Overnight | 08 • Thanks, Leo

0
0
Deskripsi

"Tapi, aku belum selesai." Love protes. Menatap Leo dengan mimik heran.

"Aku bisa mengobatinya sendiri. Sekarang, katakan kenapa kau memblokir nomor ku?"

Love tercekat. Mendadak kaku. Kedua mata ocean-nya berputar. Mencari alasan tepat.

"Blokir? Kapan aku memblokir mu?" tanya Love. Gugup.

"Setelah mencaci dengan kalimat kotor, kau ingin menghindari ku?" balas Leo.

Begitu tepat, satu-persatu jemari milik Love jatuh, menyentuh halus punggung kekar Leo. Mengoles salep. Tanpa kata, Love tampak cemas, menatap kulit merah kecoklatan itu.
Pertikaian besar, nyaris terjadi. Namun untungnya, Claudia memiliki tenaga besar untuk mengusir Austin keluar.

"Apa sakit?" tanya Love. Memberanikan diri.

"Aku hanya di siram coffee, bukan air mendidih," sarkas Leo, melirik ke arah samping. Memperhatikan tumpukan buku-buku berdebu di sudut kamar Love. Sungguh, bukan pemandangan yang menyenangkan. Bahkan, kasur tidur gadis inipun terasa keras.

Kembali, suasana begitu canggung. Suntuk, tanpa suara. Love mengeluh kasar. Sedikit menunduk, menautkan diri di bahu Leo. Masih membalur obat.

"Sebaiknya, jangan terlalu dekat. Kau bisa mendapat masalah jika aku tidak bisa menahan diri," celetuk Leo. Beringsut maju. Menarik kemeja lembab miliknya.

"Tapi, aku belum selesai." Love protes. Menatap Leo dengan mimik heran.

"Aku bisa mengobatinya sendiri. Sekarang, katakan kenapa kau memblokir nomor ku?"

Love tercekat. Mendadak kaku. Kedua mata ocean-nya berputar. Mencari alasan tepat.

"Blokir? Kapan aku memblokir mu?" tanya Love. Gugup.

"Setelah mencaci dengan kalimat kotor, kau ingin menghindari ku?" balas Leo, mengangkat salah satu alis tebalnya. Love menarik napas. Menggaruk tengkuk sambil merubah posisi duduk. Menjatuhkan kedua kaki dari ranjang.

"Mencaci dengan kalimat kotor? Aku tidak memahami ucapan mu. Kau mungkin salah orang." Love berkelit. Berusaha meyakinkan Leo atas kebohongan kecilnya.

Mendadak. Leo melangkah, lekas mendekatkan diri. Sigap, pria itu menaruh kedua tangan di sisi ranjang. Mengurung kedua paha Love, terkejut, gadis itupun bergeser mundur sebisanya. Love bungkam. Menekan dada dengan mata membola.

"Akan ku pastikan. Jika kau terbukti membohongiku. Lihat apa yang akan terjadi!" ujar Leo bersama suara baritone yang menghujam jantung Love. Gadis itu meneguk ludah. Mulai memerhatikan Leo menjauh. Rupanya, pria itu meraih ponsel yang semula ia letakkan di atas ranjang.

"Leo."

"Diam!" tegas Leo. Melumpuhkan pergerakan Love seketika. Pria itu hanya melirik, tanpa ragu membuka ponsel milik Love. Menjelajahi isinya.

Love menahan napas, gugup seketika. Tanpa sadar, gadis itu menurunkan pandangan. Menatap tepat ke arah resleting celana pria itu. Terlihat jelas, milik Leo bangun. Love menelan ludah, berpaling arah. Seketika, wajah gadis itu merah merona. Malu.

"Kau membohongiku," celetuk Leo. Sadar, setelah meneliti ponsel gadis itu. Nomornya jelas, masuk ke dalam daftar hitam. Bahkan, sisa panggilan dan chat darinya belum terhapus.

"Aku bisa jelaskan!" teriak Love. Bersikeras merampas ponselnya. Akan tetapi, Leo kembali mengulang gerakannya. Menurunkan tubuh dan menaruh kedua tangannya ke ranjang. Mengurung Love.

"Apa yang ingin kau jelaskan? Hmm?"

"Kau menghubungi ku tengah malam. Wajar, jika aku mengatakan hal seperti itu padamu. Lagipula, telpon mu itu tidak begitu penting, 'kan?" keluh Love. Penuh protes.

"Tidak penting? Jadi, ciuman kita waktu itu, tidak berkesan bagimu?" Leo bergerak mundur. Kian mendekat. Love bergetar. Nyaris, tubuhnya jatuh telentang.

"Apa yang kau pikirkan?" alih Love. Sesekali memalingkan wajah.

"Apa yang aku pikirkan?" Leo tersenyum. Menurunkan pandangan ke bawah. Seolah menjawab pertanyaan Love. Sontak, gadis itu merapatkan kedua paha. Bergetar takut. Sial, tatapan pria itu memang jahat.

"Ck. Kemas barang-barang mu, kita akan pergi ke satu tempat jum'at ini!" dengus Leo. Akhirnya mundur.

"Kemana? Aku tidak mau!" tegas Love.

"Kau punya dua hutang yang belum terbayar. Sekarang di tambah dengan kejadian hari ini."

"Aku tidak minta kau lindungi. Kau sendiri yang menyerahkan punggungmu untuk di siram," desak Love. Kesal.

"Kau harusnya beruntung, karena seorang Leonaz Mars Resseaou yang tampan, kaya dan terkenal, mau melakukan banyak hal untuk gadis kurang gizi sepertimu," kekeh Leo percaya diri. Terdengar narsis serta menyebalkan. 

"Beruntung apanya?" decak Love. Cemberut. Melihat Leo duduk di sampingnya.

"Bagaimana kalau kau mengganti semuanya dengan tidur denganku semalam?"

"Kau gila?" teriak Love. Berdiri tegap. Tapi, menurunkan pandangan ke celana Leo kembali. Masih menegap. Keras.

"Ck. Padahal aku ingin mengajarimu banyak gaya."

"Sinting! Jika kau ingin melakukan itu, ajak saja ikan-ikan mu itu," teriak Love. Mengusap wajah yang terasa panas. Leo tertawa, tampak senang. Lantas, beberapa saat kemudian. Ia mengangkat tubuhnya, menegap tinggi.

"Jumat, pukul delapan malam. Akan ku tarik kau keluar jika menghindar!" ancam Leo. Menatap penuh ketegasan. Membuat Love seutuhnya merinding, namun, terdapat angin kebahagian seakan melewatinya. Duh! Leo ini. Benar-benar membuat Love kesulitan. Sontak, Love merasakan jantungnya berdebar.

"Thanks, Leo," bisik Love. Mengulum senyum dengan napas lega. Ruang kamar kembali kosong. Menyisakan aroma parfum bercampur coffee dari Leo.

***

Selepas memasang kacamata. Leo menyempatkan diri menatap ambang pintu rumah Love. Bukan hanya kecil, tapi berantakan, bahkan banyak bagian cat terlihat mengelupas. Sungguh, jauh dari kata layak. Leo mengulum bibir, meremas-remas kemudi mobil, perlahan emosinya kembali mengguncang, begitu mengingat bagaimana Love di perlakukan pria yang seharusnya menjadi pelindung. Bukan sebaliknya. Demi Tuhan, jika bukan karena Claudia, mungkin Austin sudah ia buat terkapar hingga mati.

"Tidak ada pria yang memukul wanita, berengsek!" tegas, bibir Leo bergetar. Mengulang kalimat yang sempat ia teriakkan lantang di tengah rumah itu. Benar saja, meski berengsek, sering menusuk orang lain dengan kalimat jahat. Leo paling anti terhadap kekerasan. Keluarganya terdidik. Vernon bahkan belum pernah menyentuh kulitnya dengan tamparan.

"Ck. Aku tidak perlu berlebihan mengkhawatirkannya!" tolak Leo, turut menyeka rambut. Kemudian menekan starter mobil dan menunggunya hingga benar-benar siap. Sekali lagi, Leo melirik ke arah rumah. Seakan sulit baginya pergi. Tapi, sebuah pesan masuk mengusik. Membuatnya sigap meraih benda kecil itu lebih dulu.

'Kau sibuk? Jika tidak, temani aku ke toko pakaian dalam. Wartawan akan meliput. Kau juga bisa membantuku memilih yang bagus, sebagai permintaan maaf semalam.'

Leo mendengus malas, menatap nama Alexa di layar. Sejenak, pria itu larut dalam pikiran. Terasa rumit. "Sial! Aku malah membayangkan gadis itu dengan pakaian dalam," sebut Leo. Meremas wajah yang memerah. Lalu beberapa menit kemudian, Leo menatap ponselnya lagi. Membalas pesan.

***

"Love kau mau pesan apa?" tanya Liam. Meneliti daftar menu di hadapannya. Dua jam lalu, pria itu menghubungi, lalu bergegas menjemput Love untuk sekadar bersantai di restauran. Sulit memang keduanya berjauhan.

"Love." Liam menginterupsi. Mulai mengangkat pandang, begitu tidak mendengar apapun dari sahabatnya itu.

"Love!" lagi, panggilan terdengar. Tapi, belum berhasil mengusik Love yang tengah melamun.

"Love!!" empat kali, suara Liam terdengar tinggi. Membuat Love malah terkejut.

"Ya? Kenapa kau berteriak?" tanya Love. Marah.

"Astaga. Aku memanggilmu berkali-kali, tahu?" tutur Liam menunjuk daftar menu di hadapannya.

"Oh. Aku tidak dengar," kekeh Love, mengusap tengkuk.

"Sepertinya, ada yang kau pikirkan."

"Tidak. Aku tidak memikirkan Leo." Love terdiam. Langsung canggung, begitu menyadari kesalahan bicaranya.

"Leo? Kau memikirkan anjing gila itu? Kenapa? Dia mengusik mu?" lontar Liam, dengan pertanyaan bertubi-tubi.

"Tidak. Aku hanya heran, kenapa ucapan nya terdengar membenciku." Love mengeluh kasar. Memijat kening dengan ujung jari.

"Kau tidak perlu memikirkan hal itu, dia gila. Lebih baik pikirkan Lion," balas Liam.

"Kau ini, sudah ku katakan kalau aku hanya menghormati nya sebagai kakakmu," jelas Love cukup jelas.

"Kalau dia melamar, kau mau terima?" tanya Liam. Mencari tahu. Love terdiam, memilah kata untuk menjawab.

"Maaf mengganggu. Sudah ada yang ingin di pesan?" terusik. Liam mendaratkan pandangan ke arah pelayan wanita dengan tubuh sintal.

"Aku pesan sama dengan mu saja!" ujar Love malas berpikir.

"Oke." Liam mengeluh. Menunjuk, serta mengatakan menu yang ia inginkan. Lengkap dengan minuman dan makanan penutup. Love memilih diam, menunggu Liam selesai memesan hingga pelayan kembali ke tempatnya.

"Oh ya, kemarin kau interview pekerjaan, 'kan? Bagaimana hasilnya?" tanya Liam. Akhirnya mengalihkan topik pembicaraan.

Love menggeleng kepala. Mengeluh berat. "Mereka tidak ingin mempekerjakan mahasiswi. Kurang efektif, katanya."

"Ck. Lagipula, untuk apa kau bekerja? Kau butuh uang?" tanya Liam.

"Aku yakin, kau juga butuh uang, Liam," kekeh Love.

"Ya. Tapi, kebutuhan ku berbeda. Ada yang ingin kau beli? Akan ku bantu!"

"Tidak, Liam. Kau sudah sangat banyak membantu. Jujur, jangan membuatku terus bergantung padamu."

"Hey! Guna teman itu harus saling membantu!" tegur Liam.

"Ya. Aku tahu, tapi, aku sudah sangat bersyukur karena bisa kuliah di Resseaou tanpa membayar sepeserpun. Jika keperluan sehari-hari pun harus kau, rasanya tidak etis," beber Love panjang lebar. Mengutarakan maksud yang cukup tersimpan di hatinya.

"Kau sebaiknya tidak sungkan. Jangankan aku, Lion juga pasti akan membantu."

"Jangan! Aku rasa ini cukup kau yang mengetahuinya. Tenang saja, aku akan mencari pekerjaan lain."

"Hmm. Baiklah. Tapi ingat, jika situasinya sangat sulit, jangan sungkan. Aku tidak ingin kau kesusahan sendiri," pinta Liam. 

"Thanks, Liam." Love tersenyum manis. Menaruh kedua tangan di meja, menopang dagu. Lalu memandang sekitar tempat. Sesaat, Love mengerutkan kening. Memperhatikan pintu masuk restauran.

"Ada apa?" tanya Liam peka. Ikut menoleh ke arah yang sama. Pria itu mendengus, begitu tatapannya beradu tepat bersama Leo, pria itu yang masuk, bersama Alexa dan tiga pengawal berbadan gempal. Jujur saja, mereka serasi. Leo terlihat mesra.

"Kenapa anjing gila dan dada semangka itu ke sini," keluh Liam. Balik arah, dengan wajah malas.

"Hmm. Seharunya kau tidak mengajakku ke sini," tutur Love protes. Tertunduk menatap meja bulat di depannya. Kosong, masih menunggu makanan.

"Hai, kebetulan sekali bertemu kalian di sini. Boleh kami ikut gabung?" Alexa bersuara. Tegap berdiri sambil memeluk pinggul Leo. Menatap Love dan Liam bergantian.

"Meja kosong di tempat lain masih banyak," gerutu Liam tanpa menoleh.

"Siapa namamu? Aku lupa. Ehm. Aku boleh duduk?" tanya Alexa. Meminta pendapat Love. Spontan, gadis itu mengangkat kepala, begitu merasakan sentuhan Alexa.

Ragu. Gadis itu melirik Liam, lalu Leo. Terpaksa, Love mengangguk pelan.

"Thank you. Ayo sayang, duduk di samping ku!" ajak Alexa. Menepuk kursi di sebelahnya. Berseberangan bersama Love. Leo tersenyum, mendaratkan pandangan cukup tegas, hanya pada Love.

"Selera makan ku, mendadak hilang. Jika saja tidak membuat janji dengan Lion, aku lebih baik pergi," papar Liam. Memerhatikan pelayan mengantar makanannya. Serta membagi menu dengan Alexa dan Leo.

"Lion? Kau mengajak kak Lion?" tanya Love.

"Ya. Kenapa? Dia dekat dari sini," jawab Liam.

"Kalau di lihat, kalian berdua mirip, ya." Alexa bersuara. Bersikeras mengambil alih.

"Hanya kau yang mengatakan itu," tepis Leo.

"Aku tidak sudi dikatakan mirip dengannya," timpal Liam.

"Kalian seperti anak-anak. Sering bertengkar," kekeh Alexa.

"Aku tidak perlu pendapatmu wanita semangka," celetuk Liam.

Love bungkam. Menekan garpu di pinggir makanan. Mulai mengisi perut. Demi Tuhan, ia tidak berani mengangkat kepala. Leo masih menatapnya.

"Isi perutmu dengan banyak makanan. Cacing-cacing di sana butuh asupan," ujar Leo. Jelas menyindir.

"Santai saja Love. Gizi harus seimbang. Jangan hanya dada yang besar," bela Liam. Membuat Love hampir tertawa. Sialan! Pria itu terkekeh, memerhatikan Love dan mulai makan.

"Liam ponselmu!" tunjuk Love. Mengarahkan jari saat melihat benda itu bergetar.

"Kak Lion," tutur Liam. Bergegas meraih ponsel dan membaca pesan dari kakak keduanya itu. Leo seperti bukan saudara kandungnya. Seratus persen di abaikan.

'Aku tidak bisa datang. Ada rapat dadakan. Uang traktiran sudah ku transfer. Maaf!'

"Kenapa?" tanya Love.

"Lion tidak jadi datang. Ck. Tahu begini kita bisa mencari restauran lain agar tidak bertemu orang aneh," singgung Liam. Mengeluh kasar.

"Love habiskan makananmu!" Leo mendadak bicara. Berhasil membuat tiap orang melirik. Termasuk Alexa.

"Dia sangat kurus. Aku kasihan!" sambung Leo. Sadar diperhatikan.

"Kau tidak perlu kasihan. Aku tidak butuh!" jawab Love. Tegas. Liam tersenyum lebar begitu mendengar kalimat yang di lantang kan Love. Tampak begitu bangga. Love berdecak, lanjut makan.

"Kita pindah saja. Mereka tidak nyaman," ajak Alexa sambil berdiri. Sadar, bahwa Leo sulit melepas pandangan dari Love.

"Oke!" sambut Leo tanpa membantah. Berdiri dari tempatnya, mendekati dan mengusap kepala Love sebelum benar-benar beralih pergi.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Overnight | 09 • Friday
0
0
Ck. Jika di lihat-lihat. Kau ternyata cantik juga. Hanya saja, kenapa dada mu ini benar-benar rata? Aku ragu, kau wanita atau pria?Perlu ku perlihatkan untuk membuktikannya? tanya Love. Spontan. Terdengar menantang, penuh keberanian.Boleh? balas Leo. Tertawa jahat.Sial. Apa yang aku katakan! decak Love. Bersikeras mendorong Leo.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan