02. Kelurga

2
0
Deskripsi

Baca urutan sesuai nomor, karena postingannya acak.

Terkadang apa yang orang lain lihat di media, tidak segalanya terlihat seperti apa yang terjadi di kehidupan nyata. Meski terkadang orang memiliki asumsinya sendiri dalam menyikapi apa yang terjadi di media; seakan mereka tahu segalanya.

Segalanya.

Masalahnya sekarang adalah terkadang asumsi orang-orang yang hanya bermodal melihat di media, sudah seperti tahu apapun yang terjadi.

Segalanya.

Engfa menarik ponsel dari tangan Malin secara tiba-tiba saat gadis itu sedang asyik melihat kumpulan video-video manis yang dibuat penggemar dari video lain yang tersebar tentang dirinya dan Mint; pasangan imajinasinya yang tercipta karena kedekatan mereka berdua. Tiba-tiba saja semua orang menyukainya. Membuat kesalahpahaman sampai Mint dan Malin terlihat seperti dua orang gadis yang sedang kasmaran.

Mereka memang berhubungan baik. Sangat baik. Baik Mint dan Malin tidak pernah canggung mengumbar kedekatan mereka. Jika mereka sedang merasa bahagia, mereka tidak segan-segan saling memeluk di depan umum. Itu pula yang menimbulkan percikan manis yang disukai oleh kebanyakan publik hingga mereka menjadi pasangan paling ideal untuk saat ini di media.

Jujur saja, melihat-lihat hasil video buatan penggemar, cukup membuat Malin tampak bersemangat. Ia menyukai semua video tentangnya. Kadang disaat-saat senggang, ia sanggup melihatnya sampai berjam-jam. 

"Berikan padaku!" Rengek Malin yang meminta ponselnya kembali. Engfa tidak suka melihat Malin terlalu fokus pada video-video yang beredar di media sosial. Terkadang, itu bisa membuat seseorang menjadi tertekan. Dan ia tidak mau gadis-gadis ini terpengaruh pada hal-hal semacam itu.

"Jangan biasakan melihat video-video seperti ini. Penggemar akan memeras otakmu dan membuatmu terpengaruh." Ucap Engfa yang akhirnya memberikan ponsel itu kembali pada pemiliknya, Malin.

Malin cukup bosan mendengar Engfa bicara seperti itu. Gadis ini terkadang seperti orang tua yang sudah kehabisan jiwa mudanya. Selalu memadamkan api yang menyala dalam diri seseorang. Selalu ingin bertentangan.

"Tapi semuanya cukup manis. Kau lihat! Mint, dia sangat tampan di sini." Malin menarik lengan Engfa agar gadis itu mendekat padanya. Untuk melihat ke arah ponselnya.

Mereka masih berada di dalam satu selimut yang sama. Setelah selesai melepas rindu, akhirnya mereka beristirahat dalam sisa waktu yang ada. Dua jam kedepan, Malin harus kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda minggu lalu.

Engfa tidak merespon. Mukanya berubah menjadi datar karena Malin memaksanya untuk melihat apa yang sedang ditertawai oleh gadis itu. Engfa akui, kadang video-video yang menyenangkan bisa membuat siapa saja tertawa, dan itu mendorong energi positif untuk keluar.

Tapi, tidak jarang komentar-komentar kontra pun sanggup membuat pikiran terganggu. Dan selalu ingin menjatuhkan siapapun yang namanya mereka sebut.

Engfa selalu melihat komen-komen buruk mampu mempengaruhi publik figur yang dikenalnya. Tidak jarang Engfa malah menemukan komen-komen pembenci itu seorang dirinya. Terkadang ia harus geleng-geleng kepala menyadari, tahu apa orang-orang ini tentang kehidupan para idola yang digemarinya.

"Kau cemburu?" Malin menatap Engfa menggoda. "Apa kau juga pernah tidur dengannya?" Lanjut Malin bertanya. Ia bertanya apakah Engfa pernah tidur dengan Mint. Ia cukup yakin jika Engfa sudah meniduri hampir semua gadis di agensinya. Jadi tidak ada salahnya menebak.

"Tidak. Dia tidak menyukaiku."

Malin merubah posisinya. Jawaban Engfa membuatnya sedikit ragu. Tidak mungkin ada gadis yang terlewat dari pelukan si penulis berbakat ini. Desas-desus yang ia dengar, hampir semua gadis di belakang panggung, membicarakannya.

"Ada juga ternyata yang tidak menyukaimu ya?" Malin meledek.

"Ya banyak. Kau saja yang selalu datang padaku. Merengek pula." Ucap Engfa sambil mengingat-ingat sesuatu tentang mereka.

Malin sedikit merajuk. Ia memukul perut Engfa untuk memberi gadis itu sedikit pelajaran. Karena ia menolak pernyataan Engfa tentangnya. Namun, saat ia melakukannya, Engfa mengadu. Meringis perih.

"Ada apa?" Malin mendapatinya dengan perasaan khawatir.

Engfa menggeleng mencoba tersenyum. Ia berusaha menutupi hal yang sedang terjadi padanya. Tapi, Malin tidak terima jika ia harus memendam rasa penasarannya. Gadis itu membuka selimut. Dan menarik tangan Engfa yang memegang perutnya sendiri.

"Tidak ada apa-apa." Malin tidak menemukan apapun di sana. Padahal terkadang ia sering melihat tubuh Engfa lebam atau bekas gigitan juga bekas kuku yang menancap. Tapi kali ini ia memang tidak melihat bekas luka.

"Memang tidak ada apa-apa. Kau yang terlalu khawatir." Ucap Engfa. Menarik Malin kembali berbaring di sisinya. Dan menatapnya.

"Apa nona Austin memukulmu lagi?" Malin tahu jika Engfa sering mengalami tindak kekerasan dari Charlotte.

Meski media tidak menemukan kejanggalan dalam interaksi Engfa dan Malin di depan publik, tapi Malin dan Engfa berhubungan cukup intense, tanpa publik ketahui.

Mereka bisa menutupinya dengan sangat baik. Publik hanya menyukai interaksi yang manis. Gemar memasang-masangkan seseorang dengan yang lain hanya karena memiliki momen yang membuat jiwa mereka bergetar. Sedangkan, Engfa dan Malin hampir tidak pernah terlihat berinteraksi di depan media. Itu yang membuat mereka tidak mendapat sorotan dari penggemar.

Jadi, meskipun begitu, Malin punya peluang yang cukup baik dalam mengenal Engfa. Itulah kenapa Engfa tidak lagi bisa menyembunyikan hubungan buruknya dengan Charlotte, di depan Malin.

Siapa yang tidak kenal Charlotte Austin? Meski Malin tidak pernah berinteraksi langsung dengannya, namun Malin sering melihat pertemuan-pertemuan bergengsi di dunia hiburan yang melibatkan Charlotte di dalamnya.

Seperti semua orang sedang berlomba-lomba mengambil hatinya. Dan mencuri kesempatan untuk sekedar mengenalnya. Siapa tahu ada masa depan baik yang bisa mereka dapatkan dari seorang Charlotte Austin kelak.

"Dia hanya sedang kesal." Engfa mencoba untuk menerima keadaannya. Keadaan yang bagimana pun ia tidak tahu mengartikannya. Ia tidak ingin memperkeruh suasana. Ia tidak ingin mengucapkan hal yang bisa memperburuk gambaran Charlotte dimata orang lain.

"Apa setiap orang jika kesal, bisa memukul atau menyakiti orang lain?" Tanya Malin tidak senang. Ia cukup terganggu jika melihat Engfa selalu dijadikan objek penderitaan seperti ini. Tapi, siapa yang mampu melawan Charlotte Austin? Ia seperti sedang diatas segalanya saat ini, di Thailand.

"Dia tidak sengaja memukulku. Sudah, kita tidak perlu membahasnya." Engfa mengecup pipi Malin lembut. Ia ingin lebih lama lagi berada di tempat ini. Menikmati pembaringan dengan seorang gadis yang sedang menjadi perbincangan se-Thailand karena kemenangannya sebagai Miss Grand Thailand.

.
.

Benar kata Engfa, kondisi tubuh Charlotte memang sedang tidak baik beberapa hari terakhir ini. Tidak. Sebenarnya Engfa pun tahu fakta itu dari orang tuanya.

Charlotte berkali-kali merasa mual. Tapi anehnya tidak ada yang bisa dimuntahkannya. Kepalanya juga kadang terasa pusing. Beruntungnya ia mengalami hal ini saat semua pekerjaannya telah selesai.

Charlotte memandang jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sembilan malam. Ini adalah saat yang mengesalkan karena ia tidak sanggup untuk pulang dan kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin mengambil resiko untuk tetap mengendarai mobilnya. Takut jika besok tiba-tiba ia masuk di pemberitaan nasional sebagai korban kecelakaan tunggal.

"Chaaaa..."

Charlotte menutup matanya kesal. Suara itu lagi. Ia paling benci mendengar Engfa memanggilnya dengan nada seperti itu.

"Ayo pulang."

Engfa sudah berada di ruangan Charlotte. Selalu dengan sesuka hatinya. Padahal Charlotte sudah bilang dan menegaskan padanya untuk jangan terlalu terlihat di depan publik jika mereka saling mengenal. Charlotte tidak suka. Ia selalu ingin menutupi hubungannya dengan siapapun. Terlebih lagi dengan Engfa. Untung saja Engfa tidak begitu dikenal oleh orang-orang.

"Kali ini siapa yang menyuruhmu datang? Ayahku? Ibuku? Atau mendiang Nenekku?" Charlotte tidak pernah bisa sabar menghadapi Engfa. Padahal umur Engfa lebih tua hampir empat tahun darinya. Tapi, ia tidak pernah ada niat menghormati gadis ini selayaknya.

"Tidak. Aku sendiri yang datang. Kebetulan temanku lewat sini. Dan aku minta turun-wuhh!" 

"Antar aku pulang. Kepalaku sakit."

Charlotte seperti benar-benar muak mendegar gadis itu berbicara. Belum selesai Engfa mengucapkan alasannya, Charlotte sudah melemparkan tasnya dan untungnya Engfa langsung sigap menangkapnya.

"Apa karena efek kehamilanmu-oke maaf."

Engfa tidak jadi melanjutkan ucapannya, setelah Charlotte memelototinya seperti singa lapar yang siap merobek seluruh dagingnya. 

.

Charlotte tidak banyak bicara sesudah mereka sampai di rumah. Alasan utamanya karena ia tidak menyukai Engfa. Jadi sangat tidak mungkin jika mereka berbincang tentang apapun. Alasan lainnya, karena Charlotte sangat lelah.

Ia langsung masuk ke kamarnya setelah ia meninggalkan Engfa untuk merapikan beberapa hal yang berantakan di rumahnya sendiri. Terkadang Engfa menyukai kegiatan beres-beres. Entahlah. Padahal kamar apartemennya sendiri seperti kapal pecah. Ia hanya melakukan ini di tempat orang lain. Seperti di kamar-kamar atau kediaman gadis-gadis yang dikunjunginya.

.

"Apa kau mau kubuatkan sesuatu?"

Engfa mendorong pintu kamar Charlotte dan menemukannya telah berbaring di sana. Tanpa melepas pakaiannya yang ia gunakan saat bekerja tadi. Mungkin memang Charlotte sangat lelah. Sejak pagi Engfa memang mendapati wajahnya sedikit pucat. Tapi, ia tidak berani bilang. Charlotte tidak suka diselidiki.

"Kau bisa pulang." Charlotte berbisik. Tanpa memandang ke arah Engfa. Ia tetap menutup matanya. Dan menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kepalanya sangat sakit. Takut jika ia membuka mata, itu akan mendorongnya untuk memuntahkan sesuatu.

"Kau tidak mau periksa ke dokter?"

Engfa tahu jika Charlotte belum melakukan tindakan medis apapun mengenai kehamilannya. Gadis ini keras kepala. Mungkin Charlotte memang tidak menyukai kehamilannya. Engfa menduga jika itu tidak ia rencanakan. Itu sangat terlihat. Tapi, bagaimana pun Charlotte harus mengambil keputusan lebih cepat.

Apa ia yakin untuk mempertahankan kehamilannya tanpa seorang suami? Lalu bagaimana dengan laki-laki yang menghamilinya? Apa laki-laki itu sudah mengetahuinya? Mungkin memang Charlotte sedang memikirkannya. Tapi, harusnya ia tidak mengemban pemikiran ini seorang diri.

Oleh sebab itu, ia memberitahu pada kedua orang tua Charlotte tentang kehamilannya.

"Aku sudah bilang pada Paman dan Bibi tentang kehamilanmu."

Charlotte merasa emosinya terkumpul entah dari mana. Mendengar ucapan Engfa yang seperti tidak merasa bersalah mengucapkannya, membuat kepalanya terasa seperti mengeluarkan api.

Charlotte bangkit menatap Engfa yang berdiri di pintu kamarnya. Gadis ini benar-benar tidak pernah bisa paham bagian mana saja yang tidak perlu ia campuri dalam kehidupan Charlotte.

"Kenapa kau melakukannya?" Charlotte masih mencoba untuk menahan rasa mualnya. Meski ia hampir muntah.

"Kau tidak bisa memikirkan ini sendirian. Lagian kehamilan adalah sesuatu yang harus dirayakan bersama keluarga." Engfa sengaja mengatakannya. Ia benar-benar ingin membuat Charlotte mengamuk rupanya. Ia melebih-lebihkan ucapannya dengan nada mengejek. Terlihat polos, tapi menyebalkan. Selalu menjadi hal yang Charlotte benci darinya.

"Pergi dari kamarku sekarang!!!" Teriak Charlotte sekuat tenaga. Jika saja Charlotte tidak dalam keadaan tidak enak badan, mungkin ia sudah mengejar Engfa dan melemparkan benda keras di kepalanya.
 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 03. Kesayangan
2
0
Baca urutan sesuai nomor, karena postingannya acak.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan