
Tiba-tiba, aku jadi berpikir tentang banyak hal. Soal Pong, tepatnya. Tingkah aneh Pong tadi siang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dirasakannya. Bukan apa-apa sih. Hanya, terlihat lucu melihat cowok matanya berkaca-kaca. Namun, aku jadi meragukan dugaanku yang mengira tingkah Pong itu gara-gara enggak ditunjuk mewakili sekolah untuk lomba pidato.
Hiyaaa…! Aku melompat dari tempatku karena mulai terganggu oleh pikiran-pikiran soal Pong dan Kei. Aku jadi enggak nyaman sendiri dan serba salah....
11. HEI, JANGAN BIKIN HIDUPKU JADI RUMIT!
Angin semilir menerobos lewat jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Taman mungil di depan kamarku benar-benar menyejukkan mata. Rumput hijaunya tumbuh dengan baik. Beberapa pohon dan tanaman bunga membuatnya lebih indah. Meskipun mungil, taman itu menurutku menyumbang banyak kepada suasana yang lebih menyenangkan dan menenangkan saat berdiam di kamar. Setidaknya, sampai beberapa saat yang lalu.
Sekarang, aku sedikit gelisah. Warna hijau daun-daun dan semilir angin yang berembus tak menghilangkan rasa itu. Pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan buruk berlompatan masuk memenuhi otakku. Gara-gara balas dendam yang Kei rencanakan.
Ah, entahlah. Apa aku mengkhawatirkan tindakan Kekei atau bahkan mencemaskan apa yang akan menimpa Pong nanti. Ini kan bukan Vina Riyanti banget. Sifat berlebihanku enggak sampai menyentuh wilayah cemas atau khawatir. Aku nyaris enggak pernah khawatir berlebihan. Dan, perasaan yang kurasakan saat ini jadi membuatku kurang nyaman.
Tiba-tiba saja aku merasa bersalah kepada Kekei karena mencemaskan Pong. Seharusnya aku seratus persen berdiri di belakang sahabatku itu untuk mendukungnya. Tapi, aku sesaat mencemaskan Pong dan sempat kesulitan menghilangkan rasa itu.
Sampai beberapa lama aku bergeming di tempatku. Kelakuan Kei benar-benar di luar dugaan. Beberapa waktu yang lalu dia masih menjadi gadis tak berdaya yang rasa sukanya bertepuk sebelah tangan. Lalu, dia tiba-tiba melontarkan ide mengejutkan. Belum sempat aku bertanya apa maksudnya, Kei dengan santai meninggalkan kamarku tanpa penjelasan apa pun.
Balas dendam? Wajar saja sih Kei punya keinginan seperti itu. Aku bisa merasakan apa yang Kei rasakan. Pasti sakit hati diperlakukan dan dipermalukan seperti itu, terlebih sahabatku itu siswa paling berkilau di SMA 911. Semua orang akan tahu atau mencari tahu apa yang terjadi kepadanya. Kalau aku jadi dia, mungkin balas dendam sudah kulakukan sejak lama.
Aku menghela napas sedikit berat. Tiba-tiba tertarik memikirkan hubungan antara aku, Kei, Chika, dan Pong. Pikiran yang tiba-tiba itu membuatku menyeringai malu. Aku merasa ada yang janggal. Aku, Vina Riyanti, mengapa berada di deretan para siswa cerdas itu?
Tawaku meledak tiba-tiba. Kejanggalan itu sangat mencolok. Aku seolah memaksakan diri berdiri di antara mereka. Eit! Tunggu…bukan aku yang memaksakan diri seperti itu, bukan? Pong-lah yang menempatkan aku di posisi itu. Mengingat reputasi dia dan juga hasil penelitian kami, tindakan Pong itu amat sangat mencurigakan sekaligus juga terlalu jelas terlihat motifnya. Aku hampir yakin seratus persen Pong kurang percaya diri dengan rencana diam-diamnya untuk menggeser posisi Kei dari gelar juara umum. Pong pasti merasa sangat sulit menggeser posisi Keisha. Kalau enggak, untuk apa dia memanfaatkan Chika dan aku demi mencapai ambisinya itu?
Aku merasa bisa mengira-ngira seperti apa Pong akan menjalankan rencana curangnya. Dia pasti sudah memperhitungkan dengan matang Kei bisa dibuat patah hati hanya dengan melibatkan aku di antara mereka. Ya ampun, rumit sekali hidupmu, Pong!
Isshh! Aku sebal mengingat-ingat itu, meskipun harus mengakui Pong cukup cerdas dalam masalah ini. Aku sendiri enggak bisa membayangkan apa jadinya jika Kei sampai tahu dan benar-benar mengira Pong menyukaiku.
Demi apa, aku bergidik ngeri. Aku pasti mendukungmu, Kei, apa pun yang terjadi. Eh, tapi apa sebenarnya yang Kei rencanakan untuk membalas dendam? Meski senyumannya tadi menjelaskan semuanya, aku belum menemukan petunjuk balas dendam itu akan berbentuk seperti apa.
Ketika aku baru saja berdiri, Kei menelepon.
“Ada apa, Kei? Sudah kangen lagi sama aku?” sahutku asal. Diam-diam aku merasa lega bisa bersikap biasa lagi.
“Ih, kok tahu?” Kei menyahut enggak kalah asal. “Umm…begini, Vin…soal balas dendam tadi,” katanya, lalu berhenti.
“Kenapa? Apa rencanamu, Kei?” aku penasaran.
“Mau tahu atau mau tahu banget?”
“Pret!!”
Kei terbahak.
“Aku sudah memikirkan cara balas dendam yang manis, Vin.”
Balas dendam yang manis? Apa maksudnya? Aku belum pernah mendengar ada balas dendam sejenis itu. Yang aku tahu, balas dendam itu selalu diliputi rasa benci serta ambisi menunjukkan eksistensi. Enggak ada manis-manisnya.
Aku enggak berkomentar apa pun. Mungkin hanya orang-orang cerdas seperti Kei yang bisa memikirkan soal “balas dendam yang manis”, pikirku.
“Begini, Vin,” lanjut Kei. “Membalas dendam kepada orang seperti Pong itu perlu strategi khusus supaya efektif dan efisien,” katanya, bikin keningku berkerut. Anak pintar memang lain cara berpikirnya, ya?
“Terus, yang ‘efektif dan efisien’ itu balas dendam seperti apa, Kei?”
“Yang tepat sasaran dong!”
Aku menelan ludah. “Iyaa…kayak apa itu bentuknya, Kekei Sayang?”
Enggak terdengar jawaban.
“Umm…aku juga belum terpikir bentuknya seperti apa, Vin….”
Kalimat Kei barusan benar-benar membuatku menelan ludah ke sekian kali. Tanganku tiba-tiba terasa menghilang demi menoyor sahabat cantikku itu.
“Lha, terus ngapain kamu telepon aku? Aku kira sudah tahu bentuk balas dendamnya seperti apa….”
“Idenya juga baru muncul tadi kan, Vin,” sahut Kei membela diri. “Aku telepon kamu cuma ingin memastikan semangat kita takkan padam,” katanya.
Aku terbahak.
“Kamu mulai ketularan lebay kayak aku, Kei. Selamat bergabung!”
“Terima kasih.”
Kami berdua terbahak. Setelah itu, kami mengobrol enggak tentu arah, melupakan topik utama tentang balas dendam. Aku dan Kei saling bercerita seolah sudah lama enggak bertemu.
Terdengar ketukan di pintu kamar.
“Vina!” suara mamaku memanggil.
“Eh, sebentar ya, Kei.” Aku menutup pengeras suara ponsel. “Ada apa, Ma?”
“Ada teman yang cari kamu.”
“Siapa?”
“Pong, katanya. Pong? Memangnya, ada temanmu yang namanya begitu?”
“Hah?”
Aku sontak memandangi ponsel dalam genggaman.
“Vin!” suara Kei terdengar samar.
Aku mendadak gugup, lalu menoyor diri sendiri.
“Kei, aku tutup dulu ya. Aku dipanggil Mama,” kilahku, kemudian memutuskan sambungan. Namun, beberapa saat aku tertegun.
Pong, kenapa kamu bikin hidupku jadi rumit juga sih?!
*
12. MISTERI MR. PONG
Jam istirahat. Aku menyandarkan tangan di pagar depan kelas bersama beberapa teman, menonton kelas lain yang masih berolah raga di lapangan. Sesekali aku ikut bertepuk saat salah satu tim menambah angka.
Jadi cheerleaders dadakan ternyata cukup mengasyikkan. Lebih riuh daripada yang sesungguhnya. Meskipun tanpa pompom atau berseragam, celotehan-celotehan atau seruan semangat enggak pernah sepi mengisi siang itu. Saking asyiknya sampai aku enggak menyadari tiba-tiba saja Pong sudah berdiri di sampingku.
“Sudah sembuh, Vin?”
Aku menoleh, kaget.
“Sembuh?” tanyaku kebingungan.
Pong membetulkan kaca mata. Helaian rambutnya ikut bergerak. Aku tertegun sebentar.
“Kemarin kamu sakit perut.”
“Aaa iya….” Aku mengangguk-angguk, teringat alasanku hanya sebentar menemui Pong ketika dia datang ke rumah. Sungguh, aku saat itu bingung harus bagaimana dan enggak menemukan alasan lain selain sakit perut untuk menghindarinya.
“Umm… sudah sembuh, kok, Pong.”
“Syukurlah,” sahut Pong dengan lega. Pandangannya beralih ke lapangan. “Menang siapa, Vin?”
“Eh? Oh, satu sama, Pong. Timnya Riris unggul di set yang sekarang.”
Alis Pong terangkat. “Oh ya? Biasanya tim Sita yang menang. Berapa-berapa sekarang?”
Aku perlu waktu mengingat. “Sembilan-tujuh kayaknya. Enggak tahulah, lupa.”
Pong tertawa kecil, lalu ikut bersorak dan berseru di sampingku saat salah satu tim menambah angka. Jujur aja, aku merasa aneh dengan sikapnya. Aneh melihat Pong sendirian saja. Aneh melihatnya ikut bersorak riuh. Aneh dengan perasaanku yang tiba-tiba saja enggak keruan.
Diam-diam, aku mengamati sosok Pong. Teringat pada tekad Kei untuk membalas sakit hatinya. Kemudian, aku jadi salah tingkah.
“Kei ke mana, Vin?”
Nah! Pertanyaan Pong langsung memancing kewaspadaan. Aku mengantisipasi apa yang akan ditanyakan dia selanjutnya. Tingkah Pong saat ini mengingatkan tingkahnya beberapa waktu yang lalu saat tiba-tiba menanyakan tentang Kei. Aku enggak mau kejadian yang sama berulang. Biarlah Kei dengan kesadaran barunya saat ini. Jangan sampai dia mengingat-ingat cowok berkaca mata ini lagi dalam bingkai cerita menyedihkan.
“Chika mana?” aku balik bertanya, mengalihkan perhatian. Dalam hati aku berjanji enggak akan menceritakan kejadian siang ini kepada Kei yang sedang dispen untuk urusan lomba pidato. Kei enggak boleh tahu kalau Pong mulai bertanya-tanya lagi tentang dirinya. Itu sama saja membangunkan macan tidur dan mencabut kumisnya.
“Lagi ke kantor guru.”
“Kok enggak ditemani?”
“Ditemani? Ke kantor guru doang? Dia kan sudah bertahun-tahun sekolah di sini, masak, ke kantor guru harus ditemani….”
Ya Tuhan! Mataku sontak memejam. Kesal mendengar kata-kata Pong. Apa-apaan sih Pong ini? Aku menjengit dan meringis bersamaan. Memangnya, berlebihan ya kalau menemani teman dekat ke ruang guru? Kalimat panjang yang diucapkan Pong bikin aku gemas. Sebenarnya ada apa sih dengan orang ini? Ingin rasanya aku terbang mencari Chika, membawanya ke sini supaya mendengar dan menyaksikan sendiri siapa Pong sebenarnya. Ah, sepertinya lebih puas kalau aku langsung meninjunya saja. Arrrgh!
Ah, sudahlah, bukan urusanku. Aku enggak merespons lagi karena mataku kembali ke lapangan.
“Umm… Kei sibuk ya?”
Aku mendengus, mulai kesal dengan pertanyaan yang dilontarkan Pong. Untuk apa sih Pong masih mau tahu tentang Kei? Bukankah ada Chika di sampingnya?
“Kei jadi ikut lomba pidato?”
“Jadi dong… Kei gitu lho! Aku yakin dia menang,” sahutku cepat karena menangkap kesempatan menyerang Pong. Aku enggak ingin kehilangan kesempatan menunjukkan (lagi) kalau Kei lebih hebat dari dia. Aku enggak ingin Pong merasa di atas angin dengan menganggap Kei terpengaruh oleh kabar hubungannya dengan Chika.
Aku menoleh supaya bisa melihat reaksi Pong, hanya untuk memastikan cowok itu merasa enggakada apa-apanya buat Kei. Cih!
Keinginanku terlalu berlebihan ya? Mungkin. Pokoknya, aku enggak mau sahabatku terbawa permainan Pong.
Respons Pong yang hanya, “Umm….” Bikin aku heran. Terlebih ketika tampang cowok itu berubah seketika. Dia menggigit-gigit bibirnya dengan gusar. Tangan Pong mencengkeram pagar dan terlihat memucat.
Aku jadi tertarik memerhatikannya. Tak ada ekpresi marah di mata Pong, tapi aku merasakan kegeraman ketika melihat rahang Pong mengeras. Ada sesuatu yang aneh. Tapi, kapasitas otakku ini belum mampu menemukan letak keanehannya, apalagi buat mendefinisikan jenisnya,. Halah, sotoy bener!
Sebelum aku berhasil mendapat jawaban, sekonyong-konyong mata Pong seperti berkaca-kaca… Eh, berkaca-kaca? Sungguhkah? Enggak salahkah penglihatanku?
Sontak, aku pengin tertawa. Apa maksud cowok ini sih? Menggelikan! Masa, gara-gara enggak terpilih mewakili sekolah ke lomba pidato, terus dia marah dan menangis?! Enggak banget! Cemen!
Untung saja aku masih punya empati hingga tawa di ujung lidah masih bisa ditahan enggak meluncur ke luar. Aku juga masih punya rasa menghargai teman meskipun teman itu sudah bikin sahabatku bersedih.
“Aku ke kelas dulu ya, Pong,” pamitku, untuk membebaskan diri dari situasi aneh ini.
Pong bergeming. Mungkin dia enggak mendengar kata-kataku. Matanya masih menerawang ke lapangan. Aku mengedik, lalu meninggalkannya di sana.
Bodo amatlah!
*
13. MEMIKIRKAN BANYAK HAL BISA MEMBUATMU
MERASA SERBA SALAH
Sorenya, aku bersantai-santai di kamar, duduk di kasur sambil memangku laptop dan berselancar mencari drama-drama Korea terbaru.
“Halo, Vina cantik.”
Aku sudah tahu siapa yang datang tanpa perlu menoleh. Keisha Fersifani.
“Hai, Kekei. Gimana tadi?” tanyaku setengah basa-basi. Kabar Kei masih kalah menarik dengan ulasan akting Lee Jong Suk dalam drama-dramanya yang aku baca lewat internet.
Kei mengempaskan diri ke atas kasur, badanku sedikit melambung karenanya. Dia merebahkan diri di sampingku setelah mengikat rambut ikalnya tinggi-tinggi. “Capek juga, Vin. Sedikit sih.”
Aku mengangguk-angguk. Masih belum tertarik bertanya lebih jauh tentang kegiatan Kei yang dapat dispensasi tadi siang. Tanganku dengan lincah menggerakkan tetikus, mencari artikel-artikel yang menarik perhatian.
“Eh, siapa itu, Vin?” telunjuk Kei menyentuh layar laptop.
Aku menolehnya, sedikit sebal. “Lupa lagi? Ini Lee Jong Suk… Lee… Jong… Suk… Lee Jong Suk!”
Kekei menyeringai. “Maaf, aku pelupa kalau soal nama aktor Korea. Jangan cepat marah dong, Vin. Nanti diomelin oppa-mu.”
Gantian aku yang menyeringai.
“Ada bagusnya juga kamu pelupa soal ini. Seenggaknya, aku bisa sekali-sekali ngalahin kamu. Iya enggak?”
Kei enggak berkomentar. Aku tahu Kekei paling sebal kalau aku sudah membanding-bandingkan diriku dengan dia dan aku merasa kalah.
“Umm…Vin, coba lihat drama ini. Kayaknya seru,” cetus Kekei, memperlihatkan layar ponselnya. “Judulnya Fix You, tentang orang-orang yang bermasalah dengan kesehatan mentalnya.”
Aku menoleh tanpa semangat. “Temanya terlalu berat, Kei,” kilahku.
“Lhaa…gimana sih kamu ini, Vin? Kamu pernah bilang orang sana pintar mengemas tema berat jadi drama yang menarik….”
Akhirnya aku menurut. Kami menonton drama itu bersama. Tapi, Kekei cepat menyerah. Sementara aku malah sulit berhenti.
“Eh, ada kabar apa di sekolah, Vin?”
“Bisa sebutkan yang lebih spesifik?” tanyaku dengan gaya sok pintar dan berniat menyindir. Aku yakin yang dimaksud Kei dengan kabar apa di sekolah adalah kabar tentang Pong.
Kei menyeringai lebar, lalu terkikik. “Iya, tentang Pong,” katanya malu-malu. Dia memain-mainkan rambutku, seperti orang kurang kerjaan.
“Kamu bilang katanya dia enggak penting lagi…,” ujarku, sambil menyingkirkan tangan Kei.
“Lha, emangnya kalau aku tanya tentang Pong, terus dia jadi penting lagi gitu?” Kei bangkit, lalu duduk menghadap aku. Gayanya benar-benar sok serius. “Umm… gini ya, Vin. Balas dendam itu perlu strategi.”
Alisku spontan terangkat tinggi. Menanti Kei melanjutkan kalimatnya. Terbukti, Kei memang anak super cerdas. Tanpa menunggu lama-lama, dia sudah menemukan caranya membalas dendam. Aku enggak sabar segera mendengarnya.
“Terus?” tanyaku enggak sabar sampai-sampai menyingkirkan laptop dari pangkuan. Aku memandangi Kei, menunggu jawabannya.
“Umm… nanti aja deh!” sahut Kei dengan enteng.
“Dih! Nyebelin, tahu.”
Kei terbahak, lalu setengah meloncat dia berdiri. “Aku pulang dulu ya.”
Aku malas merespons, telanjur kesal karena Kei kembali bikin penasaran tentang strategi itu. Uh! Sebagai balasan, aku enggak mengantarnya sampai ke depan rumah. Biar saja, dia sudah besar. Sudah bisa jalan sendiri buat pulang ke rumahnya!
Perhatianku tertarik lagi ke ulasan tentang Lee Jong Suk. Aktor Korea berwajah porselen itu selalu punya berita dan foto-foto keren. Aku belum bosan mengikutinya. Ah, mungkin sekadar pelampiasan karena kadang-kadang aku merasa hidupku sendiri enggak menarik. Kadang-kadang, aku merasa perlu melebur diri dalam mimpi-mimpi. Drama Korea dengan aktor dan aktris yang keren itu membantuku bermimpi.
Aku enggak sepintar Kei, enggak secantik sahabatku itu. Kalau jumlah mantan menunjukkan setinggi apa tingkat ketenaranmu di sekolah, atau semenarik apa dirimu, maka bisa dipastikan aku akan berada di peringkat bawah. Ah ya, sepenting apa sih status punya pacar buat abege kayak aku? Siapa sih Vina kalau tanpa Kei?
Aku menyedihkan? Umm… begitulah yang kupikir saat bosan dengan irama hidupku di sekolah. Menjadi bayang-bayang Kei terkadang membuatku capek. Ingin hati mengejar segala kelebihannya, tapi aku tahu diri dan kenal dengan potensi diriku ada di area mana. Kadang aku berpikir sikapku yang suka berlebihan sebenarnya adalah tempat yang kuciptakan sendiri untuk bersembunyi dari ketidakmampuanku meraih prestasi.
Eh, jangan buru-buru bikin kesimpulan kalau persahabatan dengan Kei berasal dari keterpaksaan ya. Jangan. Aku enggak pernah merasa seperti itu dan yakin Kei pun sama. Kami saling mendukung dalam kapasitas masing-masing. Aku sering membantu Kei dan mendukung kegiatannya. Kei pun sering membantuku, terutama untuk masalah pelajaran sekolah. Di luar itu semua, kami memang kompak.
“Hoaamm….” Aku mulai menguap, Saudara-saudara. Lee Jong Suk berhasil mengalihkan perhatian sampai aku enggak merasa malam sudah datang. Ternyata, memikirkan diri sendiri memang perlu dilakukan. Bersenang-senang dengan mimpi-mimpi akan memberimu gizi. Sotoy banget ya?
Aku menoleh jam di atas meja belajar. Tiba-tiba ingat belum bercerita kepada Kei tentang kelakuan Pong tadi siang di sekolah. Pong yang berkaca-kaca… ih, lucunya… atau mengenaskan? Atau, mengherankan? Euh! Kenapa juga harus memikirkannya?!
Dengan malas, aku meraih ponsel, menimbang-nimbang apakah akan kuceritakan soal Pong itu kepada Kei sekarang atau nanti. Beberapa kali aku menghapus pesan yang sudah kutulis, membuat yang baru, lalu pada akhirnya enggak melakukan apa pun karena bingung. Aku jadi memikirkan baik dan buruknya jika bercerita soal itu kepada Kei. Apa nanti reaksi Kei? Semakin suka atau malah enggak peduli?
Dzigh! Aku menjotos kepala bagian belakang dengan pelan, lalu menyeringai lebar. Sejujurnya, aku enggak menyangka akan berpikir sejauh ini. Biasanya, spontanitasku lumayan tinggi. Tindakan atau komentarku seringnya lebih cepat dibandingkan kecepatan otakku berpikir. Singkatnya, aku lebih sering bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Ngerti kan yes? Haha….
Tiba-tiba, aku jadi berpikir tentang banyak hal. Soal Pong, tepatnya. Tingkah aneh Pong tadi siang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dirasakannya. Bukan apa-apa sih. Hanya, terlihat lucu melihat cowok matanya berkaca-kaca. Namun, aku jadi meragukan dugaanku yang mengira tingkah Pong itu gara-gara enggak ditunjuk mewakili sekolah untuk lomba pidato.
Hiyaaa…! Aku melompat dari tempatku karena mulai terganggu oleh pikiran-pikiran soal Pong dan Kei. Aku jadi enggak nyaman sendiri dan serba salah. Duduk salah, tiduran salah, bengong juga jadi terasa salah. Menyebalkan!
Kemudian, mataku terpaku pada sebuah buku yang ada di rak. Aku mengambil buku itu tanpa melihat judul, membuka halamannya secara sembarang, kemudian mulai membaca. Enggak berapa lama, keningku mengerut. Aku terkekeh sendiri, lalu membaliknya ke bagian sampul. Rehabilitasi Hutan dan Lahan tertulis di sana. Kenapa buku seperti ini ada di rakku? Demi apa, aku enggak merasa pernah menaruhnya di sana.
Aku mengembalikan lagi buku itu ke rak, lalu mengempaskan diri ke atas kasur. Tepat pada saat itu ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk. Aku mengintip nama pengirimnya. Pong. Lalu, kenapa jantungku jadi berdebar ya?
Aaarrghh…aku harus tiduuur!
*
14. PROYEK BALAS DENDAM KEKEI
Besoknya, dalam keadaan setengah sadar aku bangun. Gara-gara ada semilir angin yang melewati kakiku. Ada Kei di sisi tempat tidur. Otomatis mataku melirik ke arah jam di dinding di dekat kaki tempat tidur.
Pukul 4.30. Ada Kei di kamarku. Sore kah? Atau pagi? Pasti pagi, karena jamnya menunjukkan pukul 4.30 bukan 16.30.
Sepagi ini. Biarpun rumah kami hanya berselang satu blok, rasanya bukan hal yang wajar dia ada di sini, dengan kostum olahraga lengkap.
Aku melirik lagi jam di atas meja belajar. Pukul 4.30. Ada Kei di kamarku. Sepagi ini. Seharusnya….
“Hiyaaaa! Apa-apaan kamu pagi buta udah nongkrong di kamar orang?!” teriakku sampai terduduk karena kaget.
“Bangun, Vina cantik...,” kata Kei tak menghiraukan protesku.
Tiba-tiba tangannya menemplok di kedua mataku. Rasanya dingin dan basah. Sebelum aku menyadari yang terjadi, dia sudah mengelap seluruh wajahku dengan handuk basah. Aku gelagapan dan mau teriak protes, tapi dengan kurang ajar Kei membekap mulutku dengan handuk basah dan mengelapnya.
“Bekas iler...,” katanya kalem.
“Eh, sialan... aku enggak ngiler, tahu!” sanggahku, tapi dengan spontan mengelap bibir dengan punggung tangan.
Kei enggak peduli. “Nah, udah enggak ngantuk kan? Ganti baju, sana. Temani aku olahraga.”
Aneh, walaupun masih kaget, aku enggak melawan waktu Kei menarikku dari tempat tidur dan memaksaku berganti baju olah raga. Hari masih gelap ketika aku dan Kei berlari keliling kompleks rumah. Berkali-kali aku oleng karena berlari sambil menahan kantuk. Akhirnya, aku menyerah dan duduk di trotoar. Membiarkan Kei berlari sendirian.
Setelah dua kali berkeliling, Kei langsung senam. Badannya yang tinggi langsing meliuk ke sana kemari mengikuti lagu yang dia nyanyikan sendiri. Lagu yang dinyanyika Kekei mengusik kantuk. Aku hendak protes karena merasa ganjil mendengar lagu itu dijadikan pengantar senam. Sama sekali enggak nyambung. Tapi, kantukku mengalahkan semua. Dan, aku sibuk menutup mulut berkali-kali karena menguap.
Aku baru protes waktu Kei enggak juga berhenti berolahraga padahal sudah hampir pukul enam pagi. Waktunya buat mandi, sarapan, dan siap-siap pergi ke sekolah.
Sejak saat itu berolahraga pagi kemudian jadi kebiasaan baru Kei. Kebiasaan sangat baik supaya badan sehat. Tapi, ada satu catatan penting yang harus Kei ingat: enggak memaksaku buat menemani setiap pagi!
Catatanku dianggap angin lalu sama Kekei. Dia enggak pernah peduli. Setiap pagi dia memaksa aku bangun dan menemaninya berolahraga. Kadang-kadang aku memang ikut dia berolahraga juga, tapi lebih sering hanya menemani. Menemani dengan mata terkantuk-kantuk.
“Balas dendam itu perlu stamina yang bagus, Vin,” ujar Kei. “Kita harus mulai dari saat ini,” katanya lagi.
“Kita?” kataku dengan malas.
Aku tahu semua itu adalah bagian proses Kei untuk membalas dendam pada Pong. Dia perlu dan harus mempunyai badan yang fit dan stamina yang kuat buat melakukan proyeknya dengan sempurna.
Balas dendam macam apakah yang direncanakan oleh sahabat manisku sampai memerlukan badan yang fit dan stamina yang kuat? Aku khawatir dia akan menantang Pong buat duel. Biar bagaimanapun rasanya cukup sulit memenangi duel itu. Bodi Pong kan lebih gede dan diam-diam juga dia jago karate. Sedangkan Kei? Jangankan olah raga bela diri, lari pagi saja baru-baru ini dia kerjakan. Itu pun dengan alasan yang aneh, buat persiapan balas dendam. Kalau begini caranya, Pong bisa dengan mudah melumat badan semi kerempeng Kei. Apa enggak akan babak belur si Kei nanti? Aku juga enggak bisa banyak membantu. Kalau sekadar jambak-jambak atau menyakar masih oke, kekuatanku masih bisa diandalkan. Tapi, kalau buat urusan jotos-menjotos? Itu lain soal.
Keisha terbahak waktu aku bilang tentang kekhawatiran itu. Apalagi waktu aku tanya apa dia mau bikin perhitungan dengan cara lain. Melabrak Chika, misalnya.
“Biarpun Chika jadi bagian dari masalah ini, tapi enggak bangetlah kalau harus bikin dia malu atau babak belur. Otakku masih waras, Vin, biarpun hatiku sakit,” ujar Kei.
Aku bisa bernapas lega mendengar penjelasan Kei. Akal sehatnya masih terjaga. Terus terang, aku juga enggak sampai hati membayangkan si lembut Chika babak belur dihajar Kei. Apalagi, kalau mau jujur, dia enggak bersalah dalam hal ini. Mungkin dia juga jadi salah satu korban Pong tanpa disadari.
Sejauh ini semua berjalan baik. Proses balas dendam pribadi mulai dijalankan Kei. Yang enggak baik adalah kelakuan Kei yang sedikit aneh di sekolah. Dia jadi narsis dan bersemangat eksis di depan Pong. Di mana ada Pong, Kei selalu berusaha di dekat dia, minimal lewat di depan hidungnya. Aku jadi malu melihat kelakuan Kei.
“Eh, Kei, kamu punya rencana terselubung ya, mondar-mandir di depan hidung Pong? Lagi cari perhatian dia, ya? Norak, tahu! Kamu lagi godain Pong?” aku memberondong Kei sampai ngos-ngosan.
“Aih, aih... masa aku begitu sih, Say?” Mata Kei mengerling indah.
“Jangan panggil aku ‘say’. Emangnya namaku sayur?”
“Oke, Cyiiin. Enggak mungkinlah aku merendahkan diri begitu. Aku cuma mau menunjukkan kalau aku masih bisa bersikap biasa di depan Pong. Kalau aku enggak terpengaruh dengan kelakuannya yang nyebelin itu.”
Aku mendengus. Bersikap biasa? Ciss! Bagaimana kelakuan Kekei akhir-akhir ini bisa disebut sebagai ‘bersikap biasa’?
“Iya, tapi jangan lebay, ah.”
“Aku juga mau mengetes sejauh mana aku sudah bisa mengatasi diriku sendiri. Oh my God, harus kuakui, susaaah, Vin!”
“Nah, kan? Jangan sampai jadi senjata makan tuan, Kei.”
Kei mengerling manja. Dih!
*
15. BAGAI LANGIT DAN BUMI
Sejak patah hati, Kei jadi sering menginap di rumahku. Aku sih senang-senang saja karena jadi punya teman tidur di kamar meskipun harus berbagi tempat tidur. Aku jadi punya teman mengobrol juga kalau malam. Punya teman juga kalau lagi diam-diam memerhatikan Yudo yang lagi mencuci motor. Biarpun Kei lebih rajin mendaftar kekurangan Yudo daripada yang lainnya.
Aku bersyukur Keisha masih bisa mengendalikan dirinya walaupun aku tahu dia masih saja memikirkan Pong. Aku enggak bisa mencegahnya manyun lagi di kamarku atau di kamarnya sampai sore hari gara-gara cowok satu itu. Masih ada bagian sosok Pong yang tersangkut di hati Kei, pasti itu. Aku jadi sangsi apa benar Kei bisa balas dendam?
Kei semakin rajin lari pagi dan berolah raga. Semakin rajin pula bertandang ke kamarku pagi-pagi dengan ritual pemaksaannya. Kesal sebenarnya, tapi diam-diam aku mulai merasakan manfaat berolahraga. Badanku terasa lebih segar dan fit. Alasan itu yang bisa bikin aku memaafkan kelakuan Kei.
Aku senang banget waktu akhirnya Kei semakin jarang manyun dan melamunkan hatinya yang dipatahin sama Pong. Hidupnya mulai teratur lagi, malah kualitasnya lebih baik (kayak orang pintar banget aku bicara kualitas hidup orang segala). Sekarang, setiap pulang sekolah Kei selalu mencari kesibukan untuk mengisi waktu. Ada saja kegiatan yang dikerjakannya, di antaranya menulis. Selama setengah jam Keisha selalu menyempatkan diri buat menulis.
Aku enggak tahu apa saja yang ditulisnya. Kadang-kadang Kei menulis cerpen, kadang-kadang artikel, kadang-kadang hanya corat-coret tanpa konsep jelas. Beberapa cerpen yang ditulis Kei aku baca juga. Ujung-ujungnya, aku terkagum-kagum dengan segala kelebihan sahabatku itu. Kemudian, tanpa bersemangat membandingkan dengan diriku sendiri. Ah, bagai langit dan bumi.
Selalu begitu. Seringnya begitu. Aku enggak pandai memotivasi diri, padahal di depanku Kei enggak pernah lelah beraktivitas. Apa saja dikerjakannya dengan sungguh-sungguh dan hasilnya memuaskan.
Aku meringis miris membandingkan Kei yang rajin dan pintar dengan diriku yang kebalikannya. Sekarang saja dia terlihat tekun menulis di meja belajarku. Aku diam-diam beringsut ke dekatnya, lalu mengintip dari balik punggung Kei.
“Lagi nulis apa, Kei?”
Kei menoleh, melanjutkan lagi kegiatannya tanpa menjawab pertanyaanku. Dia membiarkan aku melihat apa yang sedang ditulisnya, tetapi sejujurnya, aku enggak mengerti. Di kertas yang ditulisi Kei hanya terlihat sebuah tabel yang terdiri dari beberapa kolom. Aku tertarik memerhatikan kolom terakhir yang digambari emoticon berbeda-beda setiap barisnya.
“Apaan ini, Kei?” Aku menunjuk kolom terakhir itu. “Kok banyak emoticon begini?”
Kei masih terus menulis. Tangan kirinya menunjuk ke kolom paling kiri. Aku mengikuti petunjuknya dan membaca deretan kalimat di kolom itu yang membuatku mengernyit lalu mengangguk-angguk.
“Ini daftar lomba yang mau kamu ikuti?”
Kei mengangguk. Aku menggeleng-geleng sambil berdecak kagum, juga terheran-heran. Selama ini aku belum pernah melihat Kei begitu teliti menyusun daftar lomba-lomba. Dia enggak pernah seantusias ini sebelumnya.
“Kok tumben disusun kayak gini, Kei?” tanyaku penasaran.
“Ini proyek baruku, Vin,” sahutnya singkat.
“Proyek?”
Kei menuliskan sebuah kalimat di bagian kertas paling atas, memberi judul tabel dengan huruf-huruf cukup besar. “Proyek Balas Dendam”. Lagi-lagi, kemampuan otakku lambat mencerna apa yang dimaksud Kei. Namun, kali ini aku enggak berkomentar apa pun. Aku malas menanyakan lebih jauh karena melihat gelagat Kei enggak akan menjawab pertanyaanku dengan tuntas. Dia terlalu asyik dengan kegiatannya.
“Aku juga punya proyek, Kei,” kataku enggak mau kalah, lalu terkikik. “Aku lagi menghafal lagu-lagu biar bisa dipasangin sama Boy William di acara klip musik.”
Keisha terbahak. “Fighting!” katanya menirukan seruan semangat dalam drama Korea.
“Yee…!” Aku bertepuk tangan dengan berlebihan sampai membuat Kei menutup telinga.
“Pakai ini,” pinta Kei sambil menyodorkan earphone.
“Aku juga mau belajar main gitar, biar makin sip.”
“Tidaaak!” seru Kei sambil menutup telinga.
“Lebay ih! Aku punya gitar juga enggak…eh, pinjam Kak Daffa aja, kayaknya dia punya. Antar aku ke rumahnya yuk, Kei!”
Kei melotot. “Aku mau belajar!”
“Dih! Alasan!”
“Biarin….”
Aku mencibir, tetapi Kei malah terbahak.
“Sudah, kamu pergi ke rumah Kak Daffa, pinjam gitar sana! Biar aku bisa konsentrasi di sini,” katanya lagi.
Giliran aku yang melotot.
“Kalau mau kudeta kamarku, terus terang saja, Kei. Enggak usah bawa-bawa nama Kak Daffa,” aku pura-pura merajuk. “Aku keluar dulu deh, biar kamu bisa konsentrasi.”
“Nah!” sahut Kei senang.
Aku menyambar ponsel di atas meja. “Jangan bikin kamarku berantakan ya!” pesanku sebelum pergi ke teras depan.
Di teras, aku memainkan ponsel. Laman-laman media sosial bergantian muncul di layar. Aku membukanya sekilas-sekilas, kemudian menyalakan lagu-lagu yang tersimpan di ponsel. Saat sampai di lagu ke tiga, pintu pagar terkuak. Seseorang yang amat aku kenal sosoknya berjalan melewati halaman. Sontak, aku berlari menghampirinya dengan perasaan cemas.
“Eh, kamu ngapain ke sini?” aku panik. Pong melongo.
“Aku ada perlu sebentar sama kamu, Vin,” katanya.
“Pulang sana ih!”
Aku mendorong Pong supaya berbalik, sambil menoleh ke arah jendela kamarku dengan waswas. Pong pasrah ketika tanganku mendorongnya berbalik ke arah pintu.
“Tapi, Vin, aku ada_.”
“Ssstt…nanti sajalah!”
Aku segera mengaitkan selot ke pintu pagar dan buru-buru berbalik memandang jendela kamar yang masih terbuka. Aman. Fiuh!
Aku duduk kembali di kursi yang tadi kutinggalkan dengan napas terengah-engah. Dadaku masih berdebar-debar. Tertawa sendiri saat menyadarinya, sekaligus merasa beruntung Kei enggak melihat kejadian tadi. Kalau sampai terjadi, aku enggak bisa membayangkan akan bagaimana.
Ya ampun, apa yang kulakukan tadi kepada Pong? Aku mengusirnya!
Ah iya, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, karena suasana sudah aman terkendali. Namun, aku tiba-tiba merasa kasihan kepada Pong. Mungkin, saat ini Pong masih syok diperlakukan seperti itu.
Maaf ya, Pong, aku sudah ‘usir’ kamu dari rumah. Sumpah, kamu enggak boleh nongol di rumahku saat ini.
Aku mengetikkan kalimat itu, mendiamkannya sebentar seolah-olah sedang menunggu kotoran mengendap, lalu mengirimkannya kepada Pong.
Memangnya, ada apa sih, Vin?
Umm…Kei ada di rumahku. Aku enggak mau terjadi kesalahpahaman dan membuat Kei enggak nyaman atau sesuatu seperti itu.
Lalu, pesanku tak berbalas. Apakah Pong tersinggung? Apa dia marah?
Aku mengaitkan kembali earphones di telinga. Berusaha tak memikirkan apa yang dirasakan atau dipikirkan Pong setelah kejadian tadi.
Tiba-tiba ponselku berkedip. Pesanku berbalas.
Sikapmu itu bikin aku makin suka, Vin.
HAH?!
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
