CHAPTER 1: PERCIKAN

0
0
Deskripsi

“Dunia akan penuh dengan abu hitam! Api yang bertebrangan menuju pulau tanpa penanda.”

CHAPTER 1: PERCIKAN

“Dunia akan penuh dengan abu hitam! Api yang bertebrangan menuju pulau tanpa penanda”, seketika abu hitam mengelilingi sosok pemuda yang berdiri kagum. Menatap dengan penuh tanda ketakutan yang mengelilingi hatinya. Cahaya yang sering kali berbicara tanpa wujud, namun suaranya jelas menghujam ke ulu hati yang takjub. 

Suara melengking membangunkan tidurnya, penuh berdebar jantungnya, keringat yang mengucur di kening, fana bak nyata yang baru saja dialami, pemuda dan mimpinya. 

“Bagus sekali kau baru bangun jam segini, pekerjaanmu banyak pagi ini, cepat bersiap!” Wanita memakai daster hijau dan masker wajah mendobrak ruangan pemuda itu.

“Ba-Baik Bi,” jawabnya terbata setelah terkejut.

“Jangan lupa, antarkan makanan ke kamar Nenek,” lanjut wanita itu.

Pemuda itu hanya mengangguk lalu memakai kacamatanya, setelah tidur di tempat paling sempit di rumah itu, sebuah ruangan belakang di rumah tepi pantai. Sedari pagi dia harus membersihkan ikan-ikan dan hasil laut untuk dijual paginya. Keluarganya hanya mengandalkan pendapatan dari hasil laut sebagai penerus hidup. Wanita tua yang terbaring tanpa bicara, sebelumnya hanya dia yang peduli padanya, namun tubuhnya terlalu renta dimakan usia.

“Nek kita makan dulu yuk,” menyodorkan makanan ke wanita tua yang terbaring.

Wanita tua hanya menggeleng-geleng, “Nek, kalau nenek nggak makan, nanti sakitnya nggak sembuh-sembuh,” lanjut pemuda itu.

Wanita itu menepis makanannya, pemuda itu menghela nafas dengan senyuman dan melanjutkan ucapannya, “Bukannya nenek bilang kalau mau datang ke perpisahan Gala nanti, berarti nenek harus makan untuk sembuh,” tangannya menggenggam tangan keriput itu. Wanita yang dilanda keegoan akhirnya menyuap nasinya sedikit demi sedikit, melihat wajah pemuda di hadapannya yang berusaha tegar.

Wanita berusaha menyebutkan sesuatu, berusaha menunjuk-nunjuk sebuah lemari tua di sudut kamarnya. Wanita itu tiba-tiba meronta-ronta hingga tubuhnya gemetar, Gala yang terlihat heran berusaha menenangkan neneknya hingga seseorang datang karena kegaduhan.

Apa yang kau perbuat?! Minggir!” Menepis pemuda kurus itu hingga terjatuh ke lantai.

“Bu, Ibu, sadar Bu, ini Meera,” menenagkan wanita tua.

Wanita tua itu akhirnya tenang, tubuhnya kembali lunglai dan matanya terpejam. Tatapan sinis Bibi Meera sekali lagi menghujam jantung Gala, dia menarik Gala keluar kamar dan melepaskannya begitu keras.

“Apakah kau tidak cukup membuat hidup Ibuku sengsara, dan sekarang ingin membunuhnya?!” ucapannya tajam.

“Tidak Bi, kau salah mengira, Nenek dengan sendirinya…” terputus.

“Kau pikir orang sakit bisa meronta-ronta seperti itu dengan sendirinya, sudahlah pergi sana! Aku muak melihat wajahmu!” Membanting pintu dengan keras.

Gala dengan perasaan bercampur aduk pergi dari depan pintu kamar wanita itu. Wajahnya yang runtuh mengartikan bahwa dia sangat merasa bersalah. Namun, apa boleh buat, dia memang tak melakukan apapun, dan untuk apa dia melakukan sesuatu untuk mencelakakan satu-satunya orang yang peduli padanya dirumah itu.

Gala memutuskan untuk menyusuri tepi pantai, pagi itu cukup cerah, ombak-ombak juga menari begitu indah, bahkan rerumputan sangat riang diterpa sang angin. Bagi Gala tak ada yang lebih damai dari melihat penampakan perahu yang hilang diujung lautan, dan mendengarkan nyanyian ombak yang sesekali mengaum. 

Dia ditemani pena dan beberapa buku, lalu berusaha menuliskan beberapa kalimat yang menggerogoti isi kepalanya. Namun, dari arah belakang seseorang berusaha mengejutkan dan mengganggunya.

“Aku tahu kamu ada dibelakang, nggak usah jahil ya Naw!”

Perempuan dengan rambut panjang terurai dan berwajah pucat itu merasa kecewa, “Kok kamu bisa tahu sih?!” Ungkapnya kesal.

“Di dunia ini ada yang namanya cahaya dan bayangan, tuh bayangan kamu,” menunjuk bayangan yang begitu jelas.

“Iya, iya, kamu kenapa belajar mulu sih Gal?! Gal…” 

Perempuan muda itu menarik buku dari tangan Gala, “Apa nih? Dunia akan penuh dengan abu hitam! Api yang bertebrangan menuju pulau tanpa penanda, hah maksudnya apa?!” Heran membaca kalimat itu.

“Sini kembalikan, kalimat ini ada di dalam mimpiku malam tadi,” merebut bukunya kembali dari tangan Nawa.

“Mimpimu ada-ada aja sih, api yang bertebrangan? Apa maksudnya hujan api? Ahhh sudahlah bukan urusanku, nih dimakan, aku mau pergi dulu.” memberikan sebuah apel di tangannya.

“Kamu mau kemana Naw?” Gala yang heran.

“Ada urusan,” sambil menaiki motor trailnya.

“Naw” 

“Apalagi?! Aku udah ditungguin nih,” Nawa yang mulai kesal.

“Boleh nggak aku pinjam komputermu?” 

“Aku kirain apa, datang aja ke rumah, udah ya.”

“Naw, kamu bukannya dilarang bawa motor?! Jangan-jangan kamu mau? Naw!” Nawa tak menghiraukan panggilan Gala, hanya melambaikan tangan ke arah pemuda itu, dia pun larut dengan suara motornya. Sekali lagi Nawa sahabatnya dari kecil itu membuatnya takut, dan yang paling ditakuti Gala adalah sekali lagi sahabatnya itu harus berhadapan dengan polisi paling terkenal di kota itu, Aditya Maheswara, Papahnya Nawa sendiri.

*****

“Ar, kamu itu nggak kapok-kapok ya, sudah berapa kali kamu bikin ulah Ar?!” Pria yang menyetir mobilnya tampak kecewa.

“Ar! Arnawa! Kamu dengerin Papah nggak sih?!” Lanjut pria itu kesal.

“Aku denger kok Pah,”  sambil memainkan handphonenya.

“Ini sekolah terakhir di kota ini, kamu sudah dikeluarkan di 9 sekolah selama 2 tahun ini, kamu nggak cape? Kalau bukan karena Bu Abhi yang menerimamu, kamu tidak bisa sekolah di kota ini lagi. Kamu harus memanfaatkan kesempatan terakhirmu, setidaknya sampai lulus sekolah, paham kamu?!”

Perempuan muda itu hanya menghela nafas pendek, mendengarkan omelan Papahnya yang tak selesai tertuju padanya. Melihat jalan yang lumayan sepi di jendela sampingnya dan menatap kaca spion kiri yang melihatkan jalan yang telah dilalui. Tak terasa mobil itu berhenti di depan sekolah bertuliskan SMA Bumi Raya, yang terkenal dengan peraturan ketat dan dua sayap wilayahnya.

“Ingat ya Ar, ini kesempatan terakhirmu! Papah melakukan ini untuk kebaikanmu, jangan pernah membuat Papah kecewa lagi!”

“Kebaikan aku atau kebaikan Papah!” Nawa yang tampak kesal langsung keluar dari mobil dan masuk ke dalam gerbang tanpa menghiraukan panggilan Papahnya.

Hari pertama sementara berjalan lancar bagi Nawa, walau tak punya teman di kelas XII Bahasa, kelasnya Nawa di SMA Bumi Raya Putri. Namun, hal itu tak buruk baginya, bagi Nawa teman perempuan hanya menimbulkan banyak drama, oleh sebab itu dia hanya berteman baik dengan anak laki-laki termasuk Gala, sahabatnya dari kecil. 

“Sekolah ini sangat membosankan,” gerutu Nawa memainkan handphonenya di kantin sekolah. 

Suara dari beberapa kursi terdengar jelas, piring jatuh yang sengaja dilemparkan, dan membuat Nawa ikut terkejut. Sangat jelas terlihat anak perempuan berambut pirang yang sedang dirundung. Hingga beberapa menit kemudian dileraikan oleh anak perempuan lain memakai kacamata. 

Nawa tak peduli dengan kejadian di depan matanya. Lagi pula mencampuri urusan orang lain akan membuatnya terjerumus dalam masalah yang besar. Tak lama seorang anak perempuan menghampirinya, perempuan bertubuh kurus tinggi dan memakai kacamata sebelumnya. Menjulurkan tangan kepada Nawa yang hanya melihat layar handphonenya.

“Ancala Garavani,” ulur anak perempuan memakai kacamata.

Lanjutnya, “Kamu anak baru kan? Aku ketua wilayah di Bumi Raya Putri, siapa namamu?” Tanyanya tegas.

Nawa tak menghiraukan perempuan yang bicara padanya. Pandangan dan jari-jemarinya hanya berurusan dengan layar yang ada di depan wajahnya.

Perempuan itu dengan tegas menarik papan nama di dada Nawa dan membuat Nawa seketika terkejut, “Arnawa Maheswari, oke kita percepat aja, terserah kamu mau dengerin atau nggak, aku cuma mau ngingetin peraturan penting di luar buku tata tertib yang nggak boleh dilanggar oleh siswa Bumi Raya. Bumi Raya punya dua wilayah, wilayah putra dan wilayah putri, masing-masing wilayah nggak boleh melampaui wilayah lainnya, kecuali ada keperluan khusus atau acara sekolah. Yang kedua, siswi Bumi Raya Putri tidak boleh menjalin asmara dengan siswa Bumi Raya Putra. Yang ketiga jangan sesekali melarikan diri atau bolos ketika sekolah masih berlangsung. Dan yang keempat tidak boleh memainkan handphone di sekolah, itu peraturan yang ada di dalam buku, jadi handphone ini aku sita sampai sekolah selesai oke,” perempuan itu merampas handphone Nawa dan meninggalkannya.

Nawa yang kesal tersulut emosi, “Hei, balikin handphone itu, kamu nggak tahu siapa aku!” Kesalnya.

Perempuan itu menghentikan langkahnya dan membalikkan badan ke arah Nawa, “Peraturan kelima jangan memancing keributan di sekolah, itu juga ada di dalam buku, jadi aku harap kamu ikuti semua peraturan sekolah kalau nggak mau dikeluarkan di hari pertamamu sekolah di Bumi Raya.” 

“Aku benci disini!” Nawa menghembus nafas pendek sambil menggerutu di meja kantin.

*****

Nawa yang terlihat sangat kesal berusaha kabur dari tempat yang menurutnya sangat menyebalkan. Dari awal dia sudah mengetahui bahwa SMA Bumi Raya menerapkan peraturan yang sangat ketat untuk murid-muridnya, peraturan dan kekangan adalah musuh besar bagi anak yang berjiwa bebas seperti Nawa. Tubuhnya sudah sampai di atas tembok biru yang ada di belakang area sekolah, namun Nawa baru sadar kalau tembok itu berbatasan langsung dengan area Bumi Raya Putra.

“Mati aku, aku salah jalan,” perempuan yang tampak panik itu tak lama melihat seseorang yang sangat dikenalnya dari kejauhan, berada di area perbatasan Bumi Raya Putra dan Putri. 

“Gala? Gal, Ga...” teriaknya berhenti ketika melihat seseorang yang menghampiri Gala, seorang perempuan yang pernah dilihat Nawa sebelumnya.

“Sial! Kok mereka ketawa-ketawa sih?” Ungkapnya heran sekaligus aneh.   

Nawa yang tampak tak nyaman akhirnya mengurungkan niatnya untuk kabur dari sekolah, namun dari kejauhan Nawa melihat kembali seorang perempuan yang ada di kantin.

“Kok perempuan perundung di kantin tadi ada dibelakang sekolah?”

Perempuan itu menjentik jentikkan jarinya, beberapa jentikan dan menimbulkan sebuah percikan. Percikan yang tak lama menjadi api. Nawa terkejut melihat kejadian di depan matanya. Apa bisa seorang manusia mengeluarkan api dari jentikan jarinya. Perempuan itu pergi setelah membakar sebuah kertas yang sebelumnya didekapnya erat.

“Hah?! Apa itu barusan?” 

“Butuh bantuan?” Seorang anak laki-laki tiba-tiba mengejutkannya, berada di tembok area Bumi Raya Putra sambil menghisap rokok.

“Kamu merokok? Bukannya tidak boleh merokok di sekolah?!”

“Kamu sendiri sedang apa? Hukuman bagi pelanggar yang kabur dari sekolah adalah salah satu hukuman paling berat? Mau aku bantu?!”

“Nggak!”

Nawa akhirnya turun dari tembok, dan berusaha melupakan kejadian-kejadian yang baru dilihatnya beberapa menit saja di atas tembok pembatas itu. Wajah Nawa yang kesal tampak melihatkan betapa dia tak menyukai situasi dan kejadian yang harus terjadi di hari pertamanya pindah sekolah.

“Jangan kabur-kabur lagi ya,” suara dari balik tembok.

“Sadar diri!” Sahut Nawa.

*****

Disclaimer:

Chapter 1 (Percikan) adalah sebuah karya untuk mengenang salah satu fenomena alam sekaligus bencana alam paling dahsyat yang pernah menimpa Indonesia yaitu meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, NTB. Sebuah bencana tanpa penanda yang menggemparkan dunia bahkan sampai ke Benua Eropa yang diselimuti abu hitam. 

Jangan lupa untuk membaca next Chapter nya Pensinuvy ✨🌸💜


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CHAPTER 2: ALIRAN
1
0
Air dari pacima akan murka, aliran menenggelamkan semua yang dilaluinya tanpa tersisa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan