
Yaya dan Ganin bisa di baca gratis di wp yang tayang 1X dalam seminggu
Untuk yang pengn baca duluan bisa ke KK untuk yang berbayar
Bab 1
A day in Yaya’s live
Sambil menyandarkan siku di railling balkon lantai dua, Yaya mengamati situasi lantai satu. Meski beberapa meja terlihat kosong, tapi kafe yang beroperasi sejak enam bulan lalu tersebut relatif ramai. Bangunan dua lantai dengan atap segitiga yang terletak tak jauh dari salah satu universitas swasta di Surabaya tersebut, menjadi salah satu tujuan bagi para mahasiswa untuk berkumpul sekedar menghabiskan waktu, mengerjakan tugas ataupun bekerja.
Pembagian ruangan yang terlihat jelas sesuai kebutuhan menjadi salah satu daya tarik mereka. Lantai satu terdapat beberapa meja dengan empat kursi dan booth yang menempel di dinding. Cocok bagi mereka yang ingin suasana tertutup tapi cukup terbuka. Berbeda dengan area outdoor yang lebih terbuka, santai dan mengundang untuk berlama-lama di bawah naungan pergola dengan tanaman bougenville yang membuat suasana terasa berbeda. Sedangkan lantai dua terdiri dari ruang meeting yang bisa dipesan dan juga ruang kerjanya.
Selama enam bulan Yaya menghabiskan waktu sejak pagi hingga malam hari di sana. Ia dan Ananta—sahabat dan partner kerjanya—terlibat semenjak kafe masih berupa wacana hingga saat ini. Meski saat ini keterlibatan Ananta semakin berkurang sejak perempuan yang dikenalnya saat hari pertama kuliah tersebut menikah dengan Rizky—pria yang membawa konsep kafe pada mereka berdua.
Mengingat dua orang yang selama beberapa hari tak terlihat di kafe, membuat Yaya bertanya dalam hati. Ia dan Ananta seolah tak terpisahkan sejak ide mendirikan Sweet tooth terlontar ketika mereka menghabiskan waktu di salah satu kafe tak jauh dari kampus beberapa tahun lalu. Namun, sejak Ananta melepas masa lajangnya, ia harus menerima perubahan kondisi mereka berdua.
Sehat, Na?
Ananta Gemintang
Sehat. Cuma akhir-akhir ini pusing dan mual
Iku jenenge meteng[1], Na!
Ananta Gemintang
Belum tentu. Kali aja masuk angin
Atau karena kelebihan jatah.
Makanya di kasih jeda, jangan digempur tiap hari
Yaya tertawa membaca pesan yang dikirimnya. Terlebih lagi ketika balasan Ananta penuh dengan umpatan khas Surabaya yang bisa membuat semua orang mengerutkan kening ketika mendengarnya. Membuat tawanya semakin kencang.
“Bahagia banget, Mbak,” sapa Asti membuyarkan lamunannya membayangkan wajah jengkel Ananta ketika mengetik umpatan untuknya. “Pasti Mas Dipa udah pulang, ya,” tebak Asti menyebut nama tunangannya.
“Halah … anak kecil enggak usah ikut-ikutan!” Asti, salah satu anak buahnya yang baru lulus SMK beberapa bulan lalu memiliki semangat kerja yang luar biasa. Meski terkadang membuatnya malu melihat kesigapan dan kerajinan gadis berjilbab tersebut. “Kerja sana! ngapain ke sini?!”
“Mau siapin ruang meeting. Ada yang booking dadakan untuk lunch meeting katanya.” Yaya menegakkan punggung mendengar pemesanan yang seharusnya dilakukan H-1.
“Terus, kamu terima?” tanyanya kaget.
“Belum, sih, Mbak. Ini mau tanya Mbak Yaya sekalian siapin ruangan kalau emang bisa.” Salah satu yang membuatnya kagum dan juga jengkel dengan Asti yang selalu ingin melakukan dua hingga tiga pekerjaan dalam sekali waktu.
“Kalau belum kamu oke-in, ngapain siapin ruangan, coba?!” tanya Yaya yang semakin heran dengan kelakuan Asti.
Asti tak terlihat takut atau segan meski saat ini nada suaranya sedikit lebih tinggi dari pada biasanya. Bahkan gadis yang terlihat menahan tawa itu hanya menjawab dengan santai. “Karena aku tahu apa jawaban Mbak Yaya. Kalau semua siap—dan aku tahu semuanya siap—pasti Mbak enggak bakalan nolak orderan itu. iya, kan?!”
“Embuh, Ti. Sak karepmu, diresiki sik ruangane![2] Cek semuanya! Aku ke bawah dulu cek dapur dan kesiapannya. Kita enggak mungkin siapin makan siang kalau bahan-bahannya enggak ready semua,” omelnya sambil meninggalkan Asti yang sudah bergerak menuju salah satu ruang meeting tanpa menantinya.
“Siap, Bos!” teriakan Asti terdengar ketika langkahnya berada di tengah jalan menuju lantai satu. Yaya menggeleng keheranan melihat kelakuan gadis tersebut, walau saat ini ia harus menahan diri untuk tidak tertawa.
Ia tak pernah bekerja di dapur komersial. Namun, ketika Rizky dan Ananta meyakinkannya bahwa menjalankan dapur kafe tak akan sesulit menerbangkan pesawat, ia memberanikan diri untuk menerima tanggung jawab sebagai manager pelaksana. Ia melihat semua staff dapur sibuk dengan tugasnya masing-masing dan senyum di bibirnya tak bisa ditahan. Rasa bangga dan puas selalu mewarnai suasana hatinya setiap kali melangkah memasuki area dapur yang menjadi satu dengan area kerja sweet tooth. Salah satu syarat yang ia dan Ananta ajukan ketika menerima penawaran Rizky adalah, mereka bisa melanjutkan usaha kue yang mereka rintis sejak keduanya menyelesaikan kuliah.
“Piye, Mas? Siap untuk lunch meeting dadakan?!” tanyanya pada Wemmy, pria asal Malang yang bertanggung jawab urusan dapur.
“Beres, Ya,” jawab Wemmy tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. “Asti tadi konfirmasi aku dulu sebelum nyari kamu,” jawab pria yang menolak dipanggil Mas, meski usia mereka berbeda lima tahun. “Anak-anak udah siap, kok. Tenang aja.” Mendengar hal itu, ia merasa semakin puas dan juga jengkel karena Asti berhasil mengerjainya beberapa saat lalu.
“Kenapa? Kamu dikerjain Asti, to?!” tanya Wemmy yang melihat wajahnya berubah. Bahkan tawa pria berambut cepak tersebut semakin membuatnya jengkel.
“Arek iku njaluk tak sambel, kok!”[3] katanya sebelum melangkah menuju lantai dua setelah memastikan semuanya siap. Tawa Wemmy yang masih mengisi ruang dengarnya membuat langkahnya semakin cepat menaiki anak tangga menuju lantai dua.
“Ti! Mayak, koen! Ojo nggarai wong emosi, yo!”[4] omelnya ketika mendapati Asti mengelap meja rapat yang terlihat bersih tanpa ada debu menempel di sana. “Nek wis beres kabeh, lapo atek laporan! Marai wong kaget ae!”[5]
“Dari pada kamu ngelamun menghitung hari sampai Mas Dipa pulang,” ejek Asti yang tak terlihat bersalah meski melihatnya berkacak pinggang di ambang pintu.
Tanpa meneruskan omelannya ketika mendengar nama Dipa, Yaya meninggalkan Asti menuju ruang kerjanya. Ia membutuhkan sesuatu yang membuat otaknya sibuk dan tidak selalu memikirkan pria yang berada di Kalimantan sejak tiga minggu lalu. Tanpa mengindahkan panggilan Asti, ia memasuki ruangan yang resmi menjadi daerah kekuasaannya sejak Rizky menyerahkan kunci utama kafe padanya.
Ruangan kecil terdiri dari sepasang meja dan kursi kerja, lemari kabinet, meja kecil juga single sofa berwarna putih, membuat ruangan kecilnya menjadi nyaman untuk bekerja. Ditambah dengan beberapa pot tanaman sukulen yang menjadi salah satu hobinya selama ini. Yaya menyalakan musik yang memenuhi ruangan, membuka laci meja kerja dan menghela napas panjang ketika melihat tumpukan nota juga tanda terima menunggu untuk dikerjakan.
“Kerja, Ya!” katanya. “Kangen ya kangen, tapi tetep kerja. Tagihan telepon enggak bakalan bisa di bayar kalau laporan itu enggak selesai!” kata Yaya menyemangati diri sendiri. Kebiasaan berbicara pada diri sendiri yang tak bisa hilang sejak SMA setiap kali ia butuh menaikkan suasana hati. Setelah meminta Asti membawakan segelas kopi dan juga kue, ia memulai bekerja.
Entah berapa lama ia bekerja. Karena saat ini pundak dan punggung yang terasa kaku menuntut untuk di gerakkan membuatnya berhenti. saat itu lah ketukan di pintu membuatnya terlonjak. Namun, sebelum ia berteriak masuk, ia melihat pria yang mengisi hari-harinya sejak tiga tahun lalu.
“Lho, Mas kok ada di sini?” tanyanya dengan mata membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya tak berhenti mengikuti langkah Dipa mendekatinya setelah menutup dan mengunci pintu ruang kerjanya. “Mas, kam—”
Dalam satu gerakan, Dipa mengangkat tubuhnya dan mendorong hingga punggungnya bertemu dengan dinding berwarna abu-abu di belakangnya. “Mas ….” katanya dengan napas yang tiba-tiba terasa pendek. Ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya, bahkan pikirannya saat ini terasa kosong ketika Dipa menarik kedua tangannya ke atas dan bibir pria yang selalu melenakan tersebut menciumnya keras.
Ada rasa rindu dan takut yang Yaya rasakan di setiap hisapan bibir Dipa. Erangan tak bisa ditahannya lebih lama ketika leher menjadi tujuan Dipa selanjutnya. “Aku kangen.” Suara serak diwarnai geraman terdengar jelas di telinganya. “Aku kangen dan enggak bisa nahan lebih lama lagi. Boleh?”
Yaya tak mampu menjawab ketika kecupan itu semakin turun hingga ia merasakan hisapan kuat tepat di atas payudara sebelah kiri. “Sayang, boleh?” tanya Dipa mengaburkan pikirannya.
Ketukan keras di pintu membuat keduanya melonjak dan segera memisahkan diri. Meski saat ini hanya ada mereka berdua di dalam ruang kerjanya, tapi mendengar ketukan tersebut membuatnya tersadar di mana mereka berada saat ini. “Mbak, turun bentar. Kangen-kangenannya ntar lagi, Mas Wem butuh bantuan!” teriakan Asti membuatnya melotot ke arah Dipa yang tertawa terbahak-bahak mengingat beberapa saat lalu keduanya hampir saja tak bisa menahan diri.
“Kenapa dia selalu muncul setiap kali aku nyium kamu di sini?” tanya Dipa keheranan mengingat Asti selalu menganggu mereka berdua. “Kayaknya anak buah kamu itu punya kekuatan super, deh.”
“Ngawur!” jawab Yaya sambil berusaha merapikan penampilannya. “Itu karena dia tahu kalau kita berdua di kamar yang tertutup bukan hanya duduk sambil ngobrol, Mas.” Ketukan kembali terdengar membuat tawa keduanya tak bisa di tahan lebih lama lagi. “Iya, Ti. Lima menit lagi aku turun!” teriaknya sambil merapikan ikatan rambutnya yang berantakan.
Yaya mengurai dan kembali mencepol rambut tepat di atas kepala ketika melirik Dipa yang terlihat tidak nyaman. “Kenapa, Mas?” tanyanya sambil menunduk dan mencium lembut bibir Dipa.
“Anak buah kamu ganggu kesenanganku aja.” Yaya terkekeh melihat arah pandang Dipa dan segera menuju pintu sebelum melirik pria yang duduk di kursi kerjanya dengan wajah kusut. “Aku jemput?” tanya Dipa sesaat sebelum ia membuka pintu.
“Ketemu di apartemen aja, ya. Aku bawa mobil hari ini,” jawabnya sambil membuka pintu. “Take your time, ntar kunci pintu titipin anak-anak kalau Mas enggak mau cari aku ke dapur.” Setelah melayangkan ciuman jarak jauh, Yaya melangkah keluar.
Setelah memastikan pintu tertutup, ia membalik badan dan menabrak seseorang yang membuatnya hampir terjengkang ke belakang. Namun, lengan kokoh yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya memastikan dirinya tidak terlihat bodoh dan malu karena tidak melihat arah jalannya saat ini.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya pria yang menyelamatkannya. Posisi kepala mereka berdua yang hanya berjarak beberapa senti membuatnya bisa menghirup aroma mint yang menguar dari bibir pria berkaca mata tersebut. “Kamu enggak apa-apa?” Ia masih terdiam hingga cengkeraman di pinggang membuatnya tersadar.
Hangat yang dirasakannya dari dekapan pria dengan senyum menggoda menumpulkan otaknya. Membuat napasnya menjadi tak beraturan. Bahkan ia merasa ada kekuatan tak kasat mata yang menariknya untuk masuk lebih jauh ke dalam pelukan itu. Saat itulah suara tawa terdengar dari kejauhan memecah lamunan dan mengembalikan kesadarannya. Yaya kembali memandang pria yang memberinya tatapan tak bisa ia artikan.
Yaya menegakkan badan dan memundurkan kepala. Ia bisa merasakan pipinya menghangat ketika pria itu kembali mendekatkan kepalanya. “Saya bisa lepas kamu, kan?” tanya pria itu yang tak terlihat canggung meski lengan kokohnya masih berada di pinggangnya.
“Maaf, Pak. Bisa, makasih,” ucapnya menyadari kebodohannya. “Sekali lagi maaf, ya.”
“Saya bisa lepas kamu kalau gitu, ya?” Yaya mengangguk beberapa kali tanpa kata. Ketika lengan yang selama beberapa saat terasa di pinggangnya menghilang, ada sesuatu terasa di hatinya. Aroma musk, dengan sedikit cendana dan kopi memenuhi indera penciumannya, membuatnya nyaman. Namun, sebelum sepenuhnya berlalu, pria itu kembali menatapnya. “Kancing kamu kebuka,” kata pria itu mengedikkan dagu sebelum meninggalkannya dengan bibir terbuka dan mata membulat sempurna.
Ia segera menunduk dan mendapati dua kancing kemejanya terbuka dan memperlihatkan bra berenda warna hitam yang terlihat kontras dengan kulit putih langsatnya. Dengan tangan bergetar, ia mengancingkan kemeja dan segera berlari menuju dapur tanpa menoleh ke arah ke mana pria itu menghilang. Dalam hati, ia berharap tidak akan pernah kembali melihat pria itu.
“Yaya goblok!” umpatnya pada diri sendiri, mengingat kebodohannya hari ini. Membiarkan Dipa membuatnya terangsang, bahkan menginginkan lebih dan juga tidak sengaja membiarkan orang asing melihat dada terbukanya.
Bab 2
Him
Yaya mendengarkan cerita Asti tentang seseorang yang berada di ruang rapat lantai dua dengan setengah hati. Ia masih belum sepenuhnya melupakan kejadian beberapa saat lalu. Pikirannya masih penuh dengan seseorang yang memeluk pinggangnya dengan erat, menatap dada terbuka dan membuatnya merasakan sesuatu. Ia masih bisa mengingat sorot mata penuh damba ketika pria itu mengatakan, kancing kamu kebuka.
“Nek enggak percoyo, deloken dewe, Mbak. Wong e guanteng men. Motone iku lho, koyo silet tapi adem.”[6] Yaya melirik Asti sekilas dan menggelengkan kepala bersamaan dengan Jaka membuka pintu kaca menuju ruang rapat yang terdengar ramai.
Mereka mempersiapkan makan siang sesuai permintaan mereka di meja panjang sejajar dinding menghadap white board yang menjadi pusat perhatian semua peserta rapat. Yaya mengawasi Asti dan Jaka yang berusaha untuk secepat dan seefisian mungkin menyiapkan semuanya. Mereka sudah terbiasa bekerja dalam diam sehingga tidak menganggu jalannya rapat meski hanya berisi beberapa orang.
Sesekali ia membantu tapi sebagian besar waktu ia pergunakan untuk mengawasi dan memastikan semua berjalan sesuai standart mereka. Namun ada sesuatu yang berbeda siang ini, ia merasa ada seseorang yang mengawasinya dengan lekat. Yaya bisa merasakannya ketika tengkuknya terasa meremang. Beberapa kali ia mengusap bagian belakang kepalanya, tapi perasaan itu tak kunjung hilang.
Menjadi pusat perhatian seseorang di muka umum bukan sesuatu yang Yaya inginkan, karena ia selalu menikmati menjadi pengamat bukan sebagai obyek pengamatan. Namun, saat ini terasa berbeda, karena ada rasa senang ketika ia merasakan seseorang memperhatikannya dengan lekat.
Yaya kembali memperhatikan kerja Asti dan Jaka, setelah semua siap dan rapi, mereka bersiap untuk keluar ketika terdengar suara yang terdengar akrab di telinganya. “Guys … aku lihat makan siang susah siap. Kasih ucapan terima kasih sama Mbak siapa namanya, yang sudah susah payah menyediakan pesanan kita meski reservasi tempatnya dadakan.” Tanpa ia sadari, jarinya menyentuh kancing dan memastikan semuanya tertutup rapat.
Tak lama setelah ia membalik badan menghadap semua orang yang memandangnya, ia mendengar beberapa orang mengucapkan terima kasih secara bersamaan seperti layaknya anak TK sebelum tawa semua orang meledak menyadari kekonyolan mereka. “Maaf, dengan Mbak siapa? Kalau boleh silahkan memperkenalkan diri.” Permintaan tidak lazim itu membuatnya terkejut. Nada memerintah yang memasuki telinganya terdengar menjengkelkan, tapi entah kenapa membuat bibirnya bergerak untuk menjawabnya.
“Saya?” tanyanya yang dijawab semua orang dengan anggukan. Yaya membenci berbicara di depan forum, dan saat ini, ia harus melakukan tanpa persiapan karena permintaan pria tersebut. “Selamat siang semuanya,” katanya dengan bibir tersenyum ke arah semua orang kecuali pria yang berdiri di depan white board dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. “Nama saya Soraya. Mewakili teman-teman di sini, saya ucapkan terima kasih sudah sabar menanti dan semoga makan siang yang sudah disiapkan memenuhi selera semuanya. Selamat makan siang semuanya, sekali lagi terima kasih.” Yaya menyudahi sambutan dadakannya dan segera berlalu, tapi sekali lagi suara itu membuat langkahnya terhenti.
“Thank you Soraya.” Cara pria itu menyebut namanya terdengar terlalu akrab dan membuat ia ingin segera berlalu melangkah keluar ruangan menuju ruang kerjanya.
“Kandani[7], kok. Ganteng, kan?” kata Asti meraih sikunya sebelum ia melangkah menuju ruang kerja dan meninggalkan mereka berdua sibuk dengan tray dan juga piring bekas. “Kamu terpesona pisan, to, Mbak!” tuduh Asti mengangkat jari telunjuk padanya menahan langkahnya.
“Kerjo! Dari pada tak potong gajimu, kerjo![8]” hardik Yaya, meski senyum di bibir tak hilang memandang kelakuan Asti yang terkadang membuatnya jengkel. “Aku ke ruanganku, Ti. kalau butuh sesuatu, panggil aja.”
Yaya membutuhkan jarak dan ruang untuk meredakan detak jantungnya. Ingatan tentang pria itu menganggu pikirannya. Mengusik hatinya. Bahkan suara dan nada tegas yang keluar dari bibir pria tanpa nama tersebut berhasil membuatnya melakukan sesuatu yang selalu dihindarinya, yaitu memperkenalkan diri di muka umum.
“Goblok goblok goblok! Tadi aja make out sama Mas Dipa, tapi sekarang malah mikirin cowok lain. Yaya goblok!” umpatnya memukul keningnya beberapa kali.
Ia tak ingin keluar dari ruangan sebelum memastikan ruang rapat di sebelahnya kosong. Walaupun saat ini hati dan pikirannya berjalan berlawanan arah. Yaya ingin bisa melihatnya, tapi ia juga tak ingin merasakan kembali perasaan yang timbul setiap kali melihat kedua mata tajam pria itu.
Entah berapa lama ia bersembunyi di ruang kerja, hingga semua nota yang selama ini dihindarinya telah selesai dikerjakan. Punggungnya terasa kaku dan tengkuknya pegal karena terlalu lama menunduk mengerjakan pembukuan. Yaya melakukan gerakan senam untuk mengurai kekakuan otot punggungnya sebelum merapikan pekerjaan dan memasukkan semua barang bawaannya.
Ia memutuskan untuk memberikan kekasihnya kejutan setelah aksi mereka terganggu. Setelah memastikan semua berjalan aman, Yaya menuju pintu keluar. Pikirannya tertuju pada sepasang baju tidur berwarna merah marun yang belum sempat dipakainya semenjak ia membelinya minggu lalu. Dalam perjalanan pulang ia mulai membayangkan reaksi Dipa dan menyisihkan semua yang terjadi hari ini di bagian dasar pikirannya.
Satu jam setelah ia meninggalkan kafe, ia terdiam menatap pantulan diri di depan kaca setinggi badan yang terdapat di kamar Dipa. Kamisol berbahan satin terasa lembut di kulitnya. Berpotongan rendah membuat dada penuhnya terlihat menggoda. Ia bahkan bisa membayangkan binar mata Dipa, membuatnya semakin bersemangat. Celana pendek yang tidak ia pakai, terganti dengan thong sewarna membuatnya terlihat semakin menggoda.
"Gitu aja, Yaya. Celananya jangan dipakai." Yaya bisa merasakan kehadiran Dipa dan ia menatap mata penuh damba yang saat ini membuatnya merasa diinginkan. Tatapan memuja pria yang tak melepas pandangan darinya menaikkan kepercayaan dirinya melesat jauh.
Ia masih berdiri tanpa membalik badan dan melihat langkah pelan Dipa hingga berdiri tepat di belakangnya. Belaian lembut dari ujung jari hingga ke pundak telanjangnya membuat tubuhnya bergerak ke belakang dan sepenuhnya menyandar di dada bidang yang selama ini menjadi tempatnya pulang. Dengan mata tertutup, ia menikmati belaian penuh kasih yang ia rasakan saat ini. Ketika jari Dipa kembali membelai tulang selangka dan turun ke belahan dada, ia tak mampu menahan desahan lembut yang lolos dari bibirnya.
"Ternyata tadi siang aku terlalu kasar, sampai merah begini. Maaf, ya.” Permintaan maaf Dipa seperti siraman air dingin di atas kepalanya.
"Maksudnya?" tanya Yaya membuka mata setelah menegakkan badan.
"Nih." Tangan Dipa berhenti tepat di dada. Saat ia menunduk untuk melihat, Yaya merasa oksigen menuju otak langsung terhenti. Pikirannya langsung kembali pada lelaki dengan aroma parfum yang masih tertinggal di hidungnya.
Tanpa mengatakan apapun, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintu di belakangnya. Napasnya memburu mengingat kebodohannya siang tadi. Ia memutar kembali kejadian sejak lengan kokoh itu menyelamatkan hingga ucapan terima kasih yang membuat perutnya bergejolak. Yaya tak bisa membayangkan apa isi pikiran pria itu ketika melihat kissmark di dadanya.
"Ya!"
Gedoran pintu dan suara Dipa yang terdengar kuatir membuatnya tersadar. Semenjak ia masuk ke kamar mandi, ia hanya terdiam di depan wastafel memandang pantulan tubuhnya. Bukan wajah penuh nafsu atau berantakan yang membuatnya terdiam. Tetapi tanda kemerahan yang terlihat jelas di dada bagian atas lah yang membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Yang terlintas dikepala hanya satu, lelaki tadi pasti melihatnya.
"Gimana kalau aku melihatnya lagi. Mau taruh di mana mukaku?" bisiknya ngeri membayangkan akan bertemu pandang dengan pria yang sudah melihat tanda itu. Yaya segera berdoa meminta pada Tuhan untuk tidak menempatkan pria itu di dalam jalur hidupnya kembali. Berbagai skenario melayang di kepalanya. Bahkan ia merencanakan untuk bersembunyi di ruang kerja ataupun dapur, demi menghindari pria itu.
"Ya! Buka atau aku dobrak pintu ini, kamu kenapa, sih!"
Tersadar dari lamunannya, Yaya membuka pintu dan mendapati wajah kusut Dipa yang berkacak pinggang memandangnya dengan kuatir. "Apaan sih, Mas!" hardiknya tak ingin Dipa mengetahui isi pikirannya.
Dalam hati ia berdoa semoga Dipa tidak melihat kegugupannya, karena saat ini ia kembali memikirkan pria itu. Selain ia tak bisa menghilangkan bayangan lengan kokoh dan juga aroma tubuh yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang, pikirannya penuh dengan cara pria itu memandangnya. Kemungkinan bertemu dengan lelaki yang sudah melihat tanda di dada membuatnya malu.
Saat ini, kecurigaan terlihat jelas di wajah Dipa, mata tunangannya menyipit melihatnya dari atas sampai bawah. "Ada apa? Kamu di dalam hampir sepuluh menit dan nggak ada suara sama sekali. Ada masalah apa?" Usapan lembut tangan Dipa tidak membuatnya tenang, tapi justru membuat Yaya semakin teringat lelaki itu.
"Nggak ada apa-apa, Mas," katanya berusaha terdengar tenang. Yaya kembali mengingat cara pria itu memandangnya meski hanya sekilas. Membuatnya merasa cantik, sexy dan diinginkan. Seperti cara Dipa melihatnya saat ini.
"Yakin?" tanya Dipa pelan tepat di telinganya. Suara lembut itu membius dan membawanya melayang jauh hingga kembali terhempas di bumi. "Koala kesayanganku," kata Dipa mengusap punggungnya dan menciumnya lembut di leher membuat tubuhnya kembali terangsang. Yaya mengalungkan lengan membuat kepala Dipa semakin dalam masuk ke ceruk lehernya. Ia merasakan lengan kokoh menahan pinggangnya dan segera melingkarkan kaki ke pinggang ramping Dipa membuatnya seperti koala.
“Koala yang sexy, kan?" katanya dengan napas yang mulai terengah-engah merasakan jari Dipa menemukan titik lemahnya.
"Yes. You are my sexy Koala," kata Dipa. "And you are mine!" Tak lama kemudian Dipa membawanya ke atas ranjang dan semua pikiran tentang pria itu menghilang seiring dengan rangsangan dan belaian yang Dipa berikan. Yaya semakin tak bisa menahan diri ketika rasa itu membuat bibirnya menyebut nama Dipa berulang kali.
Mereka berdua terlentang bersisian dengan badan penuh peluh. Tidak ada satupun yang bersuara, hanya ada tarikan nafas keduanya yang masih tidak beraturan. Tak ada ucapan terima kasih keluar dari mulutnya ataupun Dipa. Hanya hembusan AC dan nafas mereka yang mengisi keheningan kamarnya.
"Ya, tadi kenapa?” tanya Dipa. “Sesaat sebelumnya kamu baik-baik saja, tapi jadi aneh saat aku bilang tanda disini." Tangan Dipa mengusap lembut bagian kulit yang mulai memerah dengan binar bahagia terlihat di matanya. Seperti yang Yaya lihat ketika pria itu membuka pintu kamar dan menemukannya setengah telanjang.
"Ya!" Panggilan itu membuatnya tak bisa terus menghindar dari pertanyaan itu.
Dengan senyum yang dipaksakan, ia bertanya, "Kenapa? Tadi kamu ngomong apa Mas?"
"Kamu kenapa sih?" tanya Dipa mulai terdengar jengkel. Memutuskan untuk menjawabnya, Yaya memiringkan badan sehingga punggungnya sejajar dengan dada bidang Dipa yang segera melingkarkan tangan di perutnya. Beberapa saat ia hanya diam menikmati keberadaan pria yang saat ini mengusap pelan perut ratanya.
"Inget nggak waktu aku keluar kantor saat Asti panggil tadi siang?" kata Yaya dengan suara sedikit serak karena Dipa mulai mencium tengkuknya kembali.
"Hmmm," jawaba Dipa. "Emang kenapa?" Tiba-tiba Dipa berhenti mencium tengkuknya.
Yaya membalik badan dan menahan kepala dengan tangan kirinya. "Aku menabrak pelanggan yang keluar dari toilet."
"Lalu masalahnya dimana?" tanya Dipa dengan wajah bingung. “Laki-laki?” Yaya mengangguk pelan. “Emang kenapa?" tanya Dipa lagi.
Yaya merasa ragu untuk menceritakan, tapi ia tak bisa menahan untuk tidak mengatakan isi kepalanya. "Dia nahan aku biar nggak jatuh. Waktu dia ngelepas, dia bilang kalau kancingku masih kebuka. Aku malu banget, Mas. Dia lihat dadaku yang kebuka. Dan aku baru nyadar kalau ada kissmark hasil karyamu disitu!" kata Yaya jengkel. Ia menjatuhkan tubuh dan menutup wajah dengan lengannya. “Aku malu banget, dan rasanya udah bikin kamu kecewa. Ngerti maksudku, kan?”
Ada rasa takut dan malu yang timbul setiap kali ia mengingat lelaki tersebut, karena selain kenyataan pria itu melihat dadanya, Yaya merasa malu karena menikmati perhatian yang didapatkannya meski hanya berlangsung beberapa detik. “Kamu … marah?" tanya Yaya setelah tak mendengar komentar apapun, dan ia semakin keheranan melihat wajah kekasihnya yang terlihat berbeda. Meski hanya sesaat, ada binar bahagia ketika ia menceritakan lelaki lain melihat dadanya.
“Mas!” Yaya mengerutkan kening ketika Dipa tak melepas pandangan darinya, ia tak tahu apa yang ada dipikiran kekasihnya. Bibir yang beberapa saat lalu membuainya, kini tertutup rapat. Mata tajam yang tertuju padanya terasa berbeda, dan ia tak tahu harus berbuat apa.
"Mas, kamu enggak marah, kan?” Ia kembali bertanya. Dipa masih terdiam dengan pandangan hanya tertuju pada bibirnya. “Aku beneran enggak nyadar kalau kancingku kebuka tadi.” Perasaannya semakin tak menentu karena bibir tunangannya masih tertutup rapat, meski saat ini Dipa membelainya kembali, membuatnya melupakan semua kekuatirannya. Membungkan kekuatiran yang muncul di kepalanya. Pertanyaan di ujung lidahnya pun kembali tertelan ketika tunangannya kembali menguasai bibirnya.
Bab 3
Ganindra Priatna Putra
Hampir sebulan berlalu sejak kejadian kancing terbukanya, dan Yaya tak bisa melupakan cara pria itu memandangnya. Pria asing yang sesekali menguasai mimpinya di malam hari, meski ada lengan Dipa memeluknya erat. Sorot mata yang membuatnya tak bisa berpaling, membuat konsentrasinya buyar setiap kali bayangan pria itu muncul, seperti saat ini.
Ketika ia keluar dari dapur dan duduk di area outdoor yang selalu menjadi tempatnya bersantai menikmati hari ketika kafe sepi, ia melihat sepasang mata itu kembali. Duduk di balik jendela dengan pandangan lurus hanya padanya. Kemeja slim fit biru muda dengan lengan terlipat hingga siku membuatnya terlihat menggoda. Lengan kokoh yang pernah melingkar di pinggangnya membuatnya harus menggigit bibir. Kacamata berbingkai hitam yang pernah dilihatnya kini tak tampak menghiasi wajah yang kini ditumbuhi rambut terpotong rapi.
Yaya tak menyadari ketika ia menopang dagu dan menatap pria yang mengarahkan pandangan padanya. Seolah tersihir dan tak mampu untuk berpaling, ia menikmati setiap jengkal wajah menawan itu. Seketika pikirannya melayang ke semua novel romance yang pernah dibacanya. Fictional man yang selama ini hanya ada di angan-angan, kini bisa ia lihat dengan jelas. Memaku tatapannya, membayangkan semua yang pernah ia baca membuatnya harus menahan diri.
Entah berapa lama ia mengamati wajah itu, ketika ia melihat senyum menggoda di bibir pria yang tak melepas pandangan darinya, Yaya tersadar dan tersentak. Ia segera memalingkan wajah karena menyadari kebodohannya dan meraih novel tebal berwarna merah semata-mata hanya untuk mengalihkan pikiran dari senyum yang tertuju padanya, membuatnya terlihat konyol. Namun, mengingat sikapnya beberapa saat lalu, ia merasa harus menyibukkan mata dan pikirannya untuk menahan diri.
“Hai.” Kepalanya tersentak ketika mendengar suara itu beberapa saat kemudian. “Boleh?” tanya pria itu mengedikkan dagu ke arah kursi kosong di depannya. Tak ingin terlihat tidak sopan pada pelanggan, Yaya mengangguk dan mempersilahkan pria itu duduk. “Ganin.” Yaya memandang tangan yang terulur padanya dan wajah berhias senyum di depannya.
“Soraya,” katanya setelah sempat ragu untuk menjawabnya. Genggaman tangan yang dirasakan, membuatnya harus menggigit bibir menahan diri.
“Saya tahu,” jawab Ganin dengan senyum terkulum, dan ia menyadari kebodohannya.
“Yaya, semua memanggilku Yaya.”
“Kamu bisa panggil aku Ganin, atau sayang juga enggak apa-apa.” Meski terdengar receh, Yaya tak bisa menahan bibirnya untuk melengkung ke atas dan menggeleng. “Enggak mau?” Ganin terdiam sesaat seolah berpikir keras. “Banyak pilihan selain Sayang yang bisa kamu pilih.” Yaya mengangkat alis menanti. “Cintaku, matahariku, separuh nyawaku, honey atau Mas juga enggak apa-apa.”
Yaya menggeleng dan mengulum senyum, mencoba untuk tidak tersipu. “Sudah berapa perempuan yang berhasil Mas Ganin dapatkan dengan guyonan receh bapak-bapak begitu?” tanyanya memberanikan diri menatap kedua bola mata Ganin yang tak terlihat berwarna hitam. Senyum menawan pria yang menyandar dan melipat tangan di depan dada seolah menular padanya, karena saat ini ia melakukan hal yang sama.
“Baru kamu, dan aku belum bisa menjawab apakah ini berhasil atau tidak.” Kesan easy going, terlalu ramah, percaya diri tinggi dan playfull, ia dapatkan sejak pertama ia mendengar pria itu menyebut namanya.
“Aku biasa duduk di kursi yang Mas tempati tadi,” katanya menunjuk kursi yang Ganin tinggalkan. “Karena dari sana aku bisa melihat keluar, pintu masuk dan juga dapur. Perfect spot untuk mengawasi setiap sudut kafe.” Yaya memandang kursi yang Ganin tinggalkan. “Ketika melihat ada yang duduk di sana, aku harus mencari tempat kedua terbaik, yaitu di sini.”
Ganin terlihat tertarik, karena Yaya tak mendengar satu kata pun memotong pembicaraan absurdnya. Bahkan sorot mata yang tertuju padanya terlihat fokus, seolah konsentrasi dan pikiran itu hanya untuknya. “Aku harus jujur sama kamu.” Hatinya tiba-tiba merasa tak tenang mendengar kalimat itu.
“Aku sengaja duduk di sana karena ingin melihatmu muncul dari pintu masuk, dapur atau kantor kamu di lantai dua.” Pengakuan yang terasa terlalu jujur itu membuatnya bingung. Ia bukan anak kecil yang tidak bisa mengetahui apa tujuan seseorang padanya, dan ia bisa merasakan rasa tertarik Ganin padanya saat ini. “Hanya lihat kamu tersenyum, sudah cukup membuatku enggak bisa tidur setiap malam.”
Yaya tak bisa menahan diri, ia tertawa terbahak-bahak hingga air mata merebak. “Ya ampun, Mas. Gombal banget, sih!” Ia menerima tisu yang Ganin ulurkan untuknya. “Kamu laki-laki yang membahayakan, Mas.”
“Loh … kok bahaya, sih!” Ganin terdengar tidak terima meski dengan senyum di bibir. “Aku itu enggak pernah membahayakan, tapi memuaskan.” Yaya kembali tertawa tak menyadari binar bahagia yang saat ini tampak di mata Ganin.
“Mbak, Ya,” panggil Asti menghentikan tawa di bibirnya. “Ponselnya bunyi itu.” Ia terkejut ketika menyadari melupakan pekerjaannya di dapur. Setelah memasukkan adonan ke dalam oven, ia keluar untuk mengistirahatkan badan dan menanti hingga alarm di ponselnya berbunyi. Namun, Ganin membuat perhatiannya teralihkan hingga tak menyadari dering yang ia dengar beberapa saat lalu adalah alarm di ponselnya.
“Ya ampun, aku lupa!” katanya sambil berdiri dan memandang Ganin. “Senang ngobrol sama Mas Ganin, tapi aku harus balik ke dapur.” Tanpa menunggu balasan pria yang mengulum senyum ke arahnya, Yaya melesat ke dapur dan melupakan buku yang ia tinggal di atas meja.
Jantungnya masih berdegup kencang ketika menatap batangan éclair berwarna kecoklatan terlihat matang sempurna. Air liurnya terbit membayangkan ketika diisi fla kopi yang sudah ia siapkan terlebih dahulu. Asti yang berada di sampingnya terlihat tertarik, tapi bukan ke arah éclair di tangannya. “Kenapa?”
“Kamu naksir Mas itu, ya?” tuding Asti dengan mata menyipit dan jari telunjuk mengarah padanya. “Aku bisa lihat di mata Mbak Ya. Kamu tertawa lepas sampai nangis gitu.”
“Lah … apa hubungannya aku ketawa sama naksir Mas In, Ti?!” tanyanya sambil menata éclair di atas cooling rak sebelum ia mulai mengisi dan menghiasnya. “Lagian Mas In itu enak di aja ketawa kok, bukan berarti aku naksir dia, lho, ya!” Yaya menyibukkan diri, karena tak ingin Asti melihat binar bahagia atau semu merah yang ada di pipinya saat ini. karena mengingat momennya bersama Ganin membuat pipinya menghangat. “Kenapa lagi?!” tanyanya jengkel.
“Kenapa kamu manggilnya Mas In? Bukannya tadi kamu manggilnya Ganin?!” tanya Asti semakin curiga, ia bahkan tak sadar memanggil pria itu In bukan Ganin. “Ingat Mas Dipa, Mbak!” bisik Asti. “Tapi … emang ganteng, sih, Mbak.” Yaya manahan senyumnya. “Senyumnya itu lho!” Kekehan Asti membuatnya terheran karena ia melihat gadis itu salah tingkah hanya karena mengingat senyum Ganin.
Yaya menyadari untuk sesaat ketika perhatiannya hanya tertuju pada Ganin, ia melupakan kehadiran Dipa. Namun, ia merasa ketertarikannya pada Ganin hanya sebatas teman bukan sesuatu yang berlebihan, meski rasa nyaman yang timbul ketika mendengar suara lembut dan menikmati perhatian Ganin membuatnya tak bisa memikirkan siapapun.
“Kamu masukkan isian yang aku udah buat tadi, Ti,” perintahnya menyingkirkan Ganin dari pikirannya. “Ntar aku panggil kalau sudah waktunya untuk isi.” Yaya segera mendorong Asti untuk berlalu karena ia tak mampu menjawab jika kembali muncul pertanyaan tentang Ganin dan rasa tertarik yang tiba-tiba muncul di antara mereka berdua.
Satu jam kemudian, Yaya dan Asti tersenyum puas melihat kreasi mereka berdua. Coffie éclair yang terlihat menggiurkan dengan isian menggoda selera. Ia tak bisa berhenti tersenyum ketika mengambil banyak gambar untuk feed media sosial sweet tooth.
“Enak, Mbak,” kata Asti setelah ia memaksanya untuk merasakan hasil kerja mereka berdua. “Sumpah enak banget.” Tak lama kemudian terdengar pujian dari seisi dapur setelah menikmati potongan éclair yang ia bagi satu persatu.
Yaya menata tiga potong éclair di atas piring saji dan mendorong ke arah Asti yang menatapnya kebingungan. “Idolamu masih di depan, enggak, Ti?” tanyanya. “Anterin ke Mas yang senyumnya bikin kamu meleleh. Kali aja kamu dapet senyum buat bekal. Sana!”
“Males!” jawab Asti sambil memundurkan langkahnya. “Isin[9] aku, Mbak! Mbak Ya aja, aku mau bantu Mas Wem.”
“Lho, Ti! Gimana to?!” teriaknya yang pasti terdengar hingga ke luar dapur.
“Mbak Ya aja, aku sibuk!”
Memandang Asti yang berpura-pura sibuk, ia memutuskan untuk membatalkan niatnya. Namun, ketika hendak mengembalikan éclair ke rak kue, ada dorongan di hatinya untuk berjalan keluar dan melihat ke arah pria yang terlihat sibuk membaca novelnya yang tertinggal di atas meja. Jantungnya berdetak kencang karena menuruti kata hati untuk keluar dan melangkah menuju Ganin yang seolah merasakan kehadirannya. Saat ini pria itu mengangkat kepala dan tersenyum ke arahnya.
Dari ratusan judul novel yang pernah ia baca sejak SMA, mereka selalu menggambarkan dengan square jaw, Greek God, killer smile. Hingga saat ini, ia tak pernah percaya dengan penggambaran sempurna itu, karena tidak ada satu orang pria yang sesuai dengan penggambaran mereka. Namun, ketika melihat senyum Ganin, ia bisa mengerti apa yang digambarkan para penulis tersebut. Karena saat ini ia tak bisa berpaling.
“Untuk Mas Ganin, semoga suka,” kata Yaya tak memberi kesempatan pada Ganin untuk menjawabnya. Ia segera berjalan menuju ruangannya di lantai dua dan mencoba untuk tidak memikirkan senyum yang membuat jantungnya semakin berulah.
“Ya ampun, novelku ketinggalan lagi,” katanya setelah berada di balik perlindungan ruang kerjanya.
[1] Itu namanya hamil
[2] Entah, Ti. Terserah kamu, dibersihkan dulu ruangannya
[3] Anak itu minta aku jadikan sambel, kok!
[4] Jangan buat orang emosi
[5] Kalau sudah beres semua kenapa pakai laporan.Buat orang kaget saja!
[6] Kalau enggak percaya, lihat aja sendiri, Mbak. Orangnya ganteng banget. Matanya itu seperti silet tapi dingin.
[7] Dibilangin
[8] Kerja! Dari pada aku potong gaji kamu, kerja!
[9] malu