
Bab 20~
Diana mendesah pasrah sambil memainkan busa sabun di tangannya. Sudah beberapa hari berlalu semenjak pertemuan dengan Yonki, atau bisa disebut kencan pertama mereka. Itu bukan kencan yang berhasil, setidaknya dilihat dari hasil percakapan terakhir mereka di taman, itu bukan pembicaraan dengan hasil yang diharapkan Diana. Di percakapan itu Diana berusaha keras menjelaskan bagaimana dia butuh beradaptasi dengan pendekatan ini, tapi Yonki justru kembali memaparkan alasan praktis kebaikan pernikahan mereka.
Dia memaksa.
Diana tidak habis pikir, kenapa Yonki harus ngotot untuk menikahinya padahal sebelumnya laki-laki itu berkata dan menampakkan dengan jelas dirinya tidak ingin menikah.
Kenapa dia harus seperti itu?
Kecewa dengan Yonki, Diana memutuskan mengabaikan Yonki beberapa hari ini. Dia sengaja tidak membalas pesan atau mengangkat telepon dari Yonki. Sambil meletakkan kepala ke bantalan handuk di sisi atas bathtub, Diana kembali mendesah. Sudah lama semenjak dia meluangkan waktu untuk berendam, tepatnya semenjak dia menduduki posisinya sebagai pengganti Risyad di kantor dan pindah kembali ke rumah keluarganya. Sepulangnya dari Jepang, Diana memutuskan tinggal di apartemen sementara keluarga Risyad menempati rumah keluarga. Namun beberapa bulan lalu akhirnya keluarga Risyad pindah ke Jawa Timur dan Diana kembali ke rumah keluarga. Kesibukan pekerjaan kemudian mengikuti setelah peralihan posisi ini.
Diana berniat sedikit lebih lama lagi bermalas-malasan di bathtub besarnya yang beraroma bunga mawar, kalau saja tidak ada yang mengetuk pintunya.
"Mbak, ada tamu," ujar si pengetuk pintu.
Diana menyahut dan keluar dari bathtub-nya. Dia membersihkan diri, berpakaian, dan merapikan diri. Itu pasti Yonki, pikirnya. Sudah berhari-hari mereka tidak berkomunikasi, dia sudah menduga bahwa Yonki pasti akan muncul di hadapannya cepat atau lambat. Laki-laki itu memang pendiam, tapi kesabarannya tidak bagus, terutama jika menyangkut Diana.
Berbagai skenario ada di kepala Diana. Yang jelas, semua skenario itu mengenai usaha Yonki meyakinkan Diana. Setelah merasa cukup rapi, Diana menuju ruang tamu dan justru dikejutkan oleh kehadiran Emir.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Diana dengan wajah heran.
"Din, cepat kemari. Cepat."
Emir menarik Diana agar duduk di sebelahnya dan mereka berhadapan. Emir kelihatan gelisah dan bingung. Berkali-kali pria itu menggigit bibir dan menghela napas.
"Ada apa? Kenapa kamu panik? Kamu habis melakukan dosa besar?" tanya Diana.
"Bukan. Bukan. Aku memang baru saja membuat keputusan besar, bukan dosa," jawab Emir sambil sesekali mendesah gugup.
"Kamu yakin itu bukan dosa besar? Apa? Belle kebobolan?"
"Sialan. Nggak, Din," sambar Emir kesal.
Diana tertawa pendek, "Lalu apa? Cepat katakan! Kamu membuatku bingung dan penasaran."
Emir menghela napas, berganti-ganti posisi duduk, lalu kembali menatap Diana dengan mantap.
"Aku akan menikahi Bella."
Diana mengangkat kedua alisnya bingung. "Ya, kami tahu. Lalu apa? Memang kamu sempat berniat membatalkannya?"
"Bukan, bukan, bukan." Emir berdiri dan mondar-mandir, "Aku mempercepat pernikahan kami."
Diana mengangguk-angguk, namun masih tidak bisa memahami Emir. Dimatanya, Emir sangat aneh. Laki-laki itu laki-laki paling percaya diri yang pernah dikenal Diana, tapi kali ini dia kelihatan panik dan seperti ingin menubruk semua orang yang menghalangi kegiatan mondar-mandirnya.
"Hmmm. Lalu? Bagian apa yang harus kamu ceritakan padaku? Sesuatu yang penting yang membuatmu kemari."
Emir akhirnya berhenti dan kembali duduk di tempatnya.
"Aku sangat gelisah karena kejadian hari ini, Din. Mantan pacar Bella muncul dan membuatku mempercepat pernikahan ini. Aku ingin melindungi Bella dan melaporkan laki-laki itu ke polisi. Apa menurutmu memang lebih baik kalau aku melaporkan laki-laki itu ke polisi saja ya?"
"Lapor polisi? Dia melakukan apa emang?"
"Menculik Bella."
"Hah?" teriak Diana cukup kencang.
Emir mengangguk-angguk, "Seharian tadi Bella hilang diculik bajingan itu. Aku berusaha mencarinya sendiri karena nggak ingin membuat keluarganya khawatir. Meskipun akhirnya laki-laki itu memulangkan Bella, aku merasa harus menjauhkan dia dari Bella. Bagaimana menurutmu?"
"Ng, itu ..."
Emir seketika mengernyit kesal, "Apa aku berlebihan? Kalau Yonki yang melakukannya pasti terlihat sangat heroik kan?"
"Apa?"
"Iya. Aku dengar Yonki melaporkan Roland karena menipumu dengan menghadiri pesta terlarang," jawab Emir.
"Melaporkan Roland?" teriak Diana.
Emir sedikit terkejut lalu mengangguk kecil. "Kamu nggak tahu?"
Diana meletakkan kedua tangannya di sisi kepala mendengar informasi Emir barusan. Pantas saja Yonki belum muncul di hadapan Diana, dia memiliki kesalahan lain. Ya, untuk Diana, melaporkan Roland ke polisi merupakan kesalahan dan berlebihan. Seharusnya Yonki menanyai pendapatnya, toh yang diseret ke pesta adalah dia. Tapi, laki-laki itu bertindak sesukanya dan mengabaikan pendapat Diana.
"Kamu baik-baik saja?"
Diana menghela napas beberapa kali kemudian menggeleng.
"Mir, bisakah kamu pulang sekarang? Mendadak aku pusing sekali," ujar Diana.
Emir mencibir kesal dan menggerutu karena sebenarnya dia masih ingin mendengarkan saran Diana. Tapi, melihat dari kondisi Diana sekarang, dia tahu kalau ada hal lain yang mengganggu Diana.
"Baiklah. Aku pul— Hah? Ngapain kemari?"
Kepala Diana seketika mendongak ke arah yang ditatap Emir dan menemukan Yonki berdiri disana. Melihat Yonki datang, amarah Diana semakin meningkat. Melihat ekspresi marah Diana, Yonki bingung dan berusaha tersenyum kecil.
"Ya. Aku ma—"
"Ngapain kesini?" sambar Diana sambil berderap ke arahnya.
Yonki melirik sebatang mawar muda yang dibawanya dan mengulurkan pada Diana. Giliran Diana melirik mawar itu dan cemberut.
"Aku sedang pusing. Sebaiknya kamu pulang," ujarnya kesal.
Dia menatap Yonki dan Emir bergantian lalu mengibas tangan. Diana benar-benar harus mengusir mereka dari hadapannya, sebelum dia mulai marah-marah. Sebenarnya, yang ingin diusirnya hanya Emir. Kalau ingin marah pada Yonki, sekarang adalah waktu yang sempurna karena Yonki berada disini. Akan jadi kesempatan bagus untuk menyembur Yonki dengan amarah saat ini.
"Aku harus bicara sama kamu, Din. Biar Emir duluan," tolak Yonki.
Dia kemudian menatap Emir, "Urusanmu dengan Diana sudah selesai kan?"
"Ini rumahku, aku berniat mengusir siapapun. Kamu juga pergilah, Yon," ujar Diana kesal.
Alih-alih menanggapi Diana, Yonki mengode Emir untuk pergi. Sambil mendesah kesal, Emir akhirnya berpamitan.
"Jangan lupa minta maaf," bisik Emir sebelum benar-benar pergi.
Emir tahu kalau Yonki membuat kesalahan hanya dengan mendapati sahabatnya itu datang dengan setangkai mawar kesukaan Diana.
"Astaga. Kamu benar-benar keras kepala," gerutu Diana sambil berlalu dan menuju kamarnya di lantai dua.
"Aku akan pergi kalau kamu sudah mengatakan alasan kamu mengabaikanku beberapa hari ini, Din," ujar Yonki sambil mengekori Diana.
"Kenapa memang? Kamu takut selama ini aku bersama laki-laki lain?"
Tangan Yonki menangkap tangan Diana tepat sebelum kaki Diana menginjak anak tangga pertama.
"Kamu melakukannya?"
Diana memicing, "Kenapa memang? Apa nggak mungkin aku melakukannya? Hanya karena kamu sudah melaporkan Roland ke polisi dan memastikan dia sedang pusing dengan hal itu?"
"Oh. Jadi ini alasan kamu menghindari aku beberapa hari ini?"
"Buk— Ah! Sudahlah, Yon. Kamu beneran harus pulang. Aku nggak ma—" Diana menghela napas dengan amat kesal dan mengibaskan tangan mengusir Yonki.
Tapi, Yonki tidak peduli dengan peringatan dan kekesalan Diana. Dia bertekad menyelesaikan hal ini.
"Kita bicara, Din. Sampai semua selesai."
Diana menggigit bibirnya dengan kesal dan menatap tajam Yonki. Dia sangat marah dan kecewa pada Yonki.
"Baiklah. Aku akan mengatakannya sekarang. Bukan untuk mendengar pembelaan kamu, pembenaran kamu, atau alasan kamu. Aku cuma ingin kamu pergi setelahnya. Kamu janji bisa melakukannya?" tawar Diana.
"Melakukan apa?"
"Diam dan dengarkan."
"Kenapa aku harus diam saja? Kalau itu merugikanku, aku akan meluruskannya."
"Sialan. Sudah pergilah, Yon."
Yonki menggeleng, "Baiklah. Katakan. Setidaknya aku ingin tahu."
Dagu Diana terangkat ke arah Yonki dan dia mengangguk.
"Satu, aku menghindarimu bukan karena masalah Roland. Aku menghindari kamu karena ..." Diana terdiam memikirkan kelanjutan kata-katanya.
Apa dia harus mengatakan kecewa karena Yonki tidak mengajaknya menikah karena cinta, tapi karena alasan-alasan yang tidak masuk akal untuknya?
Apa kata Yonki nanti setelah mengetahui alasan Diana kesal?
Apa kata Yonki kalau dia tahu Diana mengharapkan cinta dari dia?
Diana berhenti berpikir saat Yonki akan membuka mulut, dia meletakkan tangan di bibir Yonki secara reflek.
"Kamu ingin melanggarnya?" tanya Diana sambil menarik tangan dengan tergesa. Sentuhan kecil seperti itu bisa membuatnya panik.
Yonki diam dan itu membuat Diana puas.
"Itu karena alasan kamu. Aku nggak menyukai perspektifmu mengenai ajakan menikah."
Diana berusaha mengatakannya dengan cepat untuk menilai dengan cepat juga ekspresi Yonki. Laki-laki itu benar-benar diam saja. Diana mulai ragu diam Yonki adalah karena permintaannya, dia kali ini menduga Yonki memang tidak mau menyanggah perkataan Diana.
"Dua, soal Roland. Aku baru mengetahuinya dari Emir. Aku kecewa kamu bertingkah seenaknya. Kita tahu kalau aku yang diseret Roland ke pesta itu. Aku korbannya, kan? Kenapa kamu nggak meminta pendapatku untuk melaporkannya?" tanya Diana dengan lebih cepat lagi.
"Din, ka—"
"Kamu janji akan diam saja dan mendengar!" teriak Diana yang membuat Yonki diam seketika.
"Aku nggak dalam kondisi ingin mendengarmu, Yon. Kamu beneran harus pulang. Bye."
Yonki benar-benar membiarkan Diana menaiki tangga dan terkejut ketika Diana kembali dan mengambil mawar di tangannya.
"Aku akan mengambil ini. Sampai jumpa."
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
