Di Balik Bayangan

7
0
Deskripsi

Hidup tak pernah mudah bagi seorang Soraya Damayanti ketika sejak kecil ia hanya melihat sang ibu sebagai orang tua. Namun, itu tak membuatnya menjadi perempuan lemah. Ia tumbuh menjadi perempuan berpendirian kuat dan tak mudah menyerah meski dunianya hancur berantakan.

Ganindra, pria yang baru ia kenal, hadir di saat ia merasa tidak ada bahagia untuknya. Dalam sekejap, pria yang memberinya cinta, harapan dan keluarga telah menjadi bagian terbesar dalam hidup setelah Dipa membuat hatinya luluh lantak...

Prolog 

Yaya harus mengedipkan mata beberapa kali untuk memfokuskan pandangannya, karena saat ini kepalanya terasa berputar. Dadanya terasa sesak, membuatnya susah untuk bernapas. Ia mengusap dada seolah itu bisa membuatnya kembali bernapas normal. Mencoba untuk mengatur napas, dan menghalau Dipa yang mengulurkan tangan ke arahnya.

“Sayang … kamu enggak apa-apa?” Mendengar panggilan sayang dari bibir pria yang saat ini memandangnya dengan sorot mata kuatir membuatnya ingin berteriak. “Sayang … aku bantu berdiri.” Saat itulah ia tersadar dan berdiri setelah menepis uluran tangan Dipa untuk kedua kalinya.

“Minggir!” hardiknya ketika Dipa menghalangi langkahnya. Ia tak ingin menghabiskan sedetik lebih lama lagi di dalam kamar yang membuat semua mimpinya hancur berantakan. Meski langkahnya terasa goyah dan pandangan kabur karena air mata, Yaya ingin ingin segera keluar meninggalkan mimpi buruk itu untuk selamanya. “Minggir, Mas! Aku mau keluar!” teriaknya lagi tanpa peduli ada dua pasang mata asing yang memandangnya saat ini.

“Enggak! Kamu enggak cukup kuat untuk berjalan, Say—”

“Jangan penah memanggilku Sayang lagi! Minggir!” Ia menghapus kasar pipi yang terasa basah. “Tolong, minggir. Kalau masih ada sedikit saja rasa sayang kamu untukku, please, minggir dan biarin aku keluar dari sini. Kamu dan ….” Yaya menunjuk dua orang yang berada tak jauh dari Dipa. “Mereka bisa meneruskan apapun yang harus kamu selesaikan.”

“Ya—”

“Mas! Aku mau keluar, sekarang!” teriaknya tepat di depan wajah pria yang hampir tiga tahun berada di sampingnya. Menjaga, melindungi dan mencintainya. Namun, saat ini, ia tak ingin berada di tempat yang sama. Bahkan ia tak mau menghirup udara yang sama dengan Dipa—tunangannya.

“Aku enggak bakalan biarin kamu keluar sendiri. Kamu enggak dalam keadaan baik-baik saja, dan aku kuatir!” kata tegas Dipa setelah mencengkeram lengan atasnya.

Yaya berusaha menghentakkan tapi cengkeraman itu jauh lebih kencang. “Kamu, kuatir?” dengusnya. “Kata orang yang beberapa saat lalu sibuk memuaskan perempuan lain. Kuatir katamu? Lepasin aku, Mas!” 

Kilatan marah Dipa membuatnya siap untuk menghadapi apapun saat ini. ia merasa siap untuk menghadapi badai sekalipun. “Ya—"

“Wan, lepasin dia. Kamu nyakitin calon istrimu,” kata pria yang sejak tadi hanya diam memandang interaksinya dan Dipa. “Wan … kamu dan Yaya butuh waktu. Tenangkan kepala kalian sebelum duduk untuk bicara.”

Dipa mengalihkan pandangan darinya, dan Yaya menggunakan kesempatan itu untuk menarik tangannya dan segera menuju pintu. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan Dipa dan semua yang terjadi di kamar hotel itu. Ia tak tahu bagaimana bisa berada di dalam taxi menuju bandara saat ini, karena beberapa saat lalu, ia sibuk menekan tombol lift dan berdoa semoga Dipa tidak mengikuti langkahnya.

“Mbak-nya enggak apa-apa?” 

“Enggak apa-apa, Pak. Makasih,” jawabnya lelah tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela. Air mata masih mengalir membasahi pipinya, dan ia tak berusaha untuk mengapusnya. Ia tak peduli meski nanti menjadi pusat perhatian semua orang. Yaya tak peduli meski saat ini terlihat menyedihkan. Dunianya hancur berantakan. Dalam semalam, ia kehilangan tunangan. Ia kehilangan semuanya.

Yaya menuju toilet tak lama setelah taxi berhenti. Ia berusaha untuk menghentikan air mata yang tak kunjung berhenti meski saat ini hatinya penuh dengan kebencian. Sekian menit ia terdiam di depan kaca dan menatap pantulan wajah yang terlihat menyedihkan. Mata membengkak dan memerah. Hidungnya pun terlihat memerah. Rambut ikal panjangnya berantakan, beberapa helai terlepas dari ikatannya. Wajahnya terlihat pucat, tapi ia tak memiliki keinginan untuk sekedar mengulas bedak dan lipstik agar terlihat lebih normal.

“Sayang, kamu enggak apa-apa?” Usapan lembut di lengan membuatnya tersentak dan menyadari wanita dengan sorot mata paling lembut yang pernah dilihatnya berdiri memandangnya kuatir. “Kamu enggak apa-apa?” Bibirnya tak mampu bergerak dan air matanya semakin deras mendengar pertanyaan penuh dengan kekuatiran tersebut. Dengan lemah ia menggeleng. 

Yaya tak mampu menolak ketika tubuhnya ditarik masuk ke dalam pelukan hangat orang asing itu. Ia tak mampu untuk berpikir tentang bahaya yang mungkin akan terjadi, karena ketika merasakan usapan lembut dan bisikan di telinga, air matanya kembali mengalir deras. Bahkan saat ini ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan seseorang yang menawarkan perlindungan dan kenyamanan. 

“Ibu enggak tahu masalah kamu apa. Tapi Ibu tahu, kamu kuat dan bisa hadapi itu semua.”

“Ibu yakin?” tanyanya setelah menarik badan. “Karena saat ini saya enggak yakin sama apapun. Rasanya ….”

“Kamu kuat,” kata wanita yang saat ini sibuk mengusap lembut pipinya. “Kita adalah makhluk Tuhan yang paling kuat. Nangis itu bukan berarti enggak kuat, lemah atau enggak mampu untuk ngadepin masalah, kan?” Yaya masih terdiam tak mampu untuk berkata apa-apa. “Menangis adalah cara kita untuk menjadi kuat!”

Deringan ponsel mengejutkan mereka berdua, dan mendatangkan senyum di bibir keduanya. Yaya mundur dan mencuci wajah sambil berusaha untuk menguatkan hati. Lamat-lamat ia mendengar jawaban wanita berambut pendek yang tak melepas pandangan darinya, “Sabar dong Pa. Mama bentar lagi keluar, pesawat juga masih lama, kan! tunggu sambil ngopi sana!” 

“Maaf sudah nahan Ibu terlalu lama, saya enggak apa-apa, kok,” kata Yaya tak lama setelah wanita itu menyudahi teleponnya. Sekuat tenaga ia berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. 

“Yakin?” tanya wanita yang hingga saat ini terlihat tak ingin meninggalkannya sendiri. “Ibu bisa temeni sampai kamu kuat. Pesawat ke Surabaya juga masih lama kok.” Mendengar nama kota tempatnya pulang, mendatangkan kerinduan. Walaupun kepergiannya hanya berselang beberapa jam.

“Ibu mau ke Surabaya?” tanya Yaya ragu.

“Iya. Pengen nengok anak laki-laki Ibu di sana. namamu siapa?” tanya wanita yang semakin terlihat tak ingin meninggalkannya. 

Yaya mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan wanita yang sudah membuatnya kuat meski belum pernah mengenalnya. “Saya Soraya, Bu,” kata Yaya yang sudah merasa lebih baik. “Saya enggak tahu kalau tadi enggak ada Ibu—”

“Hust, enggak boleh bilang gitu. Ibu senang bisa bantu kamu. Ayo,” ajak wanita itu seolah memastikan ia keluar dari toilet dan tidak berusaha untuk melakukan sebuah kebodohan apapun. “Kenalan sama suami Ibu, yuk.”


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Di Balik Bayangan (Bab 1-3)
5
0
Yaya dan Ganin bisa di baca gratis di wp yang tayang 1X dalam seminggu Untuk yang pengn baca duluan bisa ke KK untuk yang berbayar
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan