
Kadang aku berpikir sikapku yang suka berlebihan sebenarnya adalah tempat yang kuciptakan sendiri untuk bersembunyi dari ketidakmampuanku meraih prestasi.
16. BALAS DENDAM TERBAIK
Pagi yang cerah. Matahari sudah bersinar terang. Aku sudah sampai di sekolah, mendahului Kei yang _sampai pukul setengah tujuh tadi_ belum memperlihatkan tanda-tanda mengakhiri sesi olah raga paginya. Tapi di luar dugaan Kei sampai di sekolah enggak lama setelah aku datang. Wajah cantiknya terlihat makin segar.
Bel masuk masih lima belas menit lagi dibunyikan. Biasanya, pagi-pagi begini aku dan Kei menghabiskan waktu dengan nongkrong-nongkrong aja di sekitar kelas, mengobrol sambil memperhatikan orang yang lalu lalang. Enggak cuma memerhatikan mereka, kadang-kadang mengomentari dengan intensif juga.
“Vin, lihat si Meli tuh! Makin langsing, ya?”
“Mana? Oh, iya. Bodinya makin keren. Dulu aku tetanggaan sama dia. Waktu kecil bodinya gendut enggak ketulungan... eh, udah gede jadi cantik enggak ketulungan.”
Lalu, bahasan akan semakin dalam dan penuh bumbu-bumbu yang enggak perlu. Ketika mulai menyadari ada yang salah dengan kegiatan ini, kami tertawa dan mengalihkan perhatian kepada hal lain. Namun, sejujurnya, membahas orang lain selalu terasa lebih menarik. Iyes kan?
“Eh, aku masuk kelas duluan, ya,” kata Kei tiba-tiba begitu suara Pong dan Chika terdengar dari arah belakang. Aku menelan ludah beberapa kali.
Dua bulan berlalu, sebenarnya sakit di hati Kei sudah mulai berkurang walaupun baru sedikit _salah_ sedikiiit banget. Pong masih mengusiknya. Indikatornya jelas, Kei masih suka melamun dan manyun, masih suka salah tingkah kalau berpapasan dengan Pong, masih suka uring-uringan kalau habis melihat Pong bersama Chika, dan masih suka gila-gilaan beraktivitas sampai enggak kenal waktu.
Kei seperti kereta api yang enggak pernah berhenti. Ada saja yang dilakukannya dengan bersemangat dan berenergi. Kalau sudah begini dia terlihat baik-baik saja, bahkan gembira. Sampai-sampai aku kadang berpikir apakah benar Kei menyukai Pong. Sikapnya yang sangat berlebihan bahkan menunjukkan hal sebaliknya. Dia memang sungguh-sungguh ingin balas dendam.
Aku menoleh Pong dan Chika yang asyik mengobrol. Entah apa yang sedang diobrolkan, sepertinya mereka enggak menyadari sedang diperhatikan. Aku mendengus sinis.
“Hai, Vin,” sapa Chika dan Pong ketika sudah dekat. Aku tak sempat menghindar, terjebak di antara mereka berdua.
Aku melirik ke kelas. Sepertinya Kei sedang memerhatikan kami dari sana. Rasanya aku ingin menghilang saja daripada harus menahan diri bersikap baik di depan Pong.
“Hai…,” tiba-tiba Kei sudah ada di depanku, di antara Pong dan Chika. Dengan riang dia menyapa Chika. “Apa kabar?”
Aku melongo. Kenapa anak itu tiba-tiba keluar kelas dan bertingkah aneh seperti ini?
Diam-diam, aku memerhatikan mereka bergantian. Mengamati ekspresi di wajah Kei, Pong, dan Chika. Arrggh! Apakah mereka aktris dan aktor yang sedang memamerkan kepandaian aktingnya? Aku tak bisa menebak apa yang terjadi di antara mereka.
Okey, enggak masalah. Aku malah senang Kekei bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa. Begitu juga Chika. Berada di antara dua cewek keren SMA 911 ini mendadak aku merasa menciut jadi liliput. Dan, tiba-tiba ingin menghilang begitu menoleh Pong yang tersenyum manis kepadaku. Berani sekali dia!
Aku harus senang atau kesal sih? Ampuun!
*
Aku memandangi Kekei dari ujung rambut sampai ke kaki. Bertanya-tanya apa yang dirasakannya saat ini. Kenapa dia bisa bersikap manis di depan Chika dan Pong? Apakah Kei sudah lupa dengan misi balas dendamnya?
“Kei, kamu baik-baik saja?” tanyaku akhirnya. Kalau Kei yang ada di depanku saat ini masih orang yang sama, dia seharusnya bereaksi keras. Seenggaknya, Kei bisa mendengus kesal atau menggeram.
Kei bergeming. “Baik,” sahutnya pendek, tanpa menoleh sedikit pun.
Aku mencibirnya, lalu menyibukkan diri dengan ponsel. Meneruskan nonton Fix You.
“Umm… kamu sudah lupa rencanamu membalas dendam, Kei?” tanyaku penasaran. Ponsel kuletakkan agak jauh.
“Enggak. Sama sekali enggak,” timpal Kei. Dia masih saja asyik menulis. Aku jadi merasa terabaikan.
“Terus?”
“Belum ada terusannya.”
Untung saja angin semilir berembus ke dalam kamar. Kepalaku tak terlalu panas memikirkan kejadian di sekolah tadi. Tapi, aku putus asa melihat tanggapan Kei, lalu mengalihkan perhatian lagi pada ponsel. Namun, setelah itu aku kembali memerhatikan Kei. Gemas melihat tanggapan dinginnya.
“Serius, enggak jadi balas dendam?” kataku memanas-manasi. Padahal, sudah jelas Kei bilang ‘belum ada terusannya’ bukan ‘enggak jadi balas dendam’. “Ya enggak apa-apa sih kalau enggak jadi,” ujarku berpura-pura meskipun sebenarnya mengharap sebaliknya.
Kei masih bergeming. Kali ini dahinya mengerut dalam, tanda dia sedang berpikir keras. Biasanya, di saat-saat seperti ini aku akan mengalah dan enggak mengusiknya. Namun, kali ini terasa berbeda, seperti ada yang mendorong-dorongku agar membuat Kei membalas dendam kepada Pong.
“Kamu sudah lupa rencana balas dendam itu kayaknya ya, Kei?”
Aku terkejut saat Kei tiba-tiba menoleh, lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tatapannya serius. Aku memundurkan kepala sampai jarak cukup aman.
“Ada apa sih, Kei? Sana ah!” Aku mendorong Kei karena risi. Wajah seriusnya enggak berubah sama sekali.
“Kamu memangnya lupa dengan kesimpulan penelitian kita?”tanyanya tanpa mengubah ekspresi.
“Enggaklah. Masa, lupa?”
“Nah!”
Aku mulai enggak suka dengan situasi ini. Melihat ekpresi Kei dan mendengar suaranya, sahabatku itu enggak akan menuntaskan ceritanya. Dia hobi sekali menggantung cerita dan selalu sukses membuatku penasaran. Dari semua kepintaran Kei, aku paling enggak suka keahliannya yang satu ini.
“Sudah ah! Kamu kumpulkan dulu semua detilnya, baru cerita sama aku,” kataku akhirnya.
Kei tertawa, lalu membalik badan dan melanjutkan kegiatannya lagi. Aku mendengus sebal karena ini kali ke sekian dibuat kecele olehnya. Namun, aku berkali-kali meliriknya, masih berharap Kei berubah pikiran.
Sampai setengah jam berlalu, penantianku sia-sia. Kei sama sekali enggak tampak berniat melanjutkan ceritanya. Dia malah semakin asyik menulis, sementara aku jadi gondok karena Kei sampai perlu menutup telinga dengan earphone demi kelancaran menulisnya. Dih! Kamu pikir aku pengganggu ya?
Akhirnya, aku melempar Kei dengan gumpalan kertas. Kei menoleh, lalu mengangkat alis tinggi-tinggi sebelum membalikkan badan lagi. Tingkah menyebalkannya itu memastikan aku enggak akan mendengar penjelasannya dalam waktu dekat. Blah!
Aku jadi putus asa, lalu menghabiskan waktu di laman youtube menikmati penampilan Boy William yang keren menggemaskan. Suaranya yang empuk bisa melenakan, tetapi aku paling suka melihatnya nge-rap. Penampilan dan suaranya saling mendukung. Kok ada cowok sekeren itu sih? Aku gemas!
“Kei….”
“Sebentar!” sahut Kei. “Kamu nonton drama Korea dulu, sana!”
“Isshh! Dengan senang hati,” timpalku setengah kesal. Lalu, kembali menyimak cerita Fix You, meninggalkan Boy William.
Aku hanya bertahan satu episode, meskipun ceritanya bertambah seru. Entah kenapa, aku penasaran sekali apa yang ada di pikiran Kei sampai membuatku enggak bisa berkonsentrasi menonton. Namun, Kei masih bergeming. Aku hanya bisa menunggu dan mulai merasa bosan.
“SELESAI!!” seru Kei tiba-tiba. Aku menjengit kaget.
“Eh, sopan sedikit bisa, Kei?” tanyaku keki.
Kei terekekeh. “Sori,” katanya.
Dia menyodorkan selembar kertas, aku menyambarnya dengan antusias. Lalu, mulai membacanya. Selama ini tulisan Kei selalu menarik, aku suka. Namun, kali ini aku benar-benar enggak mengerti apa yang ditulis Kei karena semua ditulis dalam Bahasa Inggris.
“Jangan berharap terlalu berlebihan sama aku, Kei. Bahasa Inggrisku terlalu tinggi buat mengerti tulisan ini!” sindirku.
Kei terkekeh lagi. “Nanti aku terjemahkan ya. Sabar.”
Aku mengembalikan kertas itu. “Buat apa ini sebenarnya, Kei?”
“Lomba pidato.”
Aku mengangguk-angguk, lalu membiarkan Kei menyelesaikan pekerjaannya dengan harapan bisa segera mendengar penjelasan Kei soal rencana balas dendamnya. Namun, sepertinya aku masih harus bersabar lagi. Kei belum berniat bercerita sepertinya.
“Umm... Kei... sebenarnya aku enggak setuju sih dengan rencanamu... tapi, kapan memulai balas dendamnya?” rasa penasaranku tak tertahan lagi. Senyum manis Pong yang dilemparkan padaku tadi malah menyulut api.
“Ini juga dalam rangka balas dendam, Vin.”
“Maksudnya…?”
Mungkin karena kapasitas otakku sederhana, aku enggak tahu dan enggak mengerti maksud Kei. Balas dendam yang terbayang di otakku adalah sesuatu yang melibatkan otot dan kekuatan. Buktinya, Kei sudah mempersiapkan diri dengan berolah raga teratur supaya punya badan fit dan stamina yang kuat. Untuk menulis selembar teks pidato, walaupun harus berbahasa Inggris, rasanya terlalu berlebihan kalau persiapannya seperti yang Kei lakukan.
“Maksudnya apa, Kekeeeei…?”
Kekei mendelik protes. Suaraku memang melengking, memekakkan.
“Begini,” ujar Kekei dengan wajah serius. “Kalau aku jadi juara lomba pidato lagi…_”
“Ah ya…ya… Aku ngerti!” potongku cepat. “Kalau kamu bisa jadi juara lagi kali ini, Pong pasti semakin sulit menggeser posisimu. Itu balas dendam terbaik. Menjadi lebih baik dari orang yang menyakiti kita!”
Kei mengacungkan kedua jempol di depan mataku. “Good!” pujinya.
“Aku pintar ya?” kataku narsis.
“Selalu,” sahut Kei.
Dia pasti berlebihan.
*
17. ADA APA (LAGI) DENGAN PONG?
Arrrgh! Hari ini sedikit membosankan. Enggak ada satu pun pelajaran yang menarik. Oke, memangnya selama ini aku tertarik belajar? Hari ini jadi membosankan karena aku sendiri memang sedang malas berkumpul bersama teman-teman, sementara Kei sedang ikutan lomba pidato. Diam di kelas juga enggak membuatku terhibur, malah bikin tambah bete. Menonton kelas lain yang berolah raga juga kali ini enggak menarik. Apa menariknya lihat orang lari bolak-balik dari satu ujung lapangan ke ujung yang lain?
Dan, di sinilah aku akhirnya. Di bawah pohon kersen, duduk selonjoran di atas selembar koran yang kuminta dari Tante penjual nasi uduk di kantin. Pandanganku berkeliaran ke mana-mana, mencari pemandangan yang menarik untuk diamati. Akhirnya, kuputuskan membaca novel yang dipinjami Kei. Novel teenlit tentang gadis abege jatuh cinta sama laki-laki dewasa. Ih!
Aku memaksakan diri membaca dan membalik halaman per halaman. Dahiku mengernyit. Aku memang enggak terlalu tertarik membaca novel tebal. Bagiku, sebuah cerpen lebih menarik karena bisa selesai dibaca dalam waktu singkat. Sedangkan novel, aku belum pernah menyelesaikannya dalam satu hari, terlebih dalam hitungan jam. Aku lebih suka menonton drama.
“Hai, Vin.”
Ya Tuhan! Pasti Pong.
Aku malas menoleh. “Umm….” Rasa-rasanya kepalan imajinerku sudah mendarat di jidatnya.
Kei, kapan sih kamu mulai balas dendam?
“Sudah ada kabar dari Kei?”
Dih! Kenapa juga Pong masih mau tahu tentang Kei? Belum cukup dengan Chika? Mau cari korban baru? Aku kasih tahu ya, Kei enggak akan jadi korban kamu selanjutnya. Dia bahkan sudah punya rencana balas dendam sama kamu, Pong! Dasar pecundang!
Aku beringsut waktu Pong tiba-tiba duduk di sampingku tanpa basa-basi. Tiba-tiba aku merasa semua mata terarah ke tempatku duduk bersama Pong. Mungkin mereka terheran-heran dan bertanya-tanya mengapa Pong yang begitu pintar dan terkenal di sekolah ini mau dekat-dekat denganku. Oh ya, sangkaanku ini berlebihan. Mereka enggak akan mungkin terheran-heran. Pasti mereka sudah menebak Pong hanya sedang mengorek informasi tentang Kei dari sumber terdekat. Siapa lagi kalau bukan aku.
Begitu.
“Kei pintar banget ya?” Pertanyaan retorik Pong memancingku berkomentar tajam. Menyambar kesempatan untuk memuji Kei di depan Pong.
“Semua orang juga tahu,” jawabku spontan, berharap Pong menyadari siapa dirinya dan ada di posisi mana di hati Kei. Diam-diam aku melirik cowok itu. Eh?! Ada apa dengan ekspresinya? Dengan jarak sedekat ini kali ini aku yakin mata Pong memang berkaca-kaca.
Pong mengangguk-angguk. “Iya, Kei memang hebat,” katanya pendek. Dia seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Aku jadi salah tingkah dan sedikit menyesal. Tiba-tiba merasa iba melihat ekspresi Pong saat ini. Kaca matanya sedikit berembun. Dia melepasnya sebentar, kemudian menenggerkannya kembali di hidungnya yang mancung. Mendadak, aku canggung berada di dekatnya.
Tiba-tiba ponsel Pong berbunyi.
“Hai, Say. Oke, aku ke sana. Tunggu ya.” Pong berdiri. “Aku balik ke kelas dulu, Vin. Chika lagi nunggu.”
Aku terkesiap. Dan, ingin tahu apa yang pengin aku lakukan saat ini? Melempar Pong dengan batu!
*
Seperti keyakinanku sebelumnya, Keisha menyabet juara pertama lomba pidato itu. Beberapa hari kemudian, Kei dipajang di depan dengan piala gedenya saat upacara bendera. Aku memerhatikan dari barisan terdepan. Ikut bangga melihatnya berdiri di sana. Senyuman puas tergambar jelas di wajah Kei yang berkali-kali melirik ke tempat Pong berbaris.
Diam-diam, aku melirik ke tempat Pong juga. Dari tempatku berdiri wajahnya terlihat memerah. Mungkin dia kesal karena prestasi Kei semakin sulit terkejar. Seharusnya, dia tahu sejak awal Kei enggak selemah yang dia kira. Aku mencibirnya, kemudian tersenyum cukup lebar. Rasanya ini adalah cara balas dendam yang manis, seperti yang dikatakan Kei.
Oh my God! Aku senang untuk Kei. Tak hanya itu, aku puas melihat Pong semakin tertinggal jauh.
Dan, hari ini memang harinya Kei. Kabar menyenangkan datang lagi. Cerpen Kei dimuat di situs majalah remaja. Seperti biasa, Kei yang berprestasi, aku yang senangnya berlebihan seolah-olah prestasi itu milikku. Nyaris setiap orang yang berpapasan kukabari soal cerpen Kei.
Nanti baca ya…tinggal klik bla bla bla…, jadi mantraku hari ini.
Kekei mentertawakan tingkah berlebihanku, tapi aku tak peduli. Bahkan semakin bersemangat. Ah, itu Pong dan Chika!
Aku menyeret Kei.
“Hai, Pong...Chika, udah tahu kalau cerpen Kei dimuat?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Oh ya?” seru Chika dan Pong bersamaan. “Selamat ya, Kei.”
Kei tersenyum dengan canggung. “Terima kasih,” katanya, lalu berbisik, ”Jangan lebay, Vinaaa….”
“Nanti baca ya. Bagus lho ceritanya,” ujarku dengan bersemangat. Saat itu aku menyadari perubahan ekspresi di wajah Pong yang seolah mendadak berkabut. “Kei hebat ya?” kataku menantang.
Kei mencubit lenganku dengan gemas. Aku mengabaikannya untuk saat ini. Tunggu balasanku, Kei.
“Kami ke kelas dulu ya,” pamit Kei sambil menyyeret lenganku tanpa perasaan.
“Gila kamu, Vin. Lebay banget, tahu!” sembur Kei ketika kami di dalam kelas.
Aku menanggapi dengan santai.
“Biarin! Biar Pong dan Chika tahu betapa hebatnya kamu. Biar dia kapok dan menyesal sudah memperlakukan kamu begitu.”
Kei menghela napas dan mengusap-usap pelipisnya. Sepertinya dia sudah banyak kehilangan kata-kata untuk mengomentari tingkahku.
“Sudah ah, jangan mikirin Pong melulu.”
“Lha, kan kamu mau balas dendam, katanya,” timpalku. “Omong-omong, aku pintar kan menerjemahkan maksud kamu, Kei?”ujarku bangga. “Yang kamu maksud dengan balas dendam yang manis itu salah satu caranya yang seperti ini kan? Kan… kan..kan?”
Kei mengangguk-angguk.
“Lama-lama kamu cerdas juga, Vin,” selorohnya.
Aku meringis lebar. “Vina gitu lho….”
“Kamu malah lebih bersemangat balas dendam dibanding aku.”
Kalimat terakhir Kei menohok kesadaranku secara tiba-tiba. Betul kata Kei, mengapa aku yang lebih bersemangat membalas dendam? Apa aku marah melihat kedekatan Chika dan Pong? Aarrgh!
“Oh ya, Kei, tadi kamu perhatikan tampang kusut Pong enggak?”
“Kapan? Aku enggak lihat.”
Dih!
*
18. KAMU SAHABAT TERBAIK
YANG PERNAH KUPUNYA
Hari Minggu. Aku memilih membaca cerpen di situs majalah remaja yang memuat cerpen Kekei. Cerita-cerita menarik yang ditayangkan di sana membuatku betah berlama-lama membaca. Diam-diam aku mengkhayalkan satu saja cerita yang kutulis bisa ditayangkan di sana. Pasti menyenangkan.
Aku ingin belajar menulis cerpen. Ya, rasanya ini kali pertama aku berminat mempelajari sesuatu sedikit lebih serius. Gara-gara Kei.
Sahabatku yang prestasinya seabrek lama-lama berhasil menginspirasiku. Mungkin agak latah kalau aku juga tertarik menulis cerpen. Berharap punya sedikit uang hasil keringat sendiri. Kalau Kei bisa, kenapa aku enggak? Baiklah, itu karena potensiku enggak sebagus Kei dan aku juga pemalas.
Gara-gara Kei aku jadi pengin menulis cerpen. Terus terang, keinginan ini timbul karena aku kesepian. Kei semakin sibuk, bahkan sekarang Hari Minggu pun dia isi dengan kursus membuat barang-barang daur ulang.
“Aku pengin penyegaran sebentar, Vin. Capek juga mengikuti kata hati yang pengin balas dendam terus,” kata Kei beralasan. Aku tentu setuju karena aku pun merasa capek melihat kegiatan Kei yang seolah enggak habis-habis. Tapi, apa benar Kei membatalkan rencana balas dendamnya?
Tanpa sadar aku mendengus cukup keras saat selesai membaca sebuah cerpen. Kalimat terakhirnya jleb banget: Lihatlah dengan hatimu. Sekonyong-konyong aku ingat Pong. Ingat matanya yang berkaca-kaca seolah dia menyimpan sesuatu yang membuatnya sedih. Tapi, kenapa ekspresinya itu hanya terlihat ketika mendengar segala prestasi yang diraih Kei? Lalu, kenapa di saat lain dia memperlihatkan ekspresi yang berlawanan? Pong bisa sangat demonstratif memperlihatkan kedekatannya dengan Chika. Di depanku, juga Kei. Apa maksudnya, coba?
“Ish!” Aku mengibaskan tangan di depan muka, mengusir bayangan-bayangan yang menurutku bodoh untuk dilihat saat ini. Terlebih, aku merasa enggak enak saat teringat pengakuannya tempo hari. Apa yang dirasakan Pong bukanlah urusanku. Aku pun enggak berniat mencari tahu. Biar saja apa adanya, aku tetap mendukung Kei membalaskan sakit hatinya.
“VinVin! Siang, Say….”
Nah, panjang umur. Kei muncul di ambang pintu, lalu menghambur ke atas kasur. Aku melirik tas plastik yang dia taruh di atas meja belajar.
“Bawa apaan, Kei?”
“Daun.”
“Daun buat apa?”
“Buat menghias, Vin. Barang daur ulang.”
Alis dan jempolku terangkat tinggi untuk memberi apresiasi pada semangat Kei yang selalu membara. Dia seolah ikut berputar bersama waktu. Ada saja yang dikerjakannya selain belajar. Mungkin, Kekei harus berterima kasih kepada Pong. Berkat dia, semua potensi terpendam Keisha seakan keluar. Makin banyak prestasi yang Kei raih. Kekei, sahabatku, semakin bersinar dan tak terbendung.
Aku mendengus sinis pada bayangan Pong yang melintas di benakku. Pasti dia tidak menyangka cara liciknya tak berjalan baik. Harapannya membuat prestasi Kekei terpuruk sama sekali tak terwujud. Mungkin, itu yang membuat ekspresi Pong selalu berkabut akhir-akhr ini. Balas dendam cantik ala Kekei benar-benar membuahkan hasil. Yeay!
*
Siang ini Kei berhasil menyeretku keluar kamar. Enggak tanggung-tanggung, aku diseret ke rumahnya.
Di dapur, Kei menumpahkan isi tas plastik ke atas lembaran koran, kemudian mulai memilah-milah dedaunan ke dalam beberapa kelompok. Aku cuma tertarik memerhatikan tanpa ikut terlibat. Minatku hanya sampai di situ, dengan pertanyaan dan rasa heran yang bercampur. Sahabatku nan cantik itu memasukkan lembaran dedaunan itu ke dalam panci berisi air mendidih di atas kompor. Dia merebus dedaunan!
“Umm… kamu lagi lapar ya, Kei? Mau makan lalap?” tanyaku iseng.
Kei enggak menyahut. Dia meraup beberapa helai daun, lalu menaburkannya ke atas kepalaku. Kei tertawa. Asem!
Belum selesai dengan kegiatannya merebus dedaunan, Kei mengambil seterikaan dan mulai melakukan kegiatan anehnya yang lain: menyeterika dedaunan.
“Mau bikin apa sih, Kei? Apa enggak sebaiknya kamu balik lagi ke rumahku saja?” tanyaku, bukan karena pengin tahu melainkan untuk meledeknya.
“Memangnya, ada apa di rumahmu, Vin? Makan-makan?”
“Yeah, daripada nyeterikain daun-daun kering enggak jelas gitu, mending seterikain baju-bajuku… aw!” Aku mengusap-usap lengan yang baru saja dicubit Kei.
Tak lama setelah itu, di depanku sudah bertumpuk kotak-kotak daur ulang yang manis berhiaskan motif dedaunan.
“Belajar semua ini di mana?” tanyaku penasaran.
Kei memandangi hasil kerjanya. “Aku lihat di tivi. Setiap Senin subuh ada liputan tentang bisnis rumahan gitu. Kamu belum bangun ya pukul segitu?”
“Huu… enak saja! Pukul segitu aku sudah nonton film kartun, tahu!”
Begitulah. Kei selalu berputar, berlari, berjalan, melompat, seolah-olah energinya enggak pernah berkurang. Aku yang cuma menyaksikan malah merasa kecapekan sendiri. Kei seperti kesurupan, mencoba segala hal, mengerjakan segala macam. Yang terakhir, dia mencoba ikut lomba menulis esai tentang Jepang. Hadiahnya menggiurkan: sejumlah uang dan jalan-jalan gratis ke Negeri Sakura!
Waah…aku hanya menggeleng-geleng melihat semangatnya. Ya, hanya menggeleng-geleng tanpa tertarik ikutan.
Kesibukan Kei mengumpulkan literatur dan seabrek kegiatan lain membuatku kesepian dan terabaikan. Aku tetap mendukungnya semampuku, tapi mengkhawatirkannya juga. Aku takut Kei akan ambruk kelelahan.
“Kalau kamu belum lupa dengan hasil penelitian kita, balas dendam seperti sekarang ini akan memberi dampak lebih jleb bagi Pong. Semakin hari dia akan semakin merasa tertinggal prestasinya dan kesulitan mengejar. Dia pasti merasa tersiksa,” ujar Kei. Kata-kata itu, entah kenapa, membuatku tenang sekaligus waswas.
Kalau Kei masih sibuk dengan segala proyek-proyeknya, aku juga sibuk belajar menghadapi serentetan ulangan harian. Keisha enggak perlu waktu lama untuk belajar. Dia memang dikaruniai otak encer yang membuatnya seperti itu. Sedikit belajar tapi banyak yang menempel di otaknya. Kalau aku? Sebaliknya. Kenyataan itu mengejutkan dan memprihatinkan sekaligus. Puk puk aku dengan tulus ya…
Jadi, seketat apapun jadwal ulangan, Kei selalu santai menghadapi. Dia hanya perlu sedikit mengulang pelajaran, lalu siap menghadapi soal-soal ulangan. Kadang-kadang aku iri dibuatnya. Sekeras apa pun belajarku, hasilnya enggak akan jauh dari kriteria ketuntasan minimal.
“Kamu tuh dikaruniai Tuhan hati yang baik. Itu bisa jadi segalanya, “ hibur Kei. “Tahu enggak, Vin. Paradigma lama sudah enggak berlaku. Dulu, anak pintar itu dilihat dari nilai-nilai yang diraihnya di sekolah. Apalagi kalau nilai Matematikanya sempurna.”
“Sekarang?”
“Intinya, setiap orang itu individu yang pintar dan cerdas. Tergantung dari mana cara pandang kita, karena masing-masing orang punya kepintaran dan kecerdasan yang khas.”
Aku merasa terhibur dan meringis sebagai tanda setuju.
“Kamu sahabat terbaik yang pernah aku punya, Vin!”
Keisha memelukku erat.
“So sweeeeet....”
“Oh ya, besok pembagian nilai ulangan harian ya, Kei? Aku yakin kamu bakal jadi pajangan lagi di depan.”
*
19. PONG LAGI, LAGI-LAGI PONG
Dari hari ke hari Kei selalu sibuk. Ada saja yang dia lakukan. Kadang, membuatku merasa kesepian di sekolah. Bukan aku enggak mau bergaul dengan yang lain. Teman-temanku cukup banyak. Sifatku yang sering berlebihan dan cenderung terbuka membuatku enggak masalah berteman dengan siapa saja. Hanya, jika ada Kei hidupku di sekolah terasa lengkap dan lebih menyenangkan.
Hari ini Kei punya kesibukan sendiri bersama dengan teman-teman OSIS. Mereka sedang survei untuk suatu acara. Jadi, aku menghabiskan waktu istirahat bersama-sama teman yang lain.
“Aku mau ke kantin dulu, Vin,” pamit Alya yang duduk di sampingku. Lalu, beberapa teman pamit juga secara berturut-turut sampai aku tinggal sendirian. Aku heran dengan tingkah mereka yang tiba-tiba itu. Apakah tadi aku sudah berkata atau berbuat salah? Rasanya, enggak.
Aku mengedik, enggak mau berprasangka jelek kepada siapa pun meski pertanyaanku belum terjawab. Di saat yang sama aku merasa ada seseorang yang berjalan mendekat. Sebelum aku menoleh, Pong sudah duduk di sebelahku. Mukanya sedikit pucat. Kedatangan Pong pastilah yang membuat teman-temanku pergi satu per satu. Mungkin mereka enggak nyaman bila nanti mendengar Pong mengorek informasi tentang Kei dariku. Mungkin juga karena takut patah hati jadinya karena Pong idola mereka.
“Eh, Pong.”
Kali ini aku ambil inisiatif lebih dulu menyapa, tetapi tetap waspada. Aku lama-lama terbiasa mengantisipasi keadaan seperti ini. Tanpa menunggu aba-aba, aku merasa diriku secara otomatis membangun pertahanan diri agar perasaanku enggak melompat-lompat kegirangan. Aku juga berusaha mengingat dan mengumpulkan ssegala cerita narsis tentang Kei yang akan diluncurkan pada saat yang tepat. Yes, aku memang selebay itu.
Pong membalas dengan tersenyum. Meskipun manis, tetapi senyumnya terlihat lesu. Aku jadi malu sendiri. Selalu saja berlebihan.
“Umm… kamu rada pucat… sakit, Pong?” Jujur saja, aku kaget dengan perhatianku ini. Namun, melihat penampilan Pong yang memelas seperti ini bikin aku melupakan sejenak bagaimana dia sudah membuat Kei sakit hati.
Pong menggeleng lemah.
“Kamu sudah makan, Pong?” Aku khawatir melihat wajahnya yang semakin memucat.
“Kei dispen?”
Aku mengangguk, merasa iba seketika. Semua kalimat narsis yang siap meluncur, akhirnya kutelan lagi. Aku terheran-heran melihat Pong. Kalau menyebut nama Kei membuatnya enggak nyaman, kenapa masih saja dia lakukan?
Aku menggeleng-geleng cepat, mengingatkan diri sendiri agar tak tertipu lagi oleh sikap Pong. Aku teringat beberapa kali menyaksikan Pong seperti ini lalu beberapa saat kemudian mendengarnya memanggil Chika dengan ‘say’. Jadi, aku enggak boleh lengah, apalagi sampai sentimentil. Bisa jadi apa yang kamu lihat enggak seperti yang sesungguhnya. Aku akan selalu berada di samping Kei untuk mendukungnya.
“… Aku juga heran, Kei kayak enggak punya rasa capek. Semua dia lakuin, tapi semuanya menghasilkan prestasi bagus sih. Hebat ya?”
Simpati dan empatiku pada Pong entah kusimpan di mana sekarang.
“Tahu enggak, Pong, sekarang Kei mulai kewalahan terima pesanan barang-barang daur ulang. Keren kan?”
Pong mengangguk-angguk sambil mempermainkan bibirnya. Dia menahan napas, lalu, tiba-tiba,
“Arrrgh!” Pong mengernyit, menekan-nekan pelipis dengan telunjuknya, seperti menahan sakit yang sangat. “Kepalaku… awh! Sakit!”
“Pong! Kamu kenapa?” tanyaku panic dan bingung.
“Sakiiit!” rintih Pong tertahan. Tangannya menekan kuat pelipis. Kernyitan hidung dan alisnya semakin dalam.
Aku semakin panik dan berusaha membantu Pong berdiri. “Ayo, aku antar ke Ruang UKS.”
Ugh! Pong ternyata berat juga. Aku mencari bantuan untuk memapahnya.
Di Ruang UKS Pong diurusi oleh teman-teman yang sedang piket di sana. Dia dibaringkan di ranjang dan diberi obat gosok. Aku sendiri menunggu di luar dengan cemas. Mirip orang sedang menunggui ibu-ibu yang akan melahirkan.
Aku beberapa menit berdiri di sana sebelum memutuskan pergi karena merasa enggak perlu lagi berada lebih lama di sana. Pong sudah berada di tempat yang tepat. Ah, Kei, jangan sampai aku lupa lagi cerita soal ini sama kamu.
*
“Hmm...,” sahut Keisha waktu kupanggil. Dia masih memelototi layar laptop, membaca ulang apa yang ditulisnya di sana.
Aku ikut membaca dari balik punggung Kei. Sebuah tulisan bagus tentang anak-anak muda Negeri Sakura dari perspektif Keisha, seorang anak muda Indonesia. Aku berdecak kagum akan usaha Kei. Kata-kata yang ditulisnya menarik dan enak dibaca.
“Belum selesai?”
Kei menggeleng. “Belum, sedikit lagi.”
Beberapa kali Keisha menghapus tulisannya dan mengganti dengan kalimat-kalimat yang menurutnya lebih pas dan bagus. Padahal menurutku tulisan yang awal sudah bagus, tetapi Kei berpendapat lain.
Setelah selesai, Kei memintaku membaca hasil tulisannya. Aku mengacungkan jempol. Lalu, Kei pun mengirimkan karyanya lewat email ke panitia lomba.
“Kamarmu berubah, Kei,” cetusku saat memerhatikan kamarnya.
Keisha tersenyum. “Aku mau suasana baru, Vin. Dua malam kukerjakan semuanya sendiri.”
“Wow!”
Kamar Keisha sekarang terlihat lebih lapang dan cerah. Sebuah tempat tidur single diletakkan di dinding sebelah kanan dekat jendela. Bagian bawah ranjang itu berfungsi sebagai lemari dan laci yang menyimpan pernak-pernik kecil. Di bagian kepala terpampang foto Keisha dengan piala yang pernah dia dapat dari sebuah kejuaraan Matematika.
Meja belajar dan lemari buku Keisha yang mungil tertata rapi di seberang ranjang. Hanya ada beberapa barang di atas meja belajar karena Keisha lebih suka dan nyaman belajar dengan meja yang relatif bersih dari benda apa pun selain buku dan alat tulis.
Foto-foto berpigura kecil bertengger manis di sebuah rak yang menempel di dinding dekat lemari pakaian. Di sana juga dia memajang sedikit barang-barang hasil daur ulang yang dibuatnya.
“Kenapa kamu taruh cermin segede gaban di sini, Kei?” tanyaku waktu melihat sebuah cermin besar menempel di dinding tepat di seberang pintu masuk.
“Yaa... supaya kelihatan lapang kan, Vin?”
“Aku malah tadi kaget begitu masuk ke sini dan melihat diriku ada di sana. Ternyata cantik juga, ya....”
“Heuuu.... enggak penting!”
“Enggak ganti cat?”
“Tadinya warna cat mau kuganti, tapi perlu waktu banyak, enggak jadi deh. Lagian warnanya masih oke.”
Aku manggut-manggut. Dinding kamar Keisha memang belum lama berganti warna cat. Aku suka dengan warna dominan hijau segar di kamar ini. Terkesan sejuk dan membuat betah.
“Kasurmu tambah empuk,” ujarku sambil menghempaskan diri di atas ranjang. “Eh, ngomong-ngomong kapan pengumuman esai itu, Kei? Aku doakan kamu menang dan bisa jalan-jalan ke Jepang. Wow!”
“Amin. Amiiin,” sahut Keisha.
“Jangan lupa, kalau mampir ke Korea, aku titip, ya.”
“Halah? Mampir kok ke Korea... memangnya cukup naik ojek?”
“Cuma titip salam sama Im Siwan, Kim So Hyun, Song Kang, Jung Ga Ram, Ji Young, Cha Eun Woo, Rowoon...,” aku menyebutkan nama-nama itu dengan lancar.
“Ada lagi?” tantang Kei.
“Oh ya, ada lagi dong. Yang lebih senior…Ji Chang Wook, Nam Jo Hyuk, Ji Soo, Lee Sang Yoon, Lee Joon Gi, Park Hyung Shik, Park Seo Joon, Park Hae Jin, Park Bo Geum…,” lanjutku enggak tahu malu.
Kei menggeleng-geleng. “Nah, sebenarnya otakmu hebat buat menghafal, Vin. Kenapa enggak dipakai buat menghafal pelajaran sih?”
Aku menyeringai, setuju dengan pendapat Kei, tetapi enggak berarti aku akan megikuti saran itu. Dilihat dari sisi mana pun menghafal pelajaran jauh lebih sulit dan sangat enggak menarik dibandingkan menghafal nama bintang-bintang K-drama. Aku banget itu.
“Mendingan nonton K-drama aja, sana!” Kei mengusirku dengan halus. Dia tahu aku enggak akan menolak disuruh menonton K-drama berkali-kali. Mengulang judul yang sama pun aku akan dengan senang hati melakukannya. Siapa takut?
Tangan Kei meraih sebatang pensil dan selembar kertas, lalu menuliskan beberapa poin di atasnya. Aku tahu itu adalah target yang ingin Keisha capai. Di sana tertulis lomba-lomba yang sedang dan akan digelar dengan batas tanggal penutupan. Aku merasa pelan-pelan Keisha sudah bertransformasi jadi pemburu lomba.
“Bisa enggak, ya, aku mengejar semua lomba ini?” Kei bertanya setengah menggumam. “Vina!”
Halah, Kei ini! Tadi dia suruh aku nonton K-drama, sekarang malah mengganggu dengan pertanyaan itu. Padahal lagi seru-serunya.
“Santai saja, Kei. Kalau kamu kerjakan dengan sabar biasanya semua bisa dapat. Pilih saja yang jadi prioritas utama dulu. Kamu sudah jauh meninggalkan Pong, kok. Kayaknya cukup deh buat menunjukkan kalau dia itu yang pecundang. Bukan kamu.”
Melihat tampang Kei, aku tahu dia enggak sepenuhnya setuju dengan kata-kataku.
“Kei….” Aku baru ingat tentang Pong yang kelihatan sakit.
“Eh, bentar ya, Vin. Aku pengin ke kamar mandi dulu.”
Kemudian, sampai kembali ke rumah, aku lupa lagi bercerita kepada Kei tentang Pong.
*
Malamnya, aku gelisah sendiri. Berkali-kali mengganti posisi tidur enggak membuatku merasa nyaman. Pikiranku melayang ke mana-mana… ke rumah Kei dan ke halaman sekolah. Di satu sisi aku ingin bercerita kepada Kei tentang Pong, tetapi di sisi lain aku merasa enggak enak. Bukankah aku enggak berhak menceritakan sisi lemah sesorang tanpa sepengetahuan dan izin orang itu?
Pong mungkin enggak akan suka kejadian yang menimpanya tadi siang diceritakan kepada orang lain yang enggak menyaksikannya langsung. Aku merasa harus mempertimbangkan pemikiran itu. Tiba-tiba saja sifat berlebihanku enggak mendapat tempat di dalam diriku sendiri. Aku jadi lebih perhitungan dan pertimbangan saat ini. Sejujurnya, itu mengejutkan.
Aku berbalik lagi menghadap dinding. Sambil mengetuk-ngetuk dinding, aku memikirkan Kei, merasa enggak enak menyembunyikan sesuatu darinya. Kei bukan orang yang enggak ada hubungannya dengan Pong. Dia bahkan menjadi peran utama dalam soal ini. Kalau bukan Pong yang php lebih dulu, mungkin Kei enggak harus merasakan perasaan-perasaan yang kuanggap enggak perlu.
Kei akan baik-baik saja jika Pong enggak memulai!
Dinding di depanku menghangat karena aku menggosok-gosok permukaannya dengan keras tanpa tujuan. Hanya untuk melampiaskan perasaan yang enggak bisa kuungkap atau kuceritakan kepada siapa pun saat ini. Aku meraih ponsel di atas meja tanpa menoleh. Beberapa saat aku hanya memandangi layar ponsel yang gelap. Kemudian, aku mencoba berkirim pesan kepada Kei. Aku memutuskan menceritakan soal Pong. Siapa tahu Kei punya ide, jalan keluar, atau semacam itu.
Aku menghela napas panjang sekali, malas berpikir terlalu jauh. Biar saja Pong dengan masalahnya sendiri. Aku hanya ingin terus mendukung Kei sampai batas yang aku mampu.
Pikiran-pikiran itu terus memenuhi kepala secara bergantian, sampai membuatku pusing sendiri. Aku mengganti posisi lagi, tetapi enggak mengubah keadaan. Akhirnya, aku tidur tengkurap dan membiarkan ponsel tertindih. Beberapa saat kemudian aku kegelian ketika getarannya menggelitik perut.
Aku menarik ponsel dari bawah perut, lalu membaca pesan yang baru saja masuk. Dari Pong. Dia mengucapkan terima kasih karena aku membantunya pergi ke ruang UKS. Aku segera mengetikkan balasannya dan enggak menyangka akan cukup panjang seperti ini.
Sebelum mengkli tombol kirim, aku membacanya sekali lagi. Lalu, mendengus pelan, enggak mengerti mengapa harus membalas pesan Pong dengan panjang lebar. Dengan cepat, aku menghapus semuanya.
Sama-sama, Pong, begitu pesan yang kukirim pada akhirnya.
*
20. MISI PENGALIHAN
Aku mengusap dahi yang sedikit berpeluh. Berjalan satu blok dari rumah Keisha sore ini seperti menapaki area setengah gurun. Terik matahari masih menyengat. Melihat pintu pagar rumah sudah mirip menemukan sebuah oasis setelah menempuh perjalanan panjang. Dengan cepat aku menggeser selot pagar, menutup pintu kembali dengan gerak yang sama cepat, sampai enggak menyadari ada seseorang yang memerhatikan dari teras.
“Sore, Vin.”
Aku mendongak dan langsung tertegun mendapati Pong sudah berdiri tepat di depanku. “Eh?”
“Maaf enggak kasih tahu dulu mau ke rumahmu.”
Aku mengangkat alis, enggak tahu harus bagaimana menanggapi. “Ada perlu apa?” tanyaku singkat, meski sebenarnya penasaran. “Duduk, Pong. Eh, kamu sudah sehat?” tiba-tiba aku ingat kejadian kemarin siang.
“Sudah, Vin,” sahut Pong. “Aku ke sini mau bilang terima kasih.”
Terima kasih? Bukankah sudah disampaikan lewat ponsel kemarin?
Demi apa, aku jadi tersipu. Padahal, enggak bermaksud begitu. Aku merasa ada yang salah. Sebelum berkembang terlalu jauh, sebaiknya aku segera menyingkirkan Pong dari sini.
“Isshh...bukan apa-apa kok. Sebaiknya kamu beristirahat, Pong.”
“Umm....”
“Maaf ya, aku punya tugas yang harus diselesaikan.”
Pong mengangguk-angguk. Aku menganggapnya sebagai sebuah pengertian agar dia segera pergi. “Kalau begitu, aku pamit. Terima kasih untuk bantuanmu kemarin ya, Vin.”
“Iya, sama-sama.”
Aku mengikutkan pandangan pada langkah Pong. Enggak percaya dia datang ke rumah hanya untuk berterima kasih. Ah, terus kenapa?
*
Kei melempar bola ke dalam keranjang. Pada lemparan ketiga dia baru berhasil memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Setelah itu dia berlari keliling lapangan sambil menggiring bola dengan tangan.
Keisha baru dua minggu aktif bermain basket di GOR. Sebelumnya hanya bermain di sekolah, itu pun enggak terlalu sering. Dia beralih latihan basket karena bosan dengan latihan angkat beban yang pernah dia coba.
Sebenarnya aku enggak pernah setuju dengan pilihan Kei untuk berlatih angkat beban. Secara, bodinya yang langsing cenderung kerempeng sangat mengkhawatirkan kalau harus dipaksa mengangkat beban. Apalagi latihannya itu enggak di bawah pengawasan ahli. Kalau terjadi apa-apa dengan tulangnya, siapa yang bertanggung jawab?
Daripada terjadi apa-apa, akhirnya aku memaksa Kei bergabung denganku dan Bang Taufan berlatih di GOR. Aku senang Kei menerima ajakanku yang mengandung misi tersembunyi mempertemukan kembali Kei dengan Daffa. Siapa tahu keadaan akan berubah.
Aku berharap banyak pada pertemuan kali ini. Daffa tentu saja semakin menarik. Aku yakin Kei akan berubah pendapatnya setelah mereka bertemu. Ahay! Aduh! Kok, aku yang jadi degdegan ya?
Kei menepi dan mengelap peluh sebelum memperbaiki ikatan rambut, lalu duduk di tepi lapangan sambil meneguk minuman. Daffa menghampirinya dan berbasa-basi. Aku mengamati dari jauh bersama Bang Taufan sambil berpura-pura terus memainkan bola. Ahhh... sayang banget, suara mereka enggak terdengar!
“Kira-kira, mereka lagi ngobrol apa ya?” cetusku, enggak tahan juga akhirnya.
Bang Taufan menoyor kepalaku. “Kepo banget sih! Ayo main, lagi!”
Aku melempar bola ke Bang Taufan, lalu duduk di tepi lapangan tanpa menggubris protesnya. Mengamati dari tempat yang jauh begini perlu konsentrasi yang lebih besar supaya bisa menebak-nebak apa yang sesungguhnya terjadi. Aku suka dengan sensasinya.
Aku tertawa sendiri. Benar kata Bang Taufan, aku terlalu kepo dengan urusan Kei dan Daffa. Namun, aku punya alasan yang cukup untuk melakukannya. Bang Taufan hanya enggak tahu cerita apa di balik sikapku itu. Dia enggak bisa merasakan punya sahabat yang di-php dan berniat membalas dendam.
Dari tempat duduk, aku mengamati yang terjadi. Aku enggak bisa duduk tenang melihat interaksi mereka, bahkan tersipu-sipu dan gemas saat melihat Kei dan Daffa tertawa-tawa. Kalau enggak malu, aku pasti langsung terbirit-birit lari menghampiri mereka. Jujur, aku penasaran apa yang mereka obrolkan.
Tiba-tiba ada kibasan tangan tepat di depan mukaku. Aku menjengit kaget.
“Isshh… kaget, tahu, Bang!”
“Main lagi, yuk! Enggak asyik banget ngepo-in orang melulu.”
Aku mencibir. “Kepo itu nikmat, tahu!”
Bang Taufan menyeretku ke tengah lapangan dan aku enggak bisa melawan. Kak Daffa, baik-baik dengan Kei, ya. Fighting, Kak!
*
Seperti biasa, Keisha yang didekati Daffa, aku yang jadi senang bukan kepalang. Rasanya seperti melihat secercah cahaya di ujung lorong yang gulita…jiyaaa…, bisa-bisa aku koprol saking senangnya. Aku senang mendapat peluang untuk mengalihkan perhatian Kei dari Pong. Menurutku, Kei mulai berlebihan dengan keinginannya membalas dendam itu. Aku pikir, energinya nanti lama-lama bisa terkuras ke sana sehingga melupakan hal-hal yang lebih penting atau lebih menyenangkan.
“Ummm… gimana, Kei? Kak Daffa makin keren ya?” pancingku saat kami berjalan pulang dari lapangan basket.
“Hmm….”
“’Hmm…’ itu gimana, Kei? Maksudnya apa? Bisa dijelaskan lebih detil?”
Aku berjalan mundur di depan Kei, enggak puas dengan tanggapannya. Kei menertawakan tingkahku.
“Eh,Boy William tuh!” serunya sambil menunjuk ke belakangku.
“Enggak mungkin!” sahutku enggak terpengaruh. Aku masih berjalan mundur di depan Kei. “Kak Daffa keren kan?” Aku tak patah semangat.
Kei menyingkirkan aku ke sampingnya, tetapi aku balik lagi berjalan mundur di depan Kei, menanti tanggapan yang lebih serius. Namun, Kei bergeming. Tak sepatah kata pun berkomentar tentang Daffa.
“Aku siap jadi mak comblang,” aku menawarkan diri tanpa diminta.
Kei menyeringai lebar, lalu meraih tanganku dan menggamitnya dengan erat. Kami jadi berjalan berdampingan.
“Vina Sayang…terima kasih atas perhatianmu yang sangat mengharukan ini,” kata Kei.
Aku mencibirnya, tetapi Kei enggak peduli. Dia terus saja membicarakan hal yang enggak ada hubungannya dengan Daffa. Kei sukses membuatku kesal.
“Kak Daffa itu keren, tahu! Baik hati pula,” aku berusaha mengalihkan ke topik semula.
“Sahabat sejati memang seperti itu. Kayak kita gini, Vin,” katanya. “Terima kasih lho mau berteman sama aku yang banyak maunya ini. Kamu sering kesal ya? Maaf.”
Sumpah, aku pengin menjitak kepalanya keras-keras.
“Kei!”
“Ada apa, Sayang?”
Dih!
Keisha terkekeh. Aku semakin gemas. Meski begitu, aku pantang menyerah. Apa Kei lupa bagaimana keras kepalanya aku kalau sudah begini?
“Tahu enggak, Kei, apa yang dibilang Kak Daffa soal kamu?”
“Jujur saja, dari semua temanku sejak kecil kamu the best, Vin. Makasih ya.”
“Dia bilang_.”
“Semoga kita begini terus sampai tua ya.”
Aku enggak mengomentari kata-kata, Kei. Begitu juga sebaliknya. Jadi, di sepanjang jalan kami berdua dengan konsisten membicarakan hal-hal yang enggak nyambung. Cerdas!
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
