
Permintaan Eyang.
[Rumah Alaksa]
Sore ini Alaksa sedang tak ada kesibukan, semua urusan kampus sudah jauh-jauh hari ia cicil, setoran hafalannya sudah ia tuntaskan, baiknya lagi hari ini aksa memang tidak ada kegiatan dikampus, maka duduk diruang keluarga sembari bermain Play Station adalah healing terbaik untuk aksa. Laki-laki itu duduk diatas bulu karpet dengan dua tangan yang asik berkutat dengan stick ps, kedua matanya sibuk memperhatikan layar televisi, disamping laki-laki itu ada Miftahul Azmi yang juga asik bermain game online di dengan posisi tiduran diatas karpet, sesekali iseng meletakan kakinya dibahu sang adik, hal paling disukai azmi ketika melihat wajah kesal adiknya lantaran diganggu.
“Bang ah, minggir napa sih!” Azmi selalu berhasil mengundang raut kesal dari wajah tampan Alaksa.
Dibelakang kedua laki-laki itu ada Abi yang duduk diatas sofa, sibuk memperhatikan koran-korannya. Sementara Umi sedang berkutat didapur, membuat cemilan enak dan teh hangat untuk mereka nikmati.
“BANG ELAHHH KALAH GUA AH!!” Azmi tertawa puas, sementara Alaksa berenggut kesal. Dibelakang mereka Abi hanya menggelenggkan kepalanya, kedua anaknya sudah berkepala dua tapi masih saja kekanakan. Mata pria setengah baya itu melirik jam di dinding lalu beralih melihat kearah pintu utama. Abi sedang menunggu kepulangan anak sulungnya.
“Assalamualaikum.”
Abi tersenyum, “Waalaikumsalam.” Meletakan korannya, menyambut uluran tangan Alnizam Hafidz—sang putra sulung yang telah tiba. “Alhamdulillah sampai dengan selamat kamu nak.” Nizam mencium punggung tangan Abi, lantas mengambil tempat disamping Abi.
“Umi mana?”
“Umi disini.” Sosok wanita berjilbab panjang muncul, kedua tangannya memegang nampan berisi sepiring bolu pandan dan empat cangkir teh hangat. Wanita setengah baya itu meletakan nampan diatas meja kaca lalu beralih mengulurkan tangannya untuk dicium Nizam tak lupa ia peluk hangat putra sulungnya.
Melihat kedatangan makanan enak, azmi dengan cepat meraih satu bolu pandan sedangkan alaksa masih terus fokus pada play station.
Umi mengambil tempat disamping Nizam, “naik apa kesini zam?”
“Bawa mobil, umi.” Balas nizam, tangannya meraih secangkir teh untuk diminum. “Hafalan masih aman sa? Asik banget main.” Nizam melirik adik bungsunya yang dibalas hanya dengan sebuah ibu jari tanpa menoleh, nizam hanya mengangguk. “Gak ke kampus?” aksa menggeleng, nizam lagi-lagi mengangguk.
“oleh-oleh mana bang?” tanya azmi, mulutnya sibuk mengunyah bolu.
“kagak ada.” Balasnya yang berhasil membuat azmi melirik sinis. Memilih tidak peduli, nizam lantas beralih melihat abi serta umi. “terus ini ada apa? Kenapa tiba-tiba minta nizam pulang?” tanya laki-laki itu.
Umi melirik suaminya yang dihadiahi anggukan dari Abi. “ada yang mau abi sama umi omongin ke kalian.” Umi melirik kedua putranya yang masih sibuk dengan dunia mereka. “azmi, aksa berhenti dulu main game nya, ini abi sama umi mau ngomong sesuatu.” pinta wanita setengah baya itu dengan lembut.
Menurut, kedua laki-laki itu berbalik, memposisikan duduk menghadap Abi, Umi, serta Nizam.
Dirasa semua perhatian anaknya sudah mengarah padanya, abi menghela napas lantas melirik satu-persatu putranya hingga berhenti tepat pada si bungsu. “Abi ngomongin ini udah lama banget dan abi rasa sudah waktunya abi bilang ini ke kalian.” Jelas abi.
Merasa ada sesuatu yang akan terjadi, azmi lantas menyikut bahu adiknya pelan, “asek, abang kita keknya mau nikah nih.” Bisiknya pada aksa namun laki-laki itu tak bereaksi apapun, sesuatu terasa janggal dari tatapan abi, aksa rasa ini bukan berita untuk nizam.
“sebelum meninggal, eyang titip wasiat untuk aksa.” Aksa diam, masih ingin mendengarkan penjelasan abi lebih lanjut. Abi menatap mata si bungsu lama sebelum akhirnya berujar, “Eyang udah jodohin kamu sama cucu temennya.”
Kali ini baik aksa maupun azmi melotot kaget, sedangkan si sulung nizam hanya diam. Dia sudah tau itu sejak lama. Nizam menjadi satu-satunya saksi wasiat eyang dari ketiga putra abi.
“Aksa?” alaksa menunjuk dirinya sendiri. Wajah bingung dan terkejutnya masih belum memudar.
Azmi lagi-lagi menyikut adiknya, “jadi bukan bang nizam yang nikah tapi lu!?” bisik laki-laki itu.
“Azmi.” Tegur umi. Laki-laki itu kembali pada posisinya.
Alaksa menatap abi, “Ta—tapi kan ada bang azmi.” Ujarnya, “ada bang nizam juga, kenapa harus aksa? Aksa gak mau dijodohin.” Tolaknya.
Abi menghembuskan nafas, menatap mata si bungsu. “waktu kamu umur empat tahun, kamu hampir ketabrak mobil, kamu tau kan?” aksa jelas tau, ia pernah diceritakan umi dulu. “Yang nolongin kamu itu teman eyang. Kamu selamat tapi teman eyang enggak.” Jelas abi.
Aksa terkejut, itu tidak termasuk dalam cerita yang diceritakan umi, atau umi memang sengaja tidak menceritakan dengan detail.
“disitu eyang sedih banget, teman baiknya meninggal demi nolongin cucunya. Eyang bingung mau balas kebaikan temannya kaya gimana, sampai akhirnya eyang ingat kalo temannya juga punya cucu, eyang mau jika kelak besar nanti kamu yang jagain cucu temannya, alaksa.” Abi berusaha menjelaskan pada si bungsu, beraharap si bungsu dapat mengerti. Tapi nihil, si bungsu tetap menggeleng. “Tapi masih ada bang nizam sama bang azmi, kenapa harus aksa?” alaksa masih tidak terima, ini tidak masuk akan dalam pikirannya, kenapa harus dia kalau masih ada dua kakaknya?
Umi mendekat, duduk disamping si bungsu. “Alaksa dengarkan umi nak.” Wanita itu mengelus puncak kepala si bungsu. “yang hampir mengalami kejadian naas itu kamu, coba kita balikkan , bagaimana jika temannya eyang gak nyelamatin kamu? Eyang kehilangan kamu, umi, abi, bang nizam, sama bang azmi juga akan kehilangan kamu.”
“tapi masih ada—“
“umi tau masih ada abang-abang kamu alaksa, tapi yang dituju itu kamu. Akan sangat enggak adil untuk abang-abang kamu karna harus bertanggung jawab sama kejadian yang menimpa kamu. Aksa paham maksud umi?”
Alaksa diam. Laki-laki tak bisa bilang ‘iya’ dia punya kekasih untuk apa ia menerima wanita lain? Lagi pula aksa tidak mengenali siapa perempuan itu, alaksa belum siap.
“Aksa terima yah? Ini permintaan pertama eyang untuk kamu.” Bujuk umi, tapi si bungsu tak menyahut. Alaksa sadar diatara tiga putra abi hanya dirinya lah yang paling banyak menghabiskan waktu bersama eyang semmasa hidup beliau, tapi permintaan eyang berat dan gue takut gagal.
“Aksa mau kekamar dulu.” Laki-laki itu akhirnya pamit tanpa meninggalkan jawaban.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
