
Bab 22~
Dengan kehadiran para sahabatnya di rumah keluarganya, Risyad jadi harus mengurangi waktu kebersamaan dengan Kenanga. Sedikit waktu bebas itu dimanfaatkan Kenanga untuk mengurung diri bersama Diana di kamarnya.
"Sementara si kembar istirahat dan Mas Risyad di luar, kamu harus cepat mengatakan hal yang mau kamu ceritakan padaku, Din," ujar Kenanga sambil menepuk tempat kosong di sisi tempat tidurnya.
Kenanga memang sudah cukup segar dan bisa sedikit berkegiatan, tapi belum banyak yang bisa dia lakukan. Nyeri sehabis operasi caesar masih seringkali menyerangnya.
"Itu ..." Diana mengusap wajah dengan bimbang, "Oh, Kenanga. Aku benar-benar nggak tahu bagaimana cara mengatakannya."
"Katakan. Dimulai dari manapun tak masalah," desak Kenanga.
Diana meletakkan pantatnya di kasur dan menghela napas dengan kasar.
"Yonki melamarku."
Kenanga terkesiap, kedua telapak tangannya menutup mulut karena terkejut.
"Melamar?" bisiknya tak jelas dengan tangan yang menutupi mulut.
Diana mengangguk ragu, "Setidaknya begitulah katanya. Meskipun bagiku itu lebih terdengar seperti paksaan menikahinya dengan alasan-alasan nggak masuk akal."
Kenanga melepaskan dua tangannya dan memaksa Diana menjelaskan semua hal dengan rinci. Diana pun melakukannya, menceritakan semua hal.
"Dia mengkhawatirkanmu. Kita sepakat untuk ini kan?" tanya Kenanga ketika akhirnya Diana selesai dengan ceritanya.
"Aku tahu, Kenang. Tapi, apa masuk akal kalau itu membuatnya ingin menikahiku? Kurasa dia tahu aku ingin menikah karena cinta. Kalau saja dia memahaminya, dia nggak akan mungkin sembrono mengatakan ingin menikahiku."
"Kamu mencintainya. Huft. Sayang, dia nggak tahu," sesal Kenanga.
Diana mengernyit sedih, "Ya. Perasaanku ini jugalah yang berulang kali menggodaku untuk menerima ajakannya menikah. Tapi, aku tahu, Kenang, akan selalu ada yang menghalangi kami. Bukankah itu berarti kami sebaiknya membuang jauh-jauh ide menikah?"
"Belum tentu," ujar Kenanga sambil menegakkan punggungnya, "Dengan kegigihanmu mencintainya selama ini, bukan nggak mungkin Yonki akan bisa secara terbuka mencintaimu. Hanya saja, aku nggak mau kamu terlalu berupaya, Din. Aku ingin Yonki yang berusaha."
"Apa kehadirannya di sini bisa terhitung sebagai usahanya memenangkanku? Asal kamu tahu, aku benar-benar mengabaikannya karena tindakannya melaporkan Roland. Dia benar-benar seenaknya sendiri."
"Kita bisa menghitungnya sebagai usaha kalau itu bisa menggetarkan hatimu. Bagaimana memang perasaanmu melihatnya di sini? Aku lihat tadi kamu nggak nyaman saat dia mendekatimu."
Diana terdiam dan memikirkan jawaban yang paling sesuai, "Aku ... Entahlah."
Melihat keraguan Diana, Kenanga meraih tangannya dan menepuknya ringan.
"Rasanya membingungkan sekali kan saat keadaan tiba-tiba saja berbalik? Semula yang merupakan cinta sepihak, menjadi cinta berbalas, sungguh membuat bingung. Sebaiknya, kamu memanfaatkan sisa dua kali kencan kalian deh. Dengan bijaksana. Kalau sampai dua kali kencan kamu belum yakin juga, kamu bisa menolaknya terang-terangan. Lagipula, itu akan lebih baik daripada menghindari Yonki kan? Kita jelas tahu, menghindari Yonki hanya akan membuatnya makin bersemangat mendesakmu," usul Kenanga.
"Tapi, aku akan kehilangan dia kalau kami nggak menikah. Ya kan?"
"Ya, Tuhan. Berhentilah berpikir, Din, dan coba saja. Nggak ada salahnya," gerutu Kenanga sambil mengibaskan tangan di udara.
"Lagipula, apa kamu benar-benar ingin melewatkan kesempatan ini? Apa kamu ngg—"
"Kenang," potong Diana tajam dan membuat Kenanga mengulum senyum.
Melihat raut kesal adik iparnya, Kenanga lalu mendesah pelan.
"Kamu tahu, Din, kalau perasaan mencintai selalu terasa lebih berat dibanding dicintai kan? Maksudku, itulah yang juga terjadi padaku. Jadi, sebagai mantan pelaku, aku menyarankan kamu untuk benar-benar memastikan bahwa meskipun kita yang berada di posisi mencintai, kita masih punya peluang untuk dicintai. Lakukan saja pendekatan tiga kali itu, sampai kamu mendapatkan jawaban untuk kemauan hatimu. Aku yakin itu yang diinginkan Yonki saat ini. Kalaupun pada akhirnya kamu merasa ingin menolaknya, itu akan lebih adil karena kamu sudah memberinya kesempatan. Aku yakin juga, dia akan melepasmu kalau kamu mengatakan nggak bersedia meskipun sudah mencoba. Hm?"
Perkataan Kenanga membuat Diana merasa tenang dan yakin. Ya, memang tidak adil untuk Yonki kalau Diana tidak menepati janjinya. Dia akan mencoba menjalani dua kencan lagi untuk memastikan perasaannya.
"Kalau dipikir-pikir juga, Kenang, kalau aku memutuskan menerima Yonki, bukankah banyak hal yang perlu kami kerjakan? Misalnya, mendapatakan restu Mas Risyad. Menurutmu, apa dia nggak keberatan?" tanya Diana ketika teringat persahabatan Yonki dengan kakak laki-lakinya.
Kenanga berpikir sebentar dan mengangkat dua pundaknya.
"Aku baru menyadarinya, Din. Mas Risyad tak pernah mengaitkan percintaan ketika membahas Yonki. Apa it—"
Diana menggeleng, "Kurasa, Mas Risyad juga mengetahui kalau Yonki nggak berminat menikah. Itu makin membuatku khawatir. Apa jadinya kalau di— Astaga," dengus Diana ketika mendengar Kenanga terkekeh.
"Yah, sepertinya kamu benar-benar akan menerima Yonki. Lihat imajinasimu sudah jauh kesana," ledek Kenanga yang membuat Diana tersipu.
"Hentikan," ujar Diana sambil menahan malu.
Getar ponselnya yang akhirnya membuat Diana dan Kenanga terdiam. Pesan dari Yonki.
Yonki : Boleh kan kalau kencan kedua kuminta hari ini?
Membacanya membuat Diana menarik napas tajam.
***
Yonki sadar bahwa sikap menghindari Diana membuatnya menjadi orang yang menyebalkan, dia jadi suka marah-marah tidak jelas. Perkataannya pedas, sikapnya kasar, dan wajahnya menjadi lebih nampak cemberut dari biasanya. Jangan salahkan dia, tapi Diana. Kalau saja Diana tidak menghindarinya dan membuatnya setengah mati ingin menyeretnya untuk berduaan saja, dia tidak akan makin mirip dengan banteng pemarah. Untung saja, wanita memusingkan itu sudah memberikan penawar untuk si banteng pemarah dengan menyetujui kencan kedua mereka.
Namun, untuk menghindari kecurigaan, mereka menunda sehari kencan mereka. Rencananya, mereka akan menghabiskan waktu setelah mengantar Emir ke bandara. Emir harus segera kembali ke Jakarta untuk mengurus pernikahannya yang akan berlangsung beberapa hari lagi, itulah mengapa dia tak bisa berlama-lama di Surabaya. Hanya sehari menginap, lalu dia harus kembali ke Jakarta. Sementara itu, Yonki merencanakan untuk tinggal lebih lama. Alasannya, tentu saja untuk bisa sedekat mungkin dengan Diana.
Dengan menggunakan berbagai alasan palsu, Risyad memang tidak terlalu curiga. Alasan yang paling bisa dipegang adalah akan pulang bersama dengan Dewa yang akan datang sehari setelah Emir kembali ke Jakarta.
"Apa nggak masalah kamu meninggalkan Jakarta terlalu lama?" tanya Risyad ketika dia, Yonki, dan Diana dalam perjalanan kembali dari bandara.
Dari bangku penumpang mobil di depan, Yonki melirik sekilas Risyad yang duduk di bangku belakang.
"Nggak masalah. Ini masih terukur kok, Mas," jawabnya.
"Ya. Hanya saja, James Hans sepertinya bukan orang yang pemurah seperti ini padamu," ujar Risyad lagi.
Yonki mengangguk kecil, dia paham maksud Risyad. Memang benar, dia sedikit membangkang kali ini. Om-nya itu sudah beberapa kali menelponnya, tapi dia mengabaikan.
"Aku akan segera mengurusnya," balas Yonki.
"Aku cuma nggak mau dia menyakitimu, atau lebih parah, Tante Mustika."
Yonki kembali mengangguk.
"Oh ya, Mas, aku ingin mengajak Diana ke Tunjungan Plaza. Aku ingin membeli hadiah untuk Mama," ujar Yonki.
Memang benar dia tidak bisa meninggalkan Jakarta terlalu lama. Kalau saja bukan karena Diana, dia tidak akan bersedia meninggalkan banyak tanggung jawabnya. Maka dari sebab itu, Yonki harus segera menyelesaikan kepentingannya dengan Diana, semakin cepat semakin baik. Semakin cepat juga dia bisa kembali ke Jakarta.
"Ke mal? Oleh-oleh apa yang bisa kamu dapat di mal? Apa ada sesuatu yang nggak disediakan mal di Jakarta?"
Sialan. Yonki nyaris mengumpati Risyad. Dia benar-benar nggak peduli dengan isi mal dan tentu saja mencari oleh-oleh adalah alasan bohong untuk dia bisa mengajak Diana pergi tanpa dicurigai.
"Hm, itu ..."
"Kurasa, aku bisa mengantar Yonki ke pusat oleh-oleh Bu Rudi, Mas. Disana kan banyak oleh-oleh yang enak untuk dibawa. Ya kan, Yon? Tante Mustika suka kan?" sambar Diana.
Yonki nyaris menghela napas lega ketika Diana menolongnya. Dia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa tadi.
"Usul bagus. Aku lebih setuju kamu membeli oleh-oleh disana, Yon."
Yonki tertawa kikuk dan mengiakan perkataan Risyad dan Diana. Sepanjang perjalanan dari bandara ke kantor keluarga Gunawan, karena Risyad diminta ke kantor Surabaya selagi berada disana, Yonki terpaksa mendengarkan berbagai rekomendasi oleh-oleh untuk Tante Mustika. Dengan enggan, Yonki berusaha mendengarkan semua rekomendasi itu. Hingga akhirnya dirinya dan Diana bisa berduaan saja di mobil. Untung saja, Risyad juga tak menaruh curiga ketika Yonki meminta agar mereka tidak menggunakan supir. Berbekal peta online, mereka meluncur ke tempat berburu oleh-oleh.
"Kamu masih marah padaku?" tanya Yonki setelah diam cukup lama. Dia akhirnya membuka percakapan setelah tiba di kawasan tempat oleh-oleh.
Diana menatapnya dan menggeleng. "Aku akan lebih senang kalau kamu nggak berusaha membuatku kesal saat ini."
"Tapi, aku ingin menjelaskan alasanku melaporkan Roland. Bagaimana?"
Diana berpikir sebentar, "Baiklah. Katakan sekarang saja."
"Aku ... Benar-benar mengkhawatirkanmu, Din. Sekaligus, aku ingin menyingkirkan dia untuk mendapatkanmu."
Yonki mengamati wajah Diana yang terpaku. Dia tahu kalau kata-katanya pasti sangat menjijikkan karena terdengar seperti rayuan, hanya saja inilah kebenarannya. Dia memberanikan diri sedikit jujur dengan harapan mendapatkan simpati Diana. Yonki tidak keberatan jika dia sedikit kehilangan tameng keras hati kalau imbalannya adalah menikahi Diana.
"Tapi, meskipun kamu sangat marah, aku nggak akan mencabut laporanku, Din. Bukan karena nggak menghargaimu, aku ingin memberinya pelajaran," lanjut Yonki.
"Kamu nggak akan mencabut laporanmu meskipun aku setuju untuk menikahimu?"
Mendengar pertanyaan itu, sesuatu menyerang jantung Yonki. Sesuatu yang memilin, turun dan mengguncang perutnya. Pertanyaan itu ambigu bagi Yonki. Pertanyaan itu bisa berarti memang Diana mempertimbangkan pernikahan dengannya atau menyatakan kalau kebebasan Roland bisa ditukar dengan terampasnya kebebasan Diana karena menikahi Yonki. Kemungkinan kedua nyaris membuat Yonki naik darah, tapi dia mengendalikan diri dan menggeleng.
"Meskipun kamu menikahiku, aku nggak akan mencabutnya."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
