingin malam , terimakasih ibu” senyumku sambil berkata
Aku terpejam namun mengapa hati ini menangis deras, aku sangat malu, kadang aku tidak bersyukur dengan apa yang diberikan tuhan, rumah megah yang tertanam di bumi dengan kokohnya. Ku deraikan air mata ternyata masih ada seorang yang masih sakit dengan nasib yang tak memihak. Entah apa yang ku pikirkan waktu itu batin ku tak karuan, aku resah, dadaku sangat sesak hingga aku tak kuat menahan sakitnya, hingga tak sadar jiwaku berkelana entah kemana. Namun aku mendengar suara mendayu yang memanggil namaku, seringkali lantang dan panjang, namun masih saja samar pendengaran hingga ada seorang yang menepuk-nepuk pundakku, aku terbangun.
“ Bi yun, kenapa ada disini? Dimana ibu tadi?” aku seolah bingung mengapa seketika semua berubah.
“ Non mengapa ada disini, tuan besar mencari-cari hingga sakitnya kambuh non, ketika tahu kalau non tidak ada di rumah, ayo kita pulang” bi yun dengan ekspresi resahnya.
“Ayah sakit!” aku seketika kaget sekali dengan ciri mata melototku yang khas.
Ternyata apa yang kualami tadi tak nyata? Hanya mimpi saja? tapi mengapa bisa. Aku merasa batinku menjadi berubah dengan apa yang dikatakan ibu tadi, seolah aku sadar bahwa hidup tak sepenuhnya sendiri namun masih banyak orang lain yang harus kita naungi dan masih banyak cerita yang sampai kini menjadi misteri. Dari mana merubahnya? Dari yang terdekat denganku, Ayah. Ayah, aku sayang.
Rumah megah itu seketika sepi, rumahnya menjadi berdebu padahal baru saja ku bersihkan, berantakan sekali dengan botol dimana-mana, aku tak tau botol apa, namun baunya tak bersahabat dengan hidungku. Mungkin saja Ayah sakit bukan karena aku tak ada di rumah namun karena yang dilakukan kakak tiriku semasa dirumah, dia kan sering membawa teman-teman tak jelasnya itu. Tapi ini masih mungkin, bukan benar.
Aku menuju ke suatu ruangan yang telah jarang kukunjungi beberapa tahun ini, ruangnya megah masih sama dari terakhir ku kunjungi namun bedanya, dulu dipenuhi boneka cantikku bertebaran dan buku cerita yang dibacakan sebelum tidur, namun kini dipenuhi alat-alat medis itu yang terpasang lengkap dengan orang-orangnya, mengapa berjejer. Ternyata ku lihat dibalik tirai itu, Ayah.
Entah mengapa bantinku terkujur waktu itu, aku tak bisa menahan air mata ini di depan dirinya yang terbaring. Denyut nadinya masih ada, ia juga masih bisa berbicara tapi badannya tak kuasa untuk digerakkan. Ia tersenyum menatap mata merahku, haru suasana kala itu, semua orang juga tak kuasa menahan haru, namun mereka yang tak suka hanya diam dan tak peduli, siapa lagi kalau bukan mereka.
“Anak-anakku, ayah memiliki dua benda untuk kalian pilih? Lihatlah kesana, pilihlah yang kalian mau” katanya lirih dalam suara serak kesakitan.
Tentu saja memilih sebongkah uang ratusan ribu itu, siapa? aku? bukan dia si kakak tiriku, senang sekali rupanya karena bisa belanja ini-itu dengan uang yang tiada harganya itu. Aku sangat senang karena benda yang ku pilih adalah benda yang ku inginkan, selembar kertas.
“Nak, mengapa kau memilih selembar kertas polos itu, padahal hanya putih polos saja tak bermakna, kenapa kau tak memilih uang itu? padahal kau dapat membeli apapun dengannya” kata ayah masih dengan lirihan suaranya yang serak.
“Siapa bilang tak bermakna ayah, dari kertas ini cita-citaku dapat terwujud untuk memberikan suatu yang bermanfaat bagi sesama, untuk apa? aku tak tau sekarang, tapi nanti setelah namaku bercap Arsitek, akupun tak tergiur dengan lembaran fana itu(uang)” ucapku dengan tegasnnya.
“Kau benar na, gapailah impianmu. Kau memang seperti Alm. Ibu mu dulu, iapun jugalah seorang arsitek ternama, namun karena proyeknya gagal setelah kau berumur 5 bulan, ia meninggal tertimpa reruntuhan kayu-kayu itu. Maafkan aku telah melarangmu, kau berhak memilih jalanmu, aku tak berhak untuk melarang, aku hanya sedih kalau aku kehilangan dirimu sama seperti ibumu dulu, aku sayang dirimu na...” Ayah menangis sangat derasnya dengan terisak-isak .
“Ayah...” kupeluk ia erat seolah tak mau ia pergi meninggalkan tubuh remaja ini sendiri.
Tak kuat haruku ku tahan, aku sangat tergoncang waktu itu, hingga melepas seluruh duri di dada ini aku tak henti menderaikan air mata bak seperti lautan air mata ini mengalir. Hingga ia membisikkan kata yang tak ku sangka keluar dari bibirnya “Maafkan Ayah sayangku” setelah itu dirinya tak bersuara lagi dan tangisnya pun terhenti, Ayah.
“Ayah...Ayah...ada apa ini” panik sekali diriku kala itu.
Dokterpun meriksa seluruh tubuhnya namun ia tak bersuara, hanya menggeleng saja, apa artinya?. Aku tak mau ia pergi secepat ini, aku masih ingin bermain boneka dengannya sampai sekarang, aku juga ingin membaca buku dongeng yang ku baca dengannya sebelum tidur walau terkadang ia yang tertidur bukan aku. Aku masih ingin bermain sepeda dengannya, kala ku jatuh dan ia meniup lututku yang luka, aku masih ingin bermain layang-layang dengannya kala layangnya tersangkut pohon dan ia yang mengambilkannya untukku. Aku masih ingin semuanya, masih.
Tapi waktu tersa terputus, tak berdetik seperti biasanya kala mereka ada dikehidupan kecil kami. Aku tak boleh melakukan semua itu lagi, aku harus melakukan apa yang dilakukan pekerjaan layaknya dayang namun masih bergaun dan bergelar putri kerajaan. Mereka? Sedih? Kebalikannya bahkan senang melihat ayahku terkujur kaku tak bernafas, tentu saja, mereka menjadi leluasa memnyisaku kapanpun, dan dapat menguasai rumah megah bak kerajaan ini. Tapi senyum mereka luntur kala Pa pengacara bilang kalau kemegahan yang terlihat ini milik Alm.Ibuku yang memang diwariskan untukku, bukan milik ayahku, ayah hanya menjaganya dan menjalankannya sebelum aku dewasa. Tentu saja mereka marah? Sebelum menjadi-jadi marahnya aku persilahkan mereka untuk meninggalkan rumah ibuku yang telah kotor karena ulah mereka. Aku memaafkan mereka, aku juga masih menganggap mereka kerabatku, tapi pesan ayah bilang kalau ia tak mau mereka ada di sekitarku untuk selamanya, aku hanya ingin mewujudkannya saja.
“Maafkan aku Ayah selama ini aku tak mengerti dirimu, aku juga sering menentang, bukan aku marah tapi aku hanya ingin kau ada di sampingku untuk selamanya, aku sangat merindukanmu ayah ketika jemariku masih kecil menyentuh pipimu, namun sekarang telah dewasa untuk menyentuh nisan yang bertuliskan namamu, tolong maafkan gadis kecilmu ini...” terisak jiwaku dikala hujan yang menderai, bercucur airmataku di tanah yang masih basah karena rerintikan hujan, bunga yang menghiasi seringkali kutaburkan untuk mengenangmu. Cerita gembira tak kan putus sampai kapanpun, bahkan sampai ajal yang menghampiri diriku. Kau masih Ayahku yang tak enggan bermain boneka bersamaku, aku rindu padamu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
