04. Setuju

2
0
Deskripsi

Baca urutan sesuai nomor, karena postingannya acak.

Sejak Thailand melegalkan pernikahan sesama jenis, Engfa sebenarnya sangat bersyukur akan hal itu. Setidaknya ia bisa memiliki harapan akan menikahi gadis yang ia cintai kelak. Sejak dulu ia tahu bahwa ia memiliki minat pada para gadis dan Engfa selalu mendambakan pernikahan yang indah.

Bahkan sebelum Thailand melegalkannya, Engfa sudah berangan-angan pindah ke luar negeri dan menikah di sana. Hidup bahagia selamanya, mungkin di Jerman.

Tapi, baru ini ada hal yang membuat Engfa menyesal dengan pelegalan itu. Semuanya seperti benturan keras di kepalanya. Tiba-tiba saja ia harus menikah dengan Charlotte? Jika itu harus Charlotte, mending Engfa jadi biksuni selamanya.

"Aku tidak mau, Pa!" Charlotte bangkit menolak keras. Ia tidak memandang Engfa, karena tidak usah dipertanyakan lagi seberapa besar rasa bencinya pada gadis itu.

Di Thailand tidak ada ketentuan harus menikah jika ingin membesarkan anak. Jelas saja Charlotte tidak terima dan menentang perjodohan ini. Yang benar saja. Jika harus menikah dengan Engfa, lebih baik ia mengatakan pada ayahnya siapa pria yang menidurinya dan membiarkan ayahnya membunuhnya.

Toh, tidak ada ruginya bagi Charlotte jika orang itu mati sekarang. Dari pada ia harus bersama Engfa? Idih! Amit-amit.

"Aku tidak sedang bernegosiasi denganmu, Charlotte!" Tegas ayahnya dengan nada marah.

"Tapi paman, aku juga tidak mau." Engfa harus mulai melindungi dirinya sendiri. Ia harus memiliki penolakan. Hati nuraninya tidak sanggup jika harus menerima perjodohan ini. Apa-apaan? Banyak hal yang harus ia terima di masa depan jika ia tidak baik dalam mengambil keputusan saat ini.

"Ada sesuatu yang membebanimu?" Tatapan tuan Austin mulai mengintimidasi. Itu membuat Engfa tertunduk. Semua yang dilakukan dua orang di depannya ini selama hidupnya mungkin tidak akan mampu ia balas semua. Tapi, ia harus mulai jujur pada keadaan apapun.

"Dulu kalian menolakku karena keputusanku yang menyukai perempuan. Sekarang kalian menjodohkanku dengan putri kesayangan kalian. Apa menurut Paman itu bukan beban?" Engfa mulai mengambil sikap.

Apa tuan dan nyonya Austin ini seperti ingin menjilat ludahnya sendiri?

"Dulu dan sekarang berbeda, Sky."

"Tidak paman. Tidak ada bedanya. Perempuan yang mencintai perempuan tetap menjadi aib, baik dulu dan sekarang. Aku masih ingat Paman pernah mengucapkan itu padaku dulu." Engfa mulai kesal. Enak saja diubah-ubah hanya karena keadaan mereka berubah.

"Tapi kau tidak mencintai Charlotte kan? Kau hanya kuminta menikahinya." Tuan Austin tidak mau kalah.

"Jadi Paman tidak masalah jika menyuruhku menikahi orang yang tidak kucintai?" Engfa cukup tersinggung dengan pemikiran tuan Austin ini. Jika begini, mau bagaimana pun Engfa berdebat, pemahamannya tidak akan bisa menembus dinding pertahanan pria tua ini.

Engfa merasa keegoisan yang Charlotte miliki ternyata warisan dari ayahnya sendiri.

"Mook... Paman dan Bibimu ini minta tolong." Kali ini, nyonya Austin yang mengambil tindakan. Ia tidak bisa membiarkan suaminya menekan Engfa dengan cara yang berbeda dari apa yang ia pelajari ketika ingin meminta tolong.

Pada dasarnya, jika memang mereka ingin Engfa menikahi putrinya, bukannya harusnya mereka merendahkan diri dan memohon? Engfa masih ingat orang tuanya pernah mengajarkan jika ingin meminta sesuatu, tangan harus di bawah.

"Aku tidak bisa, Bi. Maafkan aku. Cari perempuan lain saja yang mau menikah dengan putri kesayangan kalian." Engfa bangkit. Wajahnya terlihat benar-benar kesal. Ia sudah cukup muak diremehkan seperti ini. Seperti ia tidak punya kehidupan lain saja. Apalagi melihat semua perlakuan Charlotte padanya.

Tidak. Engfa tidak menaruh dendam atas semua sikap buruk Charlotte padanya. Jangan salah paham. Hanya saja untuk menikah, tidak dulu. Ya sudah pasti tidak. Bahkan menikah dengan yang lain juga untuk saat ini Engfa pasti menolak.

Banyak yang tidak akan sama lagi jika ia akhirnya setuju dengan kesepakatan gila ini. Lama-lama Engfa menyesal dengan hukum legal pernikahan sejenis yang sudah sah di Thailand. Karena tiba-tiba saja ia jadi korban.

"Seperti aku mau menikah denganmu saja!"

Charlotte meneriaki Engfa dengan kasar setelah gadis itu mengucapkan sesuatu tentangnya. Bukan sesuatu yang buruk, semua juga bisa menjadi saksi. Tapi itu seperti menyinggung harga diri Charlotte. Siapa Engfa yang berhak menolaknya?

"Bagus jika kau berpikir begitu," Engfa membalas sengit. "Kau pasti berpikir tidak akan pernah ada orang yang bisa menolakmu kan?" Engfa menyindir.

Sialan. 

Charlotte benar-benar naik darah. Di otaknya saat ini sedang berputar tentang bagaimana caranya membuat Engfa mendapat balasan dari segala perbuatannya.

"Baik. Aku setuju menikah dengannya." Ucap Charlotte mantap. Menatap kedua orang tuanya. Harusnya ia memikirkan bagaimana nasib kehamilannya. Tapi di pikirannya sekarang sedang berjalan skenario, bagaimana cara membuat Engfa habis kesabaran, dan menyiksanya seumur hidup.

"Aku tidak mau!" Engfa memutar langkahnya kembali mendekati apa yang sempat ia tinggalkan. "Kau gila, apa?" Tantangnya pada Charlotte.

"Oh aku gila?" Charlotte bangkit. Ia saat ini sedang berhadapan dengan Engfa. Mereka seperti ingin saling menelan sekarang. Egonya menguasai kelima indranya. "Terus kau sebut apa dirimu yang melecehkan semua perempuan diam-diam?" Lanjut Charlotte mulai bosan dengan sikap Engfa.

Engfa mengernyitkan keningnya. Dari mana Charlotte tahu tentang informasi ini?

"Kau jangan menuduhku begitu. Kau hanya ingin menyudutkanku." Balas Engfa mengelak. Setidaknya jangan di depan kedua orang tua ini.

"Oh! Kau menantangku?" Charlotte hampir terkekeh. Ia merogo kantongnya untuk menemukan sesuatu. Untung saja ia membawa ponselnya bersamanya. Ia mencari sesuatu di sana. Membuat Engfa, tuan dan nyonya Austin menunggu dengan perasaan heran.

"Lihat!!" Charlotte menampilkan sebuah video di layar ponselnya dan mengarahkannya pada kedua orang tuanya. Jika Engfa berani menantangnya, Charlotte pun sudah siap untuk berperang. Jangan remehkan Charlotte dalam hal ini. Jika ia bukan seorang petarung, ia tidak mungkin berada di tempat paling atas saat ini.

"Dasar sakit. Kau itu maniak! Bahkan di tempat umum kau berani melakukan ini pada seorang wanita?" Charlotte menarik ponselnya dari pandangan kedua orang tuanya dan menyerahkannya pada Engfa. Agar gadis itu melihat kebodohannya sendiri.

Di layar itu sedang terputar adegan vulgar antara ia dan Malin. Di sebuah toilet, dua bulan lalu saat Malin menjadi juri tamu untuk acara Miss Grand di sebuah hotel. Kebetulan saat itu Charlotte ada di dalam salah satu biliknya. Ia mulai tertarik merekam kegiatan mereka saat ia tahu jika gadis itu adalah Malin dan Engfa. Sungguh tak terduga. Sejak kapan mereka memiliki hubungan. Padahal, media selalu menyebar tentang keharmonisan Malin dan Mint. Meski Charlotte tidak mengenalnya, tapi Charlotte terkadang melihatnya di media.

Engfa menaikan Malin ke atas barisan westafel mewah berlapis kaca, dan menyibak gaun tipis belah panjang yang menampilkan hampir seluruh paha Malin, namun menutupi bagian yang paling ingin dijamah Engfa. Dan setelah melakukannya, Engfa mulai menundukan kepalanya dan Malin meronta kenikmatan saat Engfa mulai mengecup area rawannya dengan penuh gairah. Engfa setengah berjongkok, ia menguasai area basah itu. Sampai Malin menjepit kepala Engfa menggunakan kakinya. Mereka harus buru-buru.

"Kau mau aku menyebarkan ini?" Charlotte mengancam.

"Kau memang gila. Mana orang waras yang melakukan ini-" merekam orang diam-diam.

"Oh maafkan aku, nona maniak selangkangan. Kau melakukan itu di tempat umum! Kau yang gila atau aku?" Charlotte tidak terima jika Engfa mengatainya.

"Itu toilet! Bukan tempat umum!" Engfa membantah. Tetap bersikeras.

"Lakukan itu di kamarmu! Sialan! Jadi kau pikir aku bukan orang saat memakai toilet yang sama dimana kau menjilat kemaluan seorang gadis?!" Charlotte ingin melempar ponselnya ke mata Engfa saat gadis itu susah sekali menerima ucapannya. Masih saja ingin mengelak rupanya.

"Sudah diam!" Tuan Austin menginterupsi. Ia tidak ada waktu mendengar debat dua bocah yang saling adu mulut di hadapannya.

Charlotte dan Engfa langsung menurut.

"Sky. Kau harus menikahi putriku. Aku minta tolong padamu. Ini sudah kupikirkan selama kalian berdebat."

Engfa semakin tidak paham dengan konsep berpikir satu keluarga ini. Ia mulai merasa lelah dengan nalarnya sendiri.

"Aku tetap gak mau, Paman." Engfa tetap berpegang teguh.

"Mook. Bibi lah yang memohon padamu. Setidaknya, Bibi tidak mau Charlotte sendirian. Kau tahu? Dulu aku dan ibumu punya impian jika kami punya anak, kami akan menjodohkannya. Tapi saat kami tahu kau dan Charlotte sama-sama perempuan, kami putus asa." Nyonya Austin mulai bernostalgia.

"Tapi sekarang mungkin ini adalah takdir. Disatu sisi kau menyukai perempuan, di sisi lain, Thailand sudah mengijinkan pernikahan sesama jenis. Dan kebetulan lainnya adalah, Charlotte sedang mengandung. Menurutmu bukan kah ini takdir?" Nyonya Austin mulai antusias.

"Tidak." Engfa menjawab cepat. Ini bukan takdir. Engfa tetap tidak mau. "Lebih baik kalian cari laki-laki yang menghamilinya dan suruh dia bertanggung jawab. Itu lebih masuk akal untukku." Engfa sudah tidak mungkin mengikuti alur pikir satu keluarga ini. Padahal solusinya sangat mudah.

"Aku tidak mau berurusan dengannya lagi." Tiba-tiba saja jawaban Charlotte menjadi sendu. Ia kembali duduk di kursinya. Membuat Engfa menatapnya heran. Kenapa singa betina ini tiba-tiba terdengar menyedihkan?

Nyonya Austin lupa untuk memeluk anak gadisnya sejak tadi. Padahal untuk saat seperti ini, Charlotte pasti sangat butuh dukungan. Wanita tua itu bergerak mendekati Charlotte dan memeluknya. Membuat Charlotte jadi berduka dan menangis dalam pelukan ibunya.

"Jangan menangis, putri kecilku. Kita akan cari solusinya bersama-sama." Ucap nyonya Austin membuat Engfa tidak tega.

"Jika memang begitu, kau memang harus memusnahkan bayi itu, sayang. Papa tidak mau jika kau harus menjalani hidup dengan cara seperti ini. Pikirkan masa depanmu. Masa depanmu masih panjang." Tuan Austin mulai melemah.

"Paman. Hamil tanpa suami dan membesarkan anak seorang diri bukanlah aib. Jangan berpikir kolot begitu." Engfa masih terpancing akan asumsi buruk tuan Austin. Ia masih tidak terima dengan pemahaman-pemahaman yang bertolakan dengannya.

"Jadi apa kau sanggup jika anak itu hidup dengan pandangan buruk dari orang lain?"

"Itu jika semua orang berpikiran yang sama dengan apa yang Paman pikirkan." Engfa heran. Percuma tuan Austin ini orang Inggris. Kenapa pemikirannya sangat dangkal?

"Banyak yang kupikirkan Sky. Kelak pria yang mengaku sebagai ayahnya akan datang. Merusak kehidupan Charlotte di kemudian hari. Kau pikir kenapa aku ingin menikahkan anakku denganmu? Karena dengan begini aku berharap tidak akan ada yang menganggunya dan anaknya. Anggap saja itu anakmu. Kalian menikah. Buat progam kehamilan. Dan Charlotte hamil." Tuan Austin menjelaskan apa yang menjadi alasannya menjodohkan Engfa dan Charlotte.

"Karena jika aku tidak menikahkan putriku dengan seseorang, aku tidak bisa menjamin keamanannya kelak. Pria itu akan datang dan bertanya-tanya dengan siapa Charlotte memiliki anak. Dan itu akan membuat bayangan buruk."

Engfa merenung sejenak.

"Sudah, besok kita ke rumah sakit untuk aborsi." Lanjut tuan Austin memasang wajah sedihnya.

Engfa jadi tidak tega. Charlotte masih menangis dalam pelukan ibunya. Janin itu tidak salah. Tapi, dengan penjelasan tuan Austin yang ternyata cukup masuk akal, membuat Engfa jadi berpikir ulang.

Mungkin jika mereka menikah, identitas dari siapa anak itu akan tersamarkan. Jaman sudah canggih, mereka bisa bilang jika anak itu adalah hasil program medis yang membuat mereka bisa memiliki keturunan. Itu akan membuat laki-laki manapun yang merasa pernah berhubungan intim dengan Charlotte, menjauh.

"Baiklah." Engfa akhirnya membuat keputusan.

Nyonya Austin antusias. Ia langsung melepaskan pelukannya pada Charlotte dan beranjak mendekati Engfa dengan penuh semangat. Raut wajahnya terlihat senang.

"Kau setuju?!" Tanya wanita tua itu, dengan wajah berkaca-kaca.

Sepertinya taktik tuan Austin untuk memperdaya perasaan Engfa berhasil juga. Dari pada membiarkan anaknya menanggung beban ini sendirian, atau melihat anaknya dengan laki-laki bajingan, tuan Austin jauh lebih ingin melihat Engfa menjaga anaknya.

"Iya. Aku setuju. Tapi dengan satu syarat."

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 05. Pena
4
0
Baca urutan sesuai nomor, karena postingannya acak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan