
Seorang detektif dihadapkan pada kasus aneh: pengusaha tewas tanpa luka, diklaim akibat santet. "Ini tidak bisa dihukum," ujar rekannya pasrah. Namun, sang detektif menolak stigma itu. Dia tetap mencoba mencari penyebab logis.
Santet, Detektif!
Detektif Aruna memandang korbannya, Handoko, seorang pengusaha yang tubuhnya kini hanya seonggok daging dingin, terbaring kaku di ranjang mewahnya. Mata Handoko melotot, terpaku pada ketiadaan, ekspresi ketakutan yang beku adalah mahakarya teror yang abadi. Tidak ada luka fisik yang kentara, tidak ada racun yang terdeteksi oleh uji laboratorium paling canggih sekalipun. Namun, di bawah bantal yang kusut, sebuah bungkusan kain hitam teronggok, berisi tanah kuburan yang lembap dan beberapa jarum berkarat.
"Santet, Detektif," desah Inspektur Hadi, suaranya sarat kepasrahan yang telah mengakar dalam diri setiap penegak hukum di negeri ini. "Sudah jelas, ini perbuatan gaib. Puluhan saksi bersumpah melihat korban mengeluh sakit aneh, melihat bayangan menghantui, dan merasa tubuhnya ditusuk-tusuk. Desa asalnya sudah lama dirundung kisah-kisah mistis seperti ini."
Aruna menghela napas, sebuah embusan kekecewaan yang pahit. Dalam dunia mereka, "santet" adalah tembok tak terlihat yang menghentikan setiap investigasi, sebuah kata mantra yang mengakhiri setiap logika. Ia tidak pernah percaya pada hal mistis.
Aruna, meskipun namanya terkesan feminim, namun ia adalah pria sejati, seorang pria penganut teguh nalar, terdidik untuk merunut benang logika, mengikuti setiap jejak bukti, dan menemukan motif yang rasional, bukan yang supranatural. "Inspektur," suaranya tegas memecah keheningan yang mistis itu, "kita tak bisa menghukum arwah di pengadilan. Kita butuh bukti konkret, sesuatu yang bisa disentuh, sesuatu yang bisa dipercayai oleh juri."
Kasus ini lantas meledak bagai bom di tengah masyarakat. Berita kematian Handoko yang diklaim akibat santet menyebar cepat, menimbulkan gelombang ketakutan massal, bahkan semacam histeria kolektif. Media lokal berlomba-lomba memberitakan ritual dukun, sumpah serapah, dan kekuatan gaib yang konon telah menewaskan Handoko. Bagi publik, ini adalah misteri yang telah diselesaikan oleh kekuatan supernatural, sebuah keadilan di luar hukum. Bagi Aruna, ini adalah kegagalan sistem, sebuah pengkhianatan terhadap nalar. Ia bersumpah akan mematahkan stigma itu, membuktikan bahwa setiap misteri, seseram apapun topengnya, memiliki akar yang logis dan bisa dihukum.
Aruna memulai penyelidikan dari sudut pandang yang paling tidak masuk akal bagi orang lain: siapa yang diuntungkan dari keyakinan santet ini? Siapa yang merajut narasi mistis ini agar ia bisa bergerak di balik layar, tak terlihat, tak tersentuh hukum?
Ia mewawancarai keluarga Handoko. Istrinya, Bu Mirna, tampak terlalu tenang, sebuah ketenangan yang mencurigakan di tengah duka. Anaknya, Budi, terlihat gelisah, matanya menyimpan rahasia yang dalam. Para tetangga dan kolega yang ia temui semua bercerita hal yang sama: Handoko memang keras kepala, punya banyak musuh bisnis, dan terkenal pelit, sebuah karakter yang sempurna untuk jadi target santet. Semua menuding ada yang "mengirim" santet padanya, seolah itu adalah jawaban yang paling nyaman dan mudah diterima.
Namun, Aruna menemukan sebuah detail unik, sebuah anomali kecil yang tak luput dari pengamatannya: setiap kali Handoko mengeluh sakit atau melihat bayangan, ia selalu berada di ruang kerjanya, menghadap jendela besar yang mengarah langsung ke gedung apartemen tua di seberang jalan. Dan hampir setiap kali keluhan itu muncul, ia sedang menggunakan telepon kantornya, seolah ada ritual tak kasat mata yang terhubung dengan momen-momen itu.
Aruna meminta rekaman CCTV dari gedung apartemen seberang, sebuah bangunan kusam yang seolah telah menyimpan banyak rahasia kelam. Hari demi hari ia menelusuri rekaman itu, matanya awas mencari anomali, mencari sesuatu yang janggal di antara rutinitas yang monoton. Akhirnya, ia menemukannya. Pada waktu-waktu tepat ketika Handoko mengeluh sakit, Aruna melihat sebuah titik merah samar yang bergerak-gerak di jendela salah satu unit apartemen di lantai 12. Titik itu terlalu kecil untuk terlihat jelas oleh mata telanjang, sebuah penanda yang nyaris tak kasat mata, tapi Aruna yakin itu bukan sekadar pantulan cahaya biasa. Itu adalah sebuah anomali, sebuah anomali yang terasa hidup.
Ia menyusup ke apartemen kosong itu. Aroma apak dan debu menyambutnya. Tak ada penghuni, tak ada tanda-tanda kehidupan. Namun, di dalam, ia menemukan jejak-jejak aneh yang menguatkan hipotesisnya: sejumlah alat elektronik canggih tersembunyi di balik dinding, termasuk sebuah proyektor laser mini, pengeras suara berfrekuensi tinggi, dan sebuah perangkat perekam suara otomatis yang sangat sensitif. Lebih jauh lagi, ia menemukan sebuah peta kecil dengan tanda silang merah di lokasi kamar tidur Handoko, sebuah target yang jelas dan presisi.
Aruna merasakan bulu kuduknya berdiri, bukan karena rasa takut akan hantu, tapi karena kengerian akan kecerdasan jahat manusia. Ini bukan hantu, ini adalah simfoni teror yang dirancang dengan presisi ilmiah. Ia memanggil tim forensik. Mereka menemukan sidik jari samar di beberapa perangkat, dan yang lebih penting, jejak bubuk bunga melati kering di sudut ruangan, sebuah detail kecil yang cocok dengan aroma samar yang sering diceritakan para saksi. Aroma yang dulu ia kira adalah bagian dari ritual santet.
"Ini bukan santet, Inspektur," bisik Aruna pada Hadi, matanya menatap tajam pada bukti-bukti yang kini terhampar di depannya. "Ini adalah spionase psikologis tingkat tinggi, berkedok takhayul. Sebuah teorem kengerian yang dimainkan di medan jiwa."
Ia mulai merangkai benang merahnya, setiap potongan bukti adalah benang sutra yang menghubungkan titik-titik yang dulu tak terlihat. Jarum dalam benak itu bukan tusukan gaib, tapi gelombang suara ultrasonik berfrekuensi sangat tinggi yang hanya bisa didengar oleh beberapa orang dengan sensitivitas pendengaran khusus, atau yang sedang dalam kondisi psikologis yang rentan. Suara itu, yang tak terdengar telinga biasa, mampu menimbulkan efek halusinasi auditori, sakit kepala hebat, dan sensasi fisik seperti tertusuk. Bunga melati kering itu? Bukan untuk ritual pengusir setan, tapi diletakkan dekat alat perekam untuk menghasilkan bau yang terkesan mistis, menguatkan ilusi santet, mengarahkan pikiran korban pada takhayul.
Dan bungkusan kain hitam dengan tanah kuburan di bawah bantal korban? Itu adalah alat pemancar sinyal mini yang disembunyikan, diaktifkan oleh perangkat di seberang. Tanah kuburan dan jarum-jarum itu hanyalah penambah efek dramatis, untuk mengarahkan pikiran korban ke arah takhayul, memastikan bahwa kasus ini akan segera ditutup sebagai hal gaib, tanpa jejak hukum.
Tapi siapa dalangnya? Dan apa motif di balik permainan psikologis yang mengerikan ini?
Aruna meminta data panggilan telepon kantor Handoko. Dari ribuan log yang rumit, ia menemukan satu nomor yang selalu muncul pada waktu-waktu kejadian aneh, sebuah nomor yang selalu berinteraksi pada saat Handoko mengeluh sakit atau melihat bayangan. Nomor itu terdaftar atas nama Perusahaan Investasi "Goliath", saingan utama Handoko dalam perebutan proyek besar.
Aruna mendatangi kantor Goliath. Pemiliknya, seorang wanita paruh baya bernama Ibu Tania, menyambutnya dengan senyum dingin, sebuah topeng kesopanan yang tak mampu menyembunyikan kegelapan di baliknya. Aruna tahu, ia telah menemukan dalangnya, sosok di balik tirai sandiwara santet ini.
"Pembunuhan ini tidak bisa dihukum, Detektif," kata Tania, suaranya tenang, namun mengandung ancaman tersembunyi yang menusuk. "Handoko meninggal karena santet. Bukti ada di mana-mana. Publik percaya."
Aruna menatap Tania, tatapan matanya tajam, seolah sedang melakukan operasi bedah pada jiwa sang wanita. "Tidak, Nyonya Tania. Handoko meninggal karena serangan psikologis yang dirancang secara ilmiah, sebuah pembunuhan yang presisi dan keji. Anda menggunakan teknologi suara frekuensi tinggi, proyektor halusinasi, dan bahkan manipulasi aroma untuk membuat korban percaya ia disantet. Anda tahu Handoko memiliki riwayat paranoid dan mudah percaya hal-hal mistis, sebuah kelemahan psikologis yang Anda eksploitasi."
Aruna menarik napas dalam, melanjutkan penjelasannya dengan suara yang kini lebih berat, penuh penekanan. "Anda bahkan menanamkan micro-chip sensorik kecil di pakaian Handoko melalui kontak fisik, mungkin saat berjabat tangan atau saat pertemuan bisnis. Chip ini, yang sangat kecil, terhubung secara nirkabel dengan perangkat ultrasonik dan proyektor di apartemen seberang. Setiap kali Handoko berada di ruang kerjanya, alat itu diaktifkan. 'Jarum' yang ia rasakan bukanlah tusukan gaib, melainkan frekuensi ultrasonik yang ditargetkan dan diintensifkan secara bertahap. Gelombang suara ini, ketika diarahkan pada area spesifik di kepala atau dada, dapat memicu gangguan pada sistem saraf otonom, meningkatkan detak jantung secara drastis, memicu adrenalin berlebihan, dan menyebabkan stres ekstrem pada organ-organ vital."
"Bayangan yang ia lihat adalah proyeksi halusinasi dari proyektor nano Anda, dirancang untuk memicu rasa takut dan kepanikan yang luar biasa, seiring dengan efek fisik dari gelombang ultrasonik. Dan kombinasi tekanan psikologis dari halusinasi dan serangan fisik akibat gelombang ultrasonik inilah yang menyebabkan serangan jantung atau stroke masif pada Handoko. Tubuhnya tidak menunjukkan racun karena pembunuhnya adalah gelombang suara dan tekanan mental yang tak terlihat. Bungkusan tanah kuburan itu... itu hanyalah alat untuk memfokuskan pikiran korban pada takhayul, agar kasusnya ditutup sebagai hal gaib."
"Anda melakukan semua ini karena Handoko menolak menjual saham perusahaannya kepada Anda. Anda ingin mengambil alih tanpa jejak hukum, menciptakan skandal mistis yang akan membuatnya takut dan akhirnya meninggal, atau setidaknya membuat perusahaan Anda bisa membelinya dengan harga murah setelah kematiannya."
Tania tertawa sinis, sebuah tawa kering yang pecah di udara. "Semua itu hanya teori konspirasi Anda, Detektif. Tidak ada bukti fisik yang mengarah ke saya."
"Ada," kata Aruna tegas, suaranya membelah ruang, sebuah palu nalar yang menghantam ilusi. "Anda lupa satu hal, Nyonya Tania. Bubuk melati yang Anda gunakan memiliki DNA unik dari spesies langka yang hanya tumbuh di kebun pribadi Anda. Sidik jari Anda juga ditemukan di perangkat dalam apartemen yang kini telah kami amankan. Dan yang terpenting, kami memiliki kesaksian mantan karyawan Anda, seorang teknisi jenius yang mengembangkan alat-alat itu, yang baru saja keluar dari penjara karena kasus penipuan siber. Dia sudah mengaku semuanya setelah melihat berita kematian Handoko. Dia tidak tahu alatnya akan digunakan untuk membunuh, ia pikir hanya untuk mengintimidasi."
Wajah Tania memucat, warna darahnya seolah terkuras. Sebuah kerutan muncul di dahinya, sebuah tanda kekalahan. Ia tahu ia kalah, bukan oleh santet, melainkan oleh nalar.
Kasus Handoko yang semula dianggap kematian akibat santet, kini berubah menjadi kasus pembunuhan berencana dengan modus operandi yang sangat canggih dan psikologis. Keyakinan publik akan santet sebagai penyebab kematian perlahan terkikis, digantikan oleh kesadaran akan bahaya kejahatan yang bersembunyi di balik topeng takhayul.
Aruna tidak lagi meragukan intuisi logisnya. Ia tahu, horor yang sesungguhnya tak memerlukan makhluk gaib atau arwah gentayangan. Ia adalah kekuatan manipulasi, keserakahan, dan kecerdasan manusia yang digunakan untuk kegelapan, sebuah jarum yang menusuk benak bukan dengan sihir, melainkan dengan ilmu pengetahuan yang diselewengkan, meninggalkan bekas luka yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat oleh mata telanjang. Ia telah membuktikan, bahwa setiap tabir misteri, serumit apapun, bisa disingkap oleh cahaya nalar, dan setiap kejahatan, seseram apapun bungkusnya, akan menemukan keadilan di ujung benang merah logika.
Beberapa bulan setelah kasus Goliath dan Tania yang mengguncang jagat hukum, Detektif Aruna mendapati dirinya duduk di sebuah warung kopi sederhana di desa Gondangrejo. Aroma kopi hitam pekat dan kretek yang menyengat memenuhi udara. Ia sedang mewawancarai Pak Jamal, seorang pria tua dengan janggut acak-acakan yang dulunya dikenal sebagai "dukun" setempat. Kasus baru yang ia tangani terasa aneh, bahkan bagi dirinya yang sudah terbiasa dengan keanehan manusia.
Korban adalah seorang pemuda bernama Ardi, ditemukan tewas membeku di sebuah gudang bawah tanah pendingin ikan yang tak terpakai di pinggir kota. Penyebab kematiannya, hipotermia akut. Namun, yang membuat kasus ini mencurigakan adalah serangkaian laporan saksi mata dan "ramalan" aneh yang mendahului kematian Ardi. Ibu Siti, ibu kandung Ardi, bersikeras putranya telah "diramal" oleh Pak Jamal akan bertemu orang membawa bunga layu, menerima kunci, dan berakhir dalam kegelapan dingin di bawah tanah.
"Saya hanya asal bicara, Detektif," Pak Jamal berbisik, wajahnya pucat pasi. "Saya bukan dukun. Saya hanya... terlalu banyak mendengar obrolan orang. Itu sebuah kecelakaan, takdir yang aneh."
Aruna mengamati Pak Jamal. Ia merasakan getaran ketakutan tulus dari pria tua itu, bukan ketakutan akan hantu, melainkan ketakutan akan kebenaran yang tak terduga. Ia tahu, dalam kasus seperti ini, naluri awal masyarakat akan selalu menunjuk pada hal mistis. Ini adalah "santet" jenis lain, sebuah kebetulan yang sempurna untuk menutup sebuah kasus, atau menyembunyikan motif sesungguhnya. Sama seperti kasus Handoko.
"Ceritakan semua yang Anda dengar, Pak Jamal," kata Aruna, suaranya tenang namun menuntut. "Setiap bisikan, setiap obrolan. Tak ada yang kebetulan dalam kematian."
Pak Jamal pun mulai bercerita. Ia mengulang kembali obrolan tentang Ardi yang keras kepala, tentang Pak RT yang dulu seorang guru, tentang perempatan Beringin Raya, dan bahkan tentang kebiasaan seorang pemuda penjual narkoba yang sering membawa bunga layu hasil curian dari kuburan untuk pacarnya. Ia bahkan samar-samar menyebut tentang sebuah radio tua yang terus berbisik nama-nama yang pernah diceritakan Ibu Siti kepadanya.
bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
