BENTALA SANG MARATUS

0
0
Deskripsi

[Sebuah Karya Persembahan untuk Gelar Karya Peksiminas 2022 Provinsi Kal-Sel]

Tanah Meratus begitu makmur, hingga banyak raga yang tergiur, namun rakyatnya takkan pernah tidur, rela mati berdiri tak berhenti bertempur. Bukan hanya emas hitam ataupun kekayaan alam yang lestari, namun harkat martabat rumah untuk bertahan diri dan adat istiadat sang bumi pertiwi yang dijunjung tinggi.

BENTALA SANG MERATUS 

Buah Karya: Silfina Rahayu

 

  • Tema: Alam
  • Isu: Rencana Eksploitasi Hutan Meratus
  • Konsep: Budaya Kearifan Lokal Hutan/Kembali ke Alam
  • Jenis Lakon: Modern-Tragedi
  • Latar Tempat: Desa di Tanah Meratus
  • Set Skenografi Panggung: 

-Rumah Paring(Bambu) dan Gazebo Tanpa Atap di Depan Rumah (Panggung Tengah, Titik Panggung Nomor 5)

-Set Pepohonan, semak-semak layaknya seperti lahan hutan (Sisi Kanan Tengah(Titik Panggung Nomor 4) dan Sisi KIri Tengah (Titik Panggung Nomor 6))

-Latar Pepohonan di Area Panggung Bagian Belakang

-Set Properti Panggung Lainnya dalam mendukung naskah atau tambahan

  • Set Skenografi Lighting: 

-Main Lighting/Lampu Halogen (Lighting utama netral untuk menyebarkan pencahayaan dengan luas/ full 9 titik panggung)

-Lampu PAR/ Lampu Sorot (Lighting suasana sebagai lampu sorot, poin beberapa panggung) 

-Lampu RGB, Merah (Lighting suasana pembentuk suasana menegangkan, poin 1 tiitk panggung) 

-Lampu RGB, Biru (Lighting suasana pembentuk suasana haru, poin 1 titik panggung)

  • Set Skenografi Musik: Menyesuaikan Suasana pada Naskah Baik Musik Pengisi Suasana atau Musik Efek
  • Set Skenografi Busana & Make-Up: Menyesuaikan Penokohan Tokoh Baik Umur, Watak ataupun Latar Belakang Tokoh.
  • Tokoh dan Penokohan: 

- Ida (Gadis Desa, Rajin, Penurut, Memiliki empati terhadap meratus 15 Tahunan) 

- Pansi (Pemuda Desa, Kaka Ida, Pekerja Keras, Mudah Goyah, 18 Tahunan) 

- Abah Husni (Kepala Suku, Anak Ni Sum, Bijak, Berpendirian Teguh, 40 tahunan)

- Keang (Pria Kota, Anak Ni Sum/Paman Ida Pansi, Suka Menghasut, 30 Tahunan) 

- Ni Sum (Bidan Desa/Tabib, Tetuhaan Desa, 60 tahunan)

- Warga 1 (Pria 30 tahunan, Pasien Ni Sum)

- Warga 2 (Pria 40 tahunan, Anak Buah Abah Husni)

- Warga 3 (Pria 40 tahunan, Salah satu kepala keluarga)

- Warga 4 (Pria 30 tahunan, Salah satu kepala keluarga)

- Para Warga (Warga-warga desa/Jumlah menyesuaikan max 15 orang) 

- Teman Ida (Penari-penari Ritual Mengatam/Panen, max 5 orang)


 

  • Sinopsis:

Tanah Meratus begitu makmur, hingga banyak raga yang tergiur, namun rakyatnya takkan pernah tidur, rela mati berdiri tak berhenti bertempur. Bukan hanya emas hitam ataupun kekayaan alam yang lestari, namun harkat martabat rumah untuk bertahan diri dan adat istiadat sang bumi pertiwi yang dijunjung tinggi.

 

 

BABAK 1

 

Adegan 1 (Set Rumah Bambu, Musik Netral, Set Lighting Sorot, Pagi Hari) 

(Lighting on)


 

Ida menampi beras di depan rumah dengan kegembiraan di wajahnya. Kakaknya, Pansi sedang menjemur gabah beras dan meratakannya di hamparan tikar sambil menunggu Abah Husni yang sedang meminum air rempah jahe untuk menghangatkan badan.

Ida : A’ minum dulu A’, air ini tak selamanya hangat, kau harus segera meminumnya, pagi ini udara meratus lebih dingin kurasa (kedua tangannya sibuk menampi beras)

Pansi : Sebentar lagi Da, tinggal beberapa karung gabah lagi untuk dijemur (menghamburkan karung berisi gabah di tikar purun)

(Ni Sum keluar dengan membawa beberapa lempeng (Kue Khas Banjar dari Pisang dan Tepung) ke gazebo depan rumah.

Ni Sum : Sudahlah itu cu, Nini dan Ida akan mengurus sisanya, pergilah untuk mengatam sisa padi bersama warga lainnya (lalu duduk di gazebo)

Ida : (Mengangguk)

Pansi : Sedikit lagi Ni, agar gabah-gabah ini cepat kering (meratakan gabah di tikar purun)

Abah Husni : Hari ini Meratus terlihat mendung, kau harus cepat pergi sebelum hujan turun, akan sulit kembali kalau hujan turun lebih awal (memakan lempeng di tangannya)

(Jeda)

Ni Sum : Bagaimana Hus, hari ini kau jadi untuk membicarakan Acara Ritual bersama warga bukan? (Ni Sum mengeluarkan sirih dan pinang dan mengunyahnya)

Abah Husni : Tentu saja Ma, panen kali ini cukup besar dan kita harus mengucapkan syukur kepada yang kuasa, karena telah menganugerahkan kita tanah yang begitu makmur. Semoga saja hasil tani kita dapat mencukupi kebutuhan warga untuk beberapa bulan kedepan. 

Ni Sum : Kita harus terus mengucap syukur terhadap semua pemberian-Nya. Serta selalu menjaga warisan tradisi nenek moyang kita, sehingga anak cucu kita juga dapat merasakan apa yang kita rasakan, kalian juga harus selalu mengingatnya. Meratus ini adalah rumah kita (mengingatkan cucu-cucunya, Ida Pansi)

Abah Husni : Hutan akan selalu hidup tanpa manusia, namun manusia takkan bisa hidup tanpa hutan, zamrud khatulistiwa yang membentang ini sekarang ada di tangan penerus seperti kalian. Kalian memahaminya bukan? (Menatap anaknya)

Ida : Tentu saja Bah (Membalas dengan senyuman, memasukkan beras hasil di tampi)

Pansi : Nah sudah selesai sekarang (bangkit dari menjemur gabah) Kalau begitu aku akan segera pergi untuk mengatam padi yang tersisa. Da tolong ambilkan bakul dan mandau Aa’  (duduk sejenak dan minum) 

Ida : Baik A’ (Mengambil Bakul ke dalam rumah)

Abah Husni : Pansi, ingatlah nak, kau adalah salah satu harapan kami untuk bisa memimpin warga di masa depan. Abah harap kau selalu bijak dalam bertindak, Abah tidak mau kau meninggalkan adikmu sendiri, dan hal buruk terulang kembali (Menatap anaknya)

Pansi : Tentu saja Bah, kau tenang saja aku akan selalu menjaganya sesuai yang kau harapkan.

(Ida keluar membawa Bakul dan Mandau milik kakaknya)

Ida : Ini A’ (Menyerahkan Bakul dan Mandau) A’ nanti ketika kau pulang aku titip bawakan akar bajakah ya (Menyerahkan Bakul dan Parang)

Pansi : Iya, tentu akan aku carikan untuk adikku ini (Mengelus rambut Ida)

Abah Husni : Kalau begitu kami pamit pergi dulu ya Ma (Berpamitan)

Ni Sum : Hati-hati di jalan Na (sambil menginang)



 

Adegan 2 (Set Rumah Bambu, Musik Netral, Set Lighting Sorot, Pagi Hari)


 

(Ida memasukkan semua beras di dalam karung dan merapikannya, lalu melanjutkan untuk melesung gabah yang tersisa. Ni Sum meracik beberapa tanaman untuk obat-obatan herbal).

Ida : Ni, apa maksud Abah mengenai hal buruk yang terulang kembali? 

Ni Sum : Suatu yang akan mengancam kekayaan alam kita (menjawab pertanyaan Ida sambil meracik obat herbal)

Ida : Memangnya hal itu pernah terjadi Ni?

Ni Sum : Semua manusia itu sama Cu, sama-sama memiliki hawa nafsu. Dulu bangsa walanda selalu siap mengangkat senjata hanya untuk secuil rempah-rempah, namun kini bangsa pertiwinya sendiri yang congkak dan serakah (memalingkan wajahnya ke Ida)

Ida : Kalau begitu apakah bangsa kita sendiri pernah berperang hanya karena sesuatu? (mendekat ke Ni Sum)

Ni Sum : Mengapa tidak. Tanah ini begitu makmur, bahkan banyak bangsa yang tergiur. Kita menginjakkan kaki di tanah Banua Suci, punya banyak misteri dan kekayaan yang lestari. 

Ida : HAH? hanya karena bantaran hutan ini? Bukankah mereka seharusnya lebih bersyukur berada di tempat serba ada, mengapa bersikap iri?  (heran)

Ni Sum : Coba lihat di sekelilingmu sekarang, kita begitu dekat, nyaman dan tenang, tak ada suara uap-uap yang mengepul maupun suara mesin yang menjamah kekayaan tanpa kasih. Kau belum tau apa yang ada di jantung tanah ini, banyak pihak berebut untuk memilikinya (Nada Serius)

Ida : Kalau begitu maksud Nini kita sedang berada di kekayaan dunia, begitukah Ni? 

Ni Sum : (Mengangguk dan tersenyum)

Ida : Pantas saja Abah selalu menasehati dan mengingatkan kami (mengangguk kecil, sadar)

(Seorang warga datang tiba-tiba mengejutkan NI Sum dan Ida yang sedang berbincang)

Warga 1 : Ni apa kau sedang sibuk sekarang? (sedikit panik)

Ni Sum : Ada apa? Kau terlihat panik (Mengunyah sirihnya)

Warga 1 : Anakku sedang sakit Ni, demamnya tak turun-turun dari kemarin, bisakah kau membantuku? 

Ni Sum : Kalau begitu aku akan membantumu, Da tolong ambilkan bakul obat Nini (Melepehkan sirihnya)

Ida : (Mengangguk dan mengambilkan bakul)

: Apakah aku perlu ikut bersamamu Ni? (Memberikan keranjang obat)

Ni Sum : Tidak usah, kau dirumah saja, Nini pergi dulu (Menyodorkan tangan)

Ida : (Menyalami Nini)

Ida melanjutkan pekerjaannya melesung gabah yang tersisa. 


 

(Blackout)



 

Adegan 3 (Set Rumah Bambu, Musik Netral-Tegang, Set Lighting Sorot, Sore Hari)


 

(Lighting on)


 

Ida meracik obat-obatan herbal di depan rumah dan bersenandung dengan khayal (nada lagu khas Banjar). Kakaknya Pansi datang dengan bakul dan beberapa akar bajakah dan kulit kayu manis yang baru saja di panennya.

Pansi : Daa

Ida : Eh A’… (Kaget dan malu)

Pansi : Asik sekali kau (tertawa), Ini akar bajakah yang kau inginkan, apakah ini cukup? (memberikan akar bajakah pada Ida)

Ida : Ini sudah lebih dari cukup A’ (Jeda) Oo ya apa yang ada di dalam bakulmu itu? 

Pansi : Aku sedang memanen kayu manis hari ini, dan ini juga ada sedikit gabah yang tersisa dari hasil panen (melepaskan bakulnya)

Ida : Syukur sekali kita diberikan nikmat besar dari alam kita ini, bahkan panen kali ini juga cukup melimpah 

Pansi : Benar sekali Da (jeda), Tapi… (merenung dan ekspresi berubah)

Ida : Ada apa A’? (heran)

Pansi : Aku sangat bosan Da (Menghela nafas)

Ida : Maksudmu? (Bingung dengan ucapan Pansi)

Pansi : Apa kau tak bosan tinggal di sini? bahkan untuk selamanya?

Ida : Apa maksudmu A’? Kata Abah kan kita… (terpotong)

Pansi : Aku merasa ingin keluar dari Meratus. Di luar sana pasti kehidupan kita akan lebih terjamin Da, Apa yang bisa diharapkan? Kau lihat hidup kita disini hanya jadi pinggiran dan boneka para petinggi Da…

Ida : Kau sudah gila? Tanah ini rumah kita dan kau…. (terpotong)

Pansi : Sudahlah Da, kau tak mengerti, percuma aku bicara padamu (Marah dan meninggalkan Ida di luar rumah)

Ida : A’… Aa’...(Jeda) Ada apa dengannya? Sering sekali seperti itu ketika lelah. Sudahlah biarkan saja (bicara sendiri)



 

Adegan 4 (Set Rumah Bambu, Musik Tegang-Haru, Set Lighting Sorot, Sore Hari)


 

Ida melanjutkan meramu obat-obatan serta meramu akar bajakah yang diberikan Pansi. Tiba-tiba Suara semak dan orang asing dengan penutup mulut datang menghampirinya.

Ida : Kau siapa? (nada kaget)

Ida : Ma-Mau apa kau kemari? Berhenti jangan mendekat! (lanjutnya sambil mengarahkan parangnya) Tolong!

Orang itu panik dan secara cepat membekap mulut Ida yang sedang ketakutan. Pansi yang mendengar keributan dari luar datang.

Pansi : HEII! Siapa Kau? Kau bukan warga sini bukan? Lepaskan adikku! (nada marah)

Pansi tanpa pikir panjang berkelahi dengan orang asing itu, dan membuat Ida terkejut. Abah Husni dan Ni Sum yang tak lama datang meleraikan.

Abah Husni : (Kaget) Hei… berhenti kalian! (meleraikan) 

Kaeng : (membuka penutup mulutnya)

Abah Husni : Kaeng itu kau? (terkejut setelah meleraikan) 

Ni Sum : Kaeng, anakku. Kau pulang Na (memeluk Kaeng dan terharu) 

Abah Husni : Untuk Apa kau disini? Kau tak punya tempat dan hak untuk kemari, pergi dan pulang ke tempat yang sangat kau banggakan itu!

Ni Sum : Sudahlah Hus, hari hampir senja, biarkan dia berada disini semalam saja

Abah Husni : Dia ini bukan keluarga kita lagi Ma, setelah apa yang dia lakukan terhadap kita, apakah itu disebut keluarga?

Ni Sum : Aku sudah memaafkannya Hus, cukuplah marahmu padanya, biarkan dia tinggal sejenak disini (menangis)

Abah Husni : (Jeda) Baiklah, kalau bukan karenamu, aku akan mengusirnya dengan paksa dari sini, tinggal semalam dan pergilah esok pagi (langsung masuk kerumah dengan sikap kesal)


 

(Blackout)



 

Adegan 5 (Set Rumah Bambu, Musik Tegang-Netral, Set Lighting Sorot, Malam Hari)

(Lighting on)


 

Abah Husni menyendiri di luar rumah memikirkan beberapa hal yang ada di kepalanya ditemani suara jangkrik malam dan desir angin yang menyapa pepohonan. 

Ni Sum : Hus kau masih marah? (Jeda) Hus apa yang sedang kau pikirkan?

Abah Husni : Keadaan Meratus sekarang sedang genting Ma, rencana eksploitasi sudah menyebar lagi ke penjuru meratus, ini akan mengancam kita, tanah leluhur yang kita lestarikan turun-temurun akan dirampas.

Ni Sum : Ini kabar yang buruk Hus, aku tak memikirkan bagaimana kekayaan yang kita jaga akan tergerus…

Abah Husni : Dan salah satu dalangnya adalah anakmu itu Ma (kesal) 

Ni Sum : Berhentilah membencinya Hus, kalian itu adalah saudara (mengelus pundaknya)

Abah Husni : Tidak ada saudara yang menumbalkan saudara lainnya hanya untuk egonya sendiri… (kesal dan membuang wajahnya)

Ni Sum : Hus (mengelus pundaknya dan menenangkan)

(Kaeng keluar rumah dan menghampiri Ni Sum dan Abah Husni)

Kaeng : Ka, aku ingin bicara padamu…

Abah Husni : Apa yang kau mau?

Ni Sum : Aku akan meninggalkan kalian, bicaralah perlahan, kasihan anak-anakmu (masuk ke dalam rumah)

Abah Husni : Apa yang sekarang kau inginkan? Kau sudah memiliki segalanya, kau ingin melihat kami semua mati!

Kaeng : Ka, aku jauh-jauh datang kemari dengan niat baik, kau tak kesian pada Mama, dia sudah tua, tapi harus tinggal di dalam hutan seperti ini… (Suara agak berbisik)

Abah Husni : Sebab dia sudah tua lah, dia ingin tinggal di rumahnya sendiri…

Kaeng : Tinggalah bersamaku, dan tinggalkan tempat ini, aku akan memberikan kalian kehidupan yang layak

Abah Husni : HH dengan uang hasil menipu dan keserakahanmu itu?! Aku tidak sudi! 

Kaeng : Apa yang kau cari disini ka? Anak-anakmu jugalah tidak memiliki masa depan jika mereka tetap disini, lebih baik kalian pergi bersamaku.

Abah Husni : Kami tak serakah macam dirimu, kami hanya ingin rumah dan alam yang leluhur jaga ini tetap ada sampai masa depan. Kau telah membukakan jalan untuk para petinggi, Ini bukan tentang uang yang dapat menghalalkan semuanya, tapi ini tentang harga diri untuk tanah ini.

(Jeda)

Kaeng : Apa itu karena anak itu? Anak yang kau besarkan karena orang tuanya yang meninggal di dalam hutan itu. Dia bukan anakmu ka, untuk apa kau terlalu baik membesarkannya?!

Abah Husni : Ternyata kebiasaanmu tak pudar, kau selalu saja mengalihkan isu. Aku lebih memilihnya daripada kau yang mengkhianati dan meninggalkan kami (Menatap tajam pada Kaeng)

Kaeng : Kalau begitu, aku akan membawa Mama dari sini!

Abah Husni :Apa kau tak malu setelah mengecewakan hatinya!? Walau dia memaafkanmu, tapi dia menangis bertahun-tahun karena tingkah biadab anak yang sangat disayanginya, harusnya kau sadar diri. (Jeda) Aku tak mau tahu, kau harus meninggalkan rumah ini esok pagi, kalau tidak aku tak segan menyuruh warga desa untuk mengusirmu dari sini. Mereka masih memiliki dendam terhadap orang tamak sepertimu.

Kekesalan terlihat jelas di wajah Kaeng, ia menatap tajam pada kakaknya, lalu masuk rumah tanpa sepatah kata. Tak sengaja Ida yang sedari tadi mendengarkan mereka dari belakang pintu hanya dilewatinya dan sekilas menatap.

Ida : Bah… 

Abah Husni : Eeh Na… Kau belum tidur (Terkejut seketika)

Ida : Ida membuatkan rebusan akar bajakah ini untuk meredakan sakit mu (memberikan air rebusan)

Abah Husni : Terimakasih Da (Meminum air rebusan bajakah)

Ida : Bah, kalian bertengkar karena Ida? (tiba-tiba bertanya)

Abah Husni : (tersedak) Tidak, bukan karena mu Na 

Ida : Tapi kenapa paman bilang semua ini salah Ida? 

Abah Husni : Jangan pernah dengarkan dia Da, dia seringkali hanya membual (mengelus rambut anaknya)

Ida : Bah apa itu eksploitasi? A’ Pansi sering sekali membicarakan itu dan katanya kita harus pindah dari sini, Benarkah itu? (muka penuh tanya)

Abah Husni : Suatu tindakan keserakahan yang akan menghancurkan rumah kita Da, hanya rata dengan tanah tanpa tumbuhan yang membentang. Tak usah kau pikirkan Da, kita akan tetap tinggal dan melawan (meyakinkan)

Tiba-tiba beberapa warga datang ke rumah mereka dengan membawa beberapa penerangan obor.

Abah Husni : Kalian sudah datang (jeda) Da pergilah ke dalam, tidurlah lebih cepat, besok kau pasti tak mau bangun kesiangan untuk persiapan Acara Panen kita bukan

Ida : (Mengangguk)

(Ida masuk kedalam rumah sesuai perintah Abah Husni)

Abah Husni : Semua persiapan acara sudah siap?

Warga 2 : Sudah Pak, tinggal beberapa lagi yang kurang, besok beberapa paring dan daun nipah kami bawa kesini?

Abah Husni : Untuk bahan makanan dan beberapa karung beras sudah saya siapkan, besok kita tinggal mempersiapkan acara dan beberapa kekurangan bersama warga lainnya

Warga 2 : Baik Pak

Warga 3 : Pak ada hal yang membuat warga-warga sangat resah sekarang (Serius)

Warga 4 : Benar Pak, isu mengenai eksploitasi sudah menyebar di semua penjuru desa meratus, kabar ini sudah jadi buah bibir di pasar perbatasan

Warga 3 : Kebijakan yang akan mengancam alam kita ini sudah sangat mengkhawatirkan Pak

Warga 4 : Kalau hal ini terjadi, kita akan tinggal dimana? Kami sudah bertahun-tahun mengabdi untuk tanah Banua

Abah Husni : Dunia sekarang memang berada di ujung tanduk krisis, banyak tak sadar kalau mereka akan merenggut banyaknya kehidupan

Warga 4 : Pak kata warga-warga di pasar, kita akan diberi imbalan untuk rencana itu, bukankah hal itu baik?

Abah Husni : Itu hanya kesenangan sekejap, dibandingkan beratus-ratus tahun leluhur kita menjaga hutan ini untuk tidak di jamah orang yang semena-mena dan tak bertanggung jawab

Warga 3 : Benar pak, bagaimana kelak anak cucu kita, hanya tanah ini warisan yang dapat kita berikan, kita sudah cukup banyak memberikan berbagai hasil alam pada mereka, kenapa mereka malah membalas kita dengan air tuba

Abah Husni : Kita mungkin tak merasakan tulahnya hari ini, masa sekarang adalah tonggak keturunan kita mendatang 

Warga 2 : Kalau begitu akankah kita akan melawan Pak, kita juga harus mempertahankan tanah kelahiran kita bukan?

Abah Husni : Kau sangat benar, aku akan berkumpul bersama katua adat lain membicarakan mengenai kebijakan ini. Untuk sekarang kita harus pikirkan acara ritual syukur kita terlebih dahulu.

Warga : (Mengangguk tanda setuju)


 

(Blackout)



 

Adegan 6 (Set Rumah Bambu, Musik Netral, Set Lighting Sorot, Pagi Hari)

(Lighting on)


 

Pansi yang sedang bersiap untuk pergi pagi-pagi ke talaga untuk mengambil beberapa Rengge yang telah di pasangnya. Kaeng keluar rumah dan mendapati nya sedang bersiap berangkat.

Kaeng : Kau mau kemana pagi buta seperti ini? (mengagetkan)

Pansi : Eh paman (Kaget) Eee… Aku mau pergi ke telaga untuk mengambil rengge yang kupasang kemarin (Jeda) Maaf paman bukankah kata Abah kau harus… (canggung)

Kaeng : Aku akan pergi, sebentar lagi (duduk)

(Kaeng menyulut rokok di sakunya hingga membuat langit pagi sedikit berasap)

Pansi : (Menatapnya)

Kaeng : Apa yang kau lihat? Sini duduklah (jeda) Ini cobalah (menyodorkan rokok yang ada di tangannya)

Pansi : Tidak paman, aku tidak bisa (menolaknya)

Kaeng : Apa yang kau takutkan? Abahmu? Dia sudah pergi sedari tadi

Pansi : Maaf Paman, aku tetap tak bisa (tetap menolaknya)

Kaeng : Ternyata kau anak muda yang masih lugu (jeda) dunia ini keras, jangan terlalu polos seperti itu… (sambil menghisap rokoknya)

Pansi : Paman, aku ingin bertanya, kenapa kau meninggalkan desamu begitu saja? (penasaran)

Kaeng : Na, hidup ini fana, kau dan aku jugalah tak akan abadi, untuk apa aku menghabiskan seluruh hayatku hanya untuk meratapi tonggak kayu sampai akhir  

Pansi : Memangnya diluar sana seperti apa paman?

Kaeng : Kau tak akan paham Na, sebelum kau merasakannya, percuma aku menjelaskan (jeda), Tapi kau serius ingin mengetahuinya? 

Pansi : (Mengangguk pelan)

Kaeng : Kehidupan yang nyaman tanpa kekurangan. Kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan (Jeda) Begini saja Na, Kalau kau mau ikutlah bersamaku, Aku akan memberikan pekerjaan yang layak dan fasilitas yang nyaman, Bagaimana?

Pansi : Tapi… (ragu)

Kaeng : Ada apa? Hah? Kau takut dengan ayahmu? Dia itu tak mau kau sukses, dia lebih menyayangi anak angkatnya, berhenti mengkhawatirkan adikmu itu, untuk apa kau khawatirkan dia, dia itu bukan adik kandungmu, dia hanya anak pungut dari seorang ekspedisi yang meninggal di tengah hutan. Tak usah kau pikir panjang (menghisap rokoknya) masa depanmu akan cerah kalau kau meninggalkan tanah ini, semua ini adalah pilihanmu…

Pansi : (Ragu setelah itu mengangguk pelan)

Kaeng : Nah seperti itu yang ku mau, kalau begitu bersiaplah untuk malam nanti, kita akan pergi  (merangkul pundak Pansi)



 

Adegan 7 (Set Rumah Bambu, Musik Netral-Tegang-Haru, Set Lighting Sebar, Malam Hari)

(Lighting on)


 

Acara Ritual Panen yang diselenggarakan pada pelataran Rumah Abah Husni dimulai dengan beberapa sajian dan beras pada bakul nipah, hiasan-hiasan dari daun nipah serta penerangan obor membuat malam menjadi meriah. Disambut dengan tarian dan taburan air dan beras  yang memulai acara adat. Semua warga berkumpul dengan suka cita atas syukur terhadap yang kuasa karena telah melimpahkan hasil panen.

(Tarian oleh penari sebagai simbol rasa syukur)

Abah Husni : Na… Lempar berasmu

Pansi : (Kaget dan langsung melempar beras)

Abah Husni : Apa yang kau pikirkan Na? (Heran)

Pansi : Tidak ada Bah (menggeleng cepat)

(Jeda)

Pansi : Bah ada yang ingin aku katakan (nada gemetar)

Abah Husni : Ada apa Na, katakanlah…

Pansi : A-Aku… Aku ingin ke… (terpotong)

(Tiba-tiba Kaeng datang dengan mabuk dan membawa parang  sambil  berteriak)

Kaeng : HEIII KALIAN! Berhenti membuat gaduh! (mabuk)

(Semua orang kaget dan ketakutan)

Abah Husni : Kaeng! Mengapa kau masih disini?! Bukannya kau harusnya sudah pergi?! (Kaget dan heran)

Warga 2 : Untuk apa pengkhianat ini datang kesini Pak? Dia telah mengotori tanah kita!

Warga 3 : Kau tak malu menampakkan wajahmu itu, setelah bertahun-tahun mengancam kami?!

Warga 4 : Kami tidak sudi kau ada disini, orang serakah ini patut untuk kita usir. Usirrr dia, Usirrrr!

Para Warga : Usirrrrr!

Kaeng : HEIII! DIAM KALIAN SEMUA! Kalian selalu menyalahkan aku dan berkoar macam binatang!

Abah Husni : Kau yang macam binatang! Kau yang selalu meletakkan kami pada ujung tombak, untuk apa kau selalu menumbalkan saudara-saudara setanah mu? bahkan tanah kelahiranmu sendiri. Untuk Kedudukan?  Untuk Jabatan? Untuk Kekuasaan? Atau untuk seonggok harta dan perhiasan?

Kaeng : IYA! (Berteriak) Memangnya kenapa?! Hahahaha (tertawa tak jelas) memang benar! KENAPA HAH?! (Berteriak)

Pansi : Paman jadi ini tabiat aslimu?

Ida : Paman apa yang kau lakukan? Ternyata kau itu…

Kaeng : Diam Kau Anak Sialan! Kau juga (menunjuk Pansi) Kau juga terlena untuk pergi dan berkhianat pada tanah meratus ini, untuk apa kau menyudutkanku, HAH!

Abah Husni : (Menatap anaknya kecewa) 

Pansi : (Menunduk)

Ni Sum : Na, sadarlah na…

Kaeng : Kau juga Ma, kenapa aku harus lahir dari dirimu?!

Abah Husni : Kurang ajar! Dasar Kau Biadab! (Memukul wajah Kaeng)

(Kaeng dan Abah Husni berkelahi dan saling memukul, Warga dan Pansi mencoba untuk meleraikan tapi mereka sulit untuk dipisahkan. Kaeng menghunuskan pedang ke Abah husni yang terjatuh, namun didatangi oleh Ni Sum)

Ida & Pansi : NINI!

Kaeng : (Kaget) TIDAKKK! MAAA! Ma-maaf kan aku ma… (Memeluk mamanya)

Ni Sum : He…Henti-kan…Perbu-atan-mu Na…  (Menghembuskan nafas terakhir)

(Semua warga terkejut)

Kaeng : TIDAKKK! MAAA! Bangun ma Bangun…. (memeluk mamanya)

Abah Husni : Kau telah membunuh Mamamu sendiri Kaeng!

Kaeng : TIDAKKK! MAAAAA! (Pecah)


 

(Blackout)


 

-SELESAI-




 

  • Glosarium 

-Mengatam : Memanen atau memotong padi yang telah menguning dengan cara dijepit dengan alat

-Lempeng : Makanan lokal Banjar dari pisang dan tepung atau tepung saja

-Bakul : Wadah yang dianyam dari serat-serat tanaman

-Mandau : Senjata tradisional atau parang suku Dayak untuk pertahanan diri

-Menampi : Metode atau cara untuk memisahkan gabah dan beras 

-Bajakah : Tanaman pedalaman Kalimantan untuk mengobati berbagai macam penyakit

-Menginang : Tradisi mengunyah gulungan sirih yang berisi macam-macam bahan seperti pinang ataupun kapur.

-Eksploitasi : Politik pemanfaatan untuk keuntungan suatu pihak secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu.

-Paring : Bambu

-Rengge : Alat/Jaring tradisional untuk menangkap ikan.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya EMPAT PULUH SATU CENDAYAN
0
0
Sebuah Karya Persembahan untuk Gelar Karya Peksiminas 2022 Provinsi Kal-Sel]Generasi muda dan tua patutlah terus melestarikan budaya Banua. Basama-sama tidak adanya bedanya. Tak ada penerus laksana tali putus, kalau generasi tak peduli akan tradisi yang mungkin saja tergerus.  Empat Puluh Satu Cendayan menyimbolkan tradisi massa ke massa, berbudaya Banua, di ujung tombak modernisasi dunia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan