Kisah Empat – Memilih Untuk Tidak Jatuh Cinta

245
58
Deskripsi

Memilih Untuk Tidak Jatuh Cinta

Selayaknya anak-anak SMA tahun terakhir, aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersiap menghadapi ujian kelulusan.

Hari itu anak kelas sepuluh dan sebelas sudah pulang dari sekolah, sementara anak kelas dua belas sepertiku harus mengikuti kelas tambahan. 

Sambil menunggu kelas tambahan dimulai, aku duduk di bawah pohon paling rindang tidak jauh dari lapangan basket, menikmati hembusan angin sepoi-sepoi sampai seseorang menepuk pundakku.

Tepukan itu diikuti suara lembut dan merdu yang memecahkan lamunanku, “Kak Joko, kenapa kau sering duduk sendirian seperti tidak punya teman?”

Pemilik suara itu tersenyum lebar ketika aku menoleh, memamerkan gigi putih berbaris rapi di antara bibir merah mudanya.

Gadis yang lebih muda dua tahun dariku ini bernama Aurelia. Berparas cantik, berotak cerdas, serta berkepribadian menyenangkan membuatnya menjadi gadis paling populer di sekolah. Tidak sedikit siswa-siswa sekolah ini maupun sekolah lain yang berusaha mendapatkan hatinya.

“Aku tidak sendirian. Kau hanya tidak bisa melihat temanku.”

“Ha.Ha. Lucu sekali.” Aurelia mengejek sebelum tertawa kecil.

“Jadi kenapa kau belum pulang?”

“Tidak ada orang di rumah.” Aurelia duduk di sampingku lalu menyandarkan kepala di bahuku, “Nanti mau pulang sama Kak Bara.”

Kenapa gadis sepopuler Aurelia bisa dekat dengan pemuda biasa sepertiku? Bara jawabannya. Selain merupakan sepupu Aurelia, Bara adalah sahabatku selama sepuluh tahun.

Karena situasi keluarganya, Aurelia tinggal di rumah Bara sejak kelas satu SMP. Kami menjadi saling kenal karena aku bermain ke rumah Bara.

Aurelia sudah sering menyandarkan kepala di bahuku, membuatku mendapatkan tatapan sinis dan dingin dari kaum adam tetapi kali ini terasa sedikit berbeda.

“Oh iya, Kak Joko sekarang lagi punya pacar nggak sih?”

“Pertanyaan macam apa…” Aku hampir tersedak nafas sendiri, “Kau pasti mengetahui jawabannya. Kenapa tiba-tiba bertanya begitu? Ada teman sekelasmu yang meminta nomorku?”

Bukannya menjawab, Aurelia menghela nafas panjang lalu mengalihkan pembicaraan, “Akhir-akhir ini aku merasa tidak akan bisa jatuh cinta. Kenapa ya kak?”

“Kupikir itu sesuatu yang hanya bisa kau jawab sendiri. Memangnya kau tidak memiliki sedikitpun gambaran tentang alasannya?”

Aurelia menegakan kepala lalu memandang langit, terlihat memikirkannya secara mendalam.

“Aku tidak yakin…” Dia bergumam pelan sambil mengelus dagu, “Mungkinkah karena aku dibesarkan dengan film-film disney? Aku berharap ada pangeran tampan dan sempurna yang menjadi pasanganku…” Aurelia melirikku sejenak lalu mengalihkan pandangan, “Tetapi semua pria yang kutemui bodoh, brengsek, dan jelek.”

“Semua? Aku juga dong?” Aku memasang wajah cemberut.

Aurelia kembali mengelus dagu, memperhatikanku dengan teliti. Gadis ini sungguh sedang mempertimbangkan pertanyaanku.

“Mengingat prestasi akademikmu, kuakui kau tidak bodoh Kak. Tapi sulit mengatakan dirimu tidak jelek dan brengsek.”

“Hanya karena aku tidak berpergian menggunakan kuda putih bukan berarti aku brengsek.”

“Hm? Bagaimana dengan bagian jeleknya?”

“Ah. Aku tidak punya pembelaan soal itu.”

Jawabanku membuat Aurelia tertawa geli, aku bisa tertawa bersamanya kalau saja dia tidak mencubit pinggangku.

“Jadi menurut Kak Joko, adakah pria yang memang seperti pangeran berkuda putih?”

“Itu… Sulit.” Aku menarik nafas yang dalam sebelum melanjutkan, “Rel, kalau kamu dan sebagian besar gadis lainnya tumbuh menonton film-film disney maka sebagian besar pria beranjak dewasa dengan film porno. Hal inilah yang membuat pria seringkali mengedepankan nafsu daripada cinta, menjadikan mereka brengsek.”

Tidak ada keterkejutan yang terlihat di wajah Aurelia, seolah sudah menebak jawabanku.

“Apakah Kak Joko termasuk salah satu pria itu?”

Aku tersenyum tipis sebelum menggeleng pelan, “Sepertimu, aku juga tumbuh menonton film-film disney. Sampai hari ini, aku masih menunggu gadis yang datang mencocokan kakiku dengan sepatu kaca yang dibawanya.”

Aurelia kembali tertawa, lebih keras dari sebelumnya. Kali ini aku bisa ikut tertawa karena kedua tangan Aurelia sedang sibuk menutup mulutnya sendiri, berusaha meredam suara tawanya yang mulai tak terkendali.

Sebelum Aurelia bisa berhenti tertawa, suara bel tanda dimulainya kelas tambahan terdengar.

“Rel, aku harus masuk kelas.”

Aurelia terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu namun akhirnya hanya mengangguk pelan.

**

Aurelia tidak mengungkit percakapan yang terputus karena suara bel itu sampai suatu hari ketika aku datang ke rumah Bara untuk belajar kelompok. Aurelia mengajakku ke teras setelah sesi belajar kami selesai.

“Kak Joko masih ingat percakapan kita hari itu?” Aurelia terdengar cemas, ragu, dan takut ketika bertanya, pertama kali aku melihatnya demikian.

“Kenapa? Kau melihat seorang gadis membawa sepatu kaca kemana-mana?” Aku mencoba mencairkan suasana.

Aurelia tertawa geli sejenak lalu mencubitku sambil memasang muka cemberut, “Kenapa kakak tidak pernah serius?”

“Karena hidup akan terasa jauh lebih melelahkan ketika ditanggapi terlalu serius.”

Setelah itu hening cukup lama, kami sama-sama membisu. Perlahan-lahan jantungku berdetak semakin kencang.

“Beberapa hari ini aku sudah memikirkannya…” Aurelia menahan kata-katanya lalu mengigit bibir.

“Memikirkan apa?”

“Mungkin dengan Kak Joko bisa berhasil…”

Aurelia memalingkan wajah dan tidak menyelesaikan ucapannya tetapi aku sudah menangkap maksudnya. Aku bisa melihat dari telinganya merah padam dan nafasnya yang memburu, Aurelia serius dengan ucapannya.

Kami kembali membisu, menciptakan keheningan yang canggung. Aku masih menyusun kata-kata dalam pikiran ketika Aurelia membuka mulutnya.

“Aku hanya bercanda kok!” Aurelia menepuk bahuku berulang kali, “Kak Joko pikir aku serius? Ada banyak…”

Aku memperhatikan kedua matanya memerah dan senyuman yang begitu dipaksakan.

“Rel, apa kau masih ingat sekitar dua tahun yang lalu ketika aku baru saja dikhianati gadis yang begitu penting dalam hidupku?”

“Kenapa tiba-tiba membahas perempuan siluman itu?” Ekspresi Aurelia langsung berubah jutek.

“Waktu itu hubungan kita belum terlalu dekat tetapi saat kau mengetahui situasiku, kau mengajakku jalan bersama di malam minggu.”

Aku menghela nafas panjang lalu tersenyum mengingat hari itu, rasanya seperti baru terjadi kemarin.

“Kau berhasil membuatku tersenyum dan melupakan kesedihan. Kita tertawa bersama, menyadarkanku betapa konyolnya masalah yang kuhadapi.”

Aurelia menunjukan wajah cemberut, dia menyadari tujuan ceritaku.

“Saat mengantarmu pulang, kau bilang diriku tidak akan pernah menjadi pacarmu karena seleramu terlalu tinggi. Kita lebih cocok menjadi teman.” Aku tertawa kecil ketika mengingatnya, “Aku ditolak sebelum yakin dengan perasaanku.”

“Kak Joko, waktu itu…”

Aku mengangguk pelan lalu memintanya membiarkanku menyelesaikan, “Hari itu aku tidak menyadarinya, belakangan aku baru mengerti keputusanmu. Hari itu kau belum siap untuk cinta sementara aku terluka karena cinta. Sadar ataupun tidak, kita sama-sama memilih untuk tidak jatuh cinta.”

Melihat Aurelia mengepalkan tangan dan mengigit bibir, aku membelai lembut rambutnya sebelum melanjutkan.

“Sekarang kau bingung tentang cinta sementara aku tidak siap untuk mencintai. Aku tidak ingin kita terluka dan kehilangan hal yang penting karena itu biarkan sekali lagi aku memilih untuk tidak jatuh cinta…”

Air mata yang berusaha Aurelia tahan akhirnya jatuh. Aku menahan diri untuk tidak memeluknya, berpikir itu lebih baik untuk kami berdua tetapi dia lebih dulu memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Aku menepuk punggungnya pelan, membiarkannya air matanya membasahi bajuku.

**

Hubunganku dengan Aurelia kembali berjalan seperti sebelum percakapan itu terjadi, setidaknya sampai aku lulus SMA. Karena kesibukan dan lain hal, kami semakin jarang bertemu atau sekedar berbincang.

Puncaknya ketika Aurelia memutuskan kuliah di luar negeri, komunikasi kami terus berkurang sampai akhirnya terputus.

Kami kemudian bertemu lagi setelah beberapa tahun di acara pertunangan Bara. Aku hampir tidak mengenali Aurelia karena dia menjadi jauh lebih cantik dan anggun.

“Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau menyesal menolak cintaku hari itu?” Aurelia menunjuk hidungku, ternyata kepribadiannya tidak berubah.

Tidak bertemu beberapa tahun membuat kami memiliki banyak cerita untuk dibagikan. Kami berbincang selama beberapa jam lalu meninggalkan pesta.

Sebelum berpisah Aurelia berkata, “Ngomong-ngomong, aku masih memilih untuk tidak jatuh cinta.”

Memilih untuk tidak jatuh cinta adalah sesuatu yang sulit tetapi aku yakin lebih baik mencintai dengan kesiapan daripada karena kesepian karena cinta bukanlah permainan tetapi sesuatu yang penting untuk melengkapi hidup kita.

Meskipun kami tidak berakhir bersama, setidaknya kami menciptakan banyak kenangan indah bersama tanpa sedikitpun penyesalan.

Selesai

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Cerpen
Selanjutnya Immortal Destiny Arc 16 - Anak Emas
465
174
Jumlah Chapter : 20Jumlah Halaman : 107Bagian Sebelumnya Arc 15 - Salju di Musim PanasPetualangan Li Hao berlanjut. Dalam membantu Shen Wang menghubungi Golden Sword Sect, Li Hao menemukan kejutan-kejutan besar lainnya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan