Am I a Villain?! [Bab 2: Bangun Tidur Jadi Penjahat]

2
0
Deskripsi

Selamat membaca kaum Buahaha

Bab 2: Bangun Tidur Jadi Penjahat

Bangun!
Jauhilah bantal.
Karena dia menyesatkan. 
Memanjakan dengan kelembutan.

✨✨✨

Gema takut. Takut gelap dan makhluk yang bersemayam di dalamnya. Dia tak suka terjebak di tempat seperti itu, ditambah dengan kesendirian. Ingin rasanya berlari, tapi setiap inchi sendi seolah menolak perintah otak.

Apa aku meninggal? Dan sekarang dikubur?

Batinnya seketika menjerit, melontarkan kata "tolong" berulang-ulang. Berharap ada yang mendengar. Satu orang saja tak masalah.

Tiba-tiba serpihan cahaya dalam berbagai bentuk, berjatuhan bak hujan dari langit, mengalir ke dalam mata. Berkumpul, menggelembung serupa balon, dan pecah lagi membentuk bintang-bintang ajaib. Perlahan kerlipan-kerlipan itu menyatu dan cahaya yang sangat menyilaukan menghentak pemandangan. Kemudian gelap kembali.

Cyteria!

Sayup-sayup terdengar suara. Panggilan bukan beratas namakan Gema. Tidak apa-apa. Setidaknya ada suara yang membuat gadis itu tetap merasa lega, walau tak seutuhnya.

Siapa di sana? Suara Gema tak ubahnya sebuah desir angin dikala senja.

Gema merasakan sentuhan di lengan. Lalu disusul guncangan pelan. Kelopak matanya perlahan membuka. Sinar lembut menerobos masuk. Gambar sesosok lelaki berkumis tipis, semakin jelas terlihat. Wajahnya tampak cemas.

"Cyteria akhirnya kamu sadar, Nak. Syukurlah," kata lelaki itu.

Seolah ketiduran, Gema kemudian menegakkan duduknya, meninggalkan permukaan meja yang dingin. Dia melihat ke sekeliling. Kandelir antik di langit-langit, berbagai makanan enak di atas meja, dan tentunya satu pelayan —berdiri, menunduk— di sudut ruang. Satu kata: asing.

Lelaki yang duduk di sampingnya terus berkata. Sampai sebuah kalimat mencuri fokus Gema.

"Papa khawatir, Sayang. Bagaimana bisa kamu pingsan hanya karena pertunanganmu dimajukan?"

"Apa?!" Gema terkejut karena dua hal: kalimat dari lelaki tadi dan suaranya yang barusan keluar, terdengar berbeda. Dia mengecek suara dengan berdeham kecil.

"Kamu tadi histeris lalu jatuh pingsan. Oh, astaga." Lelaki yang mengaku dirinya adalah Papa mengelap keringat tak kasatmata di dahinya.

Aku? Histeris  jatuh pingsan gara-gara mendengar rencana pertunangan ... dimajukan?

Tidak mungkin. Gema tak percaya ini. Dia bukanlah gadis semacam itu. Itu sangat terlele.

"Maaf, tapi aku di mana, ya?"

Lelaki itu mengernyit lalu menggeleng pelan. "Kamu jangan bercanda. Sudah, Papa harus istirahat karena besok ada meeting penting." Lantas pergi begitu saja, meninggalkan Gema di ruang makan mewah.

Kendati masih bingung ini di mana, Gema memanggil pelayan yang sedari tadi berakting jadi patung.

"Maaf, bisa kemari?" panggil Gema.

Bersegera lelaki itu mendekat. "Iya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"

"Aku siapa?"

Pertanyaan itu seakan memukul kepala si pelayan karena reaksinya melotot berlebihan.

Orang ini kenapa melotot padaku? Jangan-jangan sebentar lagi matanya akan copot, lalu menyisakan lubang hitam penuh darah. Hiii.

Gema bergidik ngeri memikirkan hal itu.

“A-anda Cyteria Laura, Nona."

Eh, bukan Gema Gemintang Putri? Apa aku bertransmigrasi? Asik sekali berengkarnasi langsung jadi anak sultan. Mimpi apa aku semalam?

Dari ekspresi pelayan tergambar jelas pertanyaan, "Apa Nonaku sudah gila tersenyum-senyum sendiri?"

Seakan tersadar sesuatu, senyum Gema memudar cepat. "Cyteria Laura?"

"Benar, Nona."

"Aku seperti pernah mendengarnya, tapi di maAAATIII!" Otak Gema tertampar kenyataan. Dia ingat nama itu.

Si pelayan terkesiap. Bingung, melotot lagi.

“O-orang tadi bernama Widagdo?" Lanjut Gema tergagap. Menunjuk arah kepergian Papa.

Si pelayan mengangguk patah-patah. Untung saja tidak sambil joget.

"Dan kamu pasti ... Uzumaki Slamet?"

Lagi, pelayan itu mengangguk. "I-iya itu saya, Nona."

Tiga pertanyaan dengan tiga jawaban. Yang tentunya tak ingin didengar. Harap-harap bukan itu jawabannya.

Gema bangkit. "Masih ada kesempatan," katanya sambil pergi mencari cermin. Begitu di hadapannya adalah cermin, "Wah! Gadis ini cantik sekali. Mata hazel, rambut hitam, body aduhai." Gema tergelak. Tawanya menular pada pelayan. "Dia memang ...." Kalimatnya terputus karena Gema langsung jatuh pingsan.

Gema tak benar-benar pingsan sebenarnya, dia hanya berusaha tak sadarkan diri. Berharap kalau dia membuka mata, semua akan kembali normal seperti sedia kala.

Kenapa bisa aku di sini? Kenapa pula aku di tubuh Cyteria Laura? Gema merintih dalam hati. Merasa tidak adil di tempatkan dalam keadaan seperti ini.

Bukti-bukti mengarah pada satu pemikiran yaitu Gema masuk ke dunia novel yang dibuatnya sendiri. Ingin bangga dan senang, jika saja bukan cerita ini, juga bukan Cyteria Laura yang menjadi tempat jiwanya berada.

Ya, mengapa harus cerita ini? Mengapa juga harus Cyteria Laura? Mengapa bukan cerita yang  berakhir bahagia?! Kenapa Tuhan?! Apa salahku?!

Mendadak tubuh Gema yang rebahan di lantai terasa melayang. Dua lengan kokoh nan hangat menenangkan hati, telah mengangkatnya. Begitu kuat, nyaman, dan membuat aman seolah tak perlu merisaukan kejadian sial. Namun, baru saja memikirkan hal itu, hal tak terduga terjadi.

Si pengangkat tubuh Gema, tersandung sesuatu. Gema yang tadinya merasa aman kini harus merasakan benturan keras lantai marmer. Dia jatuh terguling-guling.

Gema mengumpat. "GEMPREENG!" Dia mengadu sakit, mengelus kepala yang menjadi korban-paling-tersakiti dibanding bagian tubuh lain.

"Maaf-maaf, kamu tidak apa-apa?"

Bagai ada angin surga, Gema tercengang dan berhenti mengelus keningnya. Warna suara itu sangat lembut, berbeda dengan milik Uzumaki Slamet. Bukan pula milik Papa Widagdo. Jadi siapa gerangan pemilik suara itu?

Gema menoleh menggunakan efek lambat. Kelopak matanya berkedip pelan. Aura menyilaukan dari tubuh lelaki asing di depannya, membuat gadis itu terpana. Dia menikmati setiap pemandangan yang tertangkap oleh penglihatan. Menikmati setiap pahatan alam yang dimiliki lelaki itu.

Apa aku di surga sekarang? batin Gema. Ada bidadara di depan mata. Oh, Tuhan thank you so much. I love you Tuhan.

Lelaki itu membenarkan kacamatanya yang menurun karena gravitasi nakal. Gema gemas, ingin sekali mencopot benda berkaca itu, agar jelas ketampanan yang terpampang nyata.

"Cyteria kamu tidak apa-apa?" tanya lelaki itu lagi.

Panggilan nama "Cyteria" sekonyong-konyok menghacurkan kebahagiaan Gema, meremukkannya tanpa sisa. Kalau diumpamakan, seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong, menikmati kesegaran udara luar, tapi langsung dimakan oleh ayam jago. Ditelan hidup-hidup tanpa perlu mendengar jeritannya. Menyedihkan.

"Ya, aku baik-baik saja, kok," tukas Gema seraya mencoba berdiri.

Tangan lelaki itu terulur, hendak menyentuh tangan Gema, membantu niatnya. Sayang, semua urung karena kecepatan kalah oleh tangan pelayan. Lagi-lagi Gema harus menelan pahitnya kekecewaan.

"Maafkan saya, Nona. Maafkan saya juga Tuan Enrda," kata Slamet.

Gerakan Gema mematung berkat kalimat terakhir yang keluar dari mulut Uzumaki Slamet. Penyebutan nama itu menusuk sampai ke jantung gadis itu. Ingin menangis kencang kalau begini.

Slamet melanjutkan, "Sekali lagi maafkan kelalaian saya karena tidak langsung merapikan kursi, kalau saja ...."

"Tidak apa-apa, Slamet." Enrda tidak mempermasalahkan. Gema semakin yakin kalau lelaki itu memang Enrda Cakrawala. Protagonis pria yang menjadi perebutan oleh Cyteria dan Sajani. Bukankah terlalu tampan dan amat sayang untuk diabaikan?

"Aku ingin istirahat," bisik Gema pada Slamet. Suaranya serak dan bergetar. Mati-matian menahan tangisan.

Slamet sigap membawa Gema. Mungkin di pikiran pelayan itu mengangap Nonanya tengah dirundung malu. "Saya pamit permisi, Tuan Enrda. Kalau Tuan hendak mencari Tuan Widagdo, beliau ada di ruang kerjanya."

Enrda mengangguk paham. "Baiklah aku akan ke sana. Cyteria," Sempat menyapa, "Sekali lagi maafkan aku. Kalau begitu beristirahatlah."

Gema tak menjawab, tapi diwakilkan oleh Slamet. Mereka berdua meninggalkan ruang makan sekaligus Enrda.

"Nona tidak bertanya kenapa ada Tuan Enrda ?" Slamet memulai percakapan dalam perjalan mengantarkan Gema.

Gema sebenarnya tak berminat bertanya hal itu, karena dia sudah tahu apa keperluan Enrda ke rumah Cyteria malam ini. Tak jauh-jauh dari perbincangan tentang persiapan pertungan. Papa Widagdo yang menitah kedatangan Enrda.

Sebagai penulis cerita ini, yang murni pembuatnya tanpa dikotori oleh plagiat, tentu Gema hapal garis besar alurnya. Bahkan akhir dari Antagonis Cyteria.

“Mati," gumam Gema.

"Ya, Nona? Maaf saya tidak dengar." Slamet mengerjap bingung. Tangannya masih melekat di gagang pintu kamar, belum memutar untuk membuka.

Gema tidak menyahut, lebih memilih menggeleng lemas. Lantas mengambil alih gagang pintu dan masuk ke dalam kamar.

Slamet menelengkan kepala sebelum akhirnya kembali ke ruang makan, melaksanakan tugas merapikan meja.

Di balik pintu, Gema merosot terduduk. Jidatnya kepanasan karena bergesekan dengan daun pintu. Dia mengadu dan mengelusnya dengan tatapan kosong pada lantai hijau lumut di bawah.

Bola matanya bergulir mengikuti pola garis-garis abstrak lantai. Iseng saja. Sebab otak masih bingung menanggapi kemalangan nasib yang menimpa saat ini.

4 Cinta, 5 Petaka adalah judul novel ini. Bergenre teenfict berpadu Thriller. Tentang perjuangan seorang gadis bernama Sajani dalam mendapatkan cintanya yaitu Enrda. Lalu tokoh penghalang alias Antagonisnya adalah Cyteria.

Gema mendesah putus asa. "Cyteria yang jahat mendapat hukuman mati setelah membunuh Sajani oleh empat karakter protagonis lainnya. Dan Enrda menjadi ketua sekaligus pencetus rencana balas dendam terhadap Cyteria." Sekali lagi dia mendesah, kali ini cukup panjang. "Apa salahku sampai dihukum menggantikan antagonis, Tuhan?"

Saking putus asanya, Gema menjedotkan kepala ke pintu. Satu kali. "Sakit." Tak meneruskan lagi.

Bagaimana caraku kembali? Aku ingin kembali.

Pendingin udara bekerja di tembok atas, belakang tubuh. Anginnya menerpa punggung Gema, menyejukkan. Namun, sensasi itu tidak berefek menenangkan bagi jiwa yang tengah dilanda kegalauan.

Berdiri lemas, berjalan sempoyongan, Gema melangkah menuju ranjang. Punggung bersandar pada tiang kasur. Kelambu tersibak dimainkan. Ada empat nyamuk hinggap di sana dan terbang sebentar. Salah satu hinggap lagi, kemudian ... hup!

"Dimakan cicak!" Gema menatap horor. Tak mengira kalau ada cicak tengah bersembunyi di tiang itu. Dia seketika membayangkan kalau nyamuk itu adalah dirinya. "Aku akan bernasib mati seperti nyamuk itu."

Kelenjar netra bereproduksi membuat air mata, jatuh berduyun-duyun, membasahi kedua pipi. Gema mengerang tertahan. Teramat frustrasi.

Secercah ide mendesak keluar bak batu apung yang terbebas dari injakan kaki raksasa. Gema bangkit. Menghapus air mata. Semangatnya berkobar.

"Benar! Nasib dapat diubah. Maka aku tinggal mengubahnya." Gema mengangguk, lantas segera membuka almari, mengobrak-abrik isinya, membuangnya ke atas ranjang.

"Sekarang aku hanya perlu mengumpulkan benda berharga yang bisa dijual nanti." Beralih ke meja rias. Mengambil perhiasan. Perhiasan-perhiasan itu dilemparkan, bergabung dengan tumpukan baju.

Ketukan di pintu mengagetkan Gema. Hati-hati gadis itu berujar, "Siapa?"

"Ini aku Enrda."

Alarm bahaya bagai pentungan poskamling, berdentum di kepala Gema. Dapat dirasa darahnya terpompa kuat melewati setiap nadi. Wajah berubah pucat kesi.

"A-ada apa?" Gema tergugu menanggapi. Berperang dengan getaran bibir agar tak tampak tengah ketakutan sekali. "Aku lelah, ingin tidur. Kalau mau bicara, besok saja."

Cukup lama suasana tak terdengar apa-apa, sampai Gema beranggapan bahwa Enrda sudah pergi. Ternyata tidak, terdengar lelaki itu di balik pintu, mendesah.

"Baiklah. Besok kita bicara. Aku jemput." Setelah kalimat itu usai, disusul suara langkah kaki menjauh.

Dada Gema plong. Dia melanjutkan rencana yang tertunda. Berkemas. Menjejalkan semua barang ke dalam tas tanpa mau repot-repot terlihat rapi.

"Siap semua." Bangga melihat persiapan kabur dari rumah sudah lengkap, tinggal angkut. "Eh, tapi akan tidak sopan kalau tidak menulis surat minggat, bukan?"

Dengan cepat Gema menulis surat untuk Papa Widagdo.

Pa, Gema pergi sampai waktu yang tak dapat ditentukan. Terima kasih sudah membesarkanku selama  ini. Jaga kesehatan, Pa.

"Sudah selesai." Gema menaruh secarik kertas itu di atas meja. "Tapi kalau begini saja nanti diterpa angin lalu hilang." Matanya celingukan mencari benda yang bisa dibuat pemberat. "Penghapus ini saja. Selesai. Sampaikan pesan ini pada Ayah Pram, ya."

Baru berbalik, Gema menyadari sesuatu. "Loh, kok, Ayah Pram? Loh! Kok Gema?" Dia tepuk jidat. Berbalik lagi untuk merevisi isi surat. Coret bagian "Gema", menggantinya dengan "Cyteria".

Gema tak sadar ada orang yang memasuki kamarnya dari jendela.

"Sudah lagi. Bye," kata Gema seraya menutup bolpoint yang digunakan, lalu bertepuk tangan.

Tiba-tiba suara seseorang terdengar bertanya, "Mau ke mana?"

Gema terperanjat.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Aiav
Selanjutnya Am I a Villain?! [Bab 3: Makan atau Dimakan]
2
0
Selamat membaca. Hidup Literasi Indonesia
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan