03

3
0
Deskripsi

Makan Malam

"Bagaimana? Apa yang telah kau pikirkan tentang putriku?" Earn menatap Charlotte dan suaminya yang berada di sampingnya. Santap malam mereka cukup santai saat ini. Beberapa rekan yang membantu mereka sebagai tim yang ikut menikmati sajian, sudah beranjak pergi satu persatu. Hanya tersisa mereka bertiga. Bersamaan dengan para pelayan yang satu per satu datang dan pergi membereskan sisa-sisa makanan.

"Sangat berbeda darimu kak." Charlotte tersenyum lembut. Lipatan tangannya yang semula bertaut pada tangan suaminya terlepas saat kakaknya mengangkat gelas untuk mengajaknya minum bersama.

Charlotte meraih gelas miliknya. Dan mengangkatnya sejajar pada milik kakaknya. Lalu mereka minum dan meneguk gelas mereka masing-masing. Serentak.

"Aku belum melihatnya. Bagaimana dia?" Tim tampak penasaran.

Earn tersenyum lebar mendengar pertanyaan dari suami adiknya. Bagaimana ia harus mendefinisikan Engfa dengan benar ya? Ia juga tidak tahu. Ia tidak begitu mengenal anak itu.

Tapi, dekapan mereka siang tadi membuatnya benar-benar merasa bahagia dan berbeda. Ia tidak sabar melihatnya lagi.

"Aku menyuruhnya datang lagi besok, kau harus ada di sini." Earn berharap semua orang bertemu dengan anaknya. Ia ingin memamerkan Engfa kepada siapapun. Anak itu benar-benar tumbuh dengan sangat baik seperti yang ia bayangkan.

"Ya, aku tidak keberatan. Aku ingin melihat gadis manismu, kak." Tim mendekap Charlotte dari tempatnya. Jarak mereka tipis. Dan bisa saling mendekap dari tempat mereka masing-masing duduk.

"Tapi bukankah kau besok pergi?" Charlotte mendorong dada suaminya menggunakan pundaknya. Lalu memberi jarak agar mereka bisa saling memandang satu sama lain.

"Aku 'kan perginya siang. Pagi masih bisa bertemu."

"Tidak." Earn bangkit. "Dia kusuruh datang besok malam agar dia tidak menolak untuk menginap."

.
.

Engfa meletakan ponselnya di atas nakas di sisi ranjang mininya. Ia masih menginap di sebuah apartemen yang terletak di tengah kota Bangkok. Sebuah apartemen yang terlihat sederhana namun memiliki fasilitas yang membuatnya lumayan nyaman.

Ia masih enggan berpindah dari tempat ini. Lebih tepatnya masih bingung harus menentukan dimana ia akan menetap. Jika ia memilih tinggal dengan ayahnya, mungkin itu akan menyebabkan kekecewaan untuk ibunya.

Dan ketika ia berpikir untuk melakukan sebaliknya, tentu juga akan terjadi hal yang sama. Ia masih belum bisa menentukannya.

Lagi pula, ia sudah membayar penuh biaya sewa apartemen ini selama setahun penuh tanpa pikir panjang. Keputusan yang tidak baik namun akan ia pastikan dijalaninya dengan baik.

Engfa memandangi gambaran dirinya yang terpantul dalam sebuah cermin. Ia memakai stelan sweater polos berwarna kuning.

Engfa tidak terlalu suka berhias. Juga tidak terlihat begitu ingin memodifikasi tampilannya selayaknya wanita seumurannya. Atau, selayaknya anak dari keluarga kaya yang mampu melakukan apa saja.

Engfa menyambar ransel hitamnya yang sudah berumur. Ia menyukai benda itu karena itu adalah pemberian terakhir dari seorang yang baru dua kali ia jumpai. Mereka saling mengenal melalui sebuah jejaring sosial.

Meski tidak pernah bertemu sebelumnya, namun hati, jiwa dan pikiran bagaikan sudah saling menyatu tak berjarak. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk berjumpa.

Dan pertemuan pertama yang mengesankan membuat pertemuan kedua pun berlanjut. Sampai menjadi akhir yang tidak terencanakan. Begitulah kira-kira menurutnya.

Entahlah. Engfa tidak mau berpikir berlebihan.

.

Engfa berdiri tegak lurus disebuah Halte yang tidak jauh dari apartemennya. Gelap malam menyapanya dengan tetesan hujan yang ringan. Ia memasukan tangan kanannya ke dalam saku kanan celananya yang dalam.

Jika bukan karena permintaan ibunya, Engfa tidak akan datang sesuai kemauan wanita tua itu. Jujur saja itu agak menjengkelkan. Wanita itu tidak ikut membesarkannya. Namun ketika ia dewasa, ibunya berlagak bahwa semua hal karena kerja kerasnya.

Engfa melangkah mundur ketika sebuah bus berhenti di hadapannya. Ia sengaja memberi ruang pada orang-orang yang ingin turun dan memberi kesempatan pada orang-orang untuk naik terlebih dahulu darinya. Baru gilirannya.

Di dalam bus, Engfa memilih untuk duduk di sisi kaca yang membuatnya dapat melihat ke sekitar jalanan yang memberinya pilihan pemandangan yang beragam.

Rintik hujan yang menempel di kaca di depannya menambah sensasi kesunyian dalam dirinya sendiri. Ia selalu merasa sunyi. Entah ia terlahir dalam kesunyian. Atau ia terlahir dalam kesedihan, Engfa tidak pernah punya jawabannya.

Tapi ia menyukainya. Ia merasa dirinya cukup beruntung karena bisa mengajak kesunyian menjadi teman baiknya. Ia tidak suka hal-hal yang bising dan mengganggu. Mungkin itulah alasan mengapa ia sangat mencintai dirinya sendiri.

.

Engfa bangkit setelah tahu tempat pemberhentiannya sudah dekat. Halte yang paling dekat dari kediaman ibunya, meski ia harus berjalan sekitar satu atau dua kilometer lagi menuju rumah mewah itu.

Entah apa motivasi ibunya dulu sampai harus memilih tempat tersudut seperti ini untuk membangun sebuah rumah. Tapi Engfa akui, mungkin itu adalah pilihat terbaik. Mengingat ia sangat menyukai suasana tenang yang ada di dalam sana ketika ia berada di sana. Tenang dan sunyi adalah sahabat karibnya.

.

"Kau sudah datang?"

Engfa tersentak. Pintu tinggi yang menjulang di hadapannya terbuka dan menampilkan sosok seorang wanita cantik dengan gaun berwarna merah darah tipis menyambutnya. Warna darah yang sempurna.

Charlotte tersenyum lembut. Senyuman yang cantik. Engfa selalu merasa senyuman itu adalah milik ibunya. Engfa lupa bagaimana sosok muda ibunya disaat dulu. Ingatannya susah terulang. Mungkin karena itu sudah cukup lama. Atau mungkin karena ia jarang bertemu ibunya ketika wanita itu masih muda.

Tapi mungkin dari Charlotte lah ia bisa melihat bagaimana tampilan ibunya ketika masih muda. Mereka benar-benar mirip. Apalagi jika tersenyum.

"Aku sudah menunggumu." Lanjut Charlotte masih berdiri memandang.

"Hn."

Engfa tidak menjawab. Begitu juga Charlotte tidak memaksa harus bagaimana Engfa merespon semangatnya.

Charlotte mempersilakan Engfa melangkah masuk. Sedangkan dirinya menyusul langkah dari belakang.

"Ibuku dimana?" Engfa menoleh ke belakang mencari Charlotte. Ia tidak nyaman jika ada seseorang yang berjalan di belakangnya. Ia seperti diselidiki dan itu membuatnya merasa gelisah. Engfa memperlambat langkahnya sampai ia dan Charlotte berjalan sejajar.

"Belum pulang. Tiba-tiba ada sesuatu yang mendesak yang harus diurusnya."

Perasaan apa ini? Engfa merasa sedikit kecewa. Kenapa ia merasa kecewa? Apakah tadi ia sempat berharap jika ia akan bertemu ibunya? Kenapa ia berharap bertemu ibunya?

"Kalau begitu aku akan pulang." Engfa tidak mau banyak berpikir meski monolog-monolog telah terjadi di kepalanya.

Apa yang ia harapkan dari wanita tua itu? Ingin merasakan kembali kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah dirasakannya? Dari siapa? Ibunya?

Mustahil.

"Loh kenapa?" Charlotte meraih tangan Engfa sebelum gadis itu menjauh darinya. Tangan mereka bertaut. Kelembutan bertemu dalam sebuah sentuhan.

Engfa menatap pelan ke arah dimana tangan mereka bertaut. Ia sedikit terkejut. Namun tidak begitu terlihat keberatan.

"Ini rumahmu. Kenapa kau ingin pulang?"

Engfa melepas sentuhan Charlotte pada tangannya. Ia kecewa pada ibunya. Entahlah, Engfa juga enggan mengakui jika perasaan yang baru ia rasa itu disebut dengan kecewa. Hanya saja, ia benar-benar merasa ibunya selalu bersikap seperti ini padanya. Lebih mementingkan semuanya kecuali dirinya.

"Ini bukan rumahku. Jika ibuku tidak ada, aku akan kembali sampai beliau ada."

"Baiklah aku tidak akan melarangmu untuk pulang. Tapi, biasakah kau menemaniku makan?" Charlotte tidak bisa bilang jika ia sengaja menunggu Engfa datang. Menahan lapar agar ia bisa makan bersama dengan keponakannya itu.

"Aku kenyang. Pergilah bersama yang lain."

Engfa berpikir bahwa ibunya mungkin akan mengajak mereka makan di luar. Melihat gaun mewah yang Charlotte kenakan pertama kali, membuatnya berpikir begitu.

"Pergi kemana? Aku sengaja menyiapkan makanan untuk kita malam ini. Ayolah."

Engfa tidak paham. Jika tidak ada niatan pergi kemana-mana, namun mengapa Charlotte harus mengenakan tampilan secantik ini?

.

Pada akhirnya Engfa menurut juga. Ia duduk berhadapan dengan Charlotte, bibinya, dalam suasana mewah yang menurutnya sangat berlebihan.

Musik klasik dari abad delapan belasan menyatu bersama udara, bergema syahdu mengisi ruang makan mewah ala kerajaan. Entah ide siapa yang membuat ruangan ini seperti ini. Nuansa putih yang mencekam. Tiang-tiang besar yang kokoh. Belum lagi segala macam perabotan dan alat makan yang didominasi oleh logam.

Lukisan mewah menghiasi dinding-dindingnya yang tinggi menggapai langit. Kain-kain putih tipis-transparan yang terjuntai dari atas ke bawah menambah nilai estetik untuk orang yang peduli. Tapi, Engfa tidak.

Ini memang mewah. Tapi Engfa tidak begitu menyukainya.

"Bagaimana? Kau menyukainya?" Charlotte tahu jika Engfa memperhatikan tempat ini. "Apa ini membuatmu rindu Eropa?" Charlotte menunggu jawaban. Tidak bisa dipungkiri, terlihat jelas dari raut wajahnya jika ia ingin sebuah tanggapan.

Engfa mendengus bercampur tawa. Ada ekspresi remeh yang tidak terlalu terlihat namun Charlotte mampu membacanya.

Engfa meraih gelas tinggi yang terbuat dari logam perak di depannya. Ia ingin tertawa. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana.

"Kau yang melakukannya?" Tanya Engfa pelan. Tidak perlu membuang waktu untuk mencurigai siapapun. Wanita di depannya sudah selayaknya dicurigai.

"Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Eropa mungkin menjadi tempat terbaikmu sampai kau lupa untuk pulang." Charlotte meraih piring kosong di hadapan Engfa dan mengisinya dengan makanan.

Engfa hanya memperhatikan.

Kalimat dari mulut Charlotte masih menjadi bahan pikirnya. "Aku tidak suka tomat." Ia mengangkat tangannya menahan tangan Charlotte yang hampir meletakan tomat di piringnya. Ia benci makanan itu.

Charlotte menurut.

Tidak banyak hal yang mereka bicarakan ketika mereka sedang makan. Engfa tidak begitu banyak bicara. Entahlah. Charlotte merasa harus selalu memberi kata perkata agar gadis itu berbicara padanya.

"Apa yang kaulakukan selama di Eropa?" Charlotte menatap Engfa dengan rasa ingin tahu.

"Kau tidak perlu merasa harus bertanggungjawab padaku. Aku harap Ibuku tidak menyuruhmu untuk menjamuku." Memang itu yang Engfa rasakan sejak tadi. Apa ibunya menyuruh Charlotte untuk menemaninya? Membuatnya nyaman? Justru Engfa akan merasa terganggu.

"Tidak!" Charlotte merespon cepat. Ia menyelesaikan gigitan terakhir di mulutnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku hanya ingin mengenalmu." Lanjutnya.

.

Charlotte menarik tangan Engfa untuk mengikutinya.

Jamuan makan malam mereka sudah selesai. Kali ini Charlotte mengajak Engfa ke tempat yang berbeda. Sebuah ruangan di lantai atas yang pernah Engfa lihat namun tidak bisa dimasukinya.

"Kenapa kau memakai pakaian sebagus ini?" Engfa penasaran. Tangannya masih tergenggam. Langkah mereka masih seiringan. Tapi, pesona Charlotte membuatnya benar-benar takjub dan penasaran.

"Aku jarang berpergian," Charlotte menoleh. Tersenyum sampai pipinya terangkat hampir menutupi matanya. "Aku pikir kau tidak akan protes seperti yang orang-orang lakukan jika aku mengenakannya." Lanjutnya tiba-tiba ingin terlihat sedih.

"Memangnya ada yang protes jika kau terlihat cantik seperti ini?"

"Kau baru saja memujiku cantik?" Charlotte berhenti. Membuat Engfa pun ikut berhenti. Engfa tidak menyadari jika ucapan yang keluar dari mulutnya akan terdengar menyebalkan setelah ia melihat respon Charlotte yang sangat berlebihan.

Charlotte memang terlihat cantik. Apa mengatakan kekaguman pada seseorang itu adalah sebuah tindakan aneh di Thailand ini?

"Iya. Kau terlihat cantik." Maaf saja, Engfa masih belum terbiasa dengan udara di Thailand. Jadi ia tidak akan mengelak. Ia akan jujur dengan apa yang dilihatnya.

Sebenarnya saat Charlotte membuka pintu dan pertama kali Engfa menatapnya, ia sudah ingin mengatakannya. Tapi, ia tidak sempat melakukannya.

"Kau mengatakannya bukan karena aku bibimu kan? Seperti yang para keponakan lakukan agar bibinya memberi uang jajan." Charlotte mencubit pipi Engfa dengan sedikit menggoda keponakannya itu.

Tapi Engfa tidak merespon apa-apa. Ia membiarkan tangan wanita itu bermain-main di pipinya, sampai Charlotte merasa bosan dan berhenti melakukan tindakannya itu.

Andai saja Engfa masih bocah, masuk akal jika Charlotte mengatakan itu. Tapi, bahkan umur Engfa lebih tua darinya. Apa Charlotte sadar jika ucapannya sedikit mengerikan?

"Tidak. Aku mengatakannya bukan karena kau Bibiku. Aku mengatakannya karena aku menilaimu sebagai seorang wanita yang berhasil menyita perhatianku. Kau benar-benar cantik dengan gaun ini. Warna merah membuatmu seperti seorang penakluk. Seperti sudah berapa ribu pria yang kautaklukan dan mereka rela berlutut di bawah kakimu." Engfa menatap Charlotte serius.

Ia memandangi Charlotte. Seperti ini menilai setiap inchi dari apa yang ia lihat. "Rambut panjangmu yang terurai membuatmu terlihat seperti seorang ibu yang sudah membesarkan pria-pria tangguh dan para pejuang besar." Engfa menyentuh ujung rambut Charlotte, mengangkat wajahnya memandang matanya.

Charlotte terdiam.

"Lekuk tubuhmu pun bagus. Berani bertaruh, siapa saja pasti ingin menyentuhmu. Meletakan tangannya di pinggangmu. Meraih tanganmu. Jemarimu. Dan berdansa denganmu." Engfa memeragakan semua yang ia katakan. Ia meletakan tangannya di pinggang Charlotte. Dan tangannya yang lain meraih jemarinya dan menggenggamnya. Seperti ingin mengajak bibinya berdansa namun hanya dengan kata.

"Siapa yang berani protes jika kau sudah secantik ini?" Engfa masih tidak menemukan jawabannya.

Senyap sebentar. Engfa jadi terbawa suasana. Ia melepaskan semua sentuhannya dari tubuh bibinya ketika ia melihat ekspresi berbeda dari wajah Charlotte. Mungkin wanita ini tidak nyaman. Lagi pula, Engfa jadi terbawa suasana. Ia sering melakukan hal seperti ini untuk rekan-rekannya ketika ia masih di negara orang.

Ia sering terlibat dalam pembuatan drama musikal dari panggung ke panggung. Dan ia jadi terpicuh oleh kecantikan yang ia dapat dari Charlotte, bibinya.

Ingin memujinya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 33. Menginginkanmu
4
0
part 33
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan