Am I a Villain?! [Bab 1: Apel Snow White]

2
0
Deskripsi

Blurb

Aku, sih, yes kalau dikerubung banyak cogan, tapi BIG NO kalau dikerubung untuk dibunuh!

~Gema

Nasib orang kejam pasti dapat karma. Karmanya tak main-main pula. Masuk ke novel buatan sendiri sebagai penjahat yang berakhir mati. Eh, semesta sedang berdrama. Nasib tadi katanya perlu ditambah dengan teror makhluk pemakan jiwa. Ini sama saja sudah jatuh ketiban tangga, masuk selokan, diserang Yuyu Kakang, lantas patah tulang!

Dapatkah Gema bertahan untuk sekedar menghirup udara? Dan apakah benar dia tak bisa pulang ke dunianya?

Bab 1: Apel Snow White

Bersabarlah. 
Kalau belum bisa, 
maka gantilah nama jadi Pak Sabar.

✨✨✨

Sandi salah. Lupa sandi?

Pesan itu muncul berkali-kali. Dan kalimat kedua seolah menonjok, menghina dengan telak, menampar gumpalan otak Gema untuk terus memikirkan angka dan huruf apa yang seharusnya dimasukkan ke dalam kolom yang menjadi gerbang masuk ke dalam akun kepenulisannya itu.

"Demi ketampanan lelaki gepeng!" teriak Gema, menjambak rambutnya dengan keras. "Kenapa aku tidak bisa masuk?!" Dia mengerang, bergerak-gerak dalam duduknya di atas kursi goyang. Rasa frustrasi mengkontaminasi kewarasan.

"Tenang." Gema mencoba menenangkan diri. Dia menarik napas dari dua lubang hidung dan mengeluarkannya perlahan dari bibir yang mengerucut. "Jika aku memang lupa kata sandi, maka yang aku lakukan tentu saja mengingatnya dengan tenang. Maka mari kita tenang."

Satu menit berlalu. Segelas air putih tandas. Secangkir kopi utuh. Dua menit berlalu. Segelas air putih lagi tandas, sedangkan secangkir kopi tetap diam, tenang di samping laptop, masih suci belum tersentuh.

Baiklah, Gema sudah tenang. Pikirannya sudah siap dengan berbagai sandi yang pernah dia buat. Waktunya berperang!

Jemari Gema menari di atas keyboard.

Percobaan pertama,

Sandi salah. Lupa sandi?

Gagal.

Percobaan kedua,

Sandi salah. Lupa sandi?

Percobaan ke tujuh.

Sandi salah.

Kami akan mengirimkan notifikasi ke alamat email. Silakan periksa email Anda.

Gema langsung mengecek email, tapi tidak ada apa-apa.

"Mana?!"

Silakan masukkan kode dalam waktu.

30
.

Hitungan mundur.

25
24
.
.
.

Masih belum ada pesan masuk.

6
.
3
2
.
.

“AAA!!!”

Gema tak kuasa menahan amarahnya lagi. Tanpa pikir panjang, laptop kesayangan terbanting keras ke atas kasur empuk di sampingnya.

Rasa gatal pada amarah tak juga mereda. Dengan cepat Gema menerobos bingkai pintu kamar, meninggalkan kursi panas dan berjalan ke teras. Mulutnya komat-kamit persis Mbah Dukun baca mantra.

Langkah Gema cepat, berangsur melambat, kemudian berhenti tepat di depan pagar tanaman, tatkala sepasang mata seorang lelaki berserobok dengan matanya.

Ah, kebetulan.

Tanpa menyia-nyiakan durasi detik jam, Gema memanggil lelaki itu.

"TEJAAA!" Seruannya melengking mengalahkan mikrofon rusak.

Lelaki yang dipanggil Teja sempat menutup telinga, sebelum menjeling sebal pada Gema.

"Apa?!" Tak kalah sangar, Teja membalas. Di salah satu tangannya menenteng helm bogo: mengkilap dan bersih. Dia kembali berjalan mendekati motor vespa modifikasi yang terparkir di halaman rumah.

Gema berjalan meliuk melewati celah pagar tanaman bunga kertas. Terlalu malas melewati jalur yang disediakan, yang mana artinya harus memutar ke sebelah kanan. Dia berjalan lurus tanpa hambatan dan berhenti di depan motor vespa Teja.

Dengan tangan kanan terangkat membentuk isyarat "berhenti", Gema menyunggingkan senyum liciknya.

"Minggir," kata Teja, malas seraya memakai helm dan menaikkan standar. Deru mesin berbatuk-batuk bagai kakek-kakek terserang asma, mengisi suara sunyi di antara keduanya.

Kini Gema melakukan gerakan tangan layaknya pertapa. "Help me, please, Brother! Aku dapat sedikit masalah."

"Maaf aku tidak mau membelikan pembalut, jika itu yang kamu mau." Seenaknya Teja berucap.

"He?! Memang kapan aku meminta kamu melakukannya?" Tak terima. Seingat dan selama perjalanan hidupnya, tak pernah sekalipun Gema meminta bantuan semacam itu. Saat pertama kali mendapatkan fase itu saja, dia tidak meminta kakak atau adiknya membelikan pembalut. Yang benar saja!

"Kalau begitu minggir."

Gema merasakan intonasi dingin dari ucapan maupun cara Teja berinteraksi dengannya. Tidak biasa. Ada apa?

"Kamu PMS?"

Pertanyaan itu membuat alis Teja menukik tajam. "WHAT?!"

"Habis di mukamu itu seakan tertulis 'Senggol, tampol'."

"Sudahlah, aku sedang buru-buru berangkat kuliah. Jadi berhentilah melucu." Teja menderumkan lagi mesinnya. Knalpot mengeluarkan asap karbon monoksida dengan bangganya.

"Baiklah-baiklah. Aku akan minggir kalau kamu mau bantu aku me ...."

"Oke."

Ucapan Gema belum usai, tapi sudah dipotong Teja cepat sekali. Seolah lelaki itu bisa mengintip kata-kata yang tercetak dalam otak Gema, tanpa perlu menunggu tugas mulut untuk mengatakannya.

Gema tersenyum sumringah. Ada kelegaan dalam diri. Dia menepi, memberi akses tanpa merasa curiga.

Akan tetapi, Teja melanjutkan. "Dalam mimpi." Langsung roda motor berputar kencang, membawa serta pergi tubuh Teja di atasnya.

Senyum yang tadinya merekah mendadak layu dan muncul kedutan di ujung bibir. Gema mengumpat. "GEMPREEENG!" Dia terkena tipuan murahan. Ini memalukan sekaligus menyebalkan.

Gema balik badan, kembali ke rumah dengan langkah lebar, menyambar ponsel di atas kulkas yang masih terkoneksi dengan kabel pengisian daya. Lantas menelepon seseorang.

"Cepat kemari!" Tanpa ucapan menyapa, Gema lebih memilih langsung ke inti, begitu panggilan tersambung. "Pokoknya cepat kemari. Jangan tanya alasannya. Tidak usah mandi! Bau pun tak masalah. Cepat!"

Yang ditelepon terus menguap malas. "Tapi ada masalah apa dulu? Aku sedang dalam fase mager parah dan rasanya tak ingin meninggalkan tempat terempuk sejagad dunia ini, Gem."

Amarah Gema naik satu persen. Kenapa para lelaki harus tercipta dengan sifat pemalas dan seenaknya? batin Gema. Dia mengeratkan gigi kuat-kuat.

Lelaki di seberang sana masih terus melanjutkan sesi curhat colongan.

"Aku baru tidur jam tiga pagi. Memendam kesedihan sendiri. Tahukah kamu kenapa aku sedih? Karena Chealse kalah tiga kosong dari Manchester City."

"Ar-za," panggil Gema. Sengaja menekan setiap suku kata, "ku-na. Cepat kemari atau aku takkan membayar kerja GW mu."

Terdengar decakan disusul kalimat, "Kamu menang, GeMAS!" Lalu panggilan terputus.

Entah kenapa pipi Gema terasa memanas setiap kali Arzakuna memanggilnya, "GemaS". Seperti ada spekturm fajar senja membelai kulit dengan lembut. Dia tahu tak seharusnya bersikap bak remaja, mengingat umur sudah 28 tahun sejak minggu kemarin.

"Ah, ya ampun." Gema mengecek berapa persen sudah baterai terisi. "Masih empat puluh persen." Matanya tertuju pada angka di layar bawah. "Dua jam lagi baru penuh penuh. Ha!" Dia mendesah kecewa.

Sebuah ketukan mengagetkan Gema. Kedua kaki bergerak menuju sumber suara. Ternyata penampakan lelaki dengan rambut kusut lebih mengejutkan.

Gema berdeham, melirik sekilas ke kaki lelaki itu. "Sandal berhak tinggi cocok sekali untukmu, Ar," goda Gema lengkap siulan.

"Kamu menyuruhku datang hanya untuk mendengar ejekanmu?” Arza tampak sewot. Jauh-jauh dari rumah ke sini hanya untuk hal tidak penting, sungguh membuat hatinya dongkol. Lelaki itu memilih menghempaskan pantat pada kursi teras. “Awas saja kalau kamu menyuruhku datang ke sini untuk hal yang tidak penting. Jadi ada apa?”

Baru juga mulut Gema hendak membuka menjelaskan, sudah diserobot oleh Arzakuna.

"Tapi sebelum itu, ambilkan aku air putih agar aku tak dehidrasi."

Gema ikut duduk,  tak acuh dengan perintah sahabatnya itu. "Sudah, jangan berdrama. Rumahmu bahkan tak lebih dari lima langkah dari sini."

“Lima langkah entutmu a?!" Tak mau kalah Arza terus mengutarakan kekesalan. "Bayangkan! Bangun tidur, belum juga sadar disuruh cepat datang. Pakai ancaman pula."

Gema beringsut mundur, takut kalau air ludah muncrat dan mengenai wajahnya.

"Dahlah langsung katakan apa maumu?" Nada Arzakuna terus naik tak mau turun, semacam umur.

"Sebentar aku ambil dulu laptopnya." Gema beranjak, masuk sejenak, dan kembali dengan memeluk laptop. "Aku tidak bisa masuk ke akunku. So, please bantu aku membukanya."

Laptop pindah posisi, menghadap Arzakuna. "Sandimu sama, 'kan?" Lelaki itu kini serius menatap layar.

"Sama. Terakhir berubah lima tahun lalu. Itulah kenapa aku jadi bingung."

Teringatlah Gema pada seberapa gagap teknologi dirinya saat pertama kali mendaftar. Untungnya ada Arzakuna yang setia membantu.

"Akunmu disabotase."

Informasi yang menyentak jantung Gema. "Kok, bisa?" Gadis itu bergegas berpindah, berdiri di belakang Arzakuna.

"Mungkin ini ada hubungannya dengan kamu yang belum meminta maaf pada Paman Pram?"

Sejenak menatap muka sahabatnya dari samping, Gema mengelak, "Apa hubungannya dengan itu?"

"Aku dengar kamu sudah mendiamkan Paman, Kak Lingga, dan Arum selama seminggu ini. Kenapa?" Arzakuna menghentikan kegiatan dan memilih menatap Gema, menanti jawaban.

Tak mau cerita, Gema takut kalau dia cerita ujung-ujungnya pasti dapat ceramah. Membosankan.

"Kamu sudah dewasa, Gem," kata Arzakuna, meneruskan. "Tidak sepatutnya kamu iri pada Arum. Buat apa?" Kembali lelaki itu menarikan jemari di atas keyboard dan sesekali memainkan mouse. "Wajar kalau adikmu itu dibelikan sepeda motor oleh Paman, mengingat dia masih anak SMA yang tidak memiliki penghasilan seperti kita. Jadi buang sifat kekanakanmu itu."

Seolah ada ubur-ubur raksasa menyengat Gema saat ini, dia sakit hati. Apa tadi? Kekanakan? Harga dirinya diejek. Gadis itu sudah bersiap melawan kata-kata Arzakuna, tapi urung ketika tiba-tiba seorang berseru, "Paket!"

Kedua orang itu memalingkan wajah, sama-sama fokus pada seorang kurir di depan pagar besi yang terbuka.

Gema kesal. "Dasar!" Alasan kekesalan itu karena Arzakuna dan juga kurir yang datang pada waktu yang salah.

Dengan menghentak kaki kuat-kuat, Gema bergerak mendekati kurir.

Masker yang dipakai kurir —yang pastinya laki-laki, sesuai suara— bergerak mengikuti aksi bibir di baliknya. "Atas nama Gema Gemintang Putri?"

"Ya, saya sendiri. Dari siapa?" tanya Gema ketus.

"Dari PT Isekai." Kurir mengangsurkan paket itu sambil mengambil gambar menggunakan ponsel pintarnya.

Alis Gema mengernyit. PT Isekai? PT apaan, tuh?

"Kalau begitu permisi." Kurir langsung balik badan, setelah menunaikan tugas.

"Oke, terima kasih."

Awalnya semua tidak terasa aneh, tapi sebuah kejanggalan menerpa otak Gema. "Biasanya kurir pakai motor, tapi ,kok, kurir tadi pakai ... mobil?"

Untuk menguatkan hal itu, Gema menoleh dan menatap pada mobil yang sedetik kemudian menghilang di pertigaan jalan kampung. Jelas kalau kurir tadi memasuki kendaraan itu. Masalahnya mobil itu lebih cocok jadi kendaraan pribadi atau paling tidak taxi online dibanding pengantar barang.

"Ah, tidak juga." Gema menampik segera. "Dulu ojek pasti pakai motor dengan porsening. Tapi sekarang rata-rata motor skuter."

"Kamu bicara apa?" tanya Arzakuna, tahu-tahu sudah di depan muka.

"Bukan apa-apa." Masih mode marah. "Sudah selesai?"

"Belum. Nanti aku coba dengan cara lain. Mendadak ada urusan penting. Aku pergi dulu." Arakuna melipir pergi tanpa menunggu persetujuan.

"Kenapa dia?" Rasa sebal masih menancap di jantung, tak mau musnah. "Pipi merah segala. Habis minum minyak tawon?!"

Kembali Gema merasa aneh dengan tingkah kakak adik itu hari ini. Teja dengan sikap sinisnya. Arzakuna dengan nyinyir, dan paling baru wajah malu-malunya. Ada apa memang?

"Ini juga apa?! PT Isekai? Pabrik apaan, tuh? Pabrik dunia lain?"

Gema tidak mengenali perusahaan PT Isekai. Mendengarnya saja tidak pernah. Dengan penuh tanda tanya di benak, Gema membuka bungkusan, merobeknya asal. Sebuah kotak kayu tak berpelitur menjadi pemandangan pertama.

"Wah!" Takjub karena terlihat mahal. Lanjut membuka tutupnya. "Apel?"

Sebuah apel merah, mengilap nan menggiurkan terletak di tengah, di atas serabut kayu yang mirip sarang burung. Di sampingnya secarik kertas terlipat.

Gema membaca isinya, "Apel Ajaib. Bisa membinasakan Kemarahan dan mengubah menjadi Keajaiban."

Kening Gema kembali membentuk gelombang.

"Maksudnya apa?" Gema terus saja meneliti sebiji apel itu berulang kali. Tidak ada yang aneh. Tidak ada lubang bekas jalan ulat atau busuk di salah satu sisi. Aman. "Patut dicobalah." Langsung saja Gema menggigit apel, setelah menggosoknya ke baju. Tapi ....

Langsung tersedak. Panik memukul-mukul dada. Sayangnya tak kunjung mereda. Lantas berlari sekuat tenaga ke dapur, tapi terjungkal karena lutut terantuk ujung meja.

Sesak. Oksigen yang seharusnya bisa masuk semudah biasanya, kini sulit untuk dihirup. Gema tersengal. Dadanya seakan dihimpit oleh ribuan batu.

Di ujung perjuangan, Gema mulai merasakan segalanya diambil satu per satu: cara bernapas, kesadaran, dan seluruh tenaga. Semua hilang, lesap bak air yang terserap oleh udara.

Semua terganti oleh kegelapan yang pekat.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Aiav
Selanjutnya Am I a Villain?! [Bab 2: Bangun Tidur Jadi Penjahat]
2
0
Selamat membaca kaum Buahaha
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan