26-30. gratis

0
0
Deskripsi

Seringnya berinteraksi dengan Daffa membuatku semakin kagum dengan kepribadiannya. Aku juga jadi semakin yakin Daffa lebih baik daripada Pong untuk Kei. Ah, enggak usah jauh-jauh membandingkan. Statusnya saja sudah berbeda: Daffa jomlo, Pong jalan dengan Chika. Ugh! Aku gemas kalau ingat Kei yang masih saja suka mengharapkan Pong. Dan, aku semakin pengin menjotos Pong yang kadang-kadang mem-PHP Kei dengan perhatiannya yang sedikit. Pong memang keterlaluan!

26. KANGEN

Hari ke tujuh setelah kepergian Kei ke Jepang. 

Aku mulai bosan. Mulai kangen. Merindukan hal yang selama ini kadang-kadang membuatku bosan. Ya, memata-matai atau menyeret Pong menjadi fokus ngerumpi sempat membuatku capek dan bosan. Tapi, demi Kei, aku selalu berusaha menikmatinya. Dan, saat kenikmatan itu mulai terasa, akulah yang jadi lebih bersemangat. Namun, di sisi lain kadang-kadang aku jadi enggak bisa menentukan posisi kami satu per satu. Di mana Kei, di mana Pong, di mana Chika, dan di mana aku…bisa berubah seiring waktu. Semua karena sikap Pong yang serba enggak jelas. 

Nah kan, dia lagi. Pong memang sumber masalah!

Sejak Pong terakhir ke rumahku dan bertemu Bang Taufan dia jadi jarang menampakkan diri di sekolah. Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Yang aku heran, mengapa aku jadi sering menunggu kehadirannya? Berkali-kali aku lewat di depan kelasnya, melirik ke dalam, mencari Pong secara diam-diam. Bagaimana pun, ada kewajiban yang harus dilaksanakan, sesuai janjiku kepada Kei. Aku harus membuat laporan pandangan mata yang meyakinkan dan menyenangkan. Permintaan itu enggak semudah seperti sebelumnya.

Aku berusaha memenuhi permintaan Kei sesuai kemampuanku. Seenggaknya, laporan pandangan mata membuat kami terus terhubung meski terpisah jarak sangat jauh. 

Demi melampiaskan kangen kepada Kei, aku jadi lebih sering mampir ke rumahnya. Berada di kamar Kei serasa merasakan kehadirannya di sana juga. Tuh kan, aku selalu saja berlebihan. Terlalu sentimentil buat alasan-alasan sepele seperti ini.

Ada satu hal yang belakangan ini kupikir ketika kangen sama sahabatku. Menggelikan. Aku sendiri sedikit malu mengakui kalau aku umm… kangen sama… Pong. Eit! Jangan berpikir yang enggak-enggak. Kangenku sama Pong bukan sejenis ‘kangen’ yang kamu pikirkan. Maksudku, sejak Kei pergi ke Jepang aku jadi merasa kehilangan aktivitas memata-matai bareng atau merumpikan Pong. Jujur kamu, Vin?

Dzigh! Rasanya aku ingin menjotos kepala sendiri mendengar kata hati yang menohok itu. Demi menyingkirkan ketidaknyamanan, aku berdeham cukup keras, lalu meyakinkan diri apa yang kulakukan semata demi Kei. Karena, aku menyayanginya.

Hari ini aku bersekolah dengan keyakinan penuh. Aku akan selalu di sisi Kei apa pun yang terjadi. Persahabatan kami enggak boleh terusik oleh apa pun, terlebih oleh cerita roman picisan. Aku yakin aku cukup kuat untuk bertahan dari perasaan yang akhir-akhir ini datang dan pergi seperti siluman. Saat ini, aku sudah bersiap melaksanakan tugas dari Kei untuk mengawasi Pong dan melaporkannya sesegera mungkin.

Aku melewati gerbang sekolah dengan percaya diri, langsung mencari keberadaan Pong. Enggak perlu waktu lama untuk menemukannya. Dia sedang bersama Chika. Ya ampun! Kenapa juga pagi-pagi begini mereka sudah berduaan? Tiba-tiba hawa di sekitarku berubah sedikit panas.

Tanpa gerakan mencolok, seenggaknya menurutku, aku melewati tempat mereka. Saat itu Pong dan Chika sedang asyik mengobrol. Aku enggak tahu apa yang mereka obrolkan. Bukan tentangku, tentunya.

“Hai, Vin. Panjang umur deh,” sapa Chika saat aku lewat. Aku enggak menyia-nyiakan kesempatan itu dan berhenti di dekat mereka.

“Hai, Chika…Pong,” sahutku. “Panjang umur? Kalian lagi ngegosipin aku?”

Chika tersenyum penuh arti. Aku jadi heran dan mengingatkan diri dalam hati agar tetap fokus.

“Gimana kabar Kei?”

Pertanyaan Chika seperti membuka tutup botol sampanye, isinya menyembur keluar tanpa tertahan. Pertanyaan sederhana itu mendapat jawaban teramat banyak yang spontan keluar dari mulutku. Aku tanpa ragu bercerita tentang Kei dan kegiatannya di Negeri Sakura, sambil sesekali memerhatikan ekspresi wajah Chika dan Pong secara bergantian. 

Berlagak seperti seorang analis aku mencoba membaca bahasa tubuh mereka. Hasilnya, aku malah terheran-heran sendiri karena merasa ada yang aneh di antara mereka. Entahlah, saat ini aku enggak merasakan aura romantis di antara mereka berdua.

“Kei sehat-sehat aja di sana, Vin? Musim dingin ya? Mudah-mudahan enggak ada masalah berarti.” Pertanyaan Pong makin membuatku heran karena aku merasakan perhatian Pong yang sedikit lain. Lain, tapi aku enggak tahu pada bagian yang mana.

“Sehat sih menurut surel yang Kei kirim. Eh, aku balik ke kelas dulu ya. Bye.” Aku jadi bingung sendiri dan memilih menghindar. Zwing!

*

O my God, aku kangen sama Kei! Hari-hari sekolah tanpa Kei jadi terasa sepi. Aku seperti orang yang baru saja terkena PHK, merasa ada sesuatu yang kurang. Aku jadi enggak sibuk seperti hari-hari sebelumnya ketika sering mengamat-amati Pong untuk Kei. Kelakuanku sudah mirip sama anak pintar saja, ya? Padahal daripada untuk mengamat-amati, apa enggak lebih baik mengisi waktu buat belajar?

Pertanyaan itu seharusnya kujawab dengan makin banyak belajar atau membaca ulang pelajaran, seperti yang sering Kei lakukan. Ah, Kei... aku tambah kangen!

Sudah sepuluh hari Kei di Jepang. Sebenarnya Kei cukup sering memberi kabar atau berkirim foto, tetapi lewat surel atau inbox FB. Keisha ini jenis cewek yang enggak suka obral narsisisme di akun fesbuk. Akun fesbuknya adem ayem, enggak ada status semacam @Narita Airport atau @Harajuku Area atau otw to Universal Studio. Lain sama aku yang pergi ke dapur saja ditulis sebagai status otw to kitchen. Jangankan pergi ke dapur, bergeser duduk sedikit saja bisa kusebar beritanya lewat status demi memberi tahu pada dunia.

Sampai detik ini di akun Kei foto profilnya masih sama, album fotonya juga enggak bertambah. Dia lebih suka menyimpan foto-foto dalam laptop atau diska lepas. Dua kali Kei menelepon, dan kami menghabiskan waktu lama melepas kangen. Aku juga enggak bosan-bosan membaca ulang surel yang dia kirim. Kei bercerita kegiatannya di Jepang atau sekadar melemparkan pertanyaan-pertanyaan konyol yang sama sekali enggak penting seperti di sini banyak cowok sipit ya? Dia sudah tertular kelakuanku. Aku semakin kangen Kei.

*

27. AKU, KEKEI, DAN HARAPAN-HARAPAN

Di bawah pohon kersen adalah tempat favorit bagi banyak Nine One-oners menghabiskan waktu istirahat. Ada yang hanya sekadar kongko-kongko sampai yang rajin mengerjakan tugas. Naungannya yang lebar dan nyaman membuat tempat itu banyak disenangi. 

Di sini, saat ini, aku sedang tersenyum-senyum sendiri. Di dekatku banyak teman-teman berkerumun melihat foto-foto Kei di Jepang. Aku memang sengaja mencetaknya untuk dipamerkan kepada siapa pun, termasuk Pong. Rasanya aku enggak berhenti menyeringai senang melihat tanggapan mereka. Seringaiku makin lebar saat mereka berdecak kagum, sebagian kagum pada tampang Yoga dan guide-nya, Yamaguchi-san. Salah fokus. Mereka itu memang sudah keranjingan akut pada K-drama. Jadi, sama seperti aku, ada yang mirip sedikit saja dengan Lee Min Ho atau teman-temannya, mereka langsung menyeka air liur... halah, jorok banget itu mah!

Pong datang belakangan setelah yang lain pergi satu per satu. Dia sendirian lagi, tanpa Chika. Apakah mereka sudah putus? Jawaban apa yang kamu harapkan, Vin?

“Lihat foto-fotonya Kei, dong, Vin.”

Pucuk dicinta ulam tiba. Aku menyodorkan foto-foto itu pada Pong tanpa ragu, seperti yang kurencanakan.

“Ini siapa?” Pong menunjuk Yoga yang berdiri di samping Kei.

See? Pong yang cowok pun langsung terperangkap pada Yoga. Dia memang semenarik itu. Penampilannya langsung menyedot perhatian. Aku jadi punya pembenaran.

“Ini? O, teman seperjalanan Kei. Pemenang dari Cirebon. Namanya Yoga. Orangnya keren banget lho, Pong. Aku ketemu di bandara waktu mengantar Kei.”

Seperti bendungan jebol, ceritaku tentang Yoga mengalir tanpa henti. Pertemuan singkatku dengannya, tanpa kuduga, bisa jadi cerita yang panjang. Kalimat hiperbolik meluncur tanpa bisa kutahan. Aku bertaruh Pong pasti kepanasan. Pada akhirnya aku sadar, ternyata aku berbakat juga menjadi kompor.

“Sekilas saja melihat mereka berdua, rasanya cocok jadi pasangan. Yang satu cantik, satunya lagi keren abis. Siapa tahu perjalanan ke Jepang bikin mereka ‘klik’,” kalimatku semakin membara.

Aku melirik Pong. Apa yang terjadi dengannya? Aha! Wajahnya memerah!

Sekali lagi, aku bilang, aku bukan golongan cewek pintar. Tetapi, melihat perubahan tampang dan sikap Pong, aku punya kesimpulan sendiri. Sepertinya Pong terusik dengan ceritaku tentang Yoga. Apakah dia mulai cemburu?

CEMBURU? WHAT? Buat apa? Bukankah Pong sudah jalan dengan Chika? Atau, benar perkiraanku kalau sebenarnya Pong berniat sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampau?

“Kamu suka cowok seperti ini ya, Vin?”

Pertanyaan Pong sama sekali tak terduga. Aku tergagap.

“Eh? Apa?” 

*

Malam ini rasanya sepi sekali. Orang tuaku dan Bang Taufan masih belum pulang. Aku berbaring di atas kasur sejak tadi, sebentar-sebentar memandangi langit-langit, lalu berbalik mengamati dinding kamar. Mencoba memetakan perasaan-perasaan aneh yang akhir-akhir ini sering muncul. Kepalaku saat ini dipenuhi oleh kejadian tadi siang di sekolah. Aku enggak tahu mengapa kesimpulan yang aku ambil secara serampangan itu sampai detik ini terus mengusik. Membayangkan Pong mulai mencemburui Kei membuat perasaanku enggak nyaman.

Aku kesal dan marah, tetapi enggak tahu mengapa dan kepada siapa. Kepada Kei? Kepada Pong? Kepada Chika? 

Aku menyambar ponsel di atas meja, tetapi mendadak menyadari sesuatu. Tiba-tiba saja aku ingin membaca kembali pesan-pesan yang pernah dikirimkan Pong. Tapi tak ada satu pun tersimpan di ponsel. Aku menyesal telah menghapus semua. Aku juga menyesali mengapa Pong enggak sekali pun berkirim surel agar aku bisa mencari pesannya kembali saat diinginkan. Tapi, kenapa aku ingin membacanya lagi? Sebenarnya, apa yang aku cari? Arrrghh!

“Ciaatt…!” teriakku sambil melontarkan badan sampai terduduk di atas kasur. Sekonyong-konyong, aku bergerak cepat merapikan buku-buku, lalu pakaian di dalam lemari, kemudian menyapu dan mengepel lantai kamar. Dalam waktu singkat, bajuku basah oleh keringat.

Aku kelelahan sendiri, akhirnya, terkapar di lantai dengan napas terengah-engah. Namun, aku jadi merasa lebih baik sekarang. Pikiran dan perasaanku enggak lagi membebani. Bayangan Pong pun memudar. Aku tertidur seperti orang pingsan.

*

Aku berhasil bangun pagi-pagi meski hari ini Minggu. Hal pertama yang kulakukan saat bangun adalah mengendus-endus bau badanku. Aku menjengit ketika membaui bajuku yang menguarkan aroma asam keringat. Semalam aku enggak sempat membersihkan badan lagi sebelum tidur karena kelelahan berberes. Aku harus segera mandi!

Enggak sampai setengah jam, badanku sudah segar dan wangi. Selesai sarapan, aku duduk di teras sambil membuka laman media sosial dan membaca beberapa status. Menunggu Kei menepati janji akan datang pagi ini.

Pintu pagar terbuka. Kei muncul di sana.

“Vina-chaaaan!” Kei menghambur dan memeluk hangat. “Ini buat kamu,” katanya menyodorkan sebuah bingkisan imut.

“Isinya Yoga atau guide-mu?”

“Bukan dua-duanya. Jung Hae In.”

Kami tertawa barengan.

“Kamu enggak capek, Kei, baru pulang tengah malam, paginya langsung ke sini?”

Kei menggeleng. Wajahnya berseri-seri, enggak terlihat kelelahan di sana. Kei bahkan dengan antusias bercerita.

Aku berkali-kali menatap Kei tanpa sebab. Rasanya seperti ada yang mencubit-cubit lenganku saat cerita pengalaman Kei di Jepang berubah arah menjadi pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan sekolah dan kabar Pong. Aku terlambat mengubah fokus perhatian.

“Hei!” Kei mengibas-kibaskan tangan di depan wajahku.

Aku terkesiap, spontan menelan ludah. “Eh?”

“Dengar enggak, Vin? Aku tanya gimana kabar Pong.”

“Pong? Kenapa?” aku bertanya balik dengan linglung. “Oh iya, dia baik.”

Demi apa, aku belum sepenuhnya sadar yang kukatakan. “Umm…maksudku, dia baik-baik saja kelihatannya,” tambahku terburu-buru. “Tapi, aku akhir-akhir ini jarang melihatnya bersama Chika.”

“Oh ya? Baguslah,” timpal Kei.

Aku jadi canggung, serba salah menanggapi komentar Kei. Lalu, mengangguk-angguk enggak jelas.

“Kenapa bagus?” tanyaku akhirnya, mulai on the track. “Kalau dia putus dengan Chika, kamu bakalan ngarep lagi. Aku enggak suka lihat Kei-ku yang hebat jadi berantakan gara-gara cowok begitu. Kamu tuh sama sekali enggak pantas diabaikan,” kataku berapi-api sampai Kei terbengong-bengong.

Kei kemudian tertawa.

“Kenapa ketawa?” protesku.

Kei menyeringai dan menggeleng-geleng. “Kamu tuh enggak hilang-hilang lebaynya ya, Vin.”

“Kamu memang hebat kok, Kei. Enggak ada duanya di sekolah kita. Jangan sampai cowok kayak Pong bikin kamu berubah. Kita enggak tahu, selain Chika entah siapa lagi yang didekati dia.”

“Memangnya, ada cewek lain lagi?”

Aku tertegun dan merutuki bibirku yang menyerocos tanpa bisa ditahan. “Ummm…ya siapa tahu,” kilahku buru-buru. “Eh, kamu bawa apa lagi itu?”

“Ini oleh-oleh buat Kak Daffa.”

Aku membeliak. “Oh ya? Aaaa…senangnya!” Aku memeluk Kei erat, senang dia masih ingat Daffa dan memberinya oleh-oleh.

“Bikinkan janji sama Daffa ya, Vin.”

“Oke sip!”

*

 

 

 

 

 

 

28. BYE BYE, PECUNDANG!

Hanya satu malam beristirahat, besoknya Kei sudah kembali ke sekolah. Aku berjalan di sampingnya dengan perasaan melompat-lompat karena teringat janji bertemu Daffa hari ini. Kei dengan ramah membalas sapaan teman-temaan yang berpapasan dengannya. Dia juga dengan senang hati menceritakan pengalamannya saat ditanya.

“Kei, teman seperjalanan kamu keren deh! Yoga namanya ya?” tanya seseorang. Aku menolehnya dan memberi semangat. Demi apa, aku senang ada yang gagal fokus seperti aku beberapa waktu yang lalu.

“Pemandunya juga keren lagi!” timpal yang lain. Aku juga menolehnya, mengacungkan jempol seolah-olah acungan jempolku jadi teramat penting.

“Namanya Yamaguchi,” ujarku tanpa ditanya. “Iya kan, Kei?”

Aku ikut mendengarkan Kei bercerita. Kadang-kadang aku gemas dengan pilihan kata-kata Kei. Terlalu standar, kurang lebai melambai-lambai. Untuk soal ini dia kalah dari aku.

Kei masih bersemangat meladeni pertanyaan teman-teman. Namun, ekspresinya sedikit berubah ketika melihat Pong berjalan bersama Chika. Aku ikut melirik sebal ke arah mereka.

“Vin, belum putus juga mereka?” bisik Kei pelan.

Aku menelan ludah, sebal mendengar pertanyaan Kei. Mengapa Kei masih repot-repot memikirkan Pong dan Chika? Aku jadi enggak sabar menunggu bel pulang sekolah. Kak Daffa, buktikan dirimu lebih baik dari Pong!

*

Aku mempermainkan sedotan, berusaha memerangkap boba di dasar kemasan yang tinggal beberapa butir. Sebenarnya, hanya perlu satu sedotan boba itu bisa langsung meluncur mulus ke dalam mulut. Tapi, dasar aku cari-cari kerjaan, hal yang mudah pun dibikin jadi sulit. Dan, untuk urusan kayak gini, anehnya, aku bisa telaten.

Di depanku, Kekei menyeruput minuman kekinian berjudul Iced Nutella dengan tenang. Aku meliriknya dengan perasaan setengah kesal. Cubitan di paha tak mengusiknya sama sekali. Dengan santai Kekei menepis tanganku. Tanpa kata-kata. Tanpa rasa bersalah. Dih!

Yeah, sebenarnya Kekei enggak perlu merasa bersalah juga. Cuma, menurutku, seharusnya dia bisa berakting lebih baik di depan Daffa. Aku betul-betul gemas melihat Kei.

“Kei, cowok keren gitu, masa mau kamu tolak? Kak Daffa keren abis, tau!” kataku waktu Daffa beranjak mengambil pesanan yang sudah selesai. “Dari belakang saja kelihatan keren. Iya kan?” 

Kei terkekeh. “Kita lihat saja nanti deh.”

Aku mencibir. “Ya ampun, Kei, keren begitu masa diabaikan…,” aku masih saja gemas dengan reaksinya.

“Kalian enggak makan?” tanya Daffa begitu duduk lagi di kursinya.

Aku sengaja enggak menjawab, membiarkan Kekei melakukannya sendiri. Mungkin dengan begitu dia bisa lebih aktif berinteraksi.

“Oh ya, aku bawa ini, buat Kei sama kamu, Vin. Dari Bandung kemarin itu.” Daffa mengeluarkan dua kantung kertas kecil dan dibagikan untuk aku dan Kei. “Mudah-mudahan kalian suka.”

Kei membuka kantung itu lebih dulu. Matanya berbinar melihat sebuah dompet kulit mungil yang baru dikeluarkannya dari sana. “Bagus banget, Kak Daf. Makasih ya. Aku juga bawa ini buat kamu.”

“Apa ini isinya? Makasih ya, Kei. Bahasa Jepangnya apa ya?”

Arigatou gozaimasu,” cetusku sok tahu.

“O iya, arigatou gozaimasu,” ulang Daffa. “Lucu banget,” ujarnya ketika mengeluarkan celengan berbentuk bis surat berwarna merah pemberian Kei.

“Biar kamu rajin nabung, Kak Daf.”

Aku masih bertahan tak banyak bicara. Akibatnya, aku harus merogoh kocek lebih dalam untuk memesan lagi satu minuman. Ya kali bengong-bengong doang dengerin orang ngobrol….

Sepertinya, pengorbananku tak sia-sia. Kekei dan Daffa semakin terlihat akrab. Mereka saling bertukar cerita seru, kadang-kadang tertawa bareng. Mereka yang akrab, aku yang kelimpungan kesenangan.

Oh, jangan tanya kenapa aku bisa begitu. Jangan tanya, ya. Meski mungkin terlalu cepat menyimpulkan, rasanya seperti ada harapan baru Kei akan benar-benar melupakan Pong. 

Bye, Pong si pecundang!

*

29. “SUPER KEI” YANG MEMBUATKU

SULIT BERKATA-KATA

Tak seperti peri bahasa gantunglah cita-citamu setinggi bintang di langit,  menggantung harapan soal hubungan Kekei dan Daffa tak boleh terlalu tinggi. Bisa-bisa kamu remuk saat terjatuh nanti.

Sepertinya, aku dilarang terlalu berharap soal hubungan Kei dengan Daffa. Tak sampai dua hari, aku sudah mendapat kepastian: enggak ada harapan. Keisha dengan tegas memastikan enggak bisa menganggap Daffa lebih dari seorang teman. Ya, begitulah, bisa apa aku?

Kekei masih saja memikirkan Pong meskipun semakin jelas orientasinya bergeser dari termehek-mehek menjadi “balas dendam”. 

Mendapatkan hadiah uang dan jalan-jalan ke Jepang semula aku kira akan menjadi puncak balas dendam Kei. Pong sudah pasti enggak bisa mengejar prestasinya sampai saat ini karena lomba-lomba sejenis jarang datang. Namun, dugaanku meleset. Kei masih saja bersemangat mengejar lomba-lomba, seolah ingin menegaskan eksistensi dirinya di depan Pong. Hampir semua lomba dia ikuti. Mungkin, hanya  lomba mewarnai gambar yang luput dari bidikannya. Sejujurnya, aku enggak habis pikir dengan segala keinginan Kei yang bablas itu.

Seperti kataku sebelumnya, patah hati yang dialami Kei gara-gara Pong seolah mengeluarkan semua potensi terpendam yang ada dalam dirinya. Juga menguatkan staminanya sampai beberapa kali lipat. Bayangkan, hampir tak ada waktu luang tanpa dia isi dengan macam-macam kegiatan, dari bangun tidur sampai menjelang tidur. Kalau bukan karena stamina yang kuat, rasanya Kei bakal terkapar dengan sukses.

Yang juga aku kagumi dari Kei, dia bukanlah tipe anak yang mudah bosan. Dia enggak pernah meninggalkan kegiatan yang sudah dimulainya. Keisha enggak meninggalkan aktivitasnya mendaur ulang barang-barang. Dia bahkan mendapat banyak tambahan uang jajan dari kegiatan itu. Aku sempat melihat isi rekeningnya yang membuat mataku membeliak. Kei juga enggak meninggalkan les bahasa Jepangnya, bahkan semakin giat berlatih dan semakin jago. Indikatornya kan sudah kubilang sebelumnya: makin banyak omongan Kei yang enggak aku mengerti, berarti semakin jago dia berbahasa Jepang.

Keren enggak sih, Vin?

Aku menoyor kepalaku. 

Rasanya, jarak di antara kami semakin melebar. Bukan soal kedekatan, melainkan prestasi. Aku semakin kagum kepadanya. Menurutku, Kei cewek super hebat karena bisa mengubah rasa sedih, kecewa, dan kesal karena sakit hati, menjadi prestasi yang bertubi-tubi dan membanggakan. Itu lebih-lebih-lebih dari cukup dan enggak semua orang bisa melakukannya. Aku saja sulit membayangkan apa yang terjadi jika pengalaman yang sama menimpaku. Sebagai anak yang sering berlebihan, pasti responsnya enggak jauh dari kata lebay.

 “Ikut lomba apa lagi ya, Vin?” cetus Kei yang berbaring di kamarku.

Aku yang sedang serius memelototi drama Fix You kontan menoleh dan menatapnya tajam. Hellloww…belum puas juga, Kei? Tapi, tatapanku tak berarti apa-apa buat Kei.

“Aku belum puas mengalahkan Pong,” tambah Kei sambil mempermainkan rambut ikalnya yang berkilau ditimpa cahaya dari jendela. Matanya mengarah pada buku di tangan, membuat aku enggak bisa menebak apakah dia serius dengan yang dikatakannya.

Aku tambah sulit merespons kata-kata Kei. Keinginannya mengalahkan Pong sudah mirip sebuah obsesi. Melihat ekspresi di wajahnya, aku jadi bergidik dan khawatir. 

“Sampai titik tertentu semua yang kamu lakukan sangat bagus, Kei. Aku cuma mengingatkan, jangan sampai semuanya malah membuat kamu jadi semakin terpuruk. Ironi kan kalau semua prestasi yang kamu raih ternyata menunjukkan bahwa kamu semakin jatuh terlalu dalam.”

Aku tertegun sendiri. Enggak percaya bisa mengeluarkan kalimat sepanjang dan sebijak itu. Wah, sepertinya aku mulai pandai mengambil hikmah dari menonton drama Korea Fix You. Tapi, sejujurnya, aku memang mengkhawatirkan Kei. Aku takut mentalnya bermasalah gara-gara keinginannya itu.

“Aku harus bagaimana dong, Vin?”

“Harus cuci otak.”

“???”

“Maksudku, apa yang ada di pikiranmu harus diubah. Jangan semata-mata Pong atau hanya karena ingin membalas perlakuan Pong.”

Teman, aku masih terkejut sama diri sendiri. Enggak percaya semua yang keluar dari bibirku bisa sebijak itu.

“Oke deh. Aku ngerti kok apa yang kamu maksud, Vin.”

“Enggak percuma kamu juara umum, Kei. Cepat mengerti yang kumaksud,” sahutku dengan maksud menyindir.

Kei menyeringai. Dia berdiri, lalu melingkarkan tangan ke bahuku.

“Makasih ya sudah mengingatkan. Betewe, ini lomba terakhir dengan alasan Pong. Aku janji setelah ini akan mengubah isi kepala.”

Aku sontak menelan ludah. “Mau ikut lomba apa lagi?” tanyaku sedikit tak suka.

“Enggak aneh-aneh sih.” Keisha menyodorkan sebuah majalah remaja. “Jadi model sampul majalah….”

“HAH?!”

*

Kei terbahak-bahak. Tangannya yang masih melingkar di bahuku membuatku ikut berguncang. Tawanya tak bisa dihentikan. Aku menolehnya dengan terheran-heran.

“Apaan sih, Kei?”

Kei belum berhenti tertawa. Dia mengusap air mata yang keluar dengan punggung tangannya.

“Kamu ngetawain aku?”

Dia menggeleng-geleng. “Enggak juga….” Kekei melepaskan tangannya dari bahuku, tapi tawanya belum berhenti sepenuhnya.

Enggak juga?

“Maaf, Vin. Kamu tuh hidup di zaman apa sih? Ini sudah tahun 2020 lho!”

“Ya terus?” Aku masih saja seperti manusia lugu yang enggak mengerti apa-apa. Seperti orang tersesat, tak bisa menemukan arah.

Kekei akhirnya berhenti tertawa. Dia balik ke atas kasur. Duduk bersila menghadap ke arahku.

“Hari gini udah enggak zaman pemilihan model sampul majalah dong ah! Lha, majalah cetaknya aja udah pada enggak terbit. Semua beralih jadi majalah daring pada akhirnya.”

“Oooiya ya…. Pemilihan-pemilihan gitu zamannya mamah-mamah kita kali ya,” ujarku akhirnya.

“Nah, makanya aku mau ikutan ini aja.” Kekei menyodorkan ponsel. “Ini,” tunjuknya ke sebuah banner di situs kepenulisan.

Writing Boot Camps?”

“Yap! Liburan nanti acaranya. “Aku udah terdaftar jadi peserta.”

Aku hanya bisa melongo. Tiba-tiba saja membayangkan Kekei berubah menjadi pahlawan super lengkap dengan jubah terbangnya. Wusss…!

*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

30. KEI LAGI… KEI TERUS

Liburan kenaikan kelas kali ini sedikit membosankan, seperti sudah kuduga. Tanpa Kei aku jadi sedikit mati gaya walaupun sebenarnya teman-teman lain banyak dan seru-seru juga. Tapi aku dan Kei memang hampir satu hati. Kesukaan kami banyak yang sama. Sedangkan perbedaannya enggak banyak, tapi sangat mencolok: Keisha pinter banget, cantik, dan terkenal di sekolah, kalau aku ya gitu deh.

Aku ingin segera mendengar cerita Kekei selama mengikuti kemping. Sepertinya seru. Untuk mengisi waktu setiap sore aku juga mampir ke rumah Kei, membantu menyelesaikan pesanan kotak imut dengan menempelkan daun-daun kering di bagian luar. Sementara Mami Kei dan asistennya dapat tugas mewarnai.

Pada hari ke tiga aku mulai bosan. Apalagi sebentar-sebentar Daffa menelepon, menanyakan kabar Kei. Dia juga rajin datang ke rumah dengan alasan buat ketemu Bang Taufan, tetapi ujung-ujungnya selalu menemuiku, memintaku bercerita tentang Kei. 

Kecerdasanku tiba-tiba meningkat pesat untuk hal-hal tertentu. Seperti saat ini. Tiba-tiba terlintas di otakku untuk memanfaatkan momen-momen ini. Setiap Daffa ke rumah, aku selalu berpura-pura akan pergi. Tujuannya pun kupilih ke tempat-tempat yang dekat dengan tempat makan enak. Karena mepet dan kepepet, Daffa jadi enggak punya pilihan selain ikut denganku. Lalu, cerita berakhir dengan perut  kenyang tanpa sepeser pun uang keluar dari kantong. Cukup cerdik, ya? Mungkin karena aku keturunan si Kancil….

Sore ini Daffa sudah muncul di depan rumah dengan penampilan, seperti biasa, cool dan menawan. Kaus polo putih dan jins hitam yang dipakainya benar-benar pas dengan warna kulitnya yang kecokelatan. Bikin dia semakin keren. Aku sampai gemas sendiri melihatnya.

“Bang Taufan lagi pergi, Kak,” kataku, seperti biasa. “Aku juga baru mau pergi nih.”

“Mau makan di mana, Vin?” cetus Daffa, langsung menohok.

“Hah?” 

Wajahku pasti memerah karena malu. Tapi, aku pantang menyia-nyiakan kesempatan baik. “Pengin makan mie ayam Bangka sama jus alpukat….” 

“Yuk!” ajak Daffa.

“Yes!” Aku mengikuti langkahnya dengan gembira.

*

Kedai mie ayam yang kami tuju siang ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena jam makan siang sudah lewat. Hanya beberapa meja yang dipakai. Bibirku mengerucut. Aku ragu sebentar. Merasa canggung dengan suasana yang tak begitu ramai. Khawatir membuat orang-orang mengira aku dan Daffa pasangan. Halah! Kenapa tiba-tiba aku jadi begini. Memikirkan dengan terlalu bagaimana pendapat atau reaksi orang malah akan membuat aku enggak melakukan apa-apa. Yang sudah di depan mata bisa jadi hilang seketika. Aku kan enggak mau kehilangan kesempatan ditraktir mie ayam enak ini.

Tapi, seandainya ada orang yang mengira kami pasangan memang enggak bisa disalahkan. Melihat seringnya Daffa datang menemuiku di rumah pasti menggiring ke kesimpulan itu. Mungkin saja aku juga sudah ge er, mengira Daffa mendekatiku melalui Bang Taufan. Untungnya aku bukan cewek yang gampang geer... tepatnya, aku cewek yang cukup tahu diri hihi... sudah ah, jangan mengasihani aku terus!

“Mau pesan minum apa, Vin?” Pertanyaan Daffa mengembalikan perhatianku yang sempat melantur ke mana-mana.

“Jus alpukat,” sahutku singkat dan cepat, sesuai rencana.

Daffa mencatat pesanan, menyerahkannya kepada pelayan yang dengan setia berdiri di samping meja. Aku sempat terkikik melihat ekspresi wajahnya yang datar.

“Umm… mau tanya soal Kei tentang apa, Kak?” kataku tanpa basa-basi, sambil menanti pesanan datang.

Daffa terkekeh dan tersipu bersamaan. Wajah ramahnya sedikit memerah. Ekspresinya sungguh menggemaskan. Dalam hati aku mengagumi penampilannya, menyesalkan kenapa Kekei menyia-nyiakan perhatian Daffa. Aaa… Kekeeeii!

Aku dengan senang hati menjawab pertanyaan Daffa tentang Kei. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian sampai aku jadi canggung sebelum pesanan mie ayam datang menyelamatkan keadaan. Aku bisa memastikan Daffa mendapatkan informasi yang sesuai dengan pengorbanan koceknya. Meskipun begitu, aku menyimpan informasi pribadi Keisha yang memang tidak untuk diceritakan tanpa seizinnya. Akal sehatku masih berfungsi dengan baik untuk tidak menggadaikan persahabatan kami hanya karena semangkuk mie ayam lezat atau apa pun. Aku merasa cukup adil soal ini, seperti ungkapan enggak ada makan siang gratis.

Seringnya berinteraksi dengan Daffa membuatku semakin kagum dengan kepribadiannya. Aku juga jadi semakin yakin Daffa lebih baik daripada Pong untuk Kei. Ah, enggak usah jauh-jauh membandingkan. Statusnya saja sudah berbeda: Daffa jomlo, Pong jalan dengan Chika. Ugh! Aku gemas kalau ingat Kei yang masih saja suka mengharapkan Pong. Dan, aku semakin pengin menjotos Pong yang kadang-kadang mem-PHP Kei dengan perhatiannya yang sedikit. Pong memang keterlaluan!

Tanpa sadar aku menjengit karena geram, sampai mie-ku melorot lagi dari jepitan sumpit.

“Ada apa, Vin?” tanya Daffa heran.

Aku cepat-cepat menggeleng, lalu melap bibir dengan tisu. “Enggak ada apa-apa,” kilahku, lalu mencubit paha dengan gemas. “Eh, sudah sore nih, aku ada keperluan lain. Terima kasih traktirannya ya, Kak.”

“Mau ke mana? Ayo aku antar, sekalian aku mau ke lapangan.”

Aku menolak tawarannya, merasa enggak enak sudah terlalu banyak merepotkan Daffa. Biar bagaimana pun aku memerlukan Daffa untuk mengalihkan perhatian Kei dari Pong. Seenggaknya, aku harus lebih bijaksana agar misi ini bisa berjalan lancar. Iya enggak sih?

*

Hari sudah semakin sore ketika aku sampai di sebuah mal untuk mencari aksesori. Aku yakin Daffa pun sudah sampai di lapangan tempatnya berlatih.

Aku berputar-putar dari satu display ke display lain, mencari yang paling cocok. Namun, setelah beberapa lama enggak ada satu pun yang aku pilih. Semua terlihat cantik dan manis. Akhirnya, aku dengan konyol mengundi dengan cara menghitung kancing baju. Yeay! Masalah terselesaikan dengan cepat. Aku bergegas membawa aksesori pilihan itu ke kasir supaya enggak berubah pikiran lagi.

“Saatnya makan lagi,” gumamku ketika perut mulai terasa lapar. Agaknya, aku kelaparan karena berkali-kali mengelilingi display aksesori. Tak lama kemudian, aku sudah berdiri di lantai foodcourt dengan linglung. Lagi-lagi aku bingung menentukan pilihan. Apakah kali ini pun harus menghitung kancing baju lagi?

Belum sempat melaksanakan niat menghitung kancing, mataku menangkap sosok Pong di kejauhan. Tanpa pikir panjang aku segera menyingkir, mencari tempat yang tersembunyi darinya. Aku duduk di sana seperti pesakitan yang kabur dari kantor polisi, sebentar-sebentar melirik dengan waswas sambil menenangkan perut yang minta diisi lagi. Terpaksa aku membeli beberapa buah bapau mini untuk mengganjalnya. Hanya itu tempatnya yang paling mudah dijangkau untuk keadaan darurat seperti ini.

Ah, Pong, jangan bikin masalah!

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 31-36. TAMAT, gratis
0
0
“Umm…Kata Pong, dia iri sama kamu karena ada aku yang selalu mendukungmu. Memangnya,aku sepenting itu, Kei?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan