Lu Tu Musuh GW, Cong!! Chapter 16-18

1
0
Deskripsi

Chapter 16 

Dua minggu lebih tak ada kabar dari Liam, batang hidungnya saja tidak nampak di dekatku. Waktu Edo mengantarkanku pulang ke rumah mami, papa mampir dengan Lili, entah apa yang mereka obrolkan. Liam tidak ikut serta, aku mengintip dari kamarku, berharap laki-laki itu akan datang bersama papa dan Lili tapi dia tidak ada. 

Kenapa dia begitu suka melarikan diri? Menghilang begitu saja sesuka hatinya, dan datang sesuka hatinya. Bila memang dia punya sesuatu rasa untukku mengapa dia harus seperti ini? Arghh... Aku pusing memikirkan Liam, bahkan laki-laki itu mungkin saja tidak memikirkanku, kenapa aku harus pusing sendiri? Mami.. Aku benci jatuh cinta bila harus berakhir seperti ini.. 

Siang ini aku tidur-tiduran di kamar kosku, Neli sudah sibuk dengan on the job training-nya di hotel, sedang Edo masuk kerja, nanti sore baru Edo akan menjemputku, kami berencana nonton bioskop meskipun sebenarnya aku sama sekali tidak berminat nonton film. Aku hanya ingin tidur sepanjang hari.. ahh.. tubuhku lelah, lemas dan murung.. Aku tak tahu efek kegalauan bisa separah ini. 

Untungnya tidak ada kuliah hari ini, kampus masih mempersiapkan bahan untuk ujian akhir semester dan kami mendapat liburan seminggu sebelum ujian dimulai. Seharusnya aku belajar, kan? Tapi buku-buku tebal yang berisikan teori dan rumus-rumus itu begitu tak menarik untuk kuhafal, bahkan novel-novel yang bergeletakan di lantai tidak mampu menggugah minatku untuk kubaca. Apa sih yang aku inginkan? 

Sejak mengetahui hasil tes kehamilan itu, aku semakin tak berselera untuk melakukan apapun. Edo berusaha menghiburku, meski dia tidak perlu melakukannya. Edo terlalu baik, aku merasa bersalah karena membuatnya terikat seperti ini. Edo.. Edoo.. fiuhh.. Apa yang harus aku lakukan padamu? Setiap kami bertemu, Edo selalu menanyakan tentang lamaran kapan hari, dia sungguh-sungguh ingin cepat-cepat menikah. Dan Edo memberiku waktu hingga kelulusan semester untuk menjawab lamarannya. Haruskah kuterima lamaran Edo? Tapi usiaku masih kecil.. Dan aku tak tahu bila Edo adalah laki-laki yang tepat untuk hatiku, meski aku tahu.. Edo adalah laki-laki yang tepat untuk hidupku. 

Orang bilang lebih baik dicintai daripada mencintai.. Benarkah itu? Bukankah dengan alasan itu sebelah pihak dalam rumah tangga bisa saja menggunakannya sebagai alasan mereka untuk berselingkuh? “Karena aku tidak mencintai istriku.. atau Karena aku tidak mencintai suamiku.. Kami menikah bukan atas dasar cinta...” ahh.. bullshit.. Manusia-manusia yang menikah dan lalu berselingkuh dengan alasan seperti itu sungguh menjijikan! Lebih baik tidak usah menikah daripada menyakiti hati pasangan apapun alasanmu. 

Ah.. Kenapa aku harus marah-marah? Keadaanku tak jauh berbeda dengan mereka. Liam.. Kenapa kamu harus pergi seperti itu? Tidakkah aku cukup pantas untuk kamu perjuangkan? Lalu pikiranku teringat kembali pada wanita yang menjadi pacar Liam.. Ya, aku hampir lupa bahwa laki-laki itu telah memiliki seseorang di sampingnya.. aku lupa.. sangat lupa.. Apa yang aku harapkan? Bahwa Liam akan memutuskan hubungannya dengan pacarnya lalu pergi padaku? Atau bahkan dia akan berhubungan dengan kami berdua? Sungguh laki-laki sialan bila dia berbuat seperti itu. 

Tapi akan lebih berengsek bila Liam memutuskan pacarnya agar bisa berhubungan denganku. Aku tidak mau menjadi perempuan yang seperti itu, perempuan yang merusak hubungan orang lain. Cukup kakak si Liam berengsek yang seperti itu, aku tidak akan mengikuti jejaknya kendatipun Liam belum menikah dengan pacarnya. Masih banyak laki-laki lain yang masih singel, seperti Edo. Dan Edo adalah pacarku, semestinya aku tidak perlu berpikir lagi, dia adalah pacar yang baik, dia perduli padaku, Edo sangat perhatian, lembut, romantis.. Apa lagi yang kurang? Ahh.. Aku sungguh bingung.. 

“Tok..tok..” siapa?? Edo? 

“Sebentar,” sahutku sembari bangun dari kasurku. Dengan langkah kaki lemas kubuka juga pintu kamarku, aku memang hendak tidur siang, tapi mata ini tidak bisa mengatup. 

“Siapa?” tanyaku waktu membuka pintu kamar. Sial!! Liam?! Mau apa dia kesini? 

Wajah Liam sungguh jauh berbeda dengan yang terakhir kulihat saat dia berkelahi dengan Edo. Saat itu wajah laki-laki ini penuh dengan arogansi, angkuh, percaya diri berlebih. Namun laki-laki yang berdiri di depanku dengan plester di hidung ini terlihat kuyu, wajahnya murung dan matanya.. terlihat sedih.. 

“Aku ingin bicara, boleh aku masuk?” tanya Liam padaku. Tidak!! Kamu tidak boleh masuk, apa yang akan kamu lakukan? Aku tidak bisa mempercayaimu. 

Namun demikian tubuhku mundur dan Liam pun masuk ke dalam kamar. Dia mengusap rambutnya, nampak laki-laki ini gelisah. Dia memendarkan pandangannya ke seisi kamar. 

“Kau sendirian?” tanyanya lagi, tubuhnya yang tinggi terlihat canggung berada dalam kamar sempit ini. 

“Ya, aku sendirian. Duduklah,” kataku sembari menyodorkan kursi satu-satunya yang kumiliki, yang biasa diduduki Edo bila dia mampir kesini. 

Liam menghela nafasnya, dia belum menatap mataku sedari tadi. Pandangannya berubah-rubah pada setiap benda dalam kamarku, kecuali wajahku. 

“Mau apa kamu kesini?” tanyaku kemudian, aku mulai tidak sabar menghadapi laki-laki ini. Dia harus mengatakan apapun yang ingin dikatakannya dan segera angkat kaki dari sini, sebelum Edo datang dan melihatnya, mereka bisa berkelahi lagi dan itu adalah hal terakhir yang kuinginkan dari mereka. 

Liam tidak mengindahkan permintaanku agar dia duduk dikursi yang kutawarkan. Ya sudah.. Kalau dia mau berdiri selama disini, silahkan. Aku tidak ikut-ikut. 

Kududukkan pantatku di sisi ranjang, Liam masih berdiri gelisah. Apa yang akan dia katakan padaku? Kenapa dia tidak mulai berbicara juga? Sudah hampir lima menit dia berdiri seperti itu di depanku.

“Bila tidak ada yang ingin kamu katakan lebih baik kamu pergi saja dari sini,” kataku. Meski sebenarnya jantungku berdebar kencang hanya dengan adanya dia disini. Aku merindukan laki-laki ini, hatiku sakit, sakit karena begitu menginginkan laki-laki ini. 

“Aku.. Apa benar dia.. Maksudku.. Ah.. tidak. Maksudku.. Dia...” kenapa mendadak Liam menjadi gagu seperti ini? Dimana rasa percaya dirinya yang biasa meledak-ledak itu? Sungguh menyedihkan melihat Liam seperti ini. 

Mami.. Aku ingin memeluk Liam saat ini juga, ingin menghentikan kegelisahan laki-laki ini dan menjadi tempatnya mencurahkan semua masalahnya, aku ingin menjadi tumpuan curahan hati laki-laki ini.. Salahkah aku bila lebih menginginkannya dibandingkan dengan pacarku Edo? 

“Maksudmu apa? Aku tidak punya waktu seharian untuk mendengarmu berbicara tak jelas seperti ini didepanku,” kataku kesal. Maafkan aku.. Aku hanya tidak ingin terluka lagi, kamu telah mengecewakanku, haruskah aku berharap lebih darimu? 

“Apa benar kau mengandung anak laki-laki itu?” akhirnya dia berhasil mengatakan apa yang ingin dia tanyakan. Dan tanganku refleks menampar pipi laki-laki di depanku ini. Pipi Liam merah seketika, dia memejamkan matanya, rahangnya mengetat menahan perih yang mungkin mulai dia rasakan. Tanpa berkata apa-apa Liam memperbaiki kacamatanya yang miring oleh tamparanku. 

Sungguh perempuan apa dikiranya diriku? Hanya karena aku bersedia jatuh dalam pelukannya lalu aku akan melemparkan tubuhku pada laki-laki lain juga? Jangan coba-coba merendahkan aku hanya karena kamu pernah meniduriku!! 

“Kamu kira cewek apa aku, hah? Apa kamu punya hak bertanya seperti itu padaku? Setelah kamu tidak ada kabar, setelah apa yang terjadi?? Aku tidak meminta tanggung  jawabmu!! Dan aku tidak hamil!! Puas??! Jadi kamu tidak perlu bertanggung jawab apa-apa! Lupakan saja yang apa telah terjadi, anggap tidak terjadi apa-apa. Kamu bisa kembali pada pacarmu dan aku bisa kembali pada hidupku. Aku menyesal telah mengenalmu!!” jantungku berdebar kencang, nafasku tersengal-sengal karena saking marahnya. Tubuhku bergetar, ingin rasanya kuhantamkan tinjuku bertubi-tubi pada tubuhnya.

“Bagaimana kau bisa memintaku melupakan apa yang telah terjadi, Camelia? Bagaimana kau bisa mengatakan itu tidak ada apa-apa?? Bagiku itu adalah segalanya, kau kira aku meniduri setiap wanita yang aku temui? Kau kira aku tertarik padamu dan menidurimu tanpa alasan?? Aku tidak menidurimu!! Berengsek!! Aku benci kata itu!! Kita bercinta, Lia!!! Demi Tuhan aku tak akan menidurimu bila aku tidak memiliki perasaan itu padamu!! Dan hentikan tentang pacarku yang selalu kau jadikan alasan. Aku tidak punya pacar!! Kau kira laki-laki apa aku ini? Aku bukan ayahmu, jangan samakan aku dengan ayahmu! Banyak hal yang harus kita bicarakan, dan kita tidak akan melakukannya disini. Ikut aku!!” 

Tanpa memberikan aku kesempatan untuk membalas ucapannya, Liam telah menarik tubuhku dengan paksa, membuka pintu mobil dan memaksaku duduk di kursi penumpang di sampingnya. 

“Jangan coba-coba kabur, aku serius!!” tatapan matanya tajam, bola matanya merah, Liam sungguh marah kali ini. 

Liam mengemudikan mobilnya kesetanan, membuatku yang duduk di kursi penumpang menatap ngeri pada manuvernya menyalip kendaraan di depannya. 

“Kamu akan membuat kita berdua mati, hentikan!! Turunkan aku disini!! Ini penculikan!!” kupukul bahu Liam, namun itu tindakan salah. 

“Hentikan.. Bila kau tidak berhenti, kau akan menyesal Lia...” desisnya marah. Liam semakin mempercepat mobilnya dan tak lama kemudian kami telah tiba di pintu gerbang rumahnya. 

Liam membuka pintu gerbangnya dan memasukan mobil ke halaman. Dia menyeret tubuhku masuk ke dalam rumah, orang ini benar-benar kasar. Apa maunya?? Tubuhku di lemparkan ke atas ranjang kamarnya, kamar yang sama tempat kami bercinta dulu.. Hatiku sakit mengingat hari itu? Mengapa Liam harus membawaku kesini lagi?

Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya, dilepaskannya kacamata yang mengganggu pandangannya. Baru kusadari, Liam masih mengenakan jas putih berkibar yang kemudian dilemparkannya ke sisi ranjang. Dia kemudian duduk di sampingku di atas ranjang. Tangannya bertumpu pada pahanya, menopang kepalanya yang berat. 

“Berengsek!! Kenapa semua harus berakhir seperti ini??!! Arghh!!!” teriak Liam frustasi. 

“Seharusnya aku tidak pergi ke Amerika!! Andai saja.. Argh!! Sial!!” 

Aku merasa sedikit ketakutan saat Liam berteriak seperti orang gila di sampingku, entah apa yang mengganggu pikirannya. Aku hanya diam membisu tak tahu apa yang harus kukatakan. Kubiarkan saja Liam dengan pikirannya sendiri, meledak-ledak tak jelas, berdiri, berjalan mondar-mandir, kemudian duduk lagi di sampingku. Berulang kali dihelanya nafasnya, kemudian menariknya lagi dalam-dalam. 

“Aku mencintaimu, Camelia. Aku bersungguh-sungguh. Kau mungkin tidak percaya karena selama ini aku hanya mengganggumu dan membuatmu membenciku. Apa yang harus aku lakukan? Tolong katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar kau mempercayaiku? Bahwa apa yang terjadi waktu lalu di kamar ini adalah segalanya bagiku. Aku tidak pernah membawa wanita kesini selain dirimu, hanya rekan kerja dan keluarga yang biasa mampir kesini. Selebihnya tak ada, aku tidak biasa mengundang siapa-siapa kesini. Bahkan rumah ini.. Rumah ini baru saja kutempati setahun yang lalu setelah aku pindah ke kota ini. Bahkan aku mengenal ayahmu baru setahun yang lalu, aku tidak tahu menahu tentang kehidupan keluargamu, tentang konflik keluargamu. Kakakku mengabariku dia ingin menikah di kota ini, apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan meninggalkan pekerjaanku di ibukota hanya agar bisa dekat dengan kakakku. Aku membangun usahaku disini, Lia. Membangun dari nol, rekan-rekan kerjaku kuundang kesini untuk mengembangkan usahaku bersama. Aku memutuskan tak akan membangun sebuah hubungan setidaknya hingga usahaku berkembang dan sukses, tapi kau datang.. Seluruh duniaku jungkir balik. Apa yang aku percayai sebelumnya berubah total. Aku menjadi posesif padamu, aku ingin menjadikanmu milikku. Aku selalu mengganggumu meskipun aku tahu kau membenciku setengah mati. Aku selalu memaksamu, bahkan mungkin.. mungkin setengah dari diriku sengaja mengajakmu kesini karena aku ingin mendapatkanmu. Mengetahui kau begitu benci padaku, aku kehabisan akal untuk membuatmu menyukaiku, aku.. aku belum siap untuk membina sebuah hubungan tapi.. aku ingin memilikimu, Camelia.. Aku tak bisa melihatmu dengan pria lain, apalagi mendengar laki-laki itu telah menyentuhmu hatiku mendidih. Pikiranku kalut, aku.. aku yang biasa berpikir jernih bahkan menghadapi hal seperti inipun tak bisa berkutik...” Liam menutup kata-katanya dengan mengacak rambutnya hingga berantakan. Dia mengambil rokoknya, lalu berjalan menuju jendela dan membukanya setelah menyalakan rokoknya. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam, dia belum memandang mataku lagi. Pandangannya jauh ke luar, ke halaman kebun tempat kami dulu duduk berdua di kursi taman. 

“Aku mencintaimu, Camelia.. Aku ingin memilikimu...” bisiknya pelan, namun kudengar juga. 

Jantungku berdebar kencang, aku gugup. Mengetahui isi hati Liam merupakan hal yang sangat mengejutkan untukku. Jadi selama ini itulah yang dia rasakan padaku? Jadi itulah alasan mengapa dia selalu menggangguku? Liam.. Kenapa semua laki-laki suka sekali berbelit-belit? Lebih senang menyimpan perasaan mereka daripada mengungkapkannya? Setelah apa yang terjadi waktu itu.. setelah dia pergi begitu saja saat perkelahian itu.. apakah dia mengira semua akan semudah itu? Belum lagi bila keluargaku tahu, mereka akan menolak hubunganku dengan Liam mentah-mentah. 

Tunggu dulu, apakah papa tahu hal ini? Tapi rasanya tidak mungkin papa tahu, Liam tidak mungkin memberitahukannya, kan?? Mengapa Liam harus memberi tahu papa? Bukankah dia hanya mencari mati bila dia memberitahu papa, dia sendiri pernah mengatakan papa akan membunuhnya bila papa tahu kami berpacaran. Jadi dia tidak mungkin mengatakannya pada papa.. fiuhh... 

Liam membuang puntung rokoknya yang masih menyala ke halaman kebun, menutup jendela itu lalu kembali duduk disampingku. Tangannya meraih remote AC dan udara dingin mulai mengisi ruangan kamar ini. 

“Aku tahu kau sangat membenciku, mungkin perasaanku ini hanya perasaan sepihak. Ironis kan? Aku kira aku bisa bertahan tanpa cinta, setidaknya hingga usiaku empat puluh tahun, hingga aku berhasil menetapkan diriku sebagai laki-laki sukses. Tapi saat aku baru saja memulai usahaku, kau datang dan tak mau pergi dari hatiku. Aku memang tidak bisa merangkai kata, Lia.. Aku tidak pernah memiliki hubungan romantis atau pacaran yang bertahan lebih lama dari jumlah semester yang kau masuki di kampus. Aku hanya berhubungan dengan wanita-wanita yang bersedia berhubungan tanpa status denganku. Aku tak pernah merasa posesif pada mereka, bahkan ketika mereka bersama laki-laki lain aku tak perduli. Tapi denganmu, tidak serta merta membuatku menafikkan kenyataan kalau kau bersama laki-laki itu. Aku tidak rela. Aku hanya ingin kau untukku seorang.”

Liam merebahkan punggungnya di ranjang, menutup matanya, dia terlihat kelelahan, frustasi dan murung. Kuperhatikan garis wajahnya, pipinya yang masih menyisakan rona merah bekas tamparanku, plester yang menutupi luka robek pada hidungnya yang dipukul Edo hingga berdarah-darah, pada bibirnya yang biasa menciumku dengan penuh gairah, pada matanya yang biasa menatapku tajam dan menggoda, alisnya yang hitam tebal, rambutnya yang kini masih berantakan. Laki-laki ini.. apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar bimbang. Tak pernah dalam hidupku, aku diperebutkan oleh dua orang laki-laki yang memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. 

Edo begitu sempurna, namun rasa cinta hanya kurasakan saat bersama dengan Liam. Hatiku menjerit ingin bersama dengan laki-laki ini. Lantas, apa yang harus aku lakukan? Papa, mami, kakak-kakakku, dan Lili.. Akankah mereka menerima hubungan kami? Meskipun dipermukaan hubungan papa dan mami tidak bergejolak lagi, namun aku tahu mami tak akan merestui hubunganku dengan Liam, dengan adik wanita murahan itu. 

Papa.. Mana mungkin dia akan merestui hubungan kami, Liam adalah adik iparnya, mana mungkin papa membiarkan adik iparnya menikahi anaknya. Tapi kami belum mencoba, kan? Bagaimana bila kami mencoba lalu mereka menyetujuinya?? Bukankah kemudian pikiran-pikiranku ini hanyalah pikiran kosong yang tak terbukti? Aku adalah anak mereka, mereka pasti mendukung kebahagiaanku, kan? Mereka ingin aku bahagia, kan? 

Lama kuperhatikan wajah Liam, nafasnya mulai teratur. Dia tertidur??? Yang benar saja. Apakah aku harus berlama-lama disini? Aku tidak tega membangunkan Liam, dia terlihat kelelahan. Bahkan wajahnya yang tanpa dosa begitu menarik dipandang, laki-laki tampan ini dengan senyum jahil yang masih nampak di bibirnya yang terkatup rapat..  Aku memang telah jatuh cinta padanya.

 

Chapter 17 

Liam mengantarkanku kembali ke kosku, Edo telah menunggu dengan wajah menyeramkan. Mereka tidak berbicara, hanya tatapan mata saling benci yang mereka sorotkan pada lawan. 

“Hai, Do. Maaf, dia memaksaku untuk pergi bersamanya,” kataku sedih. Maafkan aku, Do.. 

“Gak apa-apa. Yang penting lu sudah pulang, Neng. Kita jadi ke bioskop ntar?” tanyanya sembari tersenyum. Edo berdiri disampingku dengan senyumnya yang seperti biasa, seolah kepergianku bersama Liam tidak mengganggunya sama sekali. 

“Maaf, Do. Aku gak enak badan. Aku boleh gak ikut? Aku ingin istirahat aja kalau kamu gak keberatan,” wajahku memelas memohon pada Edo. Semoga dia mengerti, hatiku benar-benar kacau hari ini. 

Edo menghela nafasnya, dia tidak ingin berdebat denganku. Dengan anggukan kecil Edo tidak mempermasalahkan kencan kami yang batal. Dikecupnya keningku sebelum Edo berpamitan pulang. 

“Istirahat, jangan lupa makan. Apa gw beliin lu makanan aja, Neng? Lu gak mungkin keluar, kan?” tanya Edo. 

“Gak usah, Do. Aku gak selera makan jugaan. Makasi ya, maaf repotin,” jawabku lemah. 

Setelah melambaikan tanganku pada Edo yang berlalu dengan mobilnya, aku pun mengunci kamar kosku dan meluncur ke atas kasur dan menangis sepuas-puasnya. Aku baru saja menolak Liam, dan laki-laki itu terguncang hingga tak bisa berkata-kata. Mami.. Semoga apa yang aku lakukan tidak salah, aku tidak ingin membuat keadaan bertambah runyam lagi. Cukup hanya papa dengan Lili yang menyakiti hatimu, aku tak ingin menyakiti hatimu lagi dengan berhubungan dengan Liam. Meksipun aku tahu.. hatiku menjerit kesakitan karena keputusanku ini. 

Seminggu belakangan sejak aku menolak Liam, tubuhku semakin hari semakin payah. Apakah beban psikis bisa membuat fisik menjadi lemas seperti ini? Aku tidak berselera makan, bahkan menciumi aroma makanan dari kantin kampus bisa membuatku berlari secepat kilat ke toilet, memuntahkan semua makananku. Badanku demam dan meriang, perutku mulas tak karuan. Tubuhku semakin hari semakin lemah, untungnya Neli dan Edo selalu menungguiku dan menjagaku. Mereka berhasil memaksaku makan beberapa suap bubur yang biasanya tak kusukai. 

Karena kos ku adalah kos khusus perempuan, maka Edo tidak dapat menginap disini dan menungguiku saat malam tiba. Ketika Neli pulang dari job training-nya pada pukul dua belas malam, dia akan menengok ke kamarku dan memastikan aku baik-baik saja. Aku akan berpura-pura sedang tertidur agar Neli tidak khawatir. Aku menyusahkan banyak orang, aku merasa tidak enak. 

Saat malam tiba kerjaanku hanya menangis hingga bantalku sembab, aku tidak bisa membohongi hatiku, aku memerlukan Liam, aku merindukan laki-laki itu. Sehingga ketika Edo datang berkunjung ke kosku lagi, dengan menyesal aku meminta dia memutuskan hubungan kami. 

“Gw ngerti, Neng. Gw gak akan maksa lu. Tapi gw akan selalu ada kapanpun lu butuh gw, Neng. Sekarang mungkin kita udah bukan pacar lagi, tapi lu jangan ngusir gw dari sini. Gw pengen jagain lu, Neng. Gw sedih lihat lu sakit seperti ini, setidaknya itu yang bisa gw lakuin, sebagai sahabat lu gw boleh kan berada disini?” tanya Edo dengan wajah memelas. 

Akupun mengangguk. Mami.. Edo begitu baik, entah sudah berapa kali aku melukai hati laki-laki ini dan dia masih saja bersedia berada di dekatku. Semoga kamu mendapatkan wanita baik-baik yang mencintaimu sepenuhnya, Do. Maafin aku ya.. 

“Maafin aku, Do...” tangisku hampir jatuh, aku menjadi begitu sensitif belakangan ini. 

“Lu gak mau pulang aja, Neng? Bukannya kita gak mau ngerawat lu, tapi kalau di rumah kan ada mami lu, beliau berhak tahu keadaan lu.” Neli muncul di belakang Edo sambil membawa teh hangat manis untukku. 

“Enggak, Nel. Bentar lagi ujian, aku gak mungkin ngelewatin ujian semester. Kalau cuma sebentar doank di kampus aku rasa aku masih bisa. Di kos juga aku tiduran aja, kan? Kalian gak usah terlalu khawatir.. Aku akan baik-baik aja. Makasi ya.. Kalian adalah orang-orang yang sangat aku sayangi.. Aku berhutang banyak pada kalian...” 

Mami.. tangisku kini berjatuhan, aku sungguh cengeng.. 

Neli meletakan teh hangat itu di atas meja dan menghambur memelukku, dia ikut menangis, sedang Edo memandangi kami berpelukan dengan wajah sedih dan haru. Dia menepuk-nepuk bahuku, tepukan hangat seorang sahabat yang memperdulikanku. 

Keesokan harinya Neli memaksaku periksa ke rumah sakit karena kondisi tubuhku yang tidak membaik juga, Neli khawatir karena setiap pagi aku muntah meskipun perutku masih kosong dan tubuhku semakin lemah karenanya. 

“Neng, kita ke rumah sakit ya. Periksain lu sakit apa, kalau perlu lu opname. Kondisi lu parah banget, gw gak tega lihat lu kyk gini. Meski lu bilang ini cuman karena patah hati tapi gw gak percaya, pasti ada sesuatu di tubuh lu. Pokoknya gw manggil taksi sekarang juga, mumpung di depan ada taksi. Kalau nungguin Edo kelamaan, ya?” 

Neli mengambilkan sweaterku dan memakaikannya di badanku yang menggigil kedinginan. 

“Makasi, Nel. Aku gak tahu apa jadinya kalau gak ada kamu disini,” senyumku lemah. 

“Lu gak perlu bilang gitu, Neng. Kita kan sohib.” 

Neli memeluk bahuku saat kami duduk berdua di kursi penumpang mobil taksi yang mengantarkan kami ke rumah sakit. 

Sore itu cukup banyak pengunjung yang memenuhi ruang tunggu praktek umum di rumah sakit Guna Dharma Husadha, rumah sakit paling besar, paling mewah, paling lengkap di kota kami. Aku mendapat nomer urut tujuh puluh, sedangkan pasien yang masuk baru nomer tiga belas. Argh.. Aku tidak tahu bila tubuhku bisa bertahan selama itu menunggu giliranku diperiksa. 

Neli mencolek lenganku, aku sedang menonton tivi untuk menghilangkan kebosananku menunggu. 

“Neng.. Neng.. Itu bukannya adik istri bokap lu? Ngapain dia disini?? Eh, dia kesini” Neli menunjuk pada sekumpulan orang dengan pakaian jas putih berkibar-kibar, pasukan dokter dan perawat yang berjumlah tak kurang dari sepuluh orang. 

Pada garis terdepan langsung kukenal wajah laki-laki itu, laki-laki berkacamata yang wajahnya selalu hadir dalam mimpiku. Yang berjalan penuh wibawa dan orang-orang di sekitarnya membungkuk memberi hormat padanya. Liam??? Dia.. Dokter?? 

Kalau dia bukan dokter lalu mengapa dia berpakaian seperti itu? Kini semua fakta tentang Liam mulai masuk akal, saat teman-temannya memanggilnya “Dok” yang kuasumsikan “Kodok” karena saking kesalnya aku padanya. Pakaian-pakaian dalam lemarinya, jas-jas putih, kemeja.. Dia seorang dokter, lalu.. ah.. tidak berpengaruh pada apapun. Well, sedikit.. Setidaknya aku tahu sekarang Liam tidak menggantungkan hidupnya dari papa. Lalu kenapa Lili menikahi papa? Masak mereka saling mencintai?? Apa yang dilihat Lili dari papa? Laki-laki busuk dengan track record selingkuh yang tak terpecahkan!! 

Mata kami saling bertautan, sekejap kulihat Liam seperti mengenaliku, namun kemudian dia mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Dia berpura-pura tidak mengenaliku.. Ah.. Tuhan.. Bahkan hati ini lebih sakit rasanya ketika Liam berpura-pura tidak mengenaliku daripada saat mengetahui papa mengkhianati keluarga kami. Air mataku menetes setelah Liam lewat dengan rombongan dokter-dokter dan perawat yang mengikutinya seperti bebek. Kuseka air mataku sebelum Neli bertanya-tanya mengapa aku menangis. 

Satu jam kemudian giliranku akhirnya tiba, ditemani Neli aku duduk di kursi di depan dokter yang begitu ramah menanyakan keluhanku. Syukurnya aku tak perlu menjawab banyak, Neli membantuku memberitahukan dokter tentang penyakitku. Lidahku kelu, tenggorokanku hampir tak sanggup mengeluarkan suara sekecil apapun. 

“Hm.. Coba berbaring di ranjang ya, kita periksa sedikit. Jangan takut.” 

Dokter itupun memintaku untuk berbaring di atas ranjang periksa, seorang perawat datang membawa alat pengukur tekanan darah dan memeriksaku. 

Perawat dan dokter itu memeriksa kondisi tubuhku secara menyeluruh, aku bahkan harus mengisi tabung kecil penuh dengan air kencingku. Kebetulan aku memang kebelet pipis, maka tak heran tabung itu penuh terisi. Aku hanya tersenyum malu saat menyerahkan tabung itu pada perawat yang juga tersenyum membalas senyumanku. 

Tak lebih dari lima menit kemudian, dokter telah kembali duduk di depan kami dengan membawa hasil pemeriksaanku. Pertanyaan yang dia ajukan berikutnya membuat pipiku merah bagai tomat rebus. Aku tidak menyangka dokter itu akan bertanya seperti itu, langsung, tanpa tedeng aling-aling. 

“Kapan terakhir kali anda berhubungan intim?” tanya dokter yang membuat jantungku berdegup kencang. Neli memandangiku, mereka memandangiku, menunggu jawabanku. Oh, mami.. haruskah aku membeberkan rahasia ini juga pada orang lain? 

Dengan enggan kujawab juga pertanyaan dokter itu. Ahh.. 

“Kurang lebih dua bulan yang lalu, dokter...” jawabku. 

Dokter itu kemudian mengangguk-angguk, lalu membuka kertas yang sedari tadi ditutupinya di atas meja. 

“Saya tidak tahu bagaimana mengabarkan hal ini pada anda, boleh saya tahu bila anda sudah menikah atau...?” apa maksudnya dokter ini menanyakan statusku? Err.. 

“Saya belum menikah, dokter,” jawabku tersinggung. 

Dokter itu menatap wajahku lekat-lekat, tatapan simpati yang tak mampu kuurai saat itu, saat dia belum memberitahukanku hasil dari pemeriksaannya. 

“Ah.. Ehm.. Hasil pemeriksaan anda, anda positif hamil, sudah tujuh minggu.”

Seolah petir menggelegar di siang hari saat dokter itu memberitahukan hasil pemeriksaanku. Bahkan Neli menutup mulutnya agar tidak berteriak kaget. Di koridor rumah sakit Neli menanyakanku pertanyaan yang aku juga ingin tahu jawabannya. 

“Neng, bukannya lu bilang lu gak hamil? Emang gimana lu lihat hasil alat test kehamilannya kapan hari?” tanya Neli padaku. Aku berusaha mengingat-ingat hal itu. 

Saat itu aku sedang ada di toilet dan Edo memberitahukanku apa arti hasil tes kehamilanku. 

“Gimana Neng hasilnya?” teriak Edo dari luar kamar mandi kos. Jiah, ni anak gak bisa melanin suaranya dikit apa? Bagaimana kalau semua penghuni kos ini mendengarnya? 

“Hasilnya positif, Do. Apa artinya tuh?” tanyaku was-was. 

“Er.. Positif gak hamil kali ya, Neng? Kalau gak salah inget tadi petugas apotiknya memberitahukanku seperti itu,” kata Edo sambil menggaruk kepalanya. 

Aku baru saja keluar dari kamar mandi, memandang kecut pada Edo yang berdiri bengong sambil mengelus pipinya yang bengkak akibat pukulan Liam. 

“Kamu sih, pakai acara ketinggalan bungkusnya lagi. Tapi kamu yakin kalau positif artinya positif gak hamil?” tanyaku lagi untuk memastikan. Begini nih kalau belum berpengalaman. 

“Er.. Yah, kan gw musti nanya dulu di mbak-mbak yang jaga apotik. Daripada ntar malah bingung,” elaknya cengengesan. 

“Emang sekarang gak bingung? Hadehh.. Nanti kamu kesana lagi ya, tanyain ke apotiknya,” pintaku. Tapi Edo tak jadi pergi ke apotik malam itu karena mami nya menelphone dan dia disuruh pulang, sakit tulangnya kumat jadi Edo harus menemani maminya yang sedang kesakitan malam itu. 

Kembali ke masa kini.. Neli di sampingku tak berhenti mengomel menyalahkan kebodohan Edo sehingga kami melewatkan hal besar ini. Setelah mengetahui kenyataan bahwa aku hamil.. aku mengandung anak Liam.. Pikiranku pun semakin kalut. Bila aku memberitahu Liam sekarang, apakah dia akan mempercayaiku? Bagaimana kalau dia mengira aku hanya menginginkannya setelah tahu dia adalah dokter disana? 

Ya, Tuhan.. Kenapa harus seperti ini?? Hatiku menangis darah lagi, kenapa masalah hidupku tak pernah selesai juga. Tak cukupkah tangisku sudah keluar sedariku lahir? Dalam diam aku menaiki mobil taksi yang mengantarkanku kembali ke kos bersama Neli. Aku harus memikirkan masak-masak apa yang akan aku lakukan mengenai kehamilanku ini.. Masa depanku.. ahh... Punyakah aku masa depan lagi??

 

Chapter 18

Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahukan orang tuaku, pertama aku ingin bertemu papa. Aku ingin tahu apa yang papa pikirkan bila aku dan Liam bersama, akankah papa menentang. Ahh... Hatiku rasanya tidak cukup kuat menghadapi ini seorang diri.. Edo mengantarkanku ke rumah papa, dia masih tak bosan mengingatkanku bahwa dia selalu ada untukku.. Seandainya Liam tidak menerimaku, Edo bersikeras akan menikahiku. Ah Edo.. Mengapa kamu membuatku semakin merasa bersalah, aku tak pantas untukmu, berhentilah mengorbankan dirimu untukku. 

“Gw ikut ya, Neng...” kata Edo menggenggam tanganku. Kami tiba di depan pintu pagar rumah papa. Lili sedang menyapu di halaman dan menyambut kami. 

“Eh, Neng. Masuk Neng, nak Edo.. Mari masuk...” sapanya dari luar. 

Aku tersenyum membalas sapaan ramahnya, susah untuk membenci orang yang beramah-ramah padaku. 

“Enggak usah, Do. Aku akan menghadapi papa ku sendiri. Nanti salah-salah papa mengira kamu lagi yang membuatku seperti ini,” aku tertawa kecil, bukan karena leluconku lucu, hanya untuk menyembunyikan ketakutanku sekarang. 

Edo masih menggenggam tanganku, dia tidak tertawa. Dia serius dengan kata-katanya. 

“Gpp, Neng. Gw malah seneng kalau bokap lu mikir seperti itu, sehingga gw bisa nikahin lu sekarang juga.” 

Ku hela tangan Edo, sudah saatnya aku keluar menghadapi masa depanku seorang diri. Masa depanku yang telah kupilih dan akan aku pertanggung jawabkan, tanpa bantuan siapapun. Aku bisa berdiri sendiri, aku tak akan kalah hanya karena papa mungkin mengusirku. 

Kusapa Lili yang masih berdiri menungguku. Kami berpelukan, pelukan hangat yang belum bisa kuterima sepenuhnya. Haruskah aku menerima wanita ini? 

“Ayo masuk, Edo gak ikut? Liam ada di dalam lho, lagi ngobrol ama papamu.”

Jantungku berdetak kencang demi mendengar Liam juga ada disini. Kulangkahkan perlahan kakiku masuk ke dalam rumah papa. Belum sampai kakiku menginjak pintu, sudah kudengar suara teriakan papa, dia nampak sangat marah. Pada Liam? Mengapa? 

“Ini lagi, ini lagi??? Kan gw sudah bilang, lu tinggalin anak gw. Apa sih yang gak jelas dari itu, Liam? Lu itu orang berpendidikan, susah amat ya bagi lu ngelaksanain kata-kata gw? Kenapa gak sekalian aja lu tinggal di Amerika waktu lalu? Bukannya balik lagi kesini gangguin anak gw. Lu kan tahu lu itu adik ipar gw, apa kata orang kalau gw ngasiin anak gw ke elu, Liam. Nyahok lu ya jadi orang. Gak bakal gw ngasiin lu nikah sama Neng. Kecuali lu hamilin dia, tapi itupun gak mungkin, gw gak bakal ngasi lu deketin anak gw lagi. Paham lu, Liam? Mending lu pergi aja dah dari kota ini, balik ke ibukota, bukannya karir lu bagus disana. Gak usah jadi dokter disini, disini duitnya kecil, lu bakal nyesel trus lu nyalahin Neng kalau kalian menikah karena dia menghalangi karir lu. Lu tahu Neng gak mungkin ninggalin kota ini selama orang tuanya masih hidup. Dasar lu ya, orang tak tahu malu.” 

Kupejamkan mataku mendengar semua sumpah serapah papa pada Liam. Sakit rasanya hatiku mendengar semua kenyataan ini. Jadi selama ini.. Papalah yang menghalangi hubungan kami? Jadi selama ini papa yang berusaha menghalangi Liam mendekatiku? Padahal Liam sudah berusaha memohon pada papa? 

Kenapa, pa? Kenapa papa begitu egois? Apakah hanya papa yang manusia? Apakah hanya papa yang perlu kebahagiaan di muka bumi ini? Apakah hanya papa yang bisa menikahi wanita manapun yang papa inginkan? Bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan Liam? Kami saling mencintai, tidakkah itu cukup buat papa untuk merestui hubungan kami?? Papa.. Aku semakin membencimu, benci karena keegoisanmu yang tak kepalang tanggung. 

“Hentikan, Pa!” teriakku dari arah pintu masuk. Papa dan Liam kaget melihat kedatanganku. 

“Neng, ngapain kamu disana? Kamu dengar semuanya??” tanya papa menghampiriku. 

Liam berdiri disana, pipinya merah lagi. Apakah dia ditampar papa?? Oh, Tuhan.. 

“Ya, aku dengar semuanya. Aku dengar bagaimana egoisnya papa!! Teganya papa lakuin ini ke Neng. Kurang bagaimana lagi papa nyakitin hati Neng, Pa? Kurang bagaimana lagi papa ngehancurin hati, Neng? Gak cukup yang papa lakuin selama ini? Papa udah ngancurin keluarga kita, sekarang papa juga mau ngehancurin hidupku??”  teriakku sembari menangis. Aku memang tak bisa marah tanpa menangis, ya.. karena aku wanita.. aku benar-benar marah dan kecewa pada papa. 

“Kamu bilang apa, Neng? Papa ngancurin hidupmu? Justru kalau kamu menikah sama si Liam berengsek ini, dia yang bakal ngancurin hidupmu. Papa bisa ngenalin kamu sama laki-laki lain yang bisa bahagiain kamu, Neng. Gak usah sama Liam ini.” kini aku beradu urat dengan papa. Aku tak akan mengalah lagi kali ini. 

“Enggak, aku hanya ingin Liam. Aku sudah menikah sama Liam, pa. Papa gak bisa ngehalangin lagi. Kami sudah resmi menikah, minggu depan surat kawin kami sudah keluar dari catatan sipil. Aku sudah gede pa, gak perlu tanda tangan papa untuk ngerestuin pernikahan kami. Aku mau menikah dengan siapapun bukan urusan papa. Papa gak berhak ngelarang aku setelah papa melepaskan hak papa menjadi teladan bagiku. Papa semestinya mengaca, selama ini papa itu bukan teladan yang baik. Papa mestinya bersyukur aku tidak berubah menjadi perempuan berengsek karena keluargaku broken home. Banyak anak-anak lain bunuh diri pa, atau konsumsi narkoba, jadi lonte, karena orang tuanya berengsek. Papa ngerti itu? Papa tahu bagaimana orang tua seperti papa ngehancurin masa depan anak-anaknya?? Kalau papa masih punya hati, papa gak akan ngehalangin hubunganku dengan Liam!!” 

Kutarik tangan Liam yang mengikuti tanpa bantahan. Dia menatap wajah papa yang berdiri tak bisa berbicara lagi. Aku tak tahu apa yang akan papa pikirkan, aku tak perduli. Dia harus tahu, bahwa dia telah melukai kami. Dan kami membencinya karena itu, agar papa mengerti tak ada yang mencintainya dengan tulus karena perbuatan papa memang tak bisa ditolerir. 

Sebelum keluar dari pintu rumah papa, kulemparkan bomku yang terakhir. 

“Oh ya, lagi tujuh bulan papa harus siap-siap nerima cucu baru dariku dan Liam. Aku pergi.” dan kami berlalu tanpa berpamitan pada Lili yang bertanya ada apa. Maaf Lili, aku tidak bisa menjelaskan apa-apa saat ini. 

Kami masuk ke dalam mobil Liam yang dikemudikannya tanpa suara menuju rumahnya. Aku masih ingat bagaimana wajah Liam terkejut saat kukatakan secara tak langsung bahwa diriku hamil. Ya.. Aku hamil Liam.. Aku mengandung anakmu, dan sekarang kamu tahu.. Apa yang akan kamu lakukan..? 

Liam membukakan pintu mobil untukku, dia menatap wajahku dengan takjub. Hei.. Hentikan.. Kamu membuatku tersipu malu.. 

Dibantunya tanganku sewaktu aku turun dari mobil. Mami.. kenapa laki-laki ini tiba-tiba berubah perhatian seperti ini? Aku tidak biasa dan dia membuatku malu.. tapi aku suka.. ahh... 

Kami duduk di sofa ruang tamu, Liam masih saja membantuku duduk. Apakah karena dia tahu sekarang aku hamil lalu dia berubah begitu lembut? 

“Camelia.. Terima kasih.. Terima kasih untuk segalanya, untuk semuanya. Aku tak menyangka kau akan datang dan berkata seperti itu pada ayahmu.. Apakah kau tidak menyesali semuanya? Maksudku.. Kata ayahmu, aku tak cukup baik untukmu, aku tahu aku memang tak sempurna, aku mencoba menjadi lebih baik, Lia. Kali ini aku tak akan membiarkanmu berjuang sendiri, kita akan berjuang bersama. Aku akan membuat ayahmu merestui kita, ibumu juga. Apalagi.. Kita akan segera punya bayi...” Liam menatap perutku dengan pandangan penuh cinta, dielusnya perutku dengan lembut, kulihat matanya berkaca-kaca. Oh, Liam.. Apa yang membuatmu berubah menjadi pria melankolis seperti ini..?? 

“Aku kira kau mengatakan bahwa...” Liam menatap mataku sedih, namun bibirnya telah kututup dengan tanganku. Aku tak ingin dia mengungkit masa itu, aku memang salah dan bodoh karena tak mengetahui perubahan tubuhku. 

“Lupakan.. Yang terpenting saat ini kamu sudah tahu, kan?” tanyaku pada Liam. Dia menyunggingkan senyum padaku, senyum manisnya yang kusuka. 

“Ya.. Aku tahu.. Saat melihatmu di rumah sakit aku bingung apa yang kau lakukan disana, Camelia. Kutanyakan dokter yang memeriksamu, namun karena sumpah jabatan dia bersikeras tidak mau memberitahuku.. Sampai kukatakan bahwa aku adalah suamimu.. Awalnya dia tak percaya, tapi sungguh bodoh bila dia tidak mempercayaiku, aku bisa memecatnya bila aku mau,” Liam tertawa geli saat mengucapkan hal itu. Jadi dia tahu? Dia telah tahu?? Lalu mengapa dia tidak mencariku? Laki-laki berengsek. Urghhh!! 

Kulepaskan tautan tangan kami dengan kesal, Liam kebingungan karena perubahan emosiku yang tiba-tiba. 

“A..ada apa, Lia? Apakah ada kata-kataku yang salah?” tanyanya khawatir. 

“Kamu tahu, tapi kamu tidak berusaha mencariku?? Kamu memang laki-laki bajingan, hidung belang, mata keranjang, busuk, mesum, aku membencimu!” aku mencoba berdiri dan menyingkir dari hadapan si Kodok Liam ini, tapi dia memeluk tubuhku. Dia tertawa kecil, huh!! Apa yang lucu? Sama sekali tak lucu. 

“Jangan marah.. Aku selalu memperhatikanmu meski kau tak tahu. Setiap pulang dari praktek aku selalu singgah di depan kompleks kosmu, duduk dalam mobilku berjam-jam hingga lampu kamarmu padam. Aku ingin masuk.. Tapi temanmu dan laki-laki itu disana. Aku juga tak tahu apa yang harus aku lakukan, aku belum berhasil mendapat persetujuan ayahmu, selama ini aku mencoba, tapi selalu gagal. Dia semakin membenciku dan selalu mengusirku dari rumahnya,” jawab Liam dengan ekspresi kesakitan. 

“Papa menamparmu?” tanyaku sembari menyentuh pipi kirinya yang berbekas merah. Pipi yang selalu menjadi tempat sasaran kemarahanku, sudah dua kali aku menampar Liam, namun dia tak pernah membalasnya. 

“Bukan apa-apa. Aku bisa menahannya, bahkan tamparanmu pun aku bisa menahannya. Kalian ayah-anak senang sekali menampar pipiku,” jawabnya sambil cengengesan. 

“Itu karena kamu berengsek, makanya kamu pantas ditampar,” jawabku merengut. Ah.. mami.. setelah semuanya jelas hatiku terasa ringan, hanya sedikit beban yang masih mengganjal, bagaimana kami akan mengatakannya pada mu.. Aku harap mami tidak seperti papa.. Aku sungguh takut membayangkan bila mami juga menentang hubungan kami. 

“Camelia.. Apa yang kau pikirkan? Katakan padaku.. Aku sedih melihat wajahmu bersedih,” bisiknya di telingaku. Kami masih berpelukan seperti ini, aku tak ingin melepaskan pelukan Liam, takut kalau laki-laki ini akan pergi meninggalkanku lagi. Bisakah aku mempercayainya? Bisakah Liam kupercayai untuk tidak meninggalkanku lagi? 

“Liam.. Apakah kamu akan pergi lagi? Aku takut bila kamu pergi lagi, tanpa kabar.. Kamu membuatku sedih, kecewa. Mengapa kamu tidak pernah menghubungiku saat kamu pergi? Bahkan setelah siang itu, kamu menghilang sebulan lebih tanpa kabar, kamu hanya datang setelahnya seolah tak ada yang terjadi, seolah hatiku tak pernah kamu sakiti. Bagaimana aku harus bersikap bila kamu seperti itu terus?” 

Liam mengecup keningku, dia menatap mataku dalam-dalam. 

“Lia.. Camelia.. Aku tak akan meninggalkanmu lagi, bilapun aku pergi aku akan mengajakmu serta. Aku tak akan pergi dari kota ini, rumahku disini, dimanapun kau berada, disanalah rumahku. Aku akan pergi kemanapun kau ingin, Camelia” jawabnya pelan. Liam mengunci daguku dengan tangannya, aku tahu dia ingin mencium bibirku sekarang. Tapi banyak hal yang ingin kutanyakan, aku tahu bila kami sudah berciuman.. akan berlanjut ke hal-hal yang lebih ehm.. lebih.. panas. Aku harus mengetahui beberapa hal dulu dari Liam. 

“Tunggu.. Aku tahu apa yang kamu inginkan, tapi aku masih ingin bertanya lagi,” selaku. Kututup bibirku dengan telapak tanganku yang berhasil dikecup oleh bibir Liam. Diapun tersenyum dan tak melepas tanganku. 

“Katakanlah, apa yang ingin kau tanyakan. Aku tahu, selama ini yang kau tahu hanyalah namaku. Dan segala sifat burukku.” 

Aku menggigit bibirku, laki-laki ini bisa begitu menawan dengan tatapan matanya yang hangat. Pandangan matanya membuatku meleleh dalam pelukannya. Tapi ada yang harus kubereskan sebelum Liam melakukan hal lain. 

“Siapa namamu? Berapa umurmu? Apa pekerjaanmu? Apa statusmu? Dimana saja rumahmu? Siapa saja mantan-mantanmu? Apakah kamu sedang berhubungan dengan seseorang selain aku? Apa hobimu? Warna apa yang kamu suka? Ehm...” aku rasa semakin lama pertanyaanku semakin tak jelas dan tak berbobot. Liam tersenyum kecil mendengar pertanyaan-pertanyaanku. 

“Baiklah.. Aku akan jawab satu per satu. Namaku.. Liam, nama lengkapku William Andreas Renatha. Rekan sejawat biasanya memanggilku dengan sebutan Doktor, karena aku memiliki beberapa gelar yang mungkin membuatmu menganga bila kau dengar,” dia menjentikan jarinya diujung hidungku. Tunggu dulu, rasa-rasanya aku pernah mendengar nama lengkap Liam.. Tapi dimana... William..Andreas.. Renatha.. hmm.. Aku lupa..

“Wajahmu sungguh lucu saat sedang berpikir seperti itu. Ok ok.. aku lanjutkan, jangan cemberut, aku hanya bercanda. Ehm.. Mereka biasa memanggilku Doktor dokter William Andreas Renatha, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Disini aku praktek di.. rumah sakit Guna Dharma Husadha, rumah sakit dimana kau diperiksa kemarin. Rumah sakit itu sebagian besar sahamnya atas namaku, jadi bisa dikatakan rumah sakit itu milikku.” sampai disana aku menganga lebar. Liam seorang DOKTOR? Yang bener????? 

Kupandangi lagi wajah Liam dari ujung tumit hingga ujung rambutnya, laki-laki ini tak kelihatan sedikitpun seperti seorang DOKTOR!! Dia masih Liam yang suka menggodaku dengan wajah culas dan senyum liciknya. Apakah dia menggodaku lagi sekarang?? Lalu aku teringat pada laki-laki dengan gelar sama yang dimiliki Liam ketika aku kerja paruh waktu dulu. 

“Apakah kamu laki-laki yang memberi seminar di hotel Sahid dulu itu?” tanyaku tak percaya. 

Liam memicingkan matanya, mencoba mengingat sesuatu, “Bagaimana kau tahu? Aku baru saja kembali dari Amerika.. setelah aku meninggalkanmu tanpa kabar...” wajahnya berubah sedih saat menceritakan hal itu. 

“William Andreas Renatha.. Jangan katakan kalau kamu juga yang mengirimkan surat dan cincin itu padaku??” tanyaku lagi. Sungguh semua misteri ini terungkap hanya dengan mengetahui nama si Liam jelek ini. 

“Ya, itu dariku. Aku mengirimnya dari Amerika karena aku tidak bisa kembali sebelum waktuku habis. Aku menerima gelar doktor kehormatan di salah satu universitas di Amerika, aku sangat ingin pulang dan menemanimu di hari ulang tahunmu. Namun aku hanya bisa mengirimkan surat itu.. Dan cincin itu.. Apakah kau menyimpannya? Aku takut kau membuangnya.” 

Liam sungguh bodoh bila mengira aku akan membuang cincin semahal itu? Perkiraanku cincin itu bernilai tiga juta rupiah dengan harga beli emas seperti sekarang ini. Aku tidak suka menghambur-hamburkan uang, apalagi emas. Sungguh gila.. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lu Tu Musuh GW, Cong!! Chapter 19-21
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan