Chapter 10
“Neng, dengerin dulu penjelasan gw.. Waktu itu gw gak sengaja ketemu Edo, terus kita makan bareng, gak ada apa-apa kok.”
Neli berusaha menyamakan langkahnya dengan langkahku. Dua minggu belakangan aku selalu menghindarinya, bahkan pintu kamar kosku yang biasanya kubuka lebar-lebar kini tertutup rapat dan terkunci. Meski Neli menggedor-gedor pintuku tak pernah kubuka lagi untuknya.
Kuhentikan langkahku hanya agar Neli tidak mengikutiku lagi, kami sedang berada di halaman kampus dan kicauan Neli menarik perhatian banyak mahasiswa lain, aku tidak ingin menjadi bahan perbincangan mahasiswa-mahasiswa yang senang bergosip ini.
“Dalam menu isi pegang-pegangan dan cium-ciuman tangan ya, Nel? Udah deh, kalau kalian memang pengen jalan silahkan, aku gak akan ngehalangin kok, cuman sekarang aku lagi memang gak pengen ketemu dulu sama kalian. Rasanya masih sakit banget sahabat dan mantan pacarku ngelakuin ini di belakangku. Jadi tolong Nel.. Tolong kasi aku waktu, aku belum bisa berbicara dengan kalian lagi untuk sementara waktu. Titip salamku sama Edo, bilangin dia gak usah repot-repot kirim sms atau telphone-telphone lagi, karena nomer handphoneku akan aku ganti.”
Kutinggalkan Neli mematung di tempat terakhir aku melihatnya, bila aku tidak segera pergi dari sini air mataku akan meleleh. Dan Edo telah menungguku di parkiran motor, dia dengan jas hitam kampus, dasi yang sedikit miring dan wajah letih berantakan menungguku. Saat melihatku menghampiri parkiran, Edo setengah berlari mencapaiku.
“Neng, tolong dengerin gw dulu. Neng.. Please...”
Kuputar tubuhku masuk ke dalam gedung, tapi Edo masih juga mengikutiku.
Apa sih maunya setelah menyakiti hatiku dan kini berusaha mengejar-ngejarku lagi? Tidak cukupkah hanya satu perempuan bagi laki-laki di dunia ini? Bahkan Edo yang memiliki keluarga broken home pun merasa satu pacar tidaklah cukup untuknya, padahal dia belum pernah menciumku!! Bukannya aku minta dicium, tapi seolah-olah dia memacariku hanya untuk.. entahlah untuk apa, aku bingung memikirkannya.
“Kamu mau ngomong apalagi sih, Do? Semuanya udah jelas, udah deh. Kita udah putus, kamu bebas pacaran sama siapa aja, ndak usah ganggu aku lagi,” jawabku ketus. Tapi Edo menarik tanganku, memaksaku berhenti di tengah-tengah koridor ruangan kelas bagian MKD, Manajemen Kantor Depan.
“Neng! Tidak, kita belum putus. Gw gak terima lu putusin gw sebelah pihak gitu, lu masih pacar gw, Neng. Sampai kapanpun lu itu pacar gw!”
Kutarik tanganku dari tangan Edo dan melanjutkan langkahku, kini turun tangga, aku akan berputar sehingga bisa bersembunyi dan melarikan diri menuju parkiran, menuju tempat motorku di parkir dan pulang ke kamar kos, lalu aku bisa pulang ke rumah mami dan tak bertemu dengan dua orang ini lagi hingga sebulan kemudian.
Ujian akhir semester telah selesai, liburan sebulan nampaknya waktu yang cukup untuk memulihkan perasaanku dibantu oleh Liam si bajingan itu. Aku telah menerima tawaran laki-laki itu, namun selama dua minggu ini dia tidak bersikap sebagai seorang pacar sama sekali. Kami tidak pernah bertemu, kami tidak pernah berkirim-kirim sms, dia juga tidak pernah menelphoneku dan aku tidak ingin memulai menelphonenya. Huh!! Mungkin dia sudah lupa dengan tawarannya.
Tapi alangkah terkejutnya aku saat Liam telah menunggu di depan kamar kosku, dengan baju kaos polo santai, celana jin hitam pendek dan sandal jepit?
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyaku padanya setelah memarkir motorku di garasi kos.
“Aku ingin menjemputmu, ini hari terakhir kau kuliah kan? Sebulan kemudian baru kuliah lagi, kan?” tanyanya. Tahu dari mana dia? Up to date sekali, aku saja baru tahu tadi siang kalau liburannya cuma sebulan dan bukan tiga bulan seperti perkiraanku.
Liam mengangkat masuk tas-tasku ke dalam mobilnya, sebuah CRV hitam mengkilap, biasanya dia selalu berpakaian rapi, tumben hari ini dia hanya memakai celana pendek, tidak seperti biasa. Saat aku menutup pintu kamar kosku, Edo baru saja memarkir mobilnya di depan pintu gerbang kos, mobil CRV milik Liam memenuhi halaman kos sehingga Edo terpaksa memarkir mobilnya di luar. Dia keluar dengan tergesa-gesa, menghampiriku.
“Neng, gw cari lu di kampus, ternyata lu sudah pulang. Dengerin gw dulu, Neng. Lu cuma salah paham, gw sudah denger dari Neli, bukan seperti yang lu bayangin, Neng.” wajah Edo memelas, dia nampak bersungguh-sungguh.
Tapi apa yang sudah kulihat, dia menciumi tangan Neli, apakah itu hanya salah paham? Bahkan dia tidak berusaha menjelaskan padaku saat Liam menanyakan status hubungan kami, dia malah pergi ngeloyor seperti pengecut, dan sekarang dia memohon-mohon agar aku mendengarkannya? Bukankah ini ironis? Nasi sudah menjadi bubur, apalagi yang ingin dia katakan coba?
Liam yang baru saja menutup pintu bagasi mobil mendekati kami, mengalungkan lengannya dengan lancang di bahuku.
“Kenapa, Do? Bukannya kalian sudah putus? Sekarang Eneng, sudah jadi pacarku. Aku harap kau tidak mengganggunya lagi.”
Lalu si Liam berengsek itu memastikan kata-katanya dengan mencium bibirku di depan mata Edo yang membelalak menyaksikan pemandangan di depannya.
Mataku tak kalah membelalaknya, tak menyangka Liam akan berbuat sejauh ini mendalami perannya. Kulihat raut muka Edo, dia terlihat terluka, dan kalah.. Apa yang dia harapkan? Bukankah rasanya memang sakit saat melihat orang yang kau sukai lebih memilih orang lain di atas dirimu? Berbohong padamu dan menghindarimu? Semoga kamu sadar, Do. Bahwa perselingkuhan itu tidak pernah berbuah manis, akan banyak sekali orang lain yang menderita oleh karena perbuatanmu, bukan hanya pasanganmu, tapi juga dirimu.. itupun bila kamu masih punya hati.
Saat Liam melepaskan ciumannya dari bibirku, mobil Edo telah menggerung dengan kencang di jalanan. Suara musik disko memekakan telinga terdengar meski mobil BMW biru itu sudah melengang di kejauhan.
“Kamu tak perlu menciumiku agar dia percaya kalau kamu adalah pacarku,” sungutku marah. Liam hanya mencibir sambil tertawa cengengesan, tak sedikit pun dia merasa bersalah sementara hatiku ikut sedih melihat wajah Edo yang terluka. Mungkinkah Edo memang tidak bersalah? Mungkinkah itu hanya kesalah pahaman?
Tapi mengapa begitu sakit saat mengetahui memang itu semua hanyalah kebohongan mereka, bahkan ulang tahunku yang ke dua puluh satu minggu depan ini akan kulewati lagi tanpa pacar. Mami.. Aku ingin menangis di pangkuanmu, nasibku begitu tragis. Meski rasa sukaku pada Edo belum sebesar yang aku inginkan tapi hatiku tetap sakit melihatnya pergi seperti itu. Semoga Edo tidak apa-apa, aku tidak ingin terjadi hal buruk padanya. Bila dia mengebut dan.. dan.. ah tidak! Aku tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Edo akan baik-baik saja, dia adalah tumpuan keluarganya, dia adalah laki-laki bertanggung jawab, dia tidak mungkin melakukan hal bodoh, iya kan?
Dalam perjalanan menuju rumah mami, aku dan Liam hanya diam saja. Bahkan dia tidak memutar musik untuk mengisi suasana kosong di dalam mobil. Hanya desah nafas kami yang terdengar, mataku mulai mengantuk dan akupun tertidur. Saat kubuka mataku, mobil sudah berhenti di dalam ruangan garasi yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
“Sudah sampai?” tanyaku pada Liam yang menghisap rokoknya dengan santai. Aku tidak tahu bila dia suka merokok, apa yang dia pikirkan dengan merokok di ruangan sempit ini?
Dia menghisap sekali lagi rokoknya dan mematikan rokok itu di asbak, kulihat sudah belasan puntung rokok memenuhi asbak itu. Tak seperti si Liam yang rapi, rupanya asbaknya tidak pernah dibersihkan, atau jangan-jangan dia menghabiskan belasan rokok itu sambil menungguku terbangun? Dia gila kalau begitu.
“Kita dimana?” tanyaku lagi ketika dia masih tidak menjawab pertanyaanku.
Liam keluar dari mobil, melangkah ke arah pintu mobil di sebelahku dan membukakan pintu mobil untukku.
“Di rumahku,” jawabnya pelan. Apa?!! Mengapa kami berada di rumahnya? Bukankah dia harus mengantarkanku pulang?? Lalu mengapa dia mengajakku ke sini?? Siasat apalagi yang dia mainkan?
“Ayo turun, apa kau mau seharian di dalam sini?” tanya Liam galak. Kenapa sih? Sekarang dia menjadi galak.
Kutebar pandanganku pada rumahnya yang asri. Rumah bertingkat dua dengan halaman luas dan kebun yang terawat, pagar tembok setinggi kira-kira dua setengah meter yang memisahkan rumah ini dari lingkungan sekitarnya, lalu bangunan rumah modern minimalis berwarna putih bersih, luas tanah rumah ini kuperkiraan tidak kurang dari enam are. Aku rasa secinta apapun papaku pada istri barunya, dia tidak akan sanggup membelikan adik istrinya rumah semewah ini. Lalu, apakah rumah ini milik Liam? Darimana dia mendapat uang untuk membeli rumah ini? Pekerjaannya dia apa sih?
“Ayo masuk dulu, aku harus mengambil beberapa barang yang tertinggal, atau kau lebih senang berada di luar sini?” tanya Liam menatapku tak sabar.
“Masuklah, aku akan di sini menunggumu,” jawabku tanpa menolehnya, mataku masih terbuai dengan pemandangan kebunnya yang asri, bunga-bungaan mekar dengan indahnya, beberapa pohon anggrek yang sedang berbunga dengan sehat menghiasi tembok dan pepohonan perambat menempel pada tembok itu, suasana rumah ini begitu sejuk. Angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk.
Di taman ini terdapat satu set meja dan kursi yang terbuat dari besi, akupun duduk di sana sambil menunggu Liam. Dia lama sekali, apa yang dia lakukan di dalam sih?
Benar saja, tak lama kemudian gara-gara angin yang begitu sejuk akupun tertidur lagi. Saat terbangun Liam telah duduk di sampingku, menopang kepalaku dengan pundaknya. Hari sudah petang dan dia tidak membangunkanku sama sekali??
“Sudah bangun?” tanyanya. Kukijap-kijapkan mataku, melihat ke sekeliling dan matahari telah terganti oleh sinar bulan. Sudah pukul tujuh malam dan Liam sengaja membiarkanku tertidur di luaran sini. Gimana kalau aku masuk angin??
“A..Aku harus pulang, sudah malam, mami pasti khawatir.” aku mencoba berdiri, tapi lengan Liam yang sedari tadi mengunci bahuku memaksaku untuk duduk kembali.
“Tenang saja, aku sudah menelphone ibumu. Aku katakan kau menginap di rumahku, dia sudah memberi izinnya,” jawab Liam santai. Benarkah mami mengizinkanku? Apakah bila mami tahu laki-laki seperti apa Liam ini dia masih akan mengizinkanku menginap di sini? Tidak!! Aku tidak akan menginap di sini, aku akan pulang, dengan atau tanpa bantuan Liam.
“Minggir, aku mau pulang. Aku tidak sudi tinggal serumah denganmu!” kataku mencoba bangkit dan lepas dari pelukan lengan Liam. Bukannya mengendur, dia semakin mengetatkan pelukannya pada bahuku, mendesakan tubuhku pada tubuhnya.
“Aku tidak akan memangsamu, kau tidak usah takut.” Tapi aku tidak percaya pada kata-kata laki-laki mesum ini.
“Aku tidak perduli, aku mau pulang. Lepaskan! Atau aku akan berteriak agar seluruh tetanggamu berpikir kamu seorang kriminal” ancamku.
Liam tampak menimbang-nimbang kemungkinan terburuknya, tapi dia tidak perduli, tubuhku masih saja dikuncinya dengan kuat, senyum licik tersungging di bibirnya.
“Aku bersungguh-sungguh!!” teriakku keras.
“Coba saja kalau kau berani” sindirnya. Hidungku kembang kempis, aku ditantang oleh laki-laki hidung belang ini. Baiklah, kamu yang memintaku.
“AAAAAAAAAfff...” tuh kan, dia hanya menggertakku. Dia sebenarnya tidak berani padaku.
Teriakanku menghilang karena mulutku sudah di dekap oleh tangannya. Dia khawatir sembari melongok ke arah pintu gerbang rumahnya, menunggu bila ada tetangga yang cukup berbaik hati untuk mencari sumber suara teriakan barusan. Tapi kutunggu satu menit, dua menit hingga lima menit tak ada satu orang tetanggapun yang perduli. Tetangga apa ini? Mana solideritasnya?
Tubuhku diangkat dengan mudah oleh Liam, pinggangku di tariknya masuk ke dalam rumah sementara mulutku masih dibekapnya. Perlawananku sia-sia, dia tidak juga melepaskan tangannya dari mulutku. Kini aku mulai panik, dia tidak akan melakukan hal-hal buruk padaku, kan? Aku sungguh ketakutan dan semakin ketakutan saat Liam membawaku masuk ke dalam sebuah kamar dalam rumahnya, kemudian pintu kamar itu ditutupnya dengan kakinya hingga terdengar suara pintu terbanting dengan keras.
Chapter 11
Dia melemparkan tubuhku ke atas tempat tidur, menyeka keringatnya di dahi, lalu berkacak pinggang dan menunjuk diriku dengan telunjuknya.
“Aku hanya ingin kau menginap malam ini saja di sini, aku tidak bisa kemana-mana malam ini karena akan ada tamu yang berkunjung. Seandainya kau tidak ketiduran mungkin aku sudah mengantarkanmu ke rumah ibumu dan aku masih bisa menerima tamuku di sini. Tapi karena kau tertidur, semua rencanaku berantakan. Jadi jangan banyak protes, diam-diamlah. Akan aku pesankan makanan untuk kita, aku tidak akan memaksamu bila kau tidak mau.”
Untuk pertama kalinya dia berbicara sepanjang itu padaku. Huh??!! Kamu tidak akan memaksaku bila aku tidak mau?? Memaksa apa?? Kamu akan memaksaku apa?? Dasar laki-laki hidung belang!!
Kulemparkan bantal di kasur ke arah Liam yang ditangkapnya dengan mudah, dia lalu tersenyum dan keluar dari kamar ini dengan senyum tersungging.
Tak lama kemudian Liam membuka pintu kamar yang dia berikan padaku, dia sungguh tidak sopan, seharusnya dia mengetuk terlebih dulu pintu ini, dan bukannya membuka seenak perutnya. Bagaimana kalau aku sedang membuka pakaian atau mengupil? Malu donk!! Issh!!..
“Ayo makan dulu, aku lapar,” katanya. Dia menungguku keluar dari kamar dan kamipun makan dalam diam di meja makan.
Bahkan interior rumahnya pun sungguh mewah, aku belum pernah melihat rumah semewah ini seumur hidupku, bahkan rumah yang kami miliki dulu sebelum orang tuaku bercerai tak semegah ini.
“Rumahmu bagus,” komentarku tentang rumahnya. Dia hanya diam tak menggubrisku, sibuk dengan handphone di tangan, nampaknya dia sedang membalas sms.
“Sms dari pacarmu?” tanyaku sok ikut campur.
Dia menyipitkan matanya dan memandang ke arahku, “Sok tahu” jawabnya.
Kucibirkan bibirku lalu bangkit dari meja makan, mengambil piring-piring kami dan mencucinya di bak wastafel dapur. Bahkan dapurnya pun begitu modern, kompor listrik, oven listrik, kulkas segede lemari pakaian, meja dapur dari marmer, lemari-lemari perlengkapan memasak yang terisi lengkap.. surga bagi tukang masak sepertiku. Akankah Liam keberatan bila sesekali kupinjam dapurnya untuk melatih skill memasakku? Hmm..
Bell pun berbunyi, tamu yang ditunggunya telah datang. Setengah berlari Liam berjalan ke luar rumah, membuka pintu gerbang dan sebuah mobil sedan hitam masuk ke halaman. Setelah menutup kembali pintu gerbang rumahnya, Liam menyambut sepasang suami istri yang baru keluar dari dalam mobil, bahkan dia membungkuk memberi hormat saat menyalami tangan pasangan itu. Mereka tertawa lepas, aku tak pernah melihat Liam tertawa seperti itu, hanya senyuman dan tawa liciknya yang bertebaran saat bersamaku.
Sisi Liam yang baru kukenal ini membuatku menyadari, selama ini hanya laki-laki inilah yang ada dalam pikiranku, yang ada dalam hatiku.. Apakah aku sudah jatuh cinta padanya? Semoga tidak.. Bukankah dia adalah musuhku? Iya, kan? Dia musuhku kan? Oh, mami..
Tamu Liam pun duduk di ruang tamu, Liam memanggilku agar mendekat. Apa maunya sekarang? Kalau itu tamunya dia kenapa aku harus ikut menyapa mereka?
“Prof, kenalkan ini Camelia, tunangan saya.”
Apa? Tunangan?? Kapan kita bertunangan? Bukannya berpacaran saja bo’ong-bo’ongan? Tapi meski demikian aku tidak ingin mempermalukan Liam di depan tamunya. Akupun menjabat tangan pasangan suami istri itu dengan sopan.
Sebagai tuan rumah yang baik, kubuatkan secangkir kopi untuk masing-masing tamu milik Liam. Karena di laboratorium kampus pun menggunakan kompor listrik yang hampir sama dengan kompor di dapur rumah Liam, maka akupun tidak terlalu kesulitan menggunakan peralatan memasak itu. Tiga buah cangkir kopi kuhidangkan untuk Liam dan tamunya beserta penganan kecil yang kutemukan dalam rak makanan.
Aku heran, meski Liam nampak tinggal di rumah ini seorang diri, persediaan makanan dan peralatan rumah tangganya begitu lengkap. Jangan-jangan orang ini adalah seorang yang perfeksionis, mengharapkan segalanya sempurna dan tak kurang suatu apapun. Tubuhku sedikit merinding memikirkan hal itu, seperti apakah standar wanita yang memenuhi ke-perfeksionisan Liam?
“Kau kedinginan? Istirahat saja dulu di dalam.”
Duh, mami.. Suara laki-laki ini begitu lembut, untuk pertama kalinya dia berbicara seperti ini padaku. Tunanganku yang baik hati, sopan santun dan penuh perhatian. Hueekk!!
Aku hanya tersenyum dan ikut bermain dalam sandiwara Liam, setelah meminta maaf pada kedua tamunya, akupun mengundurkan diri masuk ke dalam kamar tempat yang disediakan Liam untukku. Selama setengah jam aku bengong di kamar, ingin kunyalakan televisi tapi takut suara tivi akan mengganggu tamu di luar.
Karena tidak ada kerjaan, kubuka-buka saja lemari yang ada di dalam kamar ini. Tidak jauh berbeda dari interior di ruang tamu rumah ini, interior kamar inipun tak kalah mewahnya. Tempat tidur yang kududuki tadi sangat empuk, beda jauh dari kasur spring bed murahan yang telah kutiduri bertahun-tahun. Seprainya berwarna putih bersih, dengan selimut warna serupa, kamar ini seperti kamar hotel berbintang lima minus menu room service.
Lemarinya dipenuhi pakaian, puluhan kemeja lengan panjang dan pendek, bergaris, kotak-kotak hingga polos. Beberapa belas jas berbagai warna yang didominasi warna putih, dasi, celana panjang pantalon yang begitu lembut di tangan saat kusentuh. Beberapa buah baju kaos yang digantung dalam lemari, juga bertumpuk-tumpuk pakaian lain di ruang lemari di sebelahnya, sapu tangan, kaos kaki hingga celana dalam..
Pipiku terasa panas saat menemukan celana dalam, mungkin ini adalah celana dalam milik Liam. Apa yang aku pikirkan sehingga pipiku merah merona seperti ini? Segera kututup lemari ini dan baru kusadari, kamar ini adalah kamar Liam sendiri.
Sial!! Kenapa dia memberikanku kamar ini? Jangan katakan disini hanya ada kamar ini dan kami terpaksa tidur seranjang??? Tidakkk!!!
Kuintip ke arah ruang tamu, Liam masih sibuk berbincang-bincang dengan tamunya. Sudah pukul sepuluh malam dan mereka belum juga pulang, apa sih yang mereka bicarakan hingga begitu asyik dan lupa waktu?
Tak ada yang bisa kulakukan selain berbaring di atas ranjang, pikiranku melayang pada pertemuanku dengan Liam, ciuman-ciuman kami, saat-saat berada di desa, di sungai dekat air terjun.. Hatiku hangat saat mengulang kenangan itu, apa kelebihan seorang Liam hingga aku telah jatuh hati padanya? Aku bahkan tidak tahu nama lengkapnya, umurnya, pekerjaannya, statusnya dan dia telah dengan licik masuk ke dalam hatiku seperti ini.
Oh, mami.. Semoga Liam tidak pernah tahu isi hatiku padanya, akan sangat memalukan bila dia tahu. Dia akan menjauhiku bila dia tahu isi hatiku, papa juga tak mungkin mengizinkan kami bersama, apa kata orang-orang bila aku berpacaran dengan adik ‘ibu’ baruku, yang notabene adalah ‘pamanku?’
Meski kami tidak memiliki hubungan darah sama sekali, tetapi tetap saja hubungan ini salah, kan? Meski usia kami tidak berbeda jauh, tapi tetap tidak akan ada yang merestuinya kan? Dan itupun bila Liam juga menyukaiku, dia hanya senang bermain-main denganku, dia kan sudah punya pacar, wanita yang akan dia nikahi, wanita yang akan mengisi rumah ini dengan dirinya, kepribadiannya dan hobinya.
Air mataku pun turun, membayangkan wanita lain bersanding di samping Liam terasa menyakitkan. Sakitnya beda saat menemukan Edo dan Neli mengkhianatiku, jauh berbeda. Saat memergoki Edo dan Neli aku tidak terlalu perduli, aku masih bisa menatap masa depan yang cerah. Tapi.. saat memikirkan Liam akan menikah dan membangun rumah tangganya dengan wanita lain hatiku menderita, hatiku perih. Nampaknya aku sudah jatuh terlalu dalam pada laki-laki ini.
Hanya bantal yang bisa menerima air mataku, sungguh menyakitkan. Ranjang ini.. Rumah ini.. Dapur itu.. Kebun itu.. Laki-laki itu.. Dia bukanlah untukku, dia tidak akan pernah menjadi milikku. Tuhan.. mengapa aku jatuh cinta pada orang yang salah??
“Kau tidur?” suara Liam membangunkanku, aku ketiduran lagi. Begitu mudah untuk tertidur di sini, dan kali ini aku tidak bisa membuka mataku lagi. Setengah terpejam kurasakan tubuhku ringan, terangkat oleh tangan kokoh yang memeluk tubuhku dengan lembut, tangan yang menyelimuti tubuhku, lalu mengecup pipiku yang basah oleh tangisanku. Sebelum mataku terpejam lagi, samar kudengar suara Liam yang berbisik padaku.
“Selamat tidur, sayang...” mungkin itu hanya mimpi, Liam tak mungkin membisikan kata semanis itu padaku. Dan akupun terlelap dalam tidur yang dalam.
Ketika aku terbangun, sisi di samping ranjang tempatku tidur terasa dingin, Liam tidak tidur di sini. Dimana dia tidur semalaman? Rambutku terlihat berantakan di cermin yang menempel di lemari, ugh.. Aku harus merapikan penampilanku sebelum keluar dari kamar ini, tapi bagaimana? Kulihat pintu kamar mandi dalam kamar tidur ini, wah kebetulan.. Aku ingin buang air kecil dan membasuh wajahku.
Kubuka saja pintu kamar mandi itu tanpa curiga sedikitpun, Liam tidak mungkin ada di sini, kan? Dia pasti tidur di kamar lain. Tapi saat menemukan laki-laki itu sedang mencukur cambang di pipi dan dagunya, dengan handuk melilit di pinggang yang hanya menutupi bagian bawah pusar kebawah, Liam masih terlihat mengejutkan dengan dada telanjangnya.
Dia tidak memakai kacamatanya dan dia terlihat.. Panas.. Pipiku yang panas..
“AAAAAAAAKKKKKKK!!!” akhirnya aku bisa berteriakk juga dengan keras.
Terlambat bagi Liam untuk membekap mulutku, suaraku begitu lantang dan keras, entah bila ada tetangga yang mendengar.
“Apa yang kau lakukan? Berteriak seperti orang kesurupan!!” tangan Liam membekap mulutku lagi. Sorry... refleks..
Liam menatap wajahku tajam, krim cukur masih menempel di dagunya, dia melemparkan kurisan kumisnya begitu saja ke lantai untuk membekap mulutku. Aku kan sudah minta maaf..dalam hati..
Aku diam, mulutku ditutup oleh tangannya, Liam pun tak berbicara, matanya menatapku tanpa kedip, pupil mata Liam semakin lebar, wajah kami semakin dekat. Aku tahu apa yang akan dia lakukan, kututup mataku pasrah menerima ciuman bibir Liam. Ciuman selamat pagi yang liar.
Tubuhku terasa melayang saat Liam menciumi bibirku dengan mesra. Aku tak perduli krim cukurnya yang mengenai wajahku, ciuman kami masih terasa panas dan semakin panas saat Liam menarik tubuhku masuk ke dalam kotak shower, dia membuka keran air hangat yang langsung membasahi tubuh kami, membersihkan sisa-sisa krim cukur dari wajah Liam dan wajahku.
Dirangkumnya wajahku dengan matanya yang sayu, Liam.. Aku tak tahu mengapa aku bisa seperti ini saat berada di dekatnya, aku bahkan tidak memusingkan lagi meskipun dia mungkin bersekongkol dengan kakaknya Lili untuk menipu papa, tapi saat ini aku tahu, aku menginginkannya, cuma dia.
Pakaianku telah teronggok di lantai, handuk yang membalut pinggang Liam juga bernasib sama. Tak berdaya basah terinjak-injak di bawah kami. Liam menciumi sekujur tubuhku, aku menjadi lemah, aku bingung, aku tahu saat ini aku sadar sepenuhnya dengan apa yang sedang kami lakukan dan apa yang akan kami lakukan. Tubuhku tak berdaya menolak semua perlakuan Liam padaku, aku juga menginginkannya.
Apakah aku akan merelakan kesucianku untuk laki-laki ini? Laki-laki hidung belang, mata keranjang, tukang selingkuh, bajingan berengsek Liam? Ya, aku rela.. Karena aku mencintainya. Setelah ini.. Setelah ini aku akan pergi, aku yakin dia juga akan pergi setelah mendapatkan keinginannya, aku juga tidak akan mempermasalahkan hal itu, kehilangan kesucianku pada orang yang aku cintai, aku tidak akan menyesal.
Liam mengangkat tubuhku yang telanjang ke atas ranjang, air yang menetes dari tubuh kami membasahi lantai dan ranjang, tapi siapa yang perduli? Perhatian kami teralihkan pada gairah kami yang sedang bergelora, kutatap wajah Liam, matanya tak kalah sendu seperti mataku. Bisa kurasakan ereksi kejantanan Liam yang sedari tadi menyentuh perutku, dia menginginkanku.
“Liam...” untuk pertama kalinya aku memanggil namanya, nama yang selalu kupanggil dalam mimpiku.
Dia mencium bibirku dengan perlahan, begitu mesra, merayu dengan lembut, hatiku sesak penuh dengan rasa cinta ketika Liam mencumbu tubuhku dengan hati-hati. Dia bercinta denganku, menganggap tubuhku rapuh, serapuh porselen China.
Bibirnya lalu turun ke leher, ke arah dadaku, mengecup ujung payudaraku, menciumi perutku lalu naik lagi pada belahan dadaku. Kali ini bibirnya menghisap buah dadaku, meninggalkan sebuah rona merah pada kulit putihku. Sebuah desahan nikmat keluar dari mulutku, nafasku terputus-putus, Liam begitu ahli merayu tubuhku. Membayangkan dia melakukan hal ini dengan wanita lain membuatku bersedih, tentu dia pernah melakukannya dengan wanita lain, dia adalah laki-laki dewasa, tak mungkin laki-laki perjaka bisa selihai ini mencumbu tubuhku.
“Camelia...” bisiknya serak di telingaku. Tubuh Liam telah menindih tubuhku, ereksinya yang keras bergerak maju mundur di atas pubisku. Merangsang daerah kewanitaanku yang telah basah.
Oh, mami.. Maafkan aku bila mengecewakanmu, saat ini aku akan menyerahkan kesucianku pada laki-laki yang aku cintai. Aku tidak akan menyesalinya, apapun yang terjadi nanti, seburuk apapun dia nantinya, aku tahu dialah cinta pertamaku, padanya kuserahkan kehormatanku. Maafkan aku bila pikiranku sedangkal ini, aku memang bodoh, bodoh karena rasa cintaku padanya.
“Ugh...” sakit!! Rasanya sakit sekali saat Liam mendesak masuk ke dalam tubuhku. Dia menciumi bibirku lembut, tubuhnya bergerak perlahan menyentak di dalamku, mendobrak selaput keperawanan yang menjaga pertahananku.
“Sedikit lagi, Camelia.. Sedikit lagi...” bisiknya di telingaku. Suara laki-laki ini begitu lembut, menghiburku yang tengah menahan rasa sakit tak tertahankan. Air mataku mengalir demi menahan rasa sakit pada bagian dalam tubuhku yang kini sedang dikoyak olehnya.
“Arghhh!!!” teriakku ketika Liam berhasil mengoyak selaput keperawananku. Lalu dia bergerak semakin kencang, setelah pertahanan terakhirku dikalahkannya juga.
“Lia.. Oh, Lia... Camelia..” aku tidak bisa mendengar panggilan namaku saat tubuh kami bergerak seirama, rasa sakit itu masih menggangguku, ketika kenikmatan pertama mulai kurasakan tubuhku telah lemas dan tak mampu bertahan lagi.
Akhirnya aku mencapai pelepasanku, dengan tubuh Liam mengejang di atasku. Dia mengeluarkan cairannya di dalamku, mengerang kesakitan dengan nafasnya yang tersengal-sengal.
Saat semuanya telah berakhir, Liam menciumi bibirku lagi dengan mesra. Air mataku masih menitik, antara menahan rasa sakit dan mensyukuri nikmat yang Liam berikan padaku.
“Maafkan aku, Camelia...” lalu Liam memeluk tubuhku dengan erat. Membawa wajahku yang bersimbah air mata ke dalam pelukan hangatnya.
Aneh, seharusnya aku marah karena kami bercinta bukan atas dasar cinta. Liam tidak mencintaiku, cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Dia bahkan meminta maaf karena telah memberikan pengalaman terindah ini padaku. Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Sekarang barulah aku memikirkan masa depanku, masihkah akan ada laki-laki yang mau denganku setelah aku kehilangan keperawananku?
Aku sungguh tidak ingin memikirkannya sekarang, tubuhku lelah. Dan aku pun terlelap dalam pelukan Liam, iblis bajingan ini.
Chapter 12
Liam mengantarkanku pulang ke rumah mami pukul dua belas siang, setelah makan siang yang bisu, kami tidak membicarakan hal ini sama sekali. Dia juga tidak pernah menggodaku lagi, rasa-rasanya dia sudah tidak tertarik lagi padaku, dia sudah mendapatkan keinginannya, kan?
Setelah menurunkan semua tasku dari mobilnya, Liam langsung meluncur pergi tanpa banyak kata, dia bahkan tidak berminat untuk singgah dan bertemu dengan keluargaku. Berbeda sekali dengan Edo, ah.. Edo.. Kenapa aku justru mengingat laki-laki itu? Bukankah mereka semua sama, dimana-mana tak ada laki-laki yang seratus persen setia pada pasangannya.
“Mana Liam? Gak ikut dia?” tanya mami padaku. Dengan lemah aku menggeleng, aku sedang tidak mood menjawab pertanyaan mami.
“Kamu sudah makan belum?” tanya mami lagi, dia membantu membawakan tas kresek kecil yang berisi novel-novel yang belum aku baca, aku kira selama sebulan liburan ini akan aku habiskan di dalam kamar dengan membaca novel-novel itu.
“Udah, Mi. Aku masuk kamar dulu ya, mau bersih-bersih, sekalian rapiin kamar. Pasti udah kotor lama gak pulang,” kukecup pipi mami sebelum masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu kamarku.
Mami hanya tersenyum melihatku masuk ke dalam kamar, saat ini aku belum mampu menatap mata mami. Aku berdosa, Mi. Aku tidak bisa menjaga kesucianku. Tapi aku tidak menyesal, mungkin sedikit, karena Liam tidak akan pernah menjadi kekasihku, dia tidak akan pernah menikahiku. Wajahku pun kubenamkan ke dalam bantal kesayanganku, isak tangisku berhasil di redam oleh bantal itu. Aku sangat ingin menangis seharian, melepaskan semua masalah hidupku dalam kamar ini. Oh mami.. Aku tak kuat lagi..
Selama hampir sebulan liburan kuliahku, Liam tidak pernah menghubungiku lagi. Hidupku terasa hampa, tanpa sahabatku, tanpa Edo, dan tanpa Liam.. Ulang tahunku pun terlewat begitu saja tanpa ada yang merayakan, semua melupakannya, kecuali mami yang memberiku ciuman selamat ulang tahun di pagi hari. Mami memaksa untuk mengajak kami makan malam diluar, tapi aku menolaknya, mami kurang enak badan waktu itu, aku tidak ingin membuat mami menjadi sakit.
Liam.. Dimanakah laki-laki itu sekarang? Sedang apakah dia? Kenapa aku selalu memikirkannya? Setiap malam sambil berbaring di atas tempat tidurku, aku masih bisa membayangkan percintaan kami dan tubuhku begitu menginginkan laki-laki itu. Apakah Liam merasakan hal yang sama? Apakah dia menginginkanku lagi? Sungguh tak bisa kujawab, dia hilang bagai ditelan bumi.
“Neng, ada surat nih buat kamu. Kata pak pos suratnya nyangkut soalnya amplopnya kecil banget, jadi baru nyampe sekarang.”
Mami membuka pintu kamarku dan menyerahkan sebuah amplop kecil berwarna putih, tak ada nama pengirim, hanya stempel pos yang berasal dari.. Amerika??
Aku tidak pernah merasa punya kenalan dari Amerika, lalu siapa yang mengirimkan surat ini padaku? Karena penasaran akhirnya kubuka juga amplop itu, kurobek sisi pinggirnya dan sebuah cincin emas terjatuh dari dalam amplop. Cincin itu kupungut dari lantai, di dalamnya ada sebuah inisial nama yang tidak aku tahu apa kepanjangannya.
“W. A. R.”
Sungguh inisial yang membingungkan. Apakah ada orang yang ingin berperang denganku? WAR? WAR bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sama dengan perang, kan?
Lalu kubaca secarik surat yang juga ikut datang bersama cincin itu. Isinya sangat singkat, ditulis tangan dengan bahasa Inggris, tulisan yang sangat indah.
“Happy birthday, My love. No matter what happen, I will always love you, no matter how much you hate me, no matter how much I hurt you, this love would never change, ‘til I die, this love is always for you.”
Kubaca berulang-ulang, namun aku tidak bisa mengenali tulisan siapa ini, tidak juga aku bisa membuka misteri yang mungkin diselipkan pada isi surat ini. Dia tahu hari ulang tahunku, seseorang memberikanku hadiah cincin untuk hari ulang tahunku. Cincin ini.. ukurannya begitu pas dengan ukuran jari manisku, seolah cincin ini melambangkan cincin kawin.. Tapi mengapa inisial dalam cincin ini bukan inisialku?
“Mami...” kudekati ibuku, ingin menanyakan sesuatu padanya. Sesuatu hal yang sangat penting.
“Ada apa, Neng? Tumben manja-manjaan sama mami.”
Mami tertawa kecil melihat tingkahku. Kami sedang mencabuti rumput yang mulai tumbuh dengan liar di halaman.
“Gak apa-apa, Mi. Cuma pengen bertanya beberapa hal aja sih.”
Dengan wajah tersipu malu, akhirnya kutanyakan pertanyaan itu.
“Mami kalau orang nikah, cincin yang dia pake di jari kan ada inisialnya tuh, nah, kalau yang suami makai namanya sendiri, apa nama istrinya, mi?”
Menunggu jawaban dari mami seperti menunggu kelahiran keponakanku, semua panik dan heboh waktu itu. Sekarang pun aku ikut heboh, takut bila mami mengetahui maksud dibalik pertanyaanku ini. Mami menatap sejenak ke atas, seolah berpikir mencari jawaban untuk pertanyaanku begitu sulit baginya.
“Hm.. Mami dulu nikah sama papa mu gak pake cincin-cincinan kok, jadi mami gak tahu, coba tanyain Asri. Srik.. srik.. Sini deh, Neng mau nanya.”
Belum apa-apa mami sudah memanggil Asri begitu saja.
Iparku terlihat kurang senang dipanggil mendekat, dia sibuk menggantung jemuran di halaman. Setelah berada di dekat kami, Asri berkacak pinggang menahan perutnya yang mulai membesar hamil.
“Kenapa, Mi? Mau tanya apa?” tanyanya.
“Ni, Neng mau tanya apa tadi, Neng? Kasi tahu kakak mu lah.” yah, mami.. Kirain bakal mami yang nanyain ke Asri. Dengan membuang jauh rasa maluku, akhirnya kutanyakan pertanyaan yang membuatku penasaran itu.
“Ce, cincin yang kamu pakai itu ada inisialnya gak? Kalau ada, pakai nama siapa?” Asri nampak mengerutkan dahinya lalu membuka cincin yang bertengger di jari manis tangan kanannya. Dia memutar-mutar cincin itu dan mencari tulisan yang aku maksud. Tapi kemudian cincin itu disodorkannya padaku.
“Coba lihat sendiri, aku gak liat ada tulisan apa-apa. Gak tahu kalau matamu lebih jelas, kali aja ngeliat.”
Kuterima cincin kawin iparku itu dan memeriksa seluruh bagian cincin tapi memang cincin itu tidak memiliki ukiran huruf apapun selain tulisan kecil-kecil yang bila tak salah kubaca seperti jumlah kandungan emas dalam cincin itu. 75%.
“Nggak ada, Ce.” lalu kukembalikan cincin kawin itu lagi pada pemiliknya. Yah, untuk tahu jawaban sederhana seperti itu saja rasanya susah minta ampun. Masak aku harus tanya papa? Kan gak lucu. Ughh!!!
Ahhh... Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, liburku tinggal sehari lagi. Ini adalah malam minggu terakhir yang kuhabiskan sendirian dirumahku, senin, aku harus sudah kembali ke kos, bertemu dengan Neli lagi.. Aku kangen sahabatku itu, aku kangen suasana kampus dan persahabatan kami. Rasanya aku sudah bisa memaafkan perbuatannya bersama Edo. Mungkin aku juga sudah bisa memaafkan Edo. Ya.. Tak akan ada lagi benci yang kusimpan, rasa benci hanya merusak diriku sendiri.
Seperti aku membenci Liam, dia tidak akan terpengaruh dengan rasa benciku ini, atau rasa cintaku padanya. Karena dia tidak perduli, dia tidak tahu, jadi dia tidak akan merasakan kesakitan apapun, kesakitan dan kerinduan yang seperti kurasakan sekarang.
“Liam.. Kamu dimana sih?” bisikku sedih.
Mami.. Malam mingguku sendirian lagi.. Ingin rasanya aku mampir ke rumah papa, sekedar bertamu kesana, siapa tahu Liam juga sedang mampir. Atau lebih drastis lagi.. Aku bisa mampir kerumahnya. Berpura-pura ada sesuatu barangku yang tertinggal disana. Tapi bagaimana bila tak sengaja aku melihat Liam berduaan dengan pacarnya? Ya, Tuhan! Aku hampir melupakan sama sekali kalau laki-laki itu memiliki seorang pacar.
Hatiku menangis lagi, sungguh bodohnya aku berharap memiliki masa depan bersamanya. Sungguh naif bila aku berharap Liam menyukaiku, bila dia memiliki perasaan untukku, dia tidak akan menghilang begitu saja setelah mengambil keperawananku, kan? Atau ini hanyalah diriku yang mencoba menipu diri, bahwa dengan memberikan keperawananku padanya Liam akan terikat padaku? Hanya laki-laki bodoh yang masih mau terikat karena berhasil mendapatkan keperawanan seorang wanita. Saat ini, saat pergaulan bebas begitu mudahnya terjadi, berhubungan intim dengan lawan jenis bukanlah hal yang tabu lagi, bukanlah hal yang perlu dibicarakan seolah mereka telah melakukan zinah dan harus diakhiri dengan pernikahan.
Bila dua orang yang berbeda jenis kelamin melakukan hubungan intim atas dasar suka sama suka, tidak serta merta mereka harus menikah, itulah kenyataan yang ada sekarang ini. Hanya di film-film dan novel-novel yang sering kubaca kedua orang itu berakhir di pelaminan. Zaman sekarang.. Argh.. masa bodoh, aku pusing bila memikirkan perbuatanku yang telah terjadi.
Aku sama sekali tidak menyesalinya, aku hanya bersedih karena Liam tidak juga menghubungiku, setidaknya mengabariku tentang keadaannya. Basa-basi busuk lah. Aku ingin dia menggodaku seperti biasa, mencuri ciuman dariku.. Aku merindukan ciuman bibirnya, ciuman kami selalu dalam suasana yang tidak biasa. Mencuri-curi ciuman seperti itu jantungku berdebar lebih kencang daripada saat kami berciuman di dalam ruangan tertutup karena takut ada orang yang akan memergoki kami.
~~~~
Minggu sore aku sudah kembali ke kamar kosku, sedikit bersih-bersih agar kamar ini bisa ku tiduri lagi dengan nyaman. Setelah mandi sore, kubuka pintu kamarku seperti biasa, aku ingin Neli melihatku, bahwa hatiku telah kubuka lagi untuk persahabatan kami, itupun bila dia masih mau bersahabat denganku. Apakah aku terlihat egois? Selama ini kami tidak pernah bertengkar sebelumnya, Neli lah yang selalu datang mengunjungi kamarku, terkadang aku akan mampir ke kamarnya hanya untuk sekedar meminjam novel atau dvd film, selain itu Neli lebih sering menghabiskan waktunya di kamarku. Tidur-tidurankah, makan bareng, nonton tivi bareng, mengobrol sampai larut malam atau sekedar membuat PR bareng meskipun kami berbeda kelas dan jurusan.
Neli memilih jurusan Akuntansi Perhotelan, sedang aku memilih jurusan Tata Boga dan Tata Hidangan. Bila sukses nanti, Neli akan menjadi Chief Accounting di hotel. Dan aku, jabatan tertinggi di bidang makanan dan minuman hotel adalah menjadi Manejer Food and Beverage. Yah, bosnya bagian makanan dan minuman.
Pintu kamarku yang langsung tertuju pada halaman kos memberikanku pemandangan langsung ke arah jalan raya dimana aku melihat mobil BMW biru ceper baru saja di parkir di depan kompleks kosku. Dari sana turun sahabatku dan Edo yang sedang bercanda dengan riang. Aku turut bahagia dengan kebahagiaan mereka, meski tak aku pungkiri, sedikit rasa sakit menusuk dalam hatiku yang terdalam. Semestinya aku ikut di sana, berbagi kebahagiaan itu meski hanya sebagai teman mereka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰