1. KABAR TENTANG COGAN; 2. USTAZ BARU=MASALAH BARU?

2
0
Deskripsi

Apa yang menjengkelkan dari seorang ibu yang mendadak hijrah? Tiba-tiba punya ide menjodohkan anak gadisnya dengan seorang ustaz!

Aduh, Aulia khawatir dia berdosa karena jengkel dengan kelakuan ibunya yang tiba-tiba hijrah. Bukan, dia bukan benci dengan perubahan baik yang terjadi pada Ibu.

Awalnya, masjid kecil di komplek perumahan mereka kedatangan ustaz baru yang muda dan ganteng. “Muda” dan “ganteng” adalah dua kata yang punya kekuatan magnet. Mendadak, acara pengajian yang diadakan di sana yang...

1. KABAR TENTANG COGAN

“Nggak mauuu!” teriak Aulia, berlari menghindar kejaran Ibu.

Mereka berkejaran, berputar-putar di antara ruang tamu dan ruang tengah.

“Oke,” kata Ibu akhirnya di tengah napasnya yang terengah. Tangannya yang meremas selembar jilbab teracung naik-turun.

Aulia pun berhenti menghindar agak jauh dari Ibu. Napasnya juga tak beraturan. Ada perasaan was was mendengar nada suara Ibu.

“Uang saku dipotong separuh.”

Kekhawatirannya terbukti.

“Hah? Curang!” sahut Aulia ingin menangis. Apa jadinya kalau uang saku dikurangi hingga separuh? Itu seperti menjegal setengah kehidupannya.

“Kalau nggak mau dipotong, pakai ini!”

Pada akhirnya, Aulia menyerah. Kini, sudah satu bulan dia mengenakan hijab. Seperti permintaan ibunya. Salah, seperti pemaksaan ibunya. Mereka mengambil jalan tengah. Aulia mau menuruti perintah Ibu dengan syarat dia bebas menentukan cara berpakaian dan berhijabnya. Meski cukup alot, Ibu kemudian mau menerima syarat itu.

Tapi, ketenangan Aulia tidak berlangsung lama. Minggu ini Ibu memaksanya mengubah caranya berpakaian dan berhijab.

“Anak gadis harus tertutup auratnya sampai rapat!” kata Ibu, tidak menerima bantahan.

“IBUUU…!”

*

 “Hai, gaeeess…!” sapa Aulia dengan semringah yang langsung memancing reaksi Nabila dan Rifka, dua sahabatnya.

“Ada apa gerangan wooii… kok hepi banget?” timpal Nabila.

Aulia membungkuk, merengkuh bahu Nabila dan Rifka sekaligus. Ekspresinya penuh misteri. Lalu, berbisik, “Aku punya bagus buat kalian, para penggemar cogan!”

“WHAT??”

“Nah, kaan… hepi kan?” katanya penuh kemenangan. “Tampang-tampang kalian ini kelihatan banget haus pemandangan cogan!” katanya sok tahu.

“Wooii… jangan berlagak! Kamu juga sebelas dua belas!” protes Nabila.

“Ssst… jangan ribut! Masa, gara-gara cogan aja ribut. Nggak keren banget!” Rifka sok menengahi.  “Siapa cogannya, Li?”

Aulia dan Nabila mencibir.

“Banyak lagak kamu, Rif! Mupeng juga, tahunya.”

Rifka menyeringai.

“Siapa cogannya, Li?” desak Nabila.

“Umm… rahasia!”

Seketika itu juga Aulia dihujani toyoran di bahu oleh sahabat-sahabatnya.

KRIIING!!

“Eh, bel masuk bunyi tuh! Nanti jam istirahat aku ceritakan siapa dia, gaes. Ayo, masuk kelas! Jangan sampai kita kena hukuman Bu Nana.”

*

Di mulut pintu, Bu Nana sudah berdiri dengan wajahnya yang irit senyum. Dengan matanya yang tajam, dia memandangi satu per satu anak-anak yang lewat di depannya untuk masuk ke kelas. Tak ada yang berani menatap matanya. Mereka berjalan sambil merunduk sopan. 

Satu menit setelah bel berbunyi adalah waktu kritis. Anak-anak hanya punya waktu selama itu untuk masuk ke kelas dan duduk dengan manis. Lewat dari itu, maaf-maaf saja, dilarang masuk tanpa alasan yang sangat kuat. Jalan macet, kesiangan bangun, atau alasan sejenis, sebaiknya disimpan di saku baju lantaran kelewat kedaluarsa dan tidak berlaku. Kalau masih nekat juga, pintu kelas masih terbuka lebar, cukup untuk kita lewati kembali ke luar. Tapi, jangan senang dulu, jangan buru-buru ke kantin kalau tak ingin di akhir jam pelajaran dibebani seabrek tugas dan pesan agar mengajak orang tua menghadap Bu Nana.

Jadi, tak ada pilihan selain selama dua jam pelajaran harus berdiri di luar, di bawah jendela, menghadap ke kelas sambil mencatat. Kata anak-anak, metode ini adalah metode belajar mandiri alias belajar mantap sambil berdiri.

 Pagi itu selama dua jam pelajaran penuh, Bu Nana membahas masalah menutup aurat bagi perempuan. Beliau menerangkan dari A sampai Z, lebih tepatnya, menegaskan masalah kewajiban tersebut. Bagaimana sebaiknya menutup aurat yang sesuai dengan syariat. Anak-anak yang belum memakai jilbab, bahkan yang sudah terbiasa mengenakannya sampai salah tingkah dibuatnya. 

Aulia mendengarkan dengan saksama semua yang disampaikan Bu Nana sampai tak sadar mulutnya manyun. Dengan serius dia memperhatikan setiap gerak bibir Bu Nana. Mau tidak mau dia membIqbalngkan dirinya yang, meskipun sudah berhijab, tetapi belum seperti yang dijelaskan gurunya itu. Ah, nggak apa-apa, namanya juga belajar. Usaha untuk menjadi lebih baik. Allah sudah mencatat niat baik kamu, Nak, hibur hatinya.

Tiba-tiba, Bu Nana dengan langkahnya yang mantap menghampiri.

“Aulia, wajahmu kok seperti itu, tidak suka dengan pelajaran Ibu?” tegur Bu Nana. Suaranya sungguh mengejutkan dan membuat tak nyaman Aulia dan seisi kelas. Mendadak, semua terdiam.

“Eh?” Aulia menyahut spontan “apa, Bu? Wajah saya...?” Aulia meraba-raba wajah, lalu celingukan. Bingung.

Mata Bu Nana menatapnya tajam. “Kamu, wajahmu begitu. Nggak suka dengan pelajaran Ibu?”

“Ti-tidak… tidak, Bu. Justru sa-saya sedang sa-sa-sangat memperhatikan apa yang ….” Telapak tangan Aulia mendadak dingin. Dia menunduk, merasa malu menjadi pusat perhatian di kelas saat ini.

Bu Nana  menjauh dari bangkunya tanpa merasa perlu menunggu jawaban. 

Guru agama kok, begitu, berprasangka jelek melulu dan jutek, gerutu Aulia dalam hati.

*

“Gokils... gokiiilss... gila bener … aku kaget banget waktu ditegur Bu Nana tadi pagi,” kata Aulia ketika jam istirahat. Tangannya mengenggam segelas es berwarna merah.

“Jangankan kamu, Li, aku saja kaget banget. Kenapa ya, Bu Nana selalu jutek?”

Aulia mengangkat bahu, lalu menyesap es merahnya.

“Padahal, aku tadi lagi serius banget menyimak pelajarannya. Apa karena bibirku manyun ya saking seriusnya?”

“Nah, itu dia kayaknya yang bikin Bu Nana menyangka kamu nggak suka sama dia! Makanya, biarpun lagi serius, kondisikan lagi bibirnya, Li, jangan sampai mengundang prasangka buruk.” Nabila tertawa sendiri setelah mengatakan itu.

“Wah, gimana dong, sudah bawaan bayi, sih!”

Aulia memindahkan lagi gelas esnya yang baru saja diminta Nabila ke hadapannya, lalu menghabiskan sedotan yang terakhir.

“Eh, eh...,” cetus Rifka, “kamu nggak lupa ‘kan mau cerita siapa cowok ganteng itu?”

“Nah, iya! Siapa, Li? Bagi-bagi rezeki, dong!”

Aulia bertopang dagu, mengetuk-ngetukkan jari ke pelipis, berlagak berpikir. “Kasih tahu nggak yaaa....”

“Kasih tahuuu...!”

*

 

 

 

 

 

 

2. USTAZ BARU= MASALAH BARU?

Bukan Nabila atau Rifka jika dipancing dengan “cogan” tak akan bereaksi berlebihan. Reaksi itu memancing Aulia berniat menjaili mereka. Sebenarnya, itu keputusan berisiko tinggi. Dia tak akan tahan dengan pemaksaan mereka yang mirip polisi sedang menginterogasi penjahat.

“Bilang nggak siapa cogan itu?!” ancam Nabila, tangannya siap menggelitik pinggang Aulia. “Pegangin tangannya, Rif!”

“Siap!”

“Ampuun...!” jerit Aulia. “Iya... iya, aku kasih tahu siapa cogannya,” katanya pasrah.

*

Aulia, Nabila, dan Rifka sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku SMP walaupun sering berlainan kelas. Saat ini mereka sudah di kelas XII, di kelas yang berlainan juga.

Bukan cuma persamaan di antara mereka yang membuat cocok satu sama lain, tapi perbedaan sifat dan sikap yang mereka miliki semakin membuat mereka saling melengkapi dan meramaikan persahabatan mereka.

Nabila, cewek jangkung yang berpembawaan ceria. Baginya, hidup harus selalu diisi dengan hal-hal yang menyenangkan. Makanya, walaupun menghadapi masalah yang sulit atau membuat sedih, dia selalu berusaha menghadapinya dengan enteng. Nabila pandai menghibur dan membuat orang-orang di dekatnya selalu merasa nyaman dan lebih pede.

Lain dengan Rifka. Sifatnya lebih pendiam dan pembawaannya kalem, tapi jika sudah bergabung dengan sahabat-sahabatnya dia jadi bawel juga. Di antara mereka bertiga, Rifka memiliki senyum paling manis. Semua orang yang melihatnya hampir selalu terpesona.  

Di antara tiga sahabat itu, Aulia yang paling pintar di sekolah. Rapornya selalu dihiasi nilai-nilai yang bagus. Dia tidak memerlukan waktu banyak untuk lebih mengerti semua pelajaran yang didapatnya di sekolah. Aulia juga menjadi tempat bagi Nabila dan Rifka untuk bertanya tentang pelajaran. Namun di balik itu, dia tidak pede dengan penampilannya, selalu terasa kurang oke. Aulia selalu membandingkannya dengan dua sahabatnya. Gawatnya, makin hari dia makin yakin bahwa dia paling tidak menarik di antara mereka bertiga. Kadang-kadang, hal itu membuatnya sedikit tertekan.

“Wooii... siapa cogannya?” desak Nabila.

Aulia menyeringai lebar.

“Aku cerita dulu boleh nggak?”

“Hadeuh... mau ulur-ulur waktu aja. Nggak ikhlas mau bagi-bagi kabar baik kayaknya nih Aulia.” Nabila menoleh Rifka. “Gimana, Rif?” tanyanya minta persetujuan. Yang ditanya mengangguk.

“Aku mau curcol dikit,” kata Aulia.

Sahabat-sahabatnya langsung menghadap dirinya. “Siap!” ujar mereka berbarengan, lalu tawanya berderai.

“Tahu nggak, Bil, Rif... masalahku pas banget dengan bahasan Bu Nana tadi pagi? Makanya, aku serius banget dengar penjelasan dia... etapi malah dikira aku nggak suka sama dia ….”

“Terus, masalah kamu apa?” tanya Rifka.

“Eh, aku cerita soal cogan dulu aja ya?” Aulia mengalihkan topik tiba-tiba.

“Ya ampun! Labil banget deh sahabat kita ini, Rif.”

Rifka mengangguk. “Memang,” katanya, tak berusaha melerai.

“Mau nggak?” tantang Aulia yang disahuti dengan decakan gemas dua sahabatnya itu. “Gini... di kompleks rumahku… ada ustaz baru … cakeeep banget. Pokoknya, gila abis! Kalian bakal terpesona dibuatnya.” Aulia tertawa sendiri mendengar kalimatnya yang berlebihan.

“Kalau gila sih, aku nggak tertarik,” timpal Rifka sok lugu.

“Gila cakepnya, gitu lho ….” 

“Namanya siapa, Li?”

“Namanya?” Aulia terhenti. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Wah, kalau yang itu aku belum tau. Ustaz Iqbal, kayaknya,” tambahnya tak yakin.

“Lha, kok bisa nggak tahu?”

“Namanya Iqbal atau Dilan?”

Aulia tertawa. “Terserah kalian deh. Nanti aku cari tahu lagi namanya. Intinya, doi ganteng, pakai banget dan sangat.”

“Terus, ada hubungannya dengan masalah kamu yang mau dicurcolin?” Rifka penasaran.

“Ada,” sahut Aulia cepat, lalu dari bibirnya meluncur cerita yang cukup panjang tentang sang Ustaz yang namanya, mungkin, Iqbal. “Ibuku sudah minta dia mengajari aku dan adikku mengaji secara privat.”

“Wew! Kamu langsung setuju, pasti.”

“Yaheyalah,” timpal Nabila sambil menggoyangkan kepalanya dengan kocak. “Rezeki nomplok, pantang ditampik.”

Aulia terkekeh, setuju.

“Aku nggak masalah sih sama acara mengaji privat itu. Tapi, yang bikin kesal, belum apa-apa ibuku sudah kasih ultimatum soal hijab. Semua hijab dan gayaku dikomentarin, dipaksa berubah.”

“Lha, memangnya kenapa dengan hijabmu, Li?”

“Hijabku kurang panjaaang... nggak boleh disampirkan ke pundak. Bajuku terlalu pendek, celana panjangku kurang longgar whuaa... semuanya mendadak nggak ada yang oke. Sebel ‘kan?” cerocos Lia. “Aku yakin ini gara-gara ustaz baru itu!” tuduhnya. “Resek!”

“Wah, ribet juga ya... gimana kalau dia lihat gaya hijabku? Pengsan di tempat kayaknya.”

“Eh, kamu masih mendingan, Bil. Aku malah belum berhijab,” sahut Rifka. “Belum sanggup kayaknya deh. Gerah dan konsekuensinya itu masih terlalu berat buatku.”

 “Semalam aku sampai ribut tipis-tipis sama Ibu gara-gara soal itu.”

“Kamu nangis, kan?” tebak Rifka.

Aulia meringis, membenarkan.

 “Menurut kalian, bagaimana kalau aku ganti gaya hijab?”

“Kamu sendiri? Sanggup?” Nabila balik bertanya. “Kalau aku sih, rasanya belum sanggup, masih jauh, Li. Mengaji saja nggak ada satu bulan satu kali, salatku masih bolong-bolong, kalau lagi ingat saja. Parah, ya? Kamu gimana, Rif?”

“Aku kayaknya sama deh, sebelas dua belas. Malah, belum sanggup berhijab. Lagian, Papaku juga belum tentu setuju. Dia agak susah diajak berunding masalah seperti itu, bawaannya mau marah saja … eh, tapi itu masalahku lho. Semuanya kembali lagi sama kamu, Li, terserah. Kamu sendiri kan, sudah punya pertimbangan. Bapak dan Ibu kamu kan, oke-oke saja, nggak masalah. Apalagi ustaznya ganteng… ihiy!”

“Ganteng-ganteng bikin masalah baru… ngeselin aja!” sungut Aulia.

“Lha, daripada nggak ganteng tapi bikin masalah? Tambah ngeselin ‘kan?”

Aulia mengangkat bahunya. Berbarengan dengan itu, bel masuk berteriak nyaring.

“Li, bahu kamu ada tombolnya, ya?”

“Baru tahu?”

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 3. ; 4. MENGGODA MANUSIA ADALAH TUGAS SETAN
0
0
Apa yang menjengkelkan dari seorang ibu yang mendadak hijrah? Tiba-tiba punya ide menjodohkan anak gadisnya dengan seorang ustaz!Aduh, Aulia khawatir dia berdosa karena jengkel dengan kelakuan ibunya yang tiba-tiba hijrah. Bukan, dia bukan benci dengan perubahan baik yang terjadi pada Ibu.Awalnya, masjid kecil di komplek perumahan mereka kedatangan ustaz baru yang muda dan ganteng. “Muda” dan “ganteng” adalah dua kata yang punya kekuatan magnet. Mendadak, acara pengajian yang diadakan di sana yang biasanya krik jadi dipenuhi peserta kajian. Gadis-gadis dan ibu-ibu rajin ke masjid, tak terkecuali Bu Joko, ibunya Aulia.Bukan bermaksud menghakimi, tapi niat mereka sedikit mencurigakan. Gadis-gadis itu sepertinya bermaksud tebar pesona pada Bang Ustaz. Ibu-ibunya pun tak mau kalah. Mereka berlomba tebar pesona untuk menjadikan sang Ustaz menantu pilihan bagi anak-anak gadisnya. Dan, niat itu juga terselip di hati Bu Joko. Wew!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan