Lu Tu Musuh GW, Cong!! Chapter 1-3

3
0
Deskripsi

Cerpen ini sudah pernah dipublish di blog myowndramastory pada tahun 2013 dan dicetak secara self publishing, namun karena alasan tertentu Penulis sempat hiatus dan semua hasil karya ditarik dari penerbitan. Karena beberapa alasan dan permintaan pembaca, Penulis kembali membuka kesempatan bagi pembaca yang masih ingin bernostalgia dan mengenal kembali karya-karya tulisan Shin Haido. 

Dikarenakan cerita-cerita ini ditulis pada tahun 2013, maka tentunya akan memiliki latar belakang yang tidak...

Chapter 1

“Neng, bokap lu mau kawin lagi ya?” temanku Neli nyelonong masuk ke kamar kosku tanpa tedeng aling-aling langsung nyerocos gak jelas. Entah darimana dia tahu kalau bokapku mau kawin lagi. Dasar kupingnya memang bisa aja nangkep gossip terbaru. 

Selain kupingnya yang emang awas, Neli ini mulutnya juga seperti bebek, kucing, burung yang selalu berkicau, mengeong tanpa henti, selalu bertanya sampai aku tidak ada pilihan lain selain ngejawab dia. Astaga.. kalau dia bukan temenku dari bangku SD, SMP, SMU, sampe kuliah gini gak bakal deh tahan dengerin celotehnya dia yang seenak perut. Gak tau orang lagi ilfeel apa? 

“Tau dari mana kamu, Nel,” sahutku keki. Ini adalah salah satu topik yang paling aku benci, ngobrolin tentang kehidupan keluargaku, terutama bokapku alias ayahku yang doyan banget main cewek. Untungnya aja tuh bokap udah cerai ama mami, kalau enggak.. mungkin aku gak bakal bisa tidur telentang sambil baca buku novel kesukaanku di kamar kos kecil ini. 

“Aduh, jangan galak-galak gitu donk, Neng. Lu kan tahu kalau gw punya banyak kenalan yang tinggal disekitar rumah cewek bokap lu.” 

Nampaknya Neli bangga banget punya mata-mata dimana-mana. Dia memang bisa diandalkan dalam mengumpulkan keterangan-keterangan orang-orang disekitar. Keahliannya ini cukup membuatku senang tatkala kami mengerjakan tugas praktek ilmiah ke desa terpencil mengumpulkan data-data mengenai kebiasaan-kebiasaan masyarakat disana. Neli tanpa malu-malu akan langsung bertanya pada setiap masyarakat yang dilihatnya melintas di depan kami duduk. 

“Trus kenapa emang kalau bener?” tanyaku asal, belum ingin mengiyakan pertanyaan awalnya. 

“Ya, gak apa-apa sih. Gw cuman takut aja kalau lu mencak-mencak lagi kayak biasa,” jawabnya cengengesan. 

Aku mendengus, anak ini meski terlihat slengekan dan semau guwe.. dia itu temen yang baaaaikkkk banget. Aku inget dulu waktu kami masih SD, masih zaman pake pita merah dirambut kuncir kami, waktu jam istirahat Neli yang cuman berbekal duit lima ratus perak rela beliin aku es campur yang harganya dua ratus perak. Waktu itu aku tidak membawa uang jajan, entah kehilangan aku mulai lupa. Tapi aku tidak akan pernah melupakan kebaikan temanku ini. 

Sewaktu kami sama-sama sekolah di SMP, pelajaran olahraga baru saja bubar. Kakakku belum menjemputku juga, meski punya dua orang kakak yang sudah bisa naik motor, sia-sia saja aku menunggu puluhan menit, tak satupun dari mereka kunjung datang. Dan tahu tidak? Neli inilah yang duduk bersamaku di pinggiran trotoar dengan sepeda bututnya, lalu dia menawariku untuk pulang bersamanya. 

Kami lalu menaiki sepeda Neli, satu jok sepeda kecil yang keras untuk kami berdua. Pantatku sudah tak bisa kurasakan lagi, kram, kesemutan. Tapi Neli tidak mengeluh sedikitpun, dia tetap mengayuh sepedanya dengan riang dan sesekali berceloteh mengenai kegiatan sekolah atau hal-hal lain yang terlintas dalam pikirannya. 

Kira-kira sekitar delapan kilometer sudah Neli mengayuh sepeda ketika akhirnya kakakku melihatku dijalan. Dia kemudian bersama temannya yang dibonceng di belakang menghampiri kami (nama temannya Indrawan, cakep bangett.. Ketua OSIS di SMU tempat kakakku bersekolah, sedangkan kakakku waktu itu bendahara OSIS-nya) mungkin Indrawan itu adalah salah satu cinta monyetku. 

Kakakku kemudian meninggalkan Indrawan di tempat itu untuk memboncengku pulang. Neli dengan tersenyum melambaikan tangan padaku lalu melanjutkan kayuhan sepedanya menuju rumahnya. Rumah Neli tak jauh dari rumahku meski kami tidak tinggal dalam satu RW. Memikirkan hal itu sekarang air mataku kadang tertitik, Neli.. dia adalah sahabatku. Dia sudah berbuat banyak hal buatku entah kapan aku bisa membalas budinya ini. 

“Emang kamu kira aku anak kecil yang doyan mencak-mencak lagi, Nel?” aku membalikkan tubuhku menghadap Neli. Dia memakai kaos singlet dengan dalaman BH warna putihnya. 

Neli adalah gadis imut, mungil dengan rambut sebahu yang selalu dikuncirnya, bergerak lincah kesana-kemari seolah dalam tubuhnya yang mungil itu tersimpan begitu banyak tenaga dan energi yang tak ada habisnya. Sewaktu kami berdua pindah ke tempat kos khusus perempuan ini, seharian Neli membantuku memasukan dan merapikan barang-barangku. 

Kami kos di dekat kampus sebuah sekolah perhotelan yang cukup terkenal di kota kami, saat ini kami sedang berada di tahun kedua dari empat tahun yang harus kami jalani untuk sekedar mendapat titel sarjana dan sertifikat untuk melamar pekerjaan. Aku terlihat pasrah dengan masa depanku. Sewaktu SMU dulu, setelah selesai ujian nasional aku begitu bingung memikirkan kemana masa depan akan membawaku, pilihan apa yang harus aku pilih untuk masa depanku. 

Bersekolah di sekolah terpencil dengan fasilitas yang tidak memadai dan kekuperanku yang tidak pernah melihat dunia, akhirnya aku mengekor teman-temanku dengan mendaftar di sekolah pariwisata di kota kami. Sebenarnya pilihan untuk mengikuti ujian di sekolah pariwisata ini adalah pilihan keduaku, karena waktu itu aku juga mengikuti pendaftaran ujian masuk ke perguruan tinggi negeri di provinsi kami. 

Aku memilih jurusan kedokteran, yang menurutku terlalu melebihi kemampuanku, aku bukanlah murid cemerlang meski teman sebangku ku Purnami selalu mengatakan padaku “Seandainya kamu mau belajar, kamu tu ya pasti bisa kok.” 

Ya, mungkin saja. Tapi kehidupan SMU ku adalah saat dimana diriku adalah pribadi yang pemberontak. Melanggar semua aturan dan bertindak semau gw. Saat anak gadis seusiaku sudah tidur pukul delapan malam, aku masih bekeliaran di jalan, mengebut dengan sepeda motor bebekku, pulang pukul sebelas malam yang sudah gelap gulita. Orang tuaku tidak menggubrisku, mereka memiliki masalah mereka sendiri. Waktu itu ayah dan ibuku belum bercerai seperti sekarang. Mamiku masih bertahan, hingga aku lulus SMU barulah mereka bercerai. 

Untuk pilihan keduaku, aku mencentang jurusan kedokteran hewan, sedang pilihan ketiga adalah jurusan hukum, meskipun aku tidak memiliki bayangan sedikit pun akan jadi apa diriku setelah lulus fakultas hukum. Sungguh aku kuper.

Tapi rupanya sebelum pengumuman penerimaan mahasiswa diumumkan, sekolah pariwisata tempatku mendaftar sudah menerimaku sebagai salah satu mahasiswa mereka. Dengan bekal uang yang diberikan ayahku, akupun mengambil kesempatanku, karena aku tidak yakin akan diterima di universitas negeri di provinsiku itu. 

Bagaimana tidak, selama ujian masuk, aku hanya mengisi jawaban sekenanya, menghitung jumlah kancing kemeja putihku, menghitung jumlah burung yang terbang dilangit, menebak-nebak dengan jariku. Sungguh lucu, aku tidak belajar sama sekali karena semua pelajaran itu tidak mau tercerna oleh kepalaku. Otakku sudah kewalahan dengan semua pelajaran-pelajaran itu. 

Namun demikian, ternyata nilaiku tak seburuk itu. Meski gagal di fakultas kedokteran, aku berhasil masuk di fakultas kedokteran hewan, yang sayangnya tidak pernah aku ambil. Aku tidak tahu bila itulah yang paling aku inginkan, menjadi dokter hewan bukanlah cita-citaku saat itu. Lalu, disinilah aku, kuliah di sekolah pariwisata ini dengan segala kebaikan dan keburukannya. Satu tahun sudah aku nge-kos di dekat kampus dengan teman kecilku, Neli Agustina. 

“Enggak, lu bukan anak kecil lagi, Neng. Justru lu itu udah gede, udah musti pacaran. Gak kasihan apa ama Surya yang selalu lu tolak tiap dia nembak lu, Neng?” kini Neli duduk di sisi ranjangku, menjadi mak comblang untuk yang kesekian kalinya. 

Banyak sudah cowok-cowok kece sampai standar yang dia sodorkan padaku, mencomblangkan hal yang mustahil, karena aku tidak tertarik dengan cowok-cowok sebaya yang sama sekali tidak memiliki sifat “cool” yang aku cari. Mereka semua cowok yang masih senang cengengesan, malu-malu kayak kucing padahal maunya seabrek kalau udah dikasi hati. Kucing kali.. dikasi hati..

“Lah, Surya.. Gimana aku bisa suka sama dia kalau kerjaannya cuman ngobrolin console game terbaru dan bukannya ngeluarin jurus rayuan gombal kek, kali aja gw kesambit,” aku ngedumel, hanya karena si Surya ini anaknya engkoh-engkoh pemilik pusat penjualan elektronik bukan berarti dia musti ngobrolin itu-itu melulu kan? Membosankan. 

Surya itu, orangnya baik, lucu. Tapi kalau ada di dekatku dia berubah dari lucu jadi membosankan, padahal ngakunya demen kok malah mem-boringkan gitu sih? 

Pernah aku diajaknya nonton film di bioskop twenty-one, dia malah asyik ngobrol sepanjang film diputar, mengganggu konsentrasi orang lain donk. Alhasil waktu dia nembak diriku ini setelah aku bersedia menemani PDKT-nya “demi” Neli Agustini sohibku itu.. diapun kutolak. Belasan kali. Tapi gak nyerah-nyerah juga sampai sekarang. 

Terakhir dia ngasi aku hadiah kalung-kalungan yang katanya dia beli langsung dari Jepang, itu kalung persis sama dengan kalung yang dipakai salah satu karakter di game RPG kesukaannya si Surya ini. Yah.. boring deh.. Aku itu perlu cowok yang udah dewasa, yang gak penyakitan latah kyk si Surya ini. Bisa-bisanya Neli ngenalin cowok kayak beginian terus sih padahal sudah sering aku bilangin ke dia kalau seleraku itu yang usianya sepuluh tahun ke atas lebih tua dariku. 

Aku sendiri heran kenapa aku suka laki-laki yang usianya jauh lebih tua dariku. Apa mungkin karena aku merindukan sosok seorang ayah yang baik untukku? Sosok seorang ayah yang bisa kuteladani, yang bisa kuhormati dan kubanggakan? Karena apa yang aku harapkan dari ayahku bukanlah apa yang bisa dia berikan pada anak-anaknya. Ayahku, bukanlah kebanggaanku. 

 


Chapter 2

Kusampirkan tas punggung yang berisi pakaian-pakaianku di atas kursi. Aku baru saja sampai di rumah ibuku tinggal, rumah yang dibelinya setelah bercerai dari ayahku. Disini mami begitu aku memanggilnya tinggal bersama dengan kakak laki-lakiku yang sudah menikah dan memiliki satu orang anak kecil berusia tiga tahun yang sedang lucu-lucunya. Hendra nama keponakanku itu. 

Hendra menyambutku dengan senang, tangannya yang mungil diangkatnya ke atas, berharap bibinya ini untuk mengangkatnya ke dalam pelukanku. Dengan senyum lebar meski sedikit kelelahan karena perjalanan yang panjang dari kampus ke rumah ini, kugendong juga keponakanku. 

“Duh.. Ponakan tante.. Udah makin gede aja, nanti sore kita belanja ke supermarket ya. Mau beli apa disana? Mau beli yakult? Terus..terus mau beli apalagi?” tanyaku senang. Aku hanya pulang sebulan sekali ke rumah ini. Selain karena memang jarak yang cukup jauh kutempuh dengan sepeda motorku, aku tidak terlalu menyukai kakak iparku. Istri kakakku ini terlalu cerewet dan selalu menebar aura kebencian padaku, entah apa maksudnya itu. 

Hanya karena memandang kakak dan ibuku aku masih berbaik hati bertahan meski dalam hatiku rasanya seperti sedang terbakar dan ingin kujambak saja rambut panjangnya yang sering digelungnya ke atas. 

“Kok telat banget nyampe rumahnya? Sengaja ya? Tau kalau pagi sampai siang bakal repot disini? Bersih-bersih?” sindir iparku, kebiasaannya yang membuatku kesal setengah mampus. 

Apa yang membuatnya berpikir dia berhak memarahiku? Aku tidak makan uang suaminya meskipun aku bisa saja meminta pada kakakku. Begini-begini aku memiliki tabunganku sendiri yang sudah kukumpulkan sejak aku kecil, selain mami, bokap dan kakak perempuanku yang sudah menikah juga sering memberiku uang jajan yang aku tabung. Karena aku berpikir masa depanku nanti hanya aku sendirilah yang bisa membawanya ke arah kehancuran atau kebahagiaan. 

Dengan seorang ipar yang nyinyir seperti dia aku tak yakin akan diizinkan tinggal di rumah ini lebih dari usiaku yang ke tiga puluh. Aku yakin dia akan senang bila aku segera angkat kaki dari rumah ini meskipun rumah ini dibeli bukan dari uang suaminya melainkan uang ibuku yang ditambah dari uang yang didapat dari perceraian dengan bokap. 

“Gak sengaja kok, tadi macet banget dijalan. Ada mobil nyemplung ke kali, jadinya macet sampe lima kilometer. Ciyus deh..” jawabku sambil bersenda gurau, aku tidak ingin soreku yang cerah dihancurkan oleh nenek sihir ini. 

Bibirnya nyinyir seperti biasa, mengomel tidak jelas lalu masuk ke dalam rumah, melakukan entah apa yang biasa dia lakukan di dalam kamarnya. Duh, jadi ipar doank kelakuannya selangit. Hubunganku dengan kakak laki-lakiku bahkan memburuk karena kehadirannya. Seringkali kakakku menegurku bila aku telat datang dari jalan-jalan atau bila aku meletakan barang sembarangan dan entah banyak alasan lagi yang terlalu dibuat-buat. Aku hanya bisa melarikan diri ke dalam kamarku yang mungil, kamar yang sudah kutinggali selama dua tahun belakangan. 

Sebelumnya kami tinggal dirumah besar yang kini sudah dijual dan uangnya dibagi-bagikan pada seluruh anggota keluarga, aku juga mendapat bagian yang langsung aku tabung. Aku suka sekali menabung, meski jumlahnya tidak banyak, aku berpikir bila suatu saat nanti aku memerlukan uang dalam jumlah yang tidak sedikit, aku tidak akan perlu membuka tanganku dan meminta pada orang tua atau kakak-kakakku. 

Menjadi anak bungsu memang memiliki kemewahannya sendiri, aku bisa menadahkan tangan tanpa malu pada kakak-kakakku bila aku mau, tapi aku bukan adik seperti itu. Tak pernah sekalipun aku meminta uang pada kakak-kakakku, mereka bukanlah yang harus bertanggung jawab membiayai kuliah dan hidupku. Bila aku perlu uang, aku akan kerumah bokap setelah menelphonenya terlebih dulu. Bokapku sering tidak ada dirumah, dia lebih sering keluar kerumah cewek-ceweknya, ya dia punya banyak cewek, sampai tak terhitung karena aku sudah malas berurusan dengan laki-laki tua yang kupanggil ayah itu. 

Aku tak pernah menghormati ayahku, aku tak pernah bangga menceritakan ayahku didepan teman-temanku atau menceritakan kebaikan-kebaikannya yang sudah tenggelam oleh keburukannya. Tak ada satupun kebaikannya bisa kuingat karena telah tersamarkan dan dikotori dengan kemunafikan dan sifat najis yang menjijikan. Karenanya lah aku begitu membenci manusia yang suka berselingkuh, ingin kubunuh rasanya manusia-manusia yang begitu hina dan tak bermoral itu, membersihkan dunia gila ini dari kegilaan-kegilaan lain yang diperbuat manusia-manusia hina itu. 

Sebegitu bencinya aku pada ayahku, meski aku masih meminta uang darinya. Sebenarnya bila aku mampu, aku tak ingin meminta bantuan apapun dari ayahku, aku juga memiliki harga diri yang ternyata harus kutelan bulat-bulat saat menyadari aku tak sehebat itu hidup seorang diri. Aku masih butuh sokongan dari ayahku, dari keluargaku. 

“Sabar, Neng. Oh ya, tadi papamu nelphon. Dia mau kesini katanya agak sorean. Mau ngobrolin sesuatu sama kita,” kata ibuku yang tersenyum lemah. 

Di usianya yang ke lima puluh, mami masih terlihat cantik. Belakangan mami sering di datangi oleh duda kaya mantan pacarnya dulu, tapi mami selalu menolak laki-laki itu. Om Chandra namanya, pemilik toko alat-alat listrik yang memiliki cabang dimana-mana yang sudah ditinggal mati istrinya dan dia tidak punya anak satupun. Sungguh disayangkan sekali, entah mengapa mami menolaknya, padahal aku yakin om Chandra punya banyak cinta untuk mami, aku ingin sekali mami membuka kembali lembaran baru hidupnya, melupakan laki-laki bejat seperti bokapku. 

“Mau apa bokap kesini lagi, Mi? Emang dia gak punya urusan lain ya? Bukannya dia sibuk ngurusin cewek-cewek sundal yang bergelayut ditangannya kayak benalu? Heran,” jawabku sinis. Aku benci sekali dengan wanita-wanita perusak rumah tangga orang lain. 

Selama dua puluh tahun lebih bokapku mengkhianati mami, dan mami begitu tabah menjalani semua penderitaannya seorang diri. Dulu mami kurus banget, gak selera makan sama sekali, sakit-sakitan. Syukurnya setelah orang tuaku bercerai, lambat laun mami kembali membaik dan sehat seperti sedia kala. Kadang memang hanya diperlukan sedikit penghindaran agar tidak selalu terjerat dalam kehidupan yang begitu menyiksa untuk tetap bertahan hidup di dunia. 

Seperti contohnya aku, aku sengaja tidak pernah pergi ke rumah bokapku, bila ingin meminta uang pun kadang bokap hanya kukirimi sms atau kutelphone sekedar lalu dan meminta uang itu dikirimkan ke rekening bank ku. Rekening yang aku pakai sebagai tempat singgah uang-uang yang dikirimkan bokap setiap bulannya. 

“Hus.. Gak boleh bilang gitu sama orang tua, gitu-gitu dia papamu. Nanti sore jam enam jangan kemana-mana ya, kan besok minggu. Besok aja jalan-jalannya,” bujuk mami yang langsung menggamit lenganku mengajakku masuk ke dalam rumah. 

“Iya, Mi. Demi mami deh , aku rela ketemu orang itu lagi.” 

Kukecup pipi tua ibuku yang dibalasnya penuh kasih sayang. I love you, mom.. 

Pukul enam sore kurang lima belas menit, kakakku Rio sudah berteriak-teriak menggedor pintu kamarku. Aku sedang menyisir rambutku yang basah saat dia berteriak memintaku keluar, bokapku sudah datang, bersama dengan calon istri barunya dan keluarganya. Mau apa sih mereka datang kesini? Mau pamer ya? Mau menyakiti hati kami lagi? Heran, gak punya malu sama sekali. 

“Ya, ya bentar. Biarin aja mereka nunggu, siapa yang perlu dia yang berkorban,” bentak ku kesal. Menggangu ritualku di depan cermin dan mengagumi wajahku yang putih bersih. 

Kupoleskan sedikit bedak pada pipi pucatku, hanya agar tidak terlihat buruk di depan calon istri baru bokapku. Setidaknya wanita-wanita perusak rumah tangga orang lain itu pastinya memiliki kelebihan sendiri kan sehingga dia bisa menarik laki-laki hidung belang seperti ayahku. Aku tidak akan kalah oleh pelacur murahan itu. 

Ternyata tamu-tamu itu sedang menunggu di dalam ruang tamu rumah kami, tentunya mereka mendengar teriakan ku tadi. Masa bodoh, peduli amat dengan perasaan mereka, memangnya mereka peduli dengan perasaanku? Perasaan mami? Perasaan kami? Seenaknya datang kesini memamerkan kemesraan mereka yang tak pernah ayahku pamerkan saat bersama kami. Cuihh!! 

“Neng, duduk disini,” panggil bokapku lembut. Entah dia berpura-pura baik padaku atau apa, aku tak akan pernah lupa saat dia membentakku karena mengomentari perbuatannya yang suka main cewek. Aku tak akan pernah melupakan bagaimana kata-kata dan caci makinya yang kasar sampai kapanpun juga, aku tidak gampang memaafkan orang, terutama laki-laki berengsek seperti ayahku. Tapi aku mengikuti perintahnya tanpa komentar. 

Aku duduk di kursi disamping ayahku, di sampingnya lagi calon istri barunya duduk, namanya Lili, Liliana tepatnya. Di depanku duduk mami bersama kakak laki-lakiku, istrinya entah kemana tak terlihat, dia mengerti ini bukanlah urusannya, meski menjadi ipar disini, iparku itu tidak terlalu suka ikut dalam musyawarah keluarga seperti ini. Namun bila sudah menyinggung masalah duit... telinganya naik paling pertama. 

Mataku melirik pada sosok pria disamping Lili, pria muda yang usianya kira-kira dua puluh tujuh hingga tiga puluh tahun. Wajahnya cukup tampan, tanpa kumis atau jenggot, bahkan terkesan putih bersih terawat. Aku tidak bisa mengira-ngira berapa tinggi laki-laki itu, karena saat sedang duduk seperti itu dia terlihat sama saja dengan yang lain. Siapa sih dia? Dia memakai baju kemeja putih lengan pendek, dengan kacamata putih yang kuyakin tanpa kaca mata itu dia tidak bisa melihat dengan jelas. 

 

 

Chapter 3

Suasana begitu sepi, tak ada yang berbicara. Lalu ayahku membuka suara, semoga dia tidak memancing di dalam air keruh. Sudah terlalu banyak kesakitan yang dia berikan pada keluarga kami. 

“Mungkin kalian tidak menyukai kedatangan kami kesini, tapi ada yang harus aku katakan sebelumnya. Memang rencana semula aku akan menikah di sini, tapi setelah dipikir-pikir demi kebaikan kita semua aku memutuskan untuk menikah di kampung halaman Lili saja, jadi kedatanganku kali ini untuk bertanya dan berharap kalian bisa datang kesana bersama kami. Hitung-hitung liburan lah beberapa hari di desa, tak ada salahnya, kan?” kata bokapku memulai. 

Mami langsung mengerutkan dahinya, dia nampak tidak begitu senang dengan ide itu. “Aku rasa aku tidak perlu datang kan? Akan sangat tidak menyenangkan bila aku juga berada dalam lingkungan keluarga barumu. Jadi kali ini aku minta maaf, oh ya, aku lelah, aku akan masuk ke kamar,” jawab mami datar. Aku tahu mami masih menyimpan perasaan pada papaku. Apa pula yang dia mainkan dengan mengajak calon istri barunya kesini, benar-benar laki-laki kurang ajar. 

Wajah bokapku merah padam, entah karena malu atau amarahnya yang biasa meletup-letup. Lalu kakakku Rio memberi pendapatnya sendiri mengenai keinginan ayahku. 

“Aku rasa aku juga tidak bisa, Pap. Kamu tahu, Asri sedang hamil muda, aku tidak mungkin pergi tanpa istriku. Dan Asri tidak mungkin bepergian ketempat jauh seperti itu, lagipula Hendra masih kecil. Nanti tidak ada yang merawatnya, kasihan. Jadi Neng aja deh yang ikut ya. Kamu bisa mengambil izin kan, Neng? Cuma tiga hari kok, kamis, jumat, sabtu. Minggu udah balik ke sini lagi,” bujuk Rio padaku. 

Apa??!! Seenaknya saja. Memangnya aku mau dijadikan tumbal? Huh!! Tidak!! Aku tidak mau!! Tapi mulutku terkunci rapat, beranikah aku membantah permintaan ayahku? Dia begitu berharap keluarganya bisa datang, oh papa, kamu membuatku serba salah. Bila aku pergi bukankah aku mengkhianati mami dengan menyetujui pernikahanmu dengan Lili, padahal aku sangat membenci wanita perusak rumah tangga ini. Apa sih yang papa lihat dari wanita murahan itu? 

“Jadi gimana, Neng? Mau ya? Nanti kita berangkat bareng, naik pesawat. Terus kalau sudah sampe di sana, kita naik mobil papa. Cuman berempat aja kok, jadi kalau kecapekan dijalan bisa melihat pemandangan, disana pemandangannya indah lho, sejuk,” bujuk ayahku lagi. Oh, mami.. kenapa sih dirimu musti pake acara ngambek gitu? Sekarang semua beban ada dipundakku.. 

Dengan terpaksa aku mengangguk dan mengiyakan permintaan ayahku, dia pun bisa bernafas lega. Setelah itu papa mengajakku makan malam, karena memang aku belum makan, aku tidak bisa menolak. Makanan gratis kenapa musti ditolak? Gila namanya.. Mungkin nanti aku bisa membungkus beberapa kotak makanan untuk mami dan kakakku. 

Kami duduk di dalam mobil mercy hitam milik papa, laki-laki yang sedari tadi diam tanpa bicara itu yang jadi sopirnya. Dalam hati aku berpikir, cakep-cakep kok sopir sih? Sayang banget, padahal aku udah naksir ama dia. Dikit.. Cakep sih, udah gitu caranya dia menatap benar-benar bikin meleleh. Pandangannya tajam, tapi tidak ada kesan seram disana, dia memberikan perhatian total pada lawan bicaranya. Yang anehnya dia belum berbicara sama sekali sebelum papa memintanya berhenti di sebuah restoran Chinese food tempat kami dulu biasa makan. 

“Disini saja ya, Neng. Kamu kan suka Roasted Duck restoran ini. Nanti bungkus juga buat mami dan kakakmu ya.” 

Papa.. Seandainya kau seperti ini saat masih bersama kami, aku akan mencium kakimu dan menghormatimu seumur hidupku. Tapi mengapaa.. hatiku menangis darah karena justru kemesraan ini kamu perlihatkan di depan calon istri barumu yang notabene adalah perusak keluarga kita? Oh, papa.. aku membencimu! 

Papa dan Lili turun dari mobil sebelum kami, ya aku dan si sopir. Entahlah, aku kira dia akan tinggal di mobil, rupanya dia ikut serta masuk ke dalam restoran dan duduk di samping papa. Sejak kapan papa mengizinkan sopir ikut makan bersama kami? Sopir itu mungkin melihat pandanganku padanya, dia pun tersenyum. Duh, sopir yang cakep... waktu senyum pun kamu terlihat makin cakep.. Coba deh kacamata itu kamu lepas, pasti tambah cakep. Dalam hati aku cengengesan seperti remaja SMU sedang kasmaran. Heh!! 

“Oh ya, kalian belum kenal kan? Neng, kenalkan ini Liam, adiknya Lili” 

DUENKK!! Bletak!! Kepalaku rasanya seperti ada yang memukul dengan vas bunga dari atas deh. Gak nyangka ternyata laki-laki yang aku kira sopir papaku adalah adik dari wanita murahan itu?!!! Tidak!! Seketika perasaan naksir yang kukira kumiliki itu berubah menjadi benci, benci sebenci-bencinya aku pada manusia. Sebagai adik seorang wanita perusak rumah tangga orang lain, tentunya dia tahu pasti apa yang telah dilakukan oleh kakaknya terhadap keluargaku. Herannya dia masih saja tersenyum manis padaku, mengulurkan tangan kanannya untuk kujabat. 

Aku hanya mendengus, tak menghiraukan tangannya yang mengambang di udara. 

“Neng,” jawabku datar sambil duduk di kursiku tak menggubris jabatan tangannya. Tak sudi.. tak sudi tak sudii... 

Dengan wajah kecewa laki-laki yang bernama Liam itu menurunkan kembali tangannya, mengambil kursi di sampingku dan diam kembali hingga acara makan kami dimulai. Tidak banyak percakapan yang dilempar ayahku, dia terlalu asyik dengan Lili. Oh, Tuhan!! ingin rasanya kujambak rambut wanita di depanku ini, bagaimana papa tega bermesra-mesraan dengannya di depan mataku, tidakkah dia memikirkan perasaanku? Apakah dia mengira aku bisa menerima begitu saja perbuatannya yang telah menyakiti hati kami? 

Air mataku hampir terjatuh, hatiku sakit melihat sepasang kekasih baru yang dimabuk cinta ini. Tanpa berkata khusus pada siapapun aku bangkit dari kursiku. 

“Aku mau ke toilet,” kataku. Tak ada yang perduli meski aku berada di toilet ini sepuluh menit lebih. Aku mengusap air mataku yang turun dengan deras. 

Berengsek! Cengeng sekali sih mata ini, aku tidak boleh menangis sekarang, tidak di depan papa, tidak di depan pelacurnya, dan tidak juga di depan DIA!! 

Sopir jelek itu, kenapa sih harus ada dia lagi? Tidak cukupkah aku harus malu di depan papa dan calon istrinya? Matanya yang awas itu pasti menyadari aku baru saja menangis. Sungguh malam yang sial, semestinya aku diam di rumah dan menolak ajakan makan malam ini. Karena kerakusanku lah maka aku terperangkap didalam toilet restoran ini, untungnya toilet ini bersih, jadi aku tidak perlu muntah berlama-lama disini. 

Ketika kuperas hidungku, pintu toilet diketok dari luar. Siapa sih? Mengganggu saja. Gak lihat orang lagi sibuk ya? Memangnya gak ada toilet lain lagi apa? 

“Toiletnya lagi ada yang makek, yang disebelah aja, kosong,” sahutku kesal. Tapi pintu toiletku diketuk lagi. Kali ini aku mendengar suara laki-laki yang tak kukenal. 

“Neng, kau masih lama? Papamu sudah mau balik tuh,” sahutnya dari luar. Sial, suara si Liam kah itu? Mau apa dia kesini? Ini kan toilet perempuan! 

“Bentar, lagi lima menit,” jawabku. Kubasuh wajahku lagi, menatap putus asa pada bayangan wajahku di sebuah cermin yang digantung disamping tempat sabun toilet. 

Ah.. wajahku sungguh berantakan, mataku sembab, hidungku merah dan bengkak. Bahkan bibirku.. bibirku mengenaskan. Semoga si Liam itu sudah kembali sehingga aku tidak perlu mencari alasan kenapa aku menangis. 

Tapi rupanya belum cukup kesialanku, dia masih menungguku di luar pintu toilet yang kupakai. Matanya tajam memperhatikan wajahku, mataku, lalu bibirku. Matanya menyipit demi melihat penampilanku. Dia sungguh ingin tahu ketika menanyakan mengapa aku menangis. 

“Kenapa kau menangis?” tanyanya ikut campur. Bukan urusanmu, bodoh!! 

“Aku tidak menangis!” jawabku kesal. Kupapas tubuhnya yang menghalangi jalanku keluar dari ruangan toilet ini, tapi dia menarik pergelangan tanganku. Apa sih? Sungguh tidak sopan sekali laki-laki ini!

“Apa maumu?” teriakku kesal. Dia memelototiku, aku tidak takut. Kamu tidak menakutkan sama sekali. Huekk!! 

“Aku bertanya kenapa kau menangis? Jangan katakan itu karena papamu dan kakakku?” sorot matanya tajam dan dingin. Dia seperti ingin melindungi kakaknya, apa urusanmu kalau aku membenci kakakmu? Toh dia memang wanita brengsek. 

“Itu bukan urusanmu. Lepaskan tanganku!” teriakku tak berdaya, kucoba mengangkat jari-jari tangan Liam yang mencengkeram pergelangan tanganku dengan kuat. Sungguh menyakitkan. 

“Itu urusanku. Bila kau membuat kakakku terluka, aku tak akan memaafkanmu!” ancamnya. 

Oh sialan, laki-laki ini. Apa dia tahu sebenarnya masalah disini apa? Dia sungguh dibutakan oleh semuanya, dia seharusnya tahu dialah yang berada dalam pihak yang salah. Manusia licik, pastilah mereka bersekongkol untuk mendapatkan harta ayahku. Dasar manusia licik, menjijikan. 

“Cuih! Aku lah yang seharusnya berkata seperti itu. Kalian memang manusia-manusia hina. Begini rupanya kerja kalian, ha? Kakakmu bertugas merayu laki-laki tua kaya dan kau.. kau.. bertugas sebagai bodyguardnya yang akan menghancurkan siapapun yang menghalangi niat busuk kalian, kan? Bajingan!!” kutarik tanganku tapi justru tubuhku semakin ditarik mendekatinya. Tubuh kami bertubrukan, wajah Liam begitu dekat dengan wajahku. Mata laki-laki ini menyala-nyala seperti terbakar api. Dia marah, pipinya berkedut-kedut menahan amarahnya. 

Bodo amat, dia mau marah kek, mau memukuli ku kek, aku akan berteriak bila dia berani melakukan hal itu. Orang-orang yang berada disini akan segera menemukan kami dan dia akan diseret ke kantor polisi. 

“Cabut kata-katamu sebelum aku menyeretmu keluar dari sini!” ancamnya. Suaranya berbisik hampir tak terdengar karena dia mendesis, seperti ular. Licik. Huh!!

“Tidak! Aku tidak akan pernah mencabut kata-kataku. Kalian memang busuk, licik dan bereng..uppffhh!!” aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. 

Laki-laki sialan ini mendekap bibirku dengan.. bibirnya!!! Sial sial sial!! Itu adalah ciuman pertamaku, dan laki-laki ini mengambilnya dengan paksa. Mataku membelalak tak sanggup bersuara, tubuhku kaku dan menegang. Aku terkejut dengan apa yang dia lakukan padaku, tapi.. ciumannya tidak kasar. Bibirnya menyentuh bibirku dengan lembut. Apa yang aku pikirkan, aku seharusnya mendorong tubuhnya dan menamparnya. Tapi.. jantungku berdebar-debar kencang, mataku terpejam. 

Tidak.. tidak.. tidak.. Ini tidak boleh terjadi. Kami tidak seharusnya berciuman, dia tidak seharusnya memagut bibirku dengan begitu mesra dan aku tidak seharusnya membalas ciumannya. Dia mengangkat wajahnya, senyuman licik kini bertengger disana. Berengsek!! 

“Bila aku mendengar mulutmu itu berkata-kata kasar mengenai kakakku lagi, lain kali bukan cuma bibirmu yang akan aku hukum.” 

Lalu si Liam berengsek itu keluar dari toilet, meninggalkanku termangu, bengong seperti orang yang baru saja kehilangan jiwanya. Hei.. aku kehilangan ciuman pertamaku dan.. tidak pernah terasa begitu indah. Sial! Apa yang aku pikirkan, laki-laki ini tidak boleh kukagumi. Dia adalah musuhku. Dia musuh bebuyutanku!!

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lu Tu Musuh GW, Cong!! Chapter 4-6
2
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan