
"Pernah ciuman sama temen cowok lo?"
"Apa?" Samara menoleh cepat, matanya membesar.
Savior akhirnya menoleh dan mata mereka bertemu. Tatapan itu dalam, tenang, tapi ada sesuatu yang tidak biasa di sana. Seolah dia sedang menahan gejolak yang selama ini bersembunyi rapi di balik sikap santainya.
"Mau nyoba nggak?" tanyanya pelan, tapi mantap.
***
Savior makin beraniiiiiiiii.
Savior: Kok belum tidur?
Samara: Belum ngantuk
Savior: Sering kayak gini?
Samara: Kadang
Samara: Kalau lagi banyak pikiran
Savior: Sekarang lagi banyak pikiran?
Samara: Hehe. Bisa dibilang gitu
Savior: Mau cerita?
Samara: Kalau lo tau dia nggak pernah bener-bener milih lo, tapi lo tetep bertahan.
Samara: Itu salah nggak sih?
Savior: ...
Savior: Masih sayang nggak?
Samara: Masih...
Samara: Tapi...
Samara: Gue bahkan nggak yakin dia pernah bener-bener notice keberadaan gue.
Samara: Tapi nggak tau kenapa, gue masih terus nunggu.
Savior: Nggak salah, tapi emang nggak capek?
Samara: Capek sih, tapi belum siap nyerah.
Samara: Udah ah, nggak usah dibahas lagi
Savior: ya udah...
Savior: Lo udah makan?
Samara: Belum
Savior: Samara...
Savior: Udah jam segini lo belum makan?
Samara: Nggak laper, hehe.
***
Suara ketukan menggema di balik pintu. Samara sedang duduk bersandar di sofa dengan selimut tipis melingkar di bahu, matanya lebih fokus pada layar ponsel, bukan pada layar televisi yang bahkan tak benar-benar ia perhatikan. Dengan langkah malas, ia bangkit dan berjalan pelan menuju pintu.
Begitu pintu dibuka, seorang kurir laki-laki berdiri di hadapannya dengan senyum ramah. Di tangannya, ada empat kotak pizza besar yang diikat dengan tali warna cokelat.
"Ini pesanannya, Kak," ujar kurir itu sopan sambil sedikit mengangkat kotak-kotak itu agar lebih mudah dilihat.
Samara mengerutkan kening. Matanya menyapu kotak-kotak tersebut. "Hah?" gumamnya pelan. "Eh, maaf Mas, tapi saya nggak pesan," ujarnya bingung, menatap pria itu dengan tatapan penuh tanya.
"Tapi ini benar unit 1604 atas nama Mba Samara?" tanya kurir itu, memastikan.
Samara mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya yakin. "Iya..."
"Mungkin teman Mbaknya yang pesan?" sela kurir itu cepat, seperti sudah biasa menghadapi pelanggan bingung.
Samara mengambil napas pendek dan mengangguk. "Oh... mungkin," gumamnya, lalu menerima kiriman itu. "Makasih ya, Mas."
"Sama-sama, Mba."
Setelah menutup pintu, Samara meletakkan kotak-kotak pizza itu ke atas meja ruang tengah. Aroma hangat dan gurih langsung memenuhi udara, membuat perutnya yang sejak tadi tidak terisi makanan mendadak berbunyi pelan. Tapi rasa lapar bukan yang pertama kali mengisi pikirannya.
Dia menatap kotak-kotak itu lama. Pikirannya langsung menerka-nerka siapa gerangan pengirim makanan ini.
Hiro?
Tapi... tidak mungkin dengan sifat pria itu sejauh yang ia kenal.
Dengan cepat, ia mengambil ponsel dari meja dan membuka chat, lalu mengirim foto kotak pizza itu pada Savior.
Samara: Ini lo yang kirim?
Savior: Iya, dimakan ya.
Samara: Lo pikir gue bisa habisin semuanya sendirian?
Savior: Gue nggak tau lo lagi suka rasa apa malam ini, jadi gue beliin aja semuanya.
Samara mencibir kecil, tidak percaya dengan alasan seenaknya itu. Jari-jarinya langsung menekan tombol telepon.
"Halo," suara di seberang terdengar seperti biasa: antusias.
"Heh, ini gimana gue ngabisinnya?" suara Samara terdengar seperti protes, tapi juga ada tawa tertahan di baliknya.
"Kalau nggak habis ya udah, yang penting ada yang masuk ke perut lo," jawab Savior santai, seakan memastikan Samara makan itu jauh lebih penting.
Samara menghela napas. "Tapi, kan, sayang buang-buang makanan."
"Terus gimana? Masa gue balikin lagi ke restonya," sahutnya, masih dalam nada bercanda.
"Sini, bantu habisin."
Hening.
Lalu terdengar desahan pendek. "On the way."
Seketika, Samara mendengkus geli dan menutup telepon. Kenapa pria itu selalu antusias?
Hanya selang lima belas menit, Savior sudah datang, mengenakan hoodie hitam dan celana selutut, rambutnya tampak berantakan. Dia menenteng kunci motor dan menaruhnya sembarangan ke meja.
"Ini beneran nggak papa nih gue ke sini jam segini?" tanyanya sambil menggaruk tengkuk, ragu.
"Kayak lo nggak pernah ke sini jam segini aja."
Savior tertawa kecil, "Itu, kan, karena lagi ngumpul sama yang lain."
"Ya udah lo undang aja semuanya ke sini, biar sekalian habisin pizza-nya."
"Ngapain? Nanti ganggu," balasnya dengan senyum bermakna dan langsung duduk di sofa.
Ia membuka satu persatu kotak pizza dengan semangat. Samara ikut duduk di sampingnya. Ia mengubah channel TV untuk membunuh sepi. Sebuah film romantis terputar, tapi tidak ada yang benar-benar menonton.
Mereka makan dalam diam, tapi keheningannya terasa nyaman. Tidak memaksa, tidak membosankan. Sesekali Savior mengomentari rasa pizza-nya, sesekali Samara hanya tertawa pendek. Mereka tidak sedang jatuh cinta, tapi jelas sedang menyembuhkan diri di tempat yang sama.
Dan mungkin... itu jauh lebih indah dari sekadar kata 'cinta'.
***
"Yang ini enak," gumam Savior sambil mengambil potongan kedua dari kotak keempat.
Samara melirik ke arah tangan pria itu yang mulai belepotan saus. "Lo laper, ya? Belum makan?" tanyanya curiga.
Savior hanya terkekeh, lalu menggigit pizza-nya dengan rakus. "Topping keju sama daging asap selalu jadi favorite gue. Lo suka yang mana?"
Samara menunjuk kotak ketiga. "Jamur dan pepperoni," jawabnya.
"Gue coba." Savior langsung menarik kotak yang dimaksud lebih dekat ke arahnya dan mengambil sepotong. "Enak, tapi agak asin," ujarnya sembari mengunyah.
Film di layar TV masih berjalan, tapi tidak ada dari mereka yang benar-benar menonton. Sesekali Samara mencuri pandang ke arah Savior, tetapi sering tertangkap basah yang berujung membuatnya malu.
Tanpa sadar, lutut mereka saling menyentuh. Tidak terlalu sengaja. Akan tetapi tidak ada dari mereka yang menjauh.
Samara menunduk, pura-pura memusatkan perhatian ke pizza di tangannya. Tapi detak jantungnya justru makin tidak karuan.
"Sam," panggil Savior, suaranya pelan.
Samara mengangkat wajah, "Hm?"
Savior menatapnya serius. "Lo sering ngerasa sendirian di sini?"
Pertanyaan itu membuat Samara terdiam.
Butuh waktu sebelum dia bisa menjawab, "Kadang. Tapi udah biasa."
"Hiro sering ninggalin lo kayak gini?"
Samara hanya menjawab dengan seulas senyum, lalu matanya fokus ke film di layar.
Film romantis yang sedari tadi hanya jadi latar tiba-tiba memunculkan adegan yang membuat Samara menegang. Di layar, sepasang kekasih sedang terlibat dalam ciuman panjang dan intens. Lampu ruangan yang remang membuat cahaya dari layar menyorot samar wajahnya dan Savior.
Samara menggigit ujung potongan pizza-nya, mendadak tak enak hati. Ia melirik sekilas ke arah Savior yang duduk hanya sejengkal darinya. Pria itu tampak tetap santai, tapi ekspresinya berbeda-lebih serius, lebih... fokus.
Entah pada film, atau memikirkan hal lain.
"Sam," panggilnya tiba-tiba, suaranya rendah.
Samara menoleh cepat. "Hm?"
Savior tidak langsung melihat ke arahnya, masih memandangi layar. Tapi ucapannya membuat Samara nyaris tersedak.
"Pernah ciuman sama temen cowok lo?"
"Apa?" Samara menoleh cepat, matanya membesar.
Savior akhirnya menoleh dan mata mereka bertemu. Tatapan itu dalam, tenang, tapi ada sesuatu yang tidak biasa di sana. Seolah dia sedang menahan gejolak yang selama ini bersembunyi rapi di balik sikap santainya.
"Mau nyoba nggak?" tanyanya pelan, tapi mantap.
Jantung Samara langsung berpacu. Dia nyaris lupa cara bernapas.
Sebelum ia bisa berkata-kata, tangan Savior tiba-tiba terangkat, menyentuh lembut tengkuknya. Gerakannya tenang, tapi ada ketegasan di dalamnya. Samara membeku di tempat, matanya membulat, tidak sempat berpaling, tidak sempat menolak.
Dalam sekejap, bibir mereka bersentuhan.
Ciuman itu tidak kasar, tetapi juga jauh dari lembut. Ada rasa penasaran yang menekan, ada jeda panjang yang tertelan di antara napas mereka. Samara memejamkan mata, tubuhnya kaku, tapi tidak menjauh. Ia hanya bisa merasakan panas di pipinya, deras degup jantungnya dan... jemari Savior yang perlahan pindah ke pipinya.
Saat akhirnya Savior menarik diri, dia tidak langsung bicara. Matanya masih menatap Samara dalam diam, seakan menanti reaksi yang tidak bisa dia prediksi.
Samara pun masih terdiam, jari-jarinya mengepal di atas lutut. Bibirnya masih terasa hangat. Ia bahkan belum bisa berpikir jernih, apalagi mengucapkan sepatah kata.
Savior mengusap tengkuknya pelan, lalu bersandar ke sofa.
"Lo boleh marah," ucapnya lirih. "Gue juga nggak ngerti kenapa gue lakuin itu."
Samara menunduk, matanya masih membelalak ke lantai.
Kenapa... dia tidak menolak?
Dan itulah yang paling membingungkan dari semuanya.
***
Siapa yang histeris baca Savior ciuman sama Samara? Ngaku! Haha.
Spam komen kalau besok mau update lagiiii.
Besok isinya masih full Savior-Samara pokoknya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
